Chyara memasuki butik milik kakaknya dengan langkah ringan. Wajahnya berseri. Dia bahkan menyapa pegawai dan pelanggan yang dia temui.
"Kak Mai!" serunya saat menemukan sang kakak sedang berbincang dengan salah satu pegawai. Chyara langsung berlari dan memeluk Almaira."Ada apa?" tanya Almaira dengan kening mengerut.Chyara menarik Almaira ke sofa terdekat. Wajahnya memerah. Dia lalu menunduk. "Aku sudah bilang ke Papa soal perasaan aku ke Kak Vier," ucapnya pelan.Almaira sontak membelalak. "Apa?""Iya. Aku sudah bilang ke Papa kalau aku suka Kak Vier. Papa kasih restu. Papa bilang, Papa mau membicarakan hal ini dengan Kak Vier."Almaira justru mematung di tempat. Entah kenapa udara menjadi sulit dihirup. Sesak sekali. "Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Almaira."Doakan, ya, Kak. Semoga Kak Vier mau menikah sama aku." Chyara menggenggam kedua tangan Almaira.Almaira tidak menjawab. Pandangannya lurus ke dep"Ke-kenapa Kak Vier mau melamarku?"Xavier membasahi bibir bawahnya. "Karena ... yang aku cintai itu kamu, Mai."Almaira tertegun. Waktu seolah-olah ikut berhenti. Aktivitas di sekelilingnya tidak Almaira hiraukan. Dia hanya fokus menatap pria yang duduk di meja samping sana. Pria yang baru saja menyatakan cinta kepadanya."A-aku?" Almaira menunjuk dirinya sendiri, setelah pulih dari keterkejutan luar biasa."Iya. Aku cinta kamu." Xavier mengulangi ucapannya. Sudah tidak ada jalan lagi untuk mundur. Xavier juga tidak ingin terus memendam perasaannya yang semakin menggebu setiap kali melihat Almaira."Tidak mungkin, kan?" Almaira masih tidak bisa percaya. Xavier, teman bertengkarnya saat kecil, mengaku mencintainya."Kenapa?""Kita ini sudah seperti saudara," jawab Almaira."Kita tidak memiliki hubungan darah, Mai. Chy juga menyukaiku, kan? Tapi, yang aku cinta itu kamu."Almaira menelan ludah. "Kak Vier
"Kenapa aku harus mempertimbangan lamaran dari Kak Shaka? Tunggu dulu. Memangnya Papa kenal dia?"Ardhan duduk di kursi kerjanya. "Shaka adalah laki-laki terakhir yang melamar kamu pada Papa bulan lalu."Shaka tidak mengatakan soal itu kepada Almaira saat mereka bertemu di kafe. Sudah tahu ditolak, masih berusaha juga. Shaka juga berlagak tidak tahu apa-apa soal Almaira. Ternyata sudah mengajukan lamaran lebih dulu kepada Ardhan.Entah apa maksud Shaka. Mungkin dia lupa. Almaira tidak ingin memusingkannya karena jawaban dia tetap sama. "Aku tidak mau, Pa.""Kenapa, Mai? Shaka laki-laki yang baik. Papa sudah mengutus orang untuk mengawasinya. Dia tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan.""Apa Papa juga menyadap CCTV yang ada di rumahnya?""Tidak sampai seperti itu jugalah.""Ya sudah." Almaira mengedik."Kalau kamu mau Papa memata-matai Shaka sampai ke rumahnya. Papa bisa melakukannya untuk kamu."Aduh
"Sekarang waktu dan tempatnya tidak tepat, Kak.""Kita bisa keluar sebentar."Almaira menoleh Chyara yang celingak-celinguk. Bisa gawat jika Chyara melihatnya sedang bersama Xavier."Baiklah. Ayo."Keduanya lantas keluar dari aula. Mereka mencari tempat yang nyaman, tetapi masih ada orang."Jadi bagaimana, Mai?" Xavier sangat tidak sabar ingin tahu jawaban dari Almaira.Almaira menghela napas. Dadanya kembali sesak. Perempuan itu lalu menggeleng pelan. "Aku ... menolak." Ucapannya itu tidak hanya melukai Xavier. Namun, dirinya sendiri juga ikut merasakan patah hati.Xavier membasahi bibir. Melihat reaksi Almaira saat di kafe, Xavier sempat yakin Almaira akan menerimanya. Maka dari itu dia memberanikan diri mengakui perasaannya kepada Ardhan.Xavier juga sempat yakin Ardhan akan merestuinya mengingat Ardhan sendiri yang menyampaikan soal rasa suka Chyara dan keinginannya memiliki hubungan dengan Xavier. Namun, Ar
Ardhan langsung menoleh Almaira. Dari tatapannya, dia mengiba agar Almaira tidak memberi tahu Chyara.Almaira mengepalkan tangan. Teringat janji jika dia tidak akan bertengkar dengan Chyara gara-gara cinta dan pria."Siapa?" Chyara mengernyit."Teman sekolahnya dulu," jawab Almaira. Dia tidak benar-benar berbohong karena Almaira dan Xavier pernah satu sekolah meskipun sebentar."Di Surabaya? Atau di Birmingham?""Di hadapan kamu," batin Almaira. Perempuan itu mengedik. "Kalau itu aku belum tahu.""Masih ada kemungkinan kalau Kak Vier membual."Ya ampun! Dasar kepala batu! Almaira sudah kehabisan akal."Aku tidak membual," ucap Xavier yang tiba-tiba muncul di rumah Ardhan.Semua pasang mata membelalak melihat kehadirannya. Bukan karena Xavier, melainkan kehadiran seorang perempuan yang datang bersama pria itu."Kenalkan, namanya Tamara. Ara, ini keluarga angkatku."Perempuan bernama Tam
"Loh, itu Papa. Papa terlihat baik-baik saja," ucap Chyara yang menemukan Ardhan sedang menelepon seseorang."Papa memang baik-baik saja," ujar Ardhan sambil menyerahkan ponselnya ke Lova."Terus siapa yang sakit?" tanya Almaira."Shaka."Almaira sontak mengernyit.Ardhan lalu menjelaskan jika Shaka masuk rumah sakit karena menolongnya. Ardhan tadi pergi ke ATM untuk mengambil sejumlah uang cash. Saat dia selesai dengan urusannya, tiba-tiba Ardhan dihampiri perampok yang menodongkan senjata.Shaka kebetulan ada di sana, ingin mengambil uang juga. Dia langsung bereaksi menghadang perampok itu. Namun, Shaka harus merelakan dirinya terluka. Dia mendapatkan luka tusuk di perut.Lova seketika teringat kejadian bertahun-tahun lalu saat Ardhan mengalaminya juga. "Bagaimana keadaan Shaka sekarang?" tanya Lova khawatir."Shaka harus dioperasi. Tusukan itu mengenai organ vitalnya."Lova refleks menutup mulut. Dia
"Saya terima nikah dan kawinnya Almaira Lovely Nuraga bin--" Xavier langsung menghentikan ucapannya ketika sadar dia salah sebut nama.Pria itu menggigit bibir bawah. Di dalam hati merutuki kebodohan sendiri. Yah, mau bagaimana lagi? Di dalam pikirannya dia terus membayangkan Almaira. Maka tidak heran jika nama perempuan itu yang keluar dari mulutnya.Sontak saja para saksi terperanjat, lalu melihat kiri dan kanan mencari tahu dari orang sebelah jika pendengaran mereka tidak salah."Vier, kamu mau mempercepat kepergian Ayah?" bisik Tamara menahan kesal.Xavier menelan ludah. Menyebut nama perempuan lain saat ijab kabul tentu kesalahan yang sangat fatal. Tidak tanggung-tanggung, Xavier menyebut nama lengkap Almaira."Siapa itu Almaira?" tanya ibunya Tamara."Almaira adalah adiknya Xavier. Hari ini Almaira tidak bisa datang karena suatu alasan. Mungkin karena itu Xavier jadi kepikiran," ucap Tamara memberi penjelasan sambil melirik
"Kak Vier," panggil Chyara begitu melihat pria itu keluar dari gedung kantor."Chyara? Ada apa?" tanya Xavier sedikit waspada. Dia khawatir Chyara masih berusaha mengejar cintanya."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.""Soal apa, ya?" Xavier menggaruk tengkuk yang tidak gatal."Kak Mai.""Maira kenapa?"Chyara bisa melihat ekspresi Xavier yang berubah saat nama kakaknya disebut. "Jadi Kak Vier mau bicara dengan aku atau tidak?"Xavier menelan ludah. "Oke.""Tapi aku tidak mau mengobrol sambil berdiri. Ayo, pindah."Keduanya lalu pergi ke kedai kopi terdekat."Kenapa dengan Maira?" tanya Xavier khawatir."Kemarin Kak Mai demam. Tapi sekarang sudah mendingan," jawab Chyara.Xavier menghela napas lega. Syukurlah jika Almaira sudah membaik.Chyara lalu bertanya, "Kak Vier sungguhan mencintai Kak Tamara?"Xavier sontak mengerutkan kening. "Apa maksud kamu?"
Almaira tidak percaya jika Xavier berniat balas dendam. Chyara murni menyukainya, tanpa Xavier yang menggoda. Sedangkan Almaira sudah menyimpan perasaan itu sedari lama, hanya saja baru menyadarinya."Kak Vier tidak mungkin seperti itu." Almaira bergumam sambil mengemudikan mobil.Hari ini dia pergi bekerja. Ada banyak tanggung jawab yang harus Almaira jalani. Sedihnya cukup sebentar saja. Ah, tidak. Sakit di hatinya masih ada. Namun, Almaira berusaha bangkit dari keterpurukan. Hidup tidak akan selamanya bahagia, juga tidak akan selamanya sengsara.Perempuan itu tersenyum. Dia berdoa untuk kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan keluarga dan orang-orang yang dia sayangi, termasuk Xavier.Namun, tetap saja, senyum Almaira perlahan memudar saat dia melihat Xavier dan Tamara di mobil sebelah saat lampu merah. Mereka mengobrol akrab, sambil Tamara menyuapi suaminya sesuatu."Oke, tenang, Almaira. Ini memang menyakitkan, tapi kamu bisa melewatinya