"Saya terima nikah dan kawinnya Almaira Lovely Nuraga bin--" Xavier langsung menghentikan ucapannya ketika sadar dia salah sebut nama.
Pria itu menggigit bibir bawah. Di dalam hati merutuki kebodohan sendiri. Yah, mau bagaimana lagi? Di dalam pikirannya dia terus membayangkan Almaira. Maka tidak heran jika nama perempuan itu yang keluar dari mulutnya.Sontak saja para saksi terperanjat, lalu melihat kiri dan kanan mencari tahu dari orang sebelah jika pendengaran mereka tidak salah."Vier, kamu mau mempercepat kepergian Ayah?" bisik Tamara menahan kesal.Xavier menelan ludah. Menyebut nama perempuan lain saat ijab kabul tentu kesalahan yang sangat fatal. Tidak tanggung-tanggung, Xavier menyebut nama lengkap Almaira."Siapa itu Almaira?" tanya ibunya Tamara."Almaira adalah adiknya Xavier. Hari ini Almaira tidak bisa datang karena suatu alasan. Mungkin karena itu Xavier jadi kepikiran," ucap Tamara memberi penjelasan sambil melirik"Kak Vier," panggil Chyara begitu melihat pria itu keluar dari gedung kantor."Chyara? Ada apa?" tanya Xavier sedikit waspada. Dia khawatir Chyara masih berusaha mengejar cintanya."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.""Soal apa, ya?" Xavier menggaruk tengkuk yang tidak gatal."Kak Mai.""Maira kenapa?"Chyara bisa melihat ekspresi Xavier yang berubah saat nama kakaknya disebut. "Jadi Kak Vier mau bicara dengan aku atau tidak?"Xavier menelan ludah. "Oke.""Tapi aku tidak mau mengobrol sambil berdiri. Ayo, pindah."Keduanya lalu pergi ke kedai kopi terdekat."Kenapa dengan Maira?" tanya Xavier khawatir."Kemarin Kak Mai demam. Tapi sekarang sudah mendingan," jawab Chyara.Xavier menghela napas lega. Syukurlah jika Almaira sudah membaik.Chyara lalu bertanya, "Kak Vier sungguhan mencintai Kak Tamara?"Xavier sontak mengerutkan kening. "Apa maksud kamu?"
Almaira tidak percaya jika Xavier berniat balas dendam. Chyara murni menyukainya, tanpa Xavier yang menggoda. Sedangkan Almaira sudah menyimpan perasaan itu sedari lama, hanya saja baru menyadarinya."Kak Vier tidak mungkin seperti itu." Almaira bergumam sambil mengemudikan mobil.Hari ini dia pergi bekerja. Ada banyak tanggung jawab yang harus Almaira jalani. Sedihnya cukup sebentar saja. Ah, tidak. Sakit di hatinya masih ada. Namun, Almaira berusaha bangkit dari keterpurukan. Hidup tidak akan selamanya bahagia, juga tidak akan selamanya sengsara.Perempuan itu tersenyum. Dia berdoa untuk kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan keluarga dan orang-orang yang dia sayangi, termasuk Xavier.Namun, tetap saja, senyum Almaira perlahan memudar saat dia melihat Xavier dan Tamara di mobil sebelah saat lampu merah. Mereka mengobrol akrab, sambil Tamara menyuapi suaminya sesuatu."Oke, tenang, Almaira. Ini memang menyakitkan, tapi kamu bisa melewatinya
"Chy, Mama tahu kamu merasa cocok dengan Ibrahim. Kenapa kamu menolaknya?" tanya Lova."Aku tidak mau menikah sebelum Kak Mai menikah, Ma," jawab Chyara.Sudah setengah tahun berlalu sejak Chyara mengatakan hal itu. Almaira pikir Chyara hanya asal bicara. Namun, ternyata dia serius. Chyara sudah mengenal Ibrahim enam bulan belakangan. Keduanya bertemu di panti asuhan saat memberi santunan. Mereka bertemu kembali di tempat pengajian.Ibrahim lalu mengajukan lamaran ta'aruf. Seperti biasa, Ardhan akan mencari informasi tentang pria itu. Babat, bebet, dan bobotnya bagus. Chyara juga sepertinya menyukai Ibrahim sejak pandangan pertama. Namun, karena janjinya, Chyara harus menunda menerima Ibrahim."Kenapa kamu harus menungguku, sih? Kalau mau menikah, ya, menikah saja," kata Almaira sambil menarik tangannya dari genggaman Chyara."Kalau dulu aku tidak menyukai Kak Vier, mungkin kalian berdua sudah menikah. Aku sudah bilang ingin memastikan Ka
"Masih ada waktu kalau kamu ingin membatalkannya, Sayang." Lova mengelus kepala Almaira yang sudah dipakaikan veil putih sebetis.Entah kenapa perasaan Lova tidak enak. Lova juga menyadari tatapan kosong Almaira. Dia tahu Almaira masih mencintai Xavier. Dia tahu putrinya tidak benar-benar ingin menikah dengan Shaka.Almaira menggeleng, lalu tersenyum. "Tidak, Mama."Lova menggenggam tangan putri sulungnya. Cairan hangat sudah menggenang di pelupuk mata perempuan paruh baya itu. "Baiklah jika itu keputusan kamu. Semoga ini memang yang terbaik.""Aamiin."Keduanya kemudian berpelukan. Chyara lantas bergabung setelah menghubungi Emir yang sudah berada di belahan bumi lain."Sayang sekali Emir tidak bisa pulang. Nih, dia bikin vidio untuk Kak Mai," ucap Chyara, lalu memutar vidio yang dikirimkan Emir.Anak itu berada di Jembatan Brooklyn. Sengaja katanya, agar suasana New York-nya terasa. Emir memberikan doa dan selamat. Anak bungsu itu tersenyum, tetapi tidak bisa menyembunyikan air matan
Almaira tidak ingin bertengkar di usia pernikahannya yang bahkan belum 24 jam. Meladeni Shaka artinya perdebatan akan semakin panjang. Shaka bisa telat ke masjid, atau mungkin tidak mau pergi."Iya, terserah Kak Shaka saja," ucap Almaira. "Sekarang Kak Shaka bersiap ke masjid, ya." Almaira tersenyum agar pria itu luluh.Syukurnya Shaka tidak membuat drama lagi. Dia segera berpakaian dan pergi ke masjid hotel.Sesuai perintah suaminya, Almaira tetap di dalam kamar. Dia sedang melakukan dzikir pagi saat Shaka kembali. Shaka langsung memeluk Almaira dari belakang."Baru berpisah beberapa menit saja aku sudah rindu setengah mati, Sayang. Kamu merindukanku juga, kan?"Almaira tersenyum. Dia tidak mungkin mengatakan jika dia tidak memiliki perasaan yang sama."Tadi Papa meminta kita sarapan bersama," ujar Shaka cemberut."Lalu?" tanya Almaira yang tidak merasa ajakan Ardhan adalah sebuah kesalahan. Namun, Shaka mempunyai pend
Almaira hampir berteriak meminta tolong saat dia melihat Shaka kembali membawa sekeresek bahan makanan. Pria itu masuk dengan wajah tanpa dosa, sementara Almaira mati-matian menahan diri agar emosinya tidak meledak."Kenapa Kak Shaka mengunciku?" tanya Almaira, berusaha terdengar biasa saja. Namun, kekesalan kentara dari nada bicaranya."Oh, itu. Kamu tahulah, Sayang. Aku lama hidup sendirian. Jika keluar rumah, aku selalu mengunci pintu. Jadi kebiasaan."Apa Almaira harus percaya?"Sekarang tunggu di sana." Shaka menunjuk sofa. "Aku mau memasak dulu.""Aku akan membantu," kata Almaira, meskipun dia tidak tahu apa yang akan dia bantu. Dia tidak bisa memasak, Shaka sudah tahu itu dan tidak mempermasalahkannya. "Mungkin memotong sayuran," sambungnya ketika mendapati sawi putih di keresek belanjaan."Tidak, Sayang. Aku takut kamu terluka." Shaka merebut pisau yang sudah dipegang Almaira. Pria itu menyimpan kembali di tempatnya, lalu
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah