Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.
Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.
“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.
“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.
“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.
“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.
“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.
Inaya sedikit gemetar. Tanpa mengatakan apa pun, ia segera meninggalkan Rania dan Farel di sana.
“Mas, terima kasih sudah membantuku,” ucap Rania. Ia menyentuh bokongnya. Bokong itu terasa sakit sebab terhempas keras ke lantai ketika Inaya mendorong tubuhnya.
Farel tersenyum, “Mau aku antar pulang?” tawarnya.
Rania menggeleng, “Aku naik taksi saja.”
“Ini adalah perintah, jadi kamu tidak boleh menolaknya,” ucap Farel.
“Aku nggak mau ngerepotin, Mas,” ucap Rania.
“Justru aku akan tersinggung kalau kamu menolaknya.” Farel tetap memaksa.
“Tapi nanti ada yang marah lo.” Rania terkekeh ringan.
“Siapa?” tanya Farel.
“Fansnya kamu, Mas. Yang selama ini menaruh hati sama kamu, tapi sayangnya selalu kamu cuekin,” jawab Rania.
“Inaya?” Farel mengernyit.
Rania mengangguk.
“Sudah berapa kali aku katakan kalau aku nggak suka sama dia. Kenapa sih dia ngotot banget. Kayak nggak ada laki-laki lain saja.” Farel berdecak.
“Namanya udah cinta, mau gimana lagi, Mas. Tapi kenapa sih kamu nggak mau sama Inaya, Mas. Inaya’kan cantik lo. Seksi lagi,” ucap Rania.
“Itu karena aku maunya sama kamu saja. Nggak mau sama yang lainnya.” Farel meraih tangan kanan Rania. Ia kembali menggenggam tangan itu dengan lembut.
“Kamu ini, Mas. Udah ah, pulang yuk.” Rania melepaskan tangannya dari genggaman Farel lalu berjalan mendekat ke arah meja kerja dan meraih tas selempang masih terletak di atas meja.
“Sebelum pulang, aku mau ajak kamu makan malam dulu,” ajak Farel.
“Tapi ini masih sore, Mas. Lagian aku juga masih kenyang.” Rania berusaha menolak.
“Kalau gitu kita ngopi aja dulu sembari menunggu waktu makan malam.” Farel masih berusaha membujuk agar Rania mau menerima ajakannya.
“Tapi aku capek, Mas. Lain kali saja ya.” Rania masih berusaha menolak.
“Baiklah, kali ini aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan beli makanan buat kamu untuk kamu makan malam nanti,” ucap Farel.
“Nggak usah, Mas. Lagian aku jarang makan malam.” Lagi-lagi Rania masih menolak.
“Kali ini aku tidak menerima penolakan,” tegas Farel.
Rania menghela napas, “Baiklah ... Bisa kita pulang sekarang?”
Farel mengangguk. Kembali ia raih tangan kanan Rania lalu ia genggam dengan lembut.
Rania berusaha melepaskan genggaman tangan itu, namun sayangnya Farel menahannya hingga pada akhirnya Rania membiarkan Farel menggandengnya seraya meninggalkan kantor salah satu hotel bintang lima di Jakarta.
Sepeninggal Farel dan Rania, seseorang kini berdiri tepat di tempat Rania tersungkur tadi. Ia memerhatikan gerak langkah kaki Farel dan Rania dengan perasaan kesal dan marah.
***
Kota Jakarta, kediaman Maya.
Inaya turun dari taksi, lalu melangkah masuk ke gerbang rumah Maya. Rumah yang sangat megah dan mewah. Berlantai tiga dengan eksterior modern dan halaman yang sangat luas.
Setelah mendapatkan izin dari satpam yang menjaga rumah Maya, Inaya pun masuk ke dalam rumah. Ia dudukkan bokongnya di salah satu sofa mewah yang terdapat di ruang tamu rumah itu.
“Mau apa kamu menemuiku malam-malam begini, Inaya?” tanya Maya. Wanita yang kini mengenakan dress mini tanpa lengan itu duduk bersilang kaki di atas sebuah sofa di ruang tamu rumahnya.
“Bu, saya mau minta tolong,” ucap Inaya tanpa basa basi.
“Memangnya apa yang kamu inginkan?” tanya Maya.
“Bu, saya ingin ibu memecat Rania dari kantor,” ucap Inaya.
“Kenapa saya harus melakukan hal itu?” tanya Maya.
“Itu karena Rania sudah merebut Farel dari saya. Hubungan Rania dan Farel semakin dekat. Saya cemburu, Bu,” jujur Inaya.
“Hubungannya dengan saya apa?” tanya Maya.
“I—itu ....” Inaya tergagap.
“Inaya, tolong jangan bawa-bawa urusan pribadi ke pekerjaan. Kalau kamu memang suka sama Farel, rebut dong. Jangan malah memerintah saya. Saya ini adalah calon pemilik The Lion Hotel, jadi tidak pantas kamu memerintah saya untuk memecat seseorang yang tidak ada urusannya dengan saya,” tegas Maya.
“Tapi Ibu’kan juga nggak suka sama Rania? Lalu kenapa ibu masih mempertahankan dia di kantor?” Inaya kembali percaya diri.
“Itu urusan saya, bukan urusan kamu. Jadi kamu jangan terlalu ikut campur. Jangan mentang-mentang kamu jadi suruhan saya, lalu kamu seenaknya memerintah saya.” Maya meluruskan ke dua kakinya. Ia ambil gelas berisi minuman dingin di atas meja lalu ia tenggak minuman itu dengan nikmat.
Inaya kembali tertunduk, “Ma—maaf’kan saya, Bu. Saya tidak bermaksud demikian.”
“Apa ada lagi yang ingin kamu sampaikan? Kalau tidak ada, sebaiknya kamu pergi sekarang. Saya masih ada urusan.” Maya berdiri lalu pergi begitu saja meninggalkan Inaya yang masih duduk dengan sopan di salah satu sofa menuju taman belakang rumahnya.
Inaya terdiam sesaat. Keluar kata umpatan dari mulutnya dengan suara tertahan. Merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan di sana, Inaya pun menekan langkah meninggalkan kediaman Maya. Rencananya untuk menyingkirkan Rania gagal total.
“Mau apa wanita itu ke sini?” tanya Ami.
“Dia memintaku memecat Rania,” jawab Maya.
“Memangnya siapa wanita tadi? Kenapa dia memintamu memecat Rania?” Ami begitu penasaran dengan pernyataan sang anak.
“Dia itu hanya karyawan Bastian, Mi. Sepertinya Farel suka sama Rania, jadi dia cemburu.” Maya berdecak.
“Farel? Farel anaknya Baskoro? Dia itu’kan sepupunya Bastian?” Tanya Ami.
“Iya ... Sepupu kampungan yang sudah dipungut dari desa dan di sekolahkan di sini sama mami dan papinya Bastian. Tapi bagus juga sih kalau Farel suka sama Rania. Mereka berdua memang cocok. Sama-sama kampungan. Sama-sama berasal dari keluarga rendahan.” Maya mendudukkan bokongnya di salah satu kursi santai tepat di depan kolam renang.
Tiba-tiba saja, ponsel Maya berdering. Ada panggilan suara dari Nora—ibunda Bastian. Dengan senyum sumringah, Maya langsung mengangkat panggilan suara itu.
“Selamat malam, Mami cantik,” ucap Maya lembut.
“Malam, Sayang ... Kamu sibuk nggak?” tanya Nora dari balik panggilan suara.
“Nggak, memangnya kenapa, Mi?” tanya Maya.
“Mami mau ajakin kamu ke butiknya Haslen. Mami mau fitting baju untuk acara pernikahan kamu dan Bastian nanti. Bastian katanya sibuk, nggak bisa temani mami. Papi juga sedang di luar kota. Kamu bisa nggak temani mami malam ini?” tanya Nora.
“Bisa. Sebentar ya, Mi. Aku mau ganti baju dulu.” Maya menyanggupi ajakan sang calon ibu mertua.
“Iya, Sayang ... Mami tunggu lo. Nanti kalau kamu sudah selesai, kabari saja. Biar mami yang menjemput ke sana,” ucap Nora.
“Iya, Mi. Aku siap-siap dulu ya,” ucap Maya.
“Iya, Sayang. Mami matiin dulu ya. Nanti kalau kamu sudah selesai, kabari mami. Selamat malam, Sayang ....” Nora mengakhiri percakapannya.
“Malam, Mami,” balas Maya dan panggilan suara itu pun terputus. Kembali senyum sumringah terpatri di bibir wanita dua puluh enam tahun itu.
“Mi, aku mau ke atas dulu ya. Maminya Bastian ngajakin aku ke butiknya Haslen, katanya mau fitting baju. Jadi aku mau siap-siap dulu.” Maya pamit pada sang ibu.
“Iya, Sayang ... Kamu memang harus merebut hati dan perhatiannya orang tua Bastian agar mereka mau mewariskan seluruh kekayaan Pramudista padamu,” ucap Ami dengan senyum miringnya.
“Tentu dong, Mi. Aku mau siap-siap dulu ya, Mi. Selamat malam.” Maya mendekati sang ibu, memeluknya lalu mendaratkan pipi kanan dan pipi kirinya ke kedua pipi sang ibu.
“Malam, Sayang.” Ami membalas.
Hallo ^_^ Makasih ya sudah mampir. Mohon supportnya dengan cara like dan komen cerita ini, terus follow juga akun aku ya. Insyaa Allah nanti aku akan adakan GIVE AWAY ketika bab cerita ini sudah mecapai 10 atau 15 bab. So, ikuti aku ya agar nggak ketinggalan info terbarunya. Insyaa Allah update SETIAP HARI antara jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Makasih, KISS ^_^
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
“Ran, kamu baik-baik saja?” tanya Farel. Kening pria itu sedikit mengernyit sebab ia lihat wajah Rania lemah dan semakin sayu.Rania berusaha tersenyum seraya mengangguk, “Mas, kita pulang sekarang yuk.Farel mengangguk, “Bagaimana dengan hasilnya? Kata dokter kamu sakit apa?”“A—aku ... Aku nggak kenapa-kenapa kok, Mas. Aku hanya kecapekan saja. Tekanan darahku juga lagi rendah, makanya sangat drop. Aku mau istirahat, Mas. Aku mau pulang,” ucap Rania.“Iya ... Aku akan antar kamu pulang. Tapi sebelumnya kita mampir ke restoran dulu ya,” ucap Farel.Rania menggeleng, “Aku benar-benar butuh istirahat, Mas.”“Maksud aku bukan makan di sana. Tapi aku mau beliin kamu makanan untuk kamu makan nanti di apartemen.” Farel tersenyum.“Nggak usah, Mas. Lagian di rumah makanan lagi banyak kok. Jihan sedang tidak di rumah, jadi makanannya nggak ada yang makan. Aku juga tidak berselera,” balas Rania.Farel menghela napas, “Baiklah ... Kali ini aku tidak akan memaksa. Aku akan mengantarmu pulang.”F
Rania terduduk di lantai tepat di depan pintu unit apartemen. Punggungnya ia sandarkan ke pintu sementara tangannya tergeletak begitu saja di atas lantai.Rania menangis. Sepeninggal Farel, wanita itu memang tidak mampu mengendalikan dirinya. Air mata yang memang sudah memaksa keluar dari tadi, akhirnya tumpah ruah. Rania terisak, sendiran di sana.Kenapa harus aku? Lirih Rania.Rania melirik gelang giok hijau yang masih melekat cantik di pergelangan tangannya. Rania buka gelang itu lalu ia tatap seraya ia elus dengan lembut. Rania menyesal, menyesal sudah mengecewakan sang ibu yang kini berada di desa Lembang. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.Masih dalam keadaan terisak, Rania mengelus perutnya yang masih datar. Terlintas sejenak pikiran buruk di hatinya. Membuang anak itu dan kembali menjalani kehidupan yang normal di kota Jakarta.Namun tiba-tiba Rania tersadar. Anak itu sama sekali tidak bersalah, jadi ia tidak pantas menerima hukuman seberat itu. Apa lagi sampai dibuang kar
Perlahan, Rania melepaskan tangannya dari genggaman Farel tanpa menoleh ke arah pria itu. Rania tetap melangkahkan kakinya. Ia seka air matanya yang masih saja tumpah ruah, lalu ia pun segera masuk ke dalam taksi online yang sudah ia pesan.Farel terdiam. Ia tidak ingin memaksakan diri. Ingin rasanya Farel menyusul Rania saat ini juga, namun Farel sadar jika Rania juga butuh privasi. Ia pun membiarkan wanita itu pergi, masuk ke dalam taksi online dan menghilang dari pandangannya.“Sesuai aplikasi, Kak?” tanya sang sopir taksi.“Iya, Mas,” balas Rania.Sang sopir taksi memerhatikan Rania lewat pantulan kaca spion yang ada di atas kepalanya.“Kakaknya menangis?” tanya sang sopir taksi.Rania gelagapan. Segera ia seka air matanya dengan telapak tangan kanannya.Sang sopir taksi meraih kotak tisu yang terletak di atas dashboard mobil. Ia ambil kotak tisu itu lalu ia berikan kepada Rania.“Terima kasih,” ucap Rania.“Seberat apa pun masalah kita, harusnya kita tidak terlalu membuang-buang a
Rania sudah sampai di dalam gerbong salah satu kereta api yang akan membawanya ke stasiun Bandung. Ia dudukkan bokongnya di salah satu bangku dengan nomor yang sama dengan nomor tiket yang ia miliki.Rania menghela napas. Ia tatap kota Jakarta yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Rania sudah memutuskan akan melanjutkan hidupnya di tanah kelahirannya—desa Lembang. Setidaknya, itulah yang Rania tahu. Apakah ada rahasia lain atau tidak, Rania belum mengetahuinya.“Kamu Rania’kan?” tanya seseorang yang kini duduk tepat di hadapan Rania. Seorang wanita berhijab yang memerhatikan Rania sejak mendudukkan bokongnya di kursi.Rania yang tadinya melamun, memutar wajahnya. Ia tatap wanita manis yang ada di hadapannya.“Hana?” tanya Rania dengan sedikit mengernyit. Ia tidak yakin tapi ia berusaha menebak.Sang wanita tersenyum, “Iya, aku Hana. Masa kamu sudah lupa saja? Kita satu SD lo dulunya,” ucap wanita bernama Hana.“Oiya, maaf ... Soalnya sekarang penampilan kamu sudah berbeda. Makanya ak
The Lion Hotel Jakarta.Bastian melangkahkan kakinya, masuk ke dalam ruangan pribadinya. Di atas meja, ia lihat ada sebuah buket bunga. Ia ambil buket itu lalu ia baca.Selamat atas proyek barunya, Sayang.Begitulah tulisan yang tertera di kartu ucapan yang terdapat pada buket bunga.Bastian sudah bisa menebak kalau buket bunga itu dari maya—istrinya. Bastian mengambil buket itu, lalu meletakkannya di meja berbeda. Tidak terlihat perasaan senang di hatinya.Tidak lama, bel berbunyi. Bastian meraih remot lalu membuka pintu itu secara otomatis. Pintu terbuka, seorang pria pun melangkah masuk dengan dokumen di tangannya.“Maaf, Pak,” ucap Farel sopan. Ia letakkan dokumen yang ada di tangannya di atas meja.“Duduk!” perintah Bastian.Farel mengangguk. Pria itu pun mendudukkan bokongnya di kursi yang ada di depan Bastian.“Pak, kenapa anda menyuruh saya membawa semua dokumen ini ke sini?” tanya Farel.“Rania mengundurkan diri. Jadi proyek tersebut kamu yang akan ambil alih,” ucap Bastian.“
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band
Setelah hari-hari penuh pertimbangan dan renungan, Rania akhirnya mantap dengan keputusannya. Pagi ini, ia, Bintang, dan Cucu bersiap meninggalkan rumah kecil mereka di Lembang untuk memulai babak baru di Bandung. Udara pagi Lembang terasa sejuk seperti biasa, namun ada rasa haru yang mengiringi kepergian mereka.Mobil SUV putih yang dikemudikan sopir pribadi Rita sudah menunggu di depan rumah. Tidak banyak barang yang mereka bawa, hanya koper kecil berisi pakaian dan beberapa barang penting. Rita sudah menyiapkan segalanya di rumah baru mereka, memastikan Rania dan Bintang tidak perlu repot membawa banyak hal.Mobil pick up milik Rania pun ikut menanti mereka. Mobil itu sudah penuh dengan barang-barang milik Bintang. Mainan baru yang sangat banyak. Tidak hanya dari nenek dan kakeknya, tapi juga dari Bastian. Awalnya Rita meminta agar barang-barang itu ditinggalkan saja, Rita akan belikan yang baru di Bandung. Namun Rania menolak, ia sudah terbiasa hidup sederhana. Jadi Rania tidak ma
Pagi ini, langit Lembang tampak gelap, awan-awan kelabu menggantung rendah, seolah siap menumpahkan air kapan saja. Saat mobil SUV putih yang membawa Rita dan Emma mendekati rumah Rania, hujan deras mulai turun, membasahi jalanan dan membuat suhu udara semakin dingin.“Bu, coat ini sudah saya siapkan,” kata Emma sambil menyerahkan coat tebal berwarna krem pada majikannya.“Terima kasih, Emma,” ucap Rita sambil tersenyum. Ia mengenakan coat itu dengan hati-hati. Udara Lembang memang menusuk, tapi semangat Rita untuk bertemu Rania dan Bintang menghangatkannya.Mobil berhenti tepat di depan rumah Rania. Sopir dengan sigap membuka payung besar untuk melindungi Rita dan Emma dari hujan lebat. Mereka berjalan menuju pintu rumah Rania, langkah-langkah mereka tergesa karena derasnya hujan.Cucu yang mendengar suara mobil langsung membuka pintu, menyambut mereka dengan wajah penuh senyum. “Bu Rita, silakan masuk. Maaf, cuaca kurang bersahabat,” ujar Cucu ramah, sambil menyingkirkan beberapa ge
Di Bandung, di sebuah kamar mewah yang terletak di lantai dua, Rita duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berlarian. Matanya memandang jendela kaca besar yang menghadap taman belakang, namun hatinya masih tertuju pada Rania dan Bintang. Ia mencoba memejamkan mata beberapa kali, tetapi bayangan wajah putrinya terus saja muncul di benaknya.“Masih belum bisa tidur?” Suara Boby terdengar lembut dari sisi lain ranjang.Rita menoleh dan menggeleng pelan. “Tidak, Mas. Aku masih tidak percaya semua ini nyata. Rania... Clarissa kita... dia begitu cantik. Perpaduan wajahmu dan wajahku. Aku tidak pernah menyangka dia akan tumbuh menjadi wanita yang begitu jelita.”Boby tersenyum kecil, mendekat dan duduk di samping Rita. “Itu artinya, perjuanganmu selama ini tidak sia-sia, Sayang. Doamu dijawab oleh Tuhan.”“Tapi aku masih rindu, Mas.” Suara Rita mulai bergetar. “Rasanya ingin kembali ke sana sekarang juga, melihat wajahnya, mendengar tawanya. Dan Bintang... oh, Mas, cucu kita begitu mengge
Malam yang cerah itu menghadirkan suasana hangat di restoran mewah yang berhiaskan lampu-lampu temaram. Meskipun udara Lembang tetap dingin menusuk, kehangatan keluarga yang kini berkumpul membuat malam itu terasa berbeda.Di meja bundar besar, Rania duduk di samping Cucu, sementara Boby dan Rita duduk berseberangan dengan mereka. Di samping Rania, Bintang tampak asyik dengan mainannya, duduk di kursi khusus bayi yang sengaja disiapkan oleh pihak restoran. Meja mereka dipenuhi berbagai hidangan mewah—dari steak daging sapi premium hingga makanan khas Indonesia yang diolah dengan sentuhan elegan.Rita tersenyum hangat sambil memandang Rania, lalu ia membuka percakapan. “Rania, malam ini kami hanya ingin merayakan momen indah ini. Momen di mana keluarga kita akhirnya bisa berkumpul kembali setelah sekian lama terpisah. Rasanya seperti mimpi.”Rania mengangguk pelan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini. “Terima kasih, Bu... untuk semuanya,” ujarnya dengan nada pela
Di ruang tamu yang sederhana itu, suasana hening kembali menyelimuti setelah momen haru yang baru saja terjadi. Cucu masih duduk menemani Rita dan Boby, sementara Rania memilih masuk ke kamarnya sejenak untuk menenangkan diri.Boby menghela napas panjang, lalu dengan nada rendah penuh rasa hormat, ia membuka percakapan. “Bu Cucu, kami benar-benar berterima kasih atas semua yang Ibu lakukan untuk Clarissa, untuk putri kami. Kalau bukan karena Ibu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Kami sangat bersyukur.”Cucu mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menunduk, lalu dengan suara lirih berkata, “Saya senang Rania akhirnya menemukan kembali keluarga kandungnya. Tapi...” Ia terdiam sejenak, menahan isak yang mulai menyeruak, “saya takut kehilangan dia dan Bintang.”Kata-kata itu membuat hati Rita dan Boby tersentuh. Rita segera menggenggam tangan Cucu, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Bu Cucu, tolong jangan berpikir seperti