Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.
Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.
“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.
“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.
“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.
“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.
“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.
Inaya sedikit gemetar. Tanpa mengatakan apa pun, ia segera meninggalkan Rania dan Farel di sana.
“Mas, terima kasih sudah membantuku,” ucap Rania. Ia menyentuh bokongnya. Bokong itu terasa sakit sebab terhempas keras ke lantai ketika Inaya mendorong tubuhnya.
Farel tersenyum, “Mau aku antar pulang?” tawarnya.
Rania menggeleng, “Aku naik taksi saja.”
“Ini adalah perintah, jadi kamu tidak boleh menolaknya,” ucap Farel.
“Aku nggak mau ngerepotin, Mas,” ucap Rania.
“Justru aku akan tersinggung kalau kamu menolaknya.” Farel tetap memaksa.
“Tapi nanti ada yang marah lo.” Rania terkekeh ringan.
“Siapa?” tanya Farel.
“Fansnya kamu, Mas. Yang selama ini menaruh hati sama kamu, tapi sayangnya selalu kamu cuekin,” jawab Rania.
“Inaya?” Farel mengernyit.
Rania mengangguk.
“Sudah berapa kali aku katakan kalau aku nggak suka sama dia. Kenapa sih dia ngotot banget. Kayak nggak ada laki-laki lain saja.” Farel berdecak.
“Namanya udah cinta, mau gimana lagi, Mas. Tapi kenapa sih kamu nggak mau sama Inaya, Mas. Inaya’kan cantik lo. Seksi lagi,” ucap Rania.
“Itu karena aku maunya sama kamu saja. Nggak mau sama yang lainnya.” Farel meraih tangan kanan Rania. Ia kembali menggenggam tangan itu dengan lembut.
“Kamu ini, Mas. Udah ah, pulang yuk.” Rania melepaskan tangannya dari genggaman Farel lalu berjalan mendekat ke arah meja kerja dan meraih tas selempang masih terletak di atas meja.
“Sebelum pulang, aku mau ajak kamu makan malam dulu,” ajak Farel.
“Tapi ini masih sore, Mas. Lagian aku juga masih kenyang.” Rania berusaha menolak.
“Kalau gitu kita ngopi aja dulu sembari menunggu waktu makan malam.” Farel masih berusaha membujuk agar Rania mau menerima ajakannya.
“Tapi aku capek, Mas. Lain kali saja ya.” Rania masih berusaha menolak.
“Baiklah, kali ini aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan beli makanan buat kamu untuk kamu makan malam nanti,” ucap Farel.
“Nggak usah, Mas. Lagian aku jarang makan malam.” Lagi-lagi Rania masih menolak.
“Kali ini aku tidak menerima penolakan,” tegas Farel.
Rania menghela napas, “Baiklah ... Bisa kita pulang sekarang?”
Farel mengangguk. Kembali ia raih tangan kanan Rania lalu ia genggam dengan lembut.
Rania berusaha melepaskan genggaman tangan itu, namun sayangnya Farel menahannya hingga pada akhirnya Rania membiarkan Farel menggandengnya seraya meninggalkan kantor salah satu hotel bintang lima di Jakarta.
Sepeninggal Farel dan Rania, seseorang kini berdiri tepat di tempat Rania tersungkur tadi. Ia memerhatikan gerak langkah kaki Farel dan Rania dengan perasaan kesal dan marah.
***
Kota Jakarta, kediaman Maya.
Inaya turun dari taksi, lalu melangkah masuk ke gerbang rumah Maya. Rumah yang sangat megah dan mewah. Berlantai tiga dengan eksterior modern dan halaman yang sangat luas.
Setelah mendapatkan izin dari satpam yang menjaga rumah Maya, Inaya pun masuk ke dalam rumah. Ia dudukkan bokongnya di salah satu sofa mewah yang terdapat di ruang tamu rumah itu.
“Mau apa kamu menemuiku malam-malam begini, Inaya?” tanya Maya. Wanita yang kini mengenakan dress mini tanpa lengan itu duduk bersilang kaki di atas sebuah sofa di ruang tamu rumahnya.
“Bu, saya mau minta tolong,” ucap Inaya tanpa basa basi.
“Memangnya apa yang kamu inginkan?” tanya Maya.
“Bu, saya ingin ibu memecat Rania dari kantor,” ucap Inaya.
“Kenapa saya harus melakukan hal itu?” tanya Maya.
“Itu karena Rania sudah merebut Farel dari saya. Hubungan Rania dan Farel semakin dekat. Saya cemburu, Bu,” jujur Inaya.
“Hubungannya dengan saya apa?” tanya Maya.
“I—itu ....” Inaya tergagap.
“Inaya, tolong jangan bawa-bawa urusan pribadi ke pekerjaan. Kalau kamu memang suka sama Farel, rebut dong. Jangan malah memerintah saya. Saya ini adalah calon pemilik The Lion Hotel, jadi tidak pantas kamu memerintah saya untuk memecat seseorang yang tidak ada urusannya dengan saya,” tegas Maya.
“Tapi Ibu’kan juga nggak suka sama Rania? Lalu kenapa ibu masih mempertahankan dia di kantor?” Inaya kembali percaya diri.
“Itu urusan saya, bukan urusan kamu. Jadi kamu jangan terlalu ikut campur. Jangan mentang-mentang kamu jadi suruhan saya, lalu kamu seenaknya memerintah saya.” Maya meluruskan ke dua kakinya. Ia ambil gelas berisi minuman dingin di atas meja lalu ia tenggak minuman itu dengan nikmat.
Inaya kembali tertunduk, “Ma—maaf’kan saya, Bu. Saya tidak bermaksud demikian.”
“Apa ada lagi yang ingin kamu sampaikan? Kalau tidak ada, sebaiknya kamu pergi sekarang. Saya masih ada urusan.” Maya berdiri lalu pergi begitu saja meninggalkan Inaya yang masih duduk dengan sopan di salah satu sofa menuju taman belakang rumahnya.
Inaya terdiam sesaat. Keluar kata umpatan dari mulutnya dengan suara tertahan. Merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan di sana, Inaya pun menekan langkah meninggalkan kediaman Maya. Rencananya untuk menyingkirkan Rania gagal total.
“Mau apa wanita itu ke sini?” tanya Ami.
“Dia memintaku memecat Rania,” jawab Maya.
“Memangnya siapa wanita tadi? Kenapa dia memintamu memecat Rania?” Ami begitu penasaran dengan pernyataan sang anak.
“Dia itu hanya karyawan Bastian, Mi. Sepertinya Farel suka sama Rania, jadi dia cemburu.” Maya berdecak.
“Farel? Farel anaknya Baskoro? Dia itu’kan sepupunya Bastian?” Tanya Ami.
“Iya ... Sepupu kampungan yang sudah dipungut dari desa dan di sekolahkan di sini sama mami dan papinya Bastian. Tapi bagus juga sih kalau Farel suka sama Rania. Mereka berdua memang cocok. Sama-sama kampungan. Sama-sama berasal dari keluarga rendahan.” Maya mendudukkan bokongnya di salah satu kursi santai tepat di depan kolam renang.
Tiba-tiba saja, ponsel Maya berdering. Ada panggilan suara dari Nora—ibunda Bastian. Dengan senyum sumringah, Maya langsung mengangkat panggilan suara itu.
“Selamat malam, Mami cantik,” ucap Maya lembut.
“Malam, Sayang ... Kamu sibuk nggak?” tanya Nora dari balik panggilan suara.
“Nggak, memangnya kenapa, Mi?” tanya Maya.
“Mami mau ajakin kamu ke butiknya Haslen. Mami mau fitting baju untuk acara pernikahan kamu dan Bastian nanti. Bastian katanya sibuk, nggak bisa temani mami. Papi juga sedang di luar kota. Kamu bisa nggak temani mami malam ini?” tanya Nora.
“Bisa. Sebentar ya, Mi. Aku mau ganti baju dulu.” Maya menyanggupi ajakan sang calon ibu mertua.
“Iya, Sayang ... Mami tunggu lo. Nanti kalau kamu sudah selesai, kabari saja. Biar mami yang menjemput ke sana,” ucap Nora.
“Iya, Mi. Aku siap-siap dulu ya,” ucap Maya.
“Iya, Sayang. Mami matiin dulu ya. Nanti kalau kamu sudah selesai, kabari mami. Selamat malam, Sayang ....” Nora mengakhiri percakapannya.
“Malam, Mami,” balas Maya dan panggilan suara itu pun terputus. Kembali senyum sumringah terpatri di bibir wanita dua puluh enam tahun itu.
“Mi, aku mau ke atas dulu ya. Maminya Bastian ngajakin aku ke butiknya Haslen, katanya mau fitting baju. Jadi aku mau siap-siap dulu.” Maya pamit pada sang ibu.
“Iya, Sayang ... Kamu memang harus merebut hati dan perhatiannya orang tua Bastian agar mereka mau mewariskan seluruh kekayaan Pramudista padamu,” ucap Ami dengan senyum miringnya.
“Tentu dong, Mi. Aku mau siap-siap dulu ya, Mi. Selamat malam.” Maya mendekati sang ibu, memeluknya lalu mendaratkan pipi kanan dan pipi kirinya ke kedua pipi sang ibu.
“Malam, Sayang.” Ami membalas.
Hallo ^_^ Makasih ya sudah mampir. Mohon supportnya dengan cara like dan komen cerita ini, terus follow juga akun aku ya. Insyaa Allah nanti aku akan adakan GIVE AWAY ketika bab cerita ini sudah mecapai 10 atau 15 bab. So, ikuti aku ya agar nggak ketinggalan info terbarunya. Insyaa Allah update SETIAP HARI antara jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Makasih, KISS ^_^
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
“Ran, kamu baik-baik saja?” tanya Farel. Kening pria itu sedikit mengernyit sebab ia lihat wajah Rania lemah dan semakin sayu.Rania berusaha tersenyum seraya mengangguk, “Mas, kita pulang sekarang yuk.Farel mengangguk, “Bagaimana dengan hasilnya? Kata dokter kamu sakit apa?”“A—aku ... Aku nggak kenapa-kenapa kok, Mas. Aku hanya kecapekan saja. Tekanan darahku juga lagi rendah, makanya sangat drop. Aku mau istirahat, Mas. Aku mau pulang,” ucap Rania.“Iya ... Aku akan antar kamu pulang. Tapi sebelumnya kita mampir ke restoran dulu ya,” ucap Farel.Rania menggeleng, “Aku benar-benar butuh istirahat, Mas.”“Maksud aku bukan makan di sana. Tapi aku mau beliin kamu makanan untuk kamu makan nanti di apartemen.” Farel tersenyum.“Nggak usah, Mas. Lagian di rumah makanan lagi banyak kok. Jihan sedang tidak di rumah, jadi makanannya nggak ada yang makan. Aku juga tidak berselera,” balas Rania.Farel menghela napas, “Baiklah ... Kali ini aku tidak akan memaksa. Aku akan mengantarmu pulang.”F
Rania terduduk di lantai tepat di depan pintu unit apartemen. Punggungnya ia sandarkan ke pintu sementara tangannya tergeletak begitu saja di atas lantai.Rania menangis. Sepeninggal Farel, wanita itu memang tidak mampu mengendalikan dirinya. Air mata yang memang sudah memaksa keluar dari tadi, akhirnya tumpah ruah. Rania terisak, sendiran di sana.Kenapa harus aku? Lirih Rania.Rania melirik gelang giok hijau yang masih melekat cantik di pergelangan tangannya. Rania buka gelang itu lalu ia tatap seraya ia elus dengan lembut. Rania menyesal, menyesal sudah mengecewakan sang ibu yang kini berada di desa Lembang. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.Masih dalam keadaan terisak, Rania mengelus perutnya yang masih datar. Terlintas sejenak pikiran buruk di hatinya. Membuang anak itu dan kembali menjalani kehidupan yang normal di kota Jakarta.Namun tiba-tiba Rania tersadar. Anak itu sama sekali tidak bersalah, jadi ia tidak pantas menerima hukuman seberat itu. Apa lagi sampai dibuang kar
Perlahan, Rania melepaskan tangannya dari genggaman Farel tanpa menoleh ke arah pria itu. Rania tetap melangkahkan kakinya. Ia seka air matanya yang masih saja tumpah ruah, lalu ia pun segera masuk ke dalam taksi online yang sudah ia pesan.Farel terdiam. Ia tidak ingin memaksakan diri. Ingin rasanya Farel menyusul Rania saat ini juga, namun Farel sadar jika Rania juga butuh privasi. Ia pun membiarkan wanita itu pergi, masuk ke dalam taksi online dan menghilang dari pandangannya.“Sesuai aplikasi, Kak?” tanya sang sopir taksi.“Iya, Mas,” balas Rania.Sang sopir taksi memerhatikan Rania lewat pantulan kaca spion yang ada di atas kepalanya.“Kakaknya menangis?” tanya sang sopir taksi.Rania gelagapan. Segera ia seka air matanya dengan telapak tangan kanannya.Sang sopir taksi meraih kotak tisu yang terletak di atas dashboard mobil. Ia ambil kotak tisu itu lalu ia berikan kepada Rania.“Terima kasih,” ucap Rania.“Seberat apa pun masalah kita, harusnya kita tidak terlalu membuang-buang a
Rania sudah sampai di dalam gerbong salah satu kereta api yang akan membawanya ke stasiun Bandung. Ia dudukkan bokongnya di salah satu bangku dengan nomor yang sama dengan nomor tiket yang ia miliki.Rania menghela napas. Ia tatap kota Jakarta yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Rania sudah memutuskan akan melanjutkan hidupnya di tanah kelahirannya—desa Lembang. Setidaknya, itulah yang Rania tahu. Apakah ada rahasia lain atau tidak, Rania belum mengetahuinya.“Kamu Rania’kan?” tanya seseorang yang kini duduk tepat di hadapan Rania. Seorang wanita berhijab yang memerhatikan Rania sejak mendudukkan bokongnya di kursi.Rania yang tadinya melamun, memutar wajahnya. Ia tatap wanita manis yang ada di hadapannya.“Hana?” tanya Rania dengan sedikit mengernyit. Ia tidak yakin tapi ia berusaha menebak.Sang wanita tersenyum, “Iya, aku Hana. Masa kamu sudah lupa saja? Kita satu SD lo dulunya,” ucap wanita bernama Hana.“Oiya, maaf ... Soalnya sekarang penampilan kamu sudah berbeda. Makanya ak
The Lion Hotel Jakarta.Bastian melangkahkan kakinya, masuk ke dalam ruangan pribadinya. Di atas meja, ia lihat ada sebuah buket bunga. Ia ambil buket itu lalu ia baca.Selamat atas proyek barunya, Sayang.Begitulah tulisan yang tertera di kartu ucapan yang terdapat pada buket bunga.Bastian sudah bisa menebak kalau buket bunga itu dari maya—istrinya. Bastian mengambil buket itu, lalu meletakkannya di meja berbeda. Tidak terlihat perasaan senang di hatinya.Tidak lama, bel berbunyi. Bastian meraih remot lalu membuka pintu itu secara otomatis. Pintu terbuka, seorang pria pun melangkah masuk dengan dokumen di tangannya.“Maaf, Pak,” ucap Farel sopan. Ia letakkan dokumen yang ada di tangannya di atas meja.“Duduk!” perintah Bastian.Farel mengangguk. Pria itu pun mendudukkan bokongnya di kursi yang ada di depan Bastian.“Pak, kenapa anda menyuruh saya membawa semua dokumen ini ke sini?” tanya Farel.“Rania mengundurkan diri. Jadi proyek tersebut kamu yang akan ambil alih,” ucap Bastian.“
Di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, Maya duduk dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian, Ronald masuk, mengenakan kemeja santai. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti tidak ada beban yang menghantuinya.“Kamu terlambat,” ujar Maya ketus saat Ronald mendekatinya.Ronald hanya tersenyum tipis, duduk di hadapan Maya dengan santai. “Santai saja, Sayang. Jadi, ada apa kali ini?”Maya mendesah berat, memutar cangkir kopinya tanpa minat. “Bastian sudah tahu. Dia mulai menyelidiki semuanya. Aku yakin dia sudah punya bukti cukup kuat soal dana yang aku selewengkan.”“Lalu?” Ronald bertanya santai, menyandarkan punggungnya di kursi.Maya menatap Ronald dengan tajam. “Kamu tidak takut sama sekali? Kalau aku kena, kamu juga pasti terseret. Aku bisa saja memberitahu Bastian semuanya.”Ronald tertawa keci
Malam itu, rumah besar Bastian terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam yang terdengar samar, mengiringi langkah pria itu memasuki ruang kerjanya. Pintu kayu besar berderit pelan saat Bastian menutupnya, seolah menyegel dirinya dari dunia luar. Dengan gerakan yang kasar, ia menjatuhkan dirinya di kursi kebesaran di belakang meja kerja. Tatapan matanya kosong, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Rania dan tawa kecil Bintang. Naluri di hatinya berkecamuk, memunculkan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. “Bintang…” gumamnya, hampir seperti bisikan. Ada sesuatu yang ia rasakan saat melihat bocah itu—sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menggenggam sisi meja kerjanya dengan erat, mencoba menenangkan diri. Tapi, semakin ia berusaha, semakin kuat amarah yang meluap di hatinya. Ia marah karena Rania telah menikah dan memiliki anak tanpa pernah memberi tahu dirinya, tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat pikirannya tak tenang—naluri emosional yang begitu mendalam
Setelah percakapan emosional di taman belakang, Nora dan Maya kembali ke ruang makan. Prakas dan Bastian masih terlihat berbincang ringan sambil sesekali menyeruput teh hangat yang tersisa. Ketika keduanya melihat kedatangan Nora dan Maya, suasana perlahan berubah lebih serius. Nora duduk di kursinya dengan anggun, sementara Maya memilih tempat yang agak berjauhan dari Bastian, berusaha menghindari tatapan tajam suaminya. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak sebelum Nora menghela napas panjang, mencoba mencairkan suasana. “Bastian, Papi…” Nora memulai dengan nada tenang. “Aku sudah berbicara dengan Maya di taman tadi. Dia mengakui kesalahannya dan benar-benar menyesal.” Bastian mendengus kecil, matanya menyipit. “Menyesal? Baru sekarang? Setelah semua bukti jelas di depan mata?” “Bastian, dengarkan dulu,” potong Nora dengan lembut. “Maya merasa tertekan. Dia merasa diabaikan olehmu, dan itu yang membuatnya bertindak di luar kendali. Mami tidak membenarkan apa yang dia lakukan, t
Siang itu, rumah megah milik keluarga Prakas terasa lebih tenang dari biasanya, meski ketegangan menggantung di udara. Di meja makan yang besar, tersaji hidangan lengkap mulai dari sup asparagus hingga steak salmon, yang semuanya tampak menggugah selera. Namun, tak satu pun dari mereka tampak benar-benar menikmati makanannya. Bastian duduk dengan ekspresi dingin di salah satu ujung meja, sementara Maya duduk di seberangnya dengan wajah yang terlihat penuh kepura-puraan. Nora, sang ibu, duduk di tengah-tengah mereka, sesekali melirik ke arah kedua belah pihak. Prakas, yang memimpin meja makan, akhirnya memecah keheningan. “Baiklah, semua sudah di sini. Mari kita makan dulu sebelum berbicara,” ujar Prakas, mencoba memberi nada netral pada situasi yang jelas tidak bersahabat. Bastian hanya mengangguk singkat. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sini, namun rasa hormatnya pada kedua orang tuanya menahan keinginannya untuk pergi. Sementara itu, Maya, dengan senyuman kecil yang tampak di
Malam mulai merangkak, dan suasana di kantor Bastian terasa tegang. Di balik pintu ruangan pribadi yang tertutup rapat, suara-suara tinggi terdengar. Bastian yang biasanya tenang dan dingin kini berbeda. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya, napasnya memburu karena amarah yang membara.“Jadi benar, Maya? Semua ini karena ulahmu?” Suara Bastian menggema di ruangan, tatapannya dingin seperti es yang siap membekukan segala sesuatu di sekitarnya.Maya duduk di kursi berlapis kulit di depannya, berusaha tetap terlihat tenang. Namun, getaran di tangannya menunjukkan sebaliknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada datar, “Bastian, kamu salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya.”“Jangan berani-berani memutarbalikkan fakta, Maya!” Bastian membentak, suaranya penuh kekerasan. Ia memukul meja dengan keras, membuat berkas-berkas yang ada di atasnya melompat kecil. “Semua bukti menunjukkan bahwa kamu sudah menggelapkan dana perusahaan. Kamu bahkan teg
Malam itu, Bastian berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas gelap yang disesuaikan dengan sempurna. Rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya seperti biasa—tegas, dingin, tanpa ekspresi yang benar-benar terbaca. Di tengah kesibukannya memeriksa dasi, Maya muncul dari belakang. Wanita itu, dalam gaun malam yang mewah berwarna biru tua, melangkah perlahan mendekati suaminya sambil memerhatikan penampilannya.“Kau terlihat rapi sekali malam ini,” ucap Maya, nadanya terdengar datar, tapi ada sedikit nada sindiran di baliknya. “Untuk menghadiri pertunangan Farel?”Bastian menghela napas pendek, tetap memandang bayangan dirinya di cermin tanpa menoleh ke arah istrinya. “Ya. Itu penting.”“Kenapa harus begitu formal? Dia hanya—.” Maya berhenti, menelan kalimat yang ingin diucapkannya. Namun, matanya yang mencemooh berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.“Dia hanya apa?” potong Bastian, suaranya tenang, tapi tegas. Ia menoleh, memandangi Maya dengan sorot mata tajam.“Farel hanya pri
Suasana malam itu di rumah Sonya perlahan-lahan mereda dari kesibukan menjadi hening penuh keletihan yang berbalut kehangatan. Rania melepaskan ikatan rambutnya dan mengusap wajahnya yang lelah, menatap hasil kerja kerasnya bersama tim dengan perasaan bangga bercampur lega. Pesta pertunangan besok akan berjalan dengan cantik sesuai harapan, dan itu adalah buah dari kerja keras tanpa henti yang mereka curahkan sepanjang hari.“Terima kasih, Icha,” Rania berkata dengan suara lembut, menggenggam tangan gadis muda itu yang ikut bersinar dengan kepuasan. “Tanpamu, aku tidak akan sanggup melakukannya.”Icha tersenyum lelah namun bahagia. “Mbak, aku justru yang berterima kasih. Ini pengalaman luar biasa,” katanya, nada suaranya penuh kehangatan. Keduanya tertawa kecil, melepaskan sebagian beban yang mereka rasakan.Sonya, dengan mata yang terlihat berusaha keras melawan kantuk, menghampiri mereka.“Nia,” sapanya seraya memaksa matanya tetap terbuka. “Hasil dekorasimu luar biasa. Aku benar-be
Setibanya di lokasi sekitar pukul sepuluh pagi, Rania segera disambut suasana ramah dan hangat dari keluarga Sonya. Rumah berlantai satu yang terletak di tepi kota Jakarta itu akan disulap menjadi tempat pesta pertunangan yang megah dan elegan, sesuai harapan Sonya dan keluarganya. Halaman rumah yang cukup luas memberi banyak ruang bagi Rania dan timnya untuk berkreasi dengan dekorasi.Sonya dan keluarganya langsung menghampiri Rania begitu ia turun dari mobil bersama Icha, Arman, dan Doni. Senyuman merekah menghiasi wajah Sonya saat memperkenalkan Rania kepada beberapa anggota keluarganya. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka membawa Rania dan tim ke meja yang sudah dipenuhi hidangan sarapan. Makanan lezat dan minuman hangat menjadi penyambutan yang membuat Rania merasa diterima layaknya sahabat lama.“Silakan, Nia,” ujar Sonya, panggilan akrab yang digunakan Rania di kalangan orang baru. “Kalian butuh energi untuk bekerja seharian.”Rania tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sela
Hai teman-teman ... Terima kasih yang sebesar-besarnya buat teman-teman yang sudah mampir ke cerita ini dan sudah support cerita ini. Terkhusus buat teman-teman yang sudah berkenan memberikan GEM serta rating yang baik untuk cerita ini, aku ucapkan TERIMA KASIH BANYAK. Hanya Tuhan yang bisa membalas semuanya ^_^Buat teman-teman yang belum support, mohon support ya, biar aku lebih semangat lagi nulisnya. Karena tanpa support dari teman-teman semuanya, aku bukan apa-apa. LUV ... ^_^Jika teman-teman berkenan, mohon bantu share cerita ini agar lebih banyak lagi teman-teman kita yang lain yang tahu perjuangan besar Rania di cerita ini, hehehe ... Buat teman-teman yang belum ikutan GA, yuk ikutan. Kayaknya DEADLINE akan diperpanjang sampai 31 Desember 2024. Yuk bantu ramaikan GA aku ya. Silahkan mampir ke akun pesbuq aku aja ya untuk mengikuti rulesnya ^_^Akhir kata, aku ucapkan Selamat Menikmati Lanjutan Cerita ini ya.Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ^_^