Rania terduduk di kursi kerjanya. Masih terngiang jelas adegan serta posisi panas Bastian dan Maya di ruang direktur utama. Walau hanya sekilas, namun cukup membekas dan menyakitkan di hati Rania.
“Ada apa, Ran?” tanya Laura—rekan kerja Rania sekaligus sahabat baik wanita itu.
Rania bergidik, “A—aku nggak apa-apa kok. Tadi niatnya aku mau antar file ke ruangan pak Bastian untuk ditanda tangani. Tapi nggak tahunya di dalam ada bu Maya.”
“Lho, bukannya tadi kamu lihat kalau bu Maya datang dan masuk ke ruangan itu? Kamu ketemu sama bu Maya’kan?” tanya Laura.
“Iya tapi aku nggak nyangka kalau—. Ah, lupakan saja.” Rania mencoba menghindari Laura.
“Rania, kamu mau kemana?” tanya Laura.
Rania tidak menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya berjalan menuju lift. Susah payah Rania menahan air mata, karena di dalam lift ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lagi yang ada di sana, menuju lantai yang berbeda.
Rania sendiri menuju lantai paling atas. Rooftop, itu adalah tempat tujuan wanita itu. Ada sebuah spot di sana yang menjadi tempat persembunyian Rania. Ia biasa menghabiskan waktunya di sana seraya merenung. Entah apa saja yang ia pikirkan.
Setiap Rania Ada masalah, ia akan selalu ke sana. Menyandarkan punggung ke dinding sebuah sudut di rooftop salah satu hotel berbintang lima milik Bastian.
Tempat itu menjadi saksi, betapa indahnya cinta masa muda Rania dan Bastian dulunya. Cinta yang sudah terajut sejak mereka berdua duduk di bangku kuliah yang sama.
Namun sayang, perbedaan status sosial membuat hubungan keduanya tidak bertahan. Maya menang, ia berhasil merebut Bastian dari pelukan Rania. Dengan kuasa yang ia miliki, dan hubungan bisnis orang tuanya dengan keluarga Bastian, membuat langkahnya begitu mulus dan halus. Ia mengabaikan persahabatan yang ia rajut sedari awal dengan Rania.
Rania terduduk di sana. Berjongkok seraya memuntahkan lahar dingin sejadi-jadinya. Jauh dalam lubuk hati terdalam Rania, masih ada cinta untuk Bastian. Sampai sekarang, belum ada satu pun lelaki yang berhasil masuk ke dalam relung hati itu. Hati Rania masih saja terkunci, berharap keajaiban akan datang dan ia kembali bisa merengkuh cintanya.
Namun sayang, dua minggu lagi Bastian akan menikah dengan Maya. Bahkan ia harus melihat posisi serta adegan panas yang tidak mampu ia hilangkan dari otaknya.
Tidak, Ran! kamu tidak boleh lemah seperti ini. Dia saja bisa bahagia, kenapa kamu tidak? Buat apa kamu membuang air matamu untuk lelaki yang sama sekali tidak mau memperjuangkanmu? Bahkan ia memperlakukan dirimu semena-mena selama ini?
Ran, jangan kamu buang sia-sia air mata itu. Air mata itu sangat berharga. Berhenti menangis, dan tetaplah terlihat kuat di depan mereka. Kamu jangan sampai lemah, apa lagi menyerah. Ingat, masih banyak lelaki lain yang jauh lebih baik dari Bastian. Jadi hentikan semua ini!
Rania seakan diingatkan oleh seseorang. Itu adalah kata hatinya sendiri. Sisi lain dari dirinya.
Rania segera menyeka mata, memastikan kalau tidak ada bekas air mata lagi di pipinya. Rania kembali melangkahkan kaki, meninggalkan rooftop yang penuh kenangan. Ciuman pertama yang ia lakukan dulunya bersama Bastian, terjadi di sana.
Sepanjang perjalanan menuju toilet kantor, janji-janji manis Bastian dulu, kembali terngiang di kepala. Sulit dan sangat sulit untuk dihilangkan. Seolah semua itu sudah merekat kuat di otak Rania.
Rania segera membersihkan wajahnya dengan air. Memastikan tidak ada bekas air mata, lalu ia pun berniat kembali ke meja kerja untuk memperbaiki riasannya.
“Dari mana saja kamu?” ketus Maya yang saat ini sedang berpapasan dengan Rania.
“A—aku, aku dari toilet.” Rania agak tergagap.
Maya bersedekap. Ia memandang Rania dengan tatapan sinis seraya berjalan mengellilingi wanita itu.
“Kamu lihat sendiri’kan, Bastian itu adalah milikku. Ia tidak pernah tahan setiap bertemu denganku. Kami pasti akan selalu bercinta dimana pun kami bertemu.” Maya bersikap sangat sombong.
“Itu bukan urusanku. Lagi pula Bastian adalah tunanganmu. Dua minggu lagi kalian akan menikah. Aku ucapkan selamat atas itu.” Rania berusaha bersikap santai.
“Rania, sudah aku katakan, bekerja di sini kamu harus siap menerima sakit hati. Aku tidak tahu, apa niatmu sebenarnya bekerja di sini. Aku rasa kau berusaha mencoba menarik perhatian Bastian lagi, iya’kan?” Kembali, Maya melontarkan pertanyaan yang sangat menyakitkan.
“Aku ditawarkan bekerja di sini, bukan aku yang melamar. Aku harap kamu tidak lupa. Aku bekerja di sini karena prestasi, bukan karena adanya orang dalam,” tegas Rania
“Cuih, munafik sekali! Kalau memang tidak ada udang dibalik batu, kamu bisa saja menolaknya’kan?” Maya hampir saja tersulut emosi.
“Bodoh sekali aku menolak pekerjaan bagus dengan gaji yang lumayan.” Rania mencoba membalas tatapan Maya.
“Tapi setelah aku pikir-pikir tidak ada salahnya juga sih. Jadi kamu tahu betapa romantisnya hubunganku dengan Bastian. Aku ulangi lagi, Bastian sangat mencintaiku. Bahkan ia tidak akan pernah tahan setiap bertemu denganku. Kamu bisa melihatnya sendiri, bukan? Bastian itu sangat panas dan menggairahkan.” Lagi-lagi Maya berusaha memancing emosi mantan sahabatnya itu.
“Jangan menggumbar isi dapur sendiri, Bu Maya. Apa anda tidak malu mengatakan hal itu pada orang lain? Apa lagi pada bawahan anda sendiri? Ingat, pelakor merajalela di bumi ini. Kalau tidak mau menyesal, sebaiknya anda tahan ucapan anda.” Rania menekan setiap intonasi kata yang ia ucapkan. Bahkan saat ini ia posisikan dirinya adalah bawahan Maya, bukan mantan sahabat.
Rania mencoba melangkahkan kaki, meninggalkan Maya dan mengaikan wanita itu. Tapi sayang, Maya malah menarik rambut panjang Rania dengan kuat lalu mengatakan sesuatu di telinga Rania.
“Apa kamu berniat jadi pelakor?” lirih Maya.
Rania menyentak lembut tangan Maya dari rambutnya, “Harga diriku terlalu tinggi, Bu. Aku tidak akan mengorbankan harga diriku hanya untuk laki-laki seperti Bastian. Anda lupa, masih banyak lelaki lain yang jauh lebih baik dari tunangan anda itu. Jadi buat apa aku mengorbankan diri dan masa depanku hanya untuk seorang lelaki pengecut seperti itu. Jujur saja, aku pun tidak mau menerima bekas anda. Terlalu menjijikkan!” tegas Rania. Wanita itu pun segera menekan langkah, meninggalkan Maya menuju ruang kerjanya.
Sial! Sombong sekali dia. Dia lupa siapa dia. Posisinya di sini hanya sebagai babu perusahaan. Rania, lihat saja nanti. Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membuatmu menyesal karena sudah mengatakan hal itu padaku. Maya membatin seraya meninggalkan tempat itu.
Siapa sangka, saat ini pun telinga seseorang tengah memerah setelah diam-diam mendengarkan percakapan panas antara Maya dan Rania. Baik Rania maupun Maya tidak menyadari kalau ada sepasang telinga yang mendengar mereka. Ada sepasang mata yang meihat dan memerhatikan mereka. Hingga keduanya terpisah dan pergi ke arah yang berlawanan arah.
Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletak
Jakarta, kediaman Maya.Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
“Ran, kamu baik-baik saja?” tanya Farel. Kening pria itu sedikit mengernyit sebab ia lihat wajah Rania lemah dan semakin sayu.Rania berusaha tersenyum seraya mengangguk, “Mas, kita pulang sekarang yuk.Farel mengangguk, “Bagaimana dengan hasilnya? Kata dokter kamu sakit apa?”“A—aku ... Aku nggak kenapa-kenapa kok, Mas. Aku hanya kecapekan saja. Tekanan darahku juga lagi rendah, makanya sangat drop. Aku mau istirahat, Mas. Aku mau pulang,” ucap Rania.“Iya ... Aku akan antar kamu pulang. Tapi sebelumnya kita mampir ke restoran dulu ya,” ucap Farel.Rania menggeleng, “Aku benar-benar butuh istirahat, Mas.”“Maksud aku bukan makan di sana. Tapi aku mau beliin kamu makanan untuk kamu makan nanti di apartemen.” Farel tersenyum.“Nggak usah, Mas. Lagian di rumah makanan lagi banyak kok. Jihan sedang tidak di rumah, jadi makanannya nggak ada yang makan. Aku juga tidak berselera,” balas Rania.Farel menghela napas, “Baiklah ... Kali ini aku tidak akan memaksa. Aku akan mengantarmu pulang.”F
“Nggghh ....”Suara lenguhan keluar dari bibir Rania ketika Bastian mulai menyapu lehernya dengan kecupan yang lebih panas lagi. Desahan itu semakin terdengar jelas ketika bibir basah seorang pria mulai menggelitik bahkan menggigit lembut daun telinga Rania.Bibir bastian menari-menari di leher dan daun telinga Rania, sementara tangannya mulai melepas sendiri celananya, membuat rongga yang luar biasa hingga sebuah benda yang mulai menegang merasa lega.Bastian mendorong lembut tubuh Rania hingga rebah ke atas ranjang. Melepas rok span yang dikenakan wanita itu, lalu menarik paksa segi tiga pengaman milik Rania. Basah, itulah yang terasa di tangan Bastian ketika menyentuh segitiga pengaman milik Rania.Tidak lama, sebuah benda mulai memaksa masuk ke dalam tubuh Rania. Sesuatu yang membuat rasa sakit dan nyeri menguasai bagian bawah miliknya.“Auuhh ... sakit ...,” lirih Rania. Ia berusaha mendorong tubuh kekar itu.“Jangan ...,” ucapnya lagi. Rania sadar kalau semua ini tidak boleh ter