"Chy, Mama tahu kamu merasa cocok dengan Ibrahim. Kenapa kamu menolaknya?" tanya Lova.
"Aku tidak mau menikah sebelum Kak Mai menikah, Ma," jawab Chyara.Sudah setengah tahun berlalu sejak Chyara mengatakan hal itu. Almaira pikir Chyara hanya asal bicara. Namun, ternyata dia serius. Chyara sudah mengenal Ibrahim enam bulan belakangan. Keduanya bertemu di panti asuhan saat memberi santunan. Mereka bertemu kembali di tempat pengajian.Ibrahim lalu mengajukan lamaran ta'aruf. Seperti biasa, Ardhan akan mencari informasi tentang pria itu. Babat, bebet, dan bobotnya bagus. Chyara juga sepertinya menyukai Ibrahim sejak pandangan pertama. Namun, karena janjinya, Chyara harus menunda menerima Ibrahim."Kenapa kamu harus menungguku, sih? Kalau mau menikah, ya, menikah saja," kata Almaira sambil menarik tangannya dari genggaman Chyara."Kalau dulu aku tidak menyukai Kak Vier, mungkin kalian berdua sudah menikah. Aku sudah bilang ingin memastikan Ka"Masih ada waktu kalau kamu ingin membatalkannya, Sayang." Lova mengelus kepala Almaira yang sudah dipakaikan veil putih sebetis.Entah kenapa perasaan Lova tidak enak. Lova juga menyadari tatapan kosong Almaira. Dia tahu Almaira masih mencintai Xavier. Dia tahu putrinya tidak benar-benar ingin menikah dengan Shaka.Almaira menggeleng, lalu tersenyum. "Tidak, Mama."Lova menggenggam tangan putri sulungnya. Cairan hangat sudah menggenang di pelupuk mata perempuan paruh baya itu. "Baiklah jika itu keputusan kamu. Semoga ini memang yang terbaik.""Aamiin."Keduanya kemudian berpelukan. Chyara lantas bergabung setelah menghubungi Emir yang sudah berada di belahan bumi lain."Sayang sekali Emir tidak bisa pulang. Nih, dia bikin vidio untuk Kak Mai," ucap Chyara, lalu memutar vidio yang dikirimkan Emir.Anak itu berada di Jembatan Brooklyn. Sengaja katanya, agar suasana New York-nya terasa. Emir memberikan doa dan selamat. Anak bungsu itu tersenyum, tetapi tidak bisa menyembunyikan air matan
Almaira tidak ingin bertengkar di usia pernikahannya yang bahkan belum 24 jam. Meladeni Shaka artinya perdebatan akan semakin panjang. Shaka bisa telat ke masjid, atau mungkin tidak mau pergi."Iya, terserah Kak Shaka saja," ucap Almaira. "Sekarang Kak Shaka bersiap ke masjid, ya." Almaira tersenyum agar pria itu luluh.Syukurnya Shaka tidak membuat drama lagi. Dia segera berpakaian dan pergi ke masjid hotel.Sesuai perintah suaminya, Almaira tetap di dalam kamar. Dia sedang melakukan dzikir pagi saat Shaka kembali. Shaka langsung memeluk Almaira dari belakang."Baru berpisah beberapa menit saja aku sudah rindu setengah mati, Sayang. Kamu merindukanku juga, kan?"Almaira tersenyum. Dia tidak mungkin mengatakan jika dia tidak memiliki perasaan yang sama."Tadi Papa meminta kita sarapan bersama," ujar Shaka cemberut."Lalu?" tanya Almaira yang tidak merasa ajakan Ardhan adalah sebuah kesalahan. Namun, Shaka mempunyai pend
Almaira hampir berteriak meminta tolong saat dia melihat Shaka kembali membawa sekeresek bahan makanan. Pria itu masuk dengan wajah tanpa dosa, sementara Almaira mati-matian menahan diri agar emosinya tidak meledak."Kenapa Kak Shaka mengunciku?" tanya Almaira, berusaha terdengar biasa saja. Namun, kekesalan kentara dari nada bicaranya."Oh, itu. Kamu tahulah, Sayang. Aku lama hidup sendirian. Jika keluar rumah, aku selalu mengunci pintu. Jadi kebiasaan."Apa Almaira harus percaya?"Sekarang tunggu di sana." Shaka menunjuk sofa. "Aku mau memasak dulu.""Aku akan membantu," kata Almaira, meskipun dia tidak tahu apa yang akan dia bantu. Dia tidak bisa memasak, Shaka sudah tahu itu dan tidak mempermasalahkannya. "Mungkin memotong sayuran," sambungnya ketika mendapati sawi putih di keresek belanjaan."Tidak, Sayang. Aku takut kamu terluka." Shaka merebut pisau yang sudah dipegang Almaira. Pria itu menyimpan kembali di tempatnya, lalu
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak