"Anak-anak ingin mampir dulu beli es krim," ucap Ardhan yang berjalan di samping Lova.
Jarak pemakaman dan rumah Bu Mar cukup dekat, sehingga Ardhan memutuskan untuk berjalan kaki. Lagi pula, tidak ada pelayat lain yang naik kendaraan. Sementara Sekar dan anak-anak menunggu di mobil."Pantas mereka ribut ingin ikut," kata Lova."Ya, didukung oleh Mama."Sekar biasanya tidak ingin peduli kepada orang-orang selain yang beliau suka. Namun, Sekar mendadak ingin melayat. Ternyata setelah sampai, beliau justru enggan keluar dari mobil. Sekar juga yang meminta anak-anak menemaninya."Aduh, Mbak. Kenapa, sih, jalannya grasa-grusu begitu?" Seseorang di belakang sana berseru.Ardhan dan Lova refleks menoleh. Ardhan kemudian mengernyit saat seorang perempuan berkerudung dan berkacamata hitam sibuk menerobos orang-orang yang ada di hadapannya. Perempuan itu tidak memedulikan makian yang dia terima lantaran menabrak sana-sini.SemakArdhan langsung bangun begitu menyadari Lova tidak berada di sampingnya. Dia sempat mencari ke toilet dan kamar anak-anak, tetapi tidak menemukan Lova. Ardhan justru mendapati istri dan sang mama berada di dapur di lantai bawah.Awalnya Ardhan khawatir Sekar melakukan sesuatu kepada Lova. Namun, yang terlihat justru sebaliknya. Lova duduk manis, sedangkan Sekar sibuk membolak-balik daging di atas wajan. Sambil mengomel, tentu saja."Lihat baik-baik, biar kamu bisa bikin sendiri.""Iya, Bu," jawab Lova. "Masih lama, ya?""Sabar, dong. Kamu pikir bisa simsalabim jadi?"Ardhan tersenyum senang dari kejauhan. Meskipun Sekar masih menunjukkan ketidaksukaannya kepada Lova, tetapi perlahan Sekar mulai menerima Lova. Sekar yang tidak suka menyebut nama Lova pun, sekarang sudah ada kemajuan walau salah.Ardhan yakin mamanya itu memang sengaja memanggil Nares alih-alih Lova karena gengsi. Sifat tsundere Almaira diwarisi dari Sekar rupanya."Nih, sudah. Saya tidak mau tahu, kamu harus menghabiska
"Mai, ada lamaran lagi yang datang untuk kamu," ucap Ardhan kepada putri sulungnya."Aku menolak," jawab Almaira tanpa berpikir dua kali.Lova menghela napas, tidak tahan memberi komentar. "Setidaknya cari tahu dulu siapa yang melamar kamu, jangan asal menolak seperti itu."Almaira tersenyum. "Mama, kan, sudah tahu jawabannya.""Belum siap? Atau, kamu memang tidak mempersiapkan diri?" Lova mengernyit."Mama, aku masih 25. Tenang sajalah. Kita ini hidup di kota besar, loh. Yang 35-an masih single juga banyak."Ardhan dan Lova bersitatap. Hal itu memang benar. Namun, Lova khawatir karena di usia Almaira yang sudah seperempat abad, anak itu tidak pernah menunjukkan ketertarikan soal pernikahan. Almaira terlalu cuek, dan itu sangat mengganggu Lova."Lalu kamu siapnya kapan?" tanya Ardhan. "Dan apa yang membuat kamu tidak siap?"Almaira mengedik. Dia sendiri tidak tahu. Apakah Almaira pernah membayangkan sebuah perni
"Hubungan apa? Aku tidak berteman dengan laki-laki. Aku juga tidak suka pacaran, dan aku belum mau menikah," kata Almaira tegas.Dari reaksi Shaka, Almaira sudah tahu maksud ucapannya. Sekalian saja menegaskan dari awal."Kira-kira, kapan kamu mau menikah?""Tidak tahu." Almaira mengedik."Aku rela menunggu, Al."Almaira menghela napas. "Jangan bebani aku, Kak Shaka. Jangan membuat aku merasa punya utang, padahal aku tidak menjanjikan apapun. Entah kapan aku siap menikah, dan saat waktunya tiba, belum tentu aku akan menerima Kakak."Setelah menyedot habis minumannya, Almaira bangkit berdiri. "Kalau begitu aku permisi," ucapnya, kemudian berlalu meninggalkan Shaka.Sebelum itu Almaira menyempatkan diri melirik Xavier yang entah sejak kapan sudah duduk di dekat meja Almaira. Apa Xavier mendengar pembicaraannya?"Memangnya kalau dengar kenapa? Kalau tidak juga kenapa? Dia tidak sepenting itu buatku," gumam Almaira
Chyara memasuki butik milik kakaknya dengan langkah ringan. Wajahnya berseri. Dia bahkan menyapa pegawai dan pelanggan yang dia temui."Kak Mai!" serunya saat menemukan sang kakak sedang berbincang dengan salah satu pegawai. Chyara langsung berlari dan memeluk Almaira."Ada apa?" tanya Almaira dengan kening mengerut.Chyara menarik Almaira ke sofa terdekat. Wajahnya memerah. Dia lalu menunduk. "Aku sudah bilang ke Papa soal perasaan aku ke Kak Vier," ucapnya pelan.Almaira sontak membelalak. "Apa?""Iya. Aku sudah bilang ke Papa kalau aku suka Kak Vier. Papa kasih restu. Papa bilang, Papa mau membicarakan hal ini dengan Kak Vier."Almaira justru mematung di tempat. Entah kenapa udara menjadi sulit dihirup. Sesak sekali. "Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Almaira."Doakan, ya, Kak. Semoga Kak Vier mau menikah sama aku." Chyara menggenggam kedua tangan Almaira.Almaira tidak menjawab. Pandangannya lurus ke dep
"Ke-kenapa Kak Vier mau melamarku?"Xavier membasahi bibir bawahnya. "Karena ... yang aku cintai itu kamu, Mai."Almaira tertegun. Waktu seolah-olah ikut berhenti. Aktivitas di sekelilingnya tidak Almaira hiraukan. Dia hanya fokus menatap pria yang duduk di meja samping sana. Pria yang baru saja menyatakan cinta kepadanya."A-aku?" Almaira menunjuk dirinya sendiri, setelah pulih dari keterkejutan luar biasa."Iya. Aku cinta kamu." Xavier mengulangi ucapannya. Sudah tidak ada jalan lagi untuk mundur. Xavier juga tidak ingin terus memendam perasaannya yang semakin menggebu setiap kali melihat Almaira."Tidak mungkin, kan?" Almaira masih tidak bisa percaya. Xavier, teman bertengkarnya saat kecil, mengaku mencintainya."Kenapa?""Kita ini sudah seperti saudara," jawab Almaira."Kita tidak memiliki hubungan darah, Mai. Chy juga menyukaiku, kan? Tapi, yang aku cinta itu kamu."Almaira menelan ludah. "Kak Vier
"Kenapa aku harus mempertimbangan lamaran dari Kak Shaka? Tunggu dulu. Memangnya Papa kenal dia?"Ardhan duduk di kursi kerjanya. "Shaka adalah laki-laki terakhir yang melamar kamu pada Papa bulan lalu."Shaka tidak mengatakan soal itu kepada Almaira saat mereka bertemu di kafe. Sudah tahu ditolak, masih berusaha juga. Shaka juga berlagak tidak tahu apa-apa soal Almaira. Ternyata sudah mengajukan lamaran lebih dulu kepada Ardhan.Entah apa maksud Shaka. Mungkin dia lupa. Almaira tidak ingin memusingkannya karena jawaban dia tetap sama. "Aku tidak mau, Pa.""Kenapa, Mai? Shaka laki-laki yang baik. Papa sudah mengutus orang untuk mengawasinya. Dia tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan.""Apa Papa juga menyadap CCTV yang ada di rumahnya?""Tidak sampai seperti itu jugalah.""Ya sudah." Almaira mengedik."Kalau kamu mau Papa memata-matai Shaka sampai ke rumahnya. Papa bisa melakukannya untuk kamu."Aduh
"Sekarang waktu dan tempatnya tidak tepat, Kak.""Kita bisa keluar sebentar."Almaira menoleh Chyara yang celingak-celinguk. Bisa gawat jika Chyara melihatnya sedang bersama Xavier."Baiklah. Ayo."Keduanya lantas keluar dari aula. Mereka mencari tempat yang nyaman, tetapi masih ada orang."Jadi bagaimana, Mai?" Xavier sangat tidak sabar ingin tahu jawaban dari Almaira.Almaira menghela napas. Dadanya kembali sesak. Perempuan itu lalu menggeleng pelan. "Aku ... menolak." Ucapannya itu tidak hanya melukai Xavier. Namun, dirinya sendiri juga ikut merasakan patah hati.Xavier membasahi bibir. Melihat reaksi Almaira saat di kafe, Xavier sempat yakin Almaira akan menerimanya. Maka dari itu dia memberanikan diri mengakui perasaannya kepada Ardhan.Xavier juga sempat yakin Ardhan akan merestuinya mengingat Ardhan sendiri yang menyampaikan soal rasa suka Chyara dan keinginannya memiliki hubungan dengan Xavier. Namun, Ar
Ardhan langsung menoleh Almaira. Dari tatapannya, dia mengiba agar Almaira tidak memberi tahu Chyara.Almaira mengepalkan tangan. Teringat janji jika dia tidak akan bertengkar dengan Chyara gara-gara cinta dan pria."Siapa?" Chyara mengernyit."Teman sekolahnya dulu," jawab Almaira. Dia tidak benar-benar berbohong karena Almaira dan Xavier pernah satu sekolah meskipun sebentar."Di Surabaya? Atau di Birmingham?""Di hadapan kamu," batin Almaira. Perempuan itu mengedik. "Kalau itu aku belum tahu.""Masih ada kemungkinan kalau Kak Vier membual."Ya ampun! Dasar kepala batu! Almaira sudah kehabisan akal."Aku tidak membual," ucap Xavier yang tiba-tiba muncul di rumah Ardhan.Semua pasang mata membelalak melihat kehadirannya. Bukan karena Xavier, melainkan kehadiran seorang perempuan yang datang bersama pria itu."Kenalkan, namanya Tamara. Ara, ini keluarga angkatku."Perempuan bernama Tam
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan