Jakarta, kediaman Maya.
Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.
“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.
“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.
“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.
“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.
“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.
Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.
“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini. Katanya prestasi kerjanya cukup baik,” jelas Maya.
“Lalu, kamu biarkan begitu saja? Apa kamu tidak takut kalau nanti wanita itu akan menggoda Bastian?” tanya Ami seraya berjalan mendekat.
Maya menoleh ke arah sang ibu, “Justru bagus kalau ia berada di kantor pusat. Jadi ia akan selalu berhadapan denganku. Bukankah setelah menikah nanti, aku juga akan jadi pimpinan di perusahaan? Bastian direktur utama dan aku akan jadi direktrisnya. Jadi wanita sialan itu bisa melihat kemesraanku bersama Bastian setiap hari di kantor.” Sebuah senyum sinis terukir di bibir Maya.
“Mami hanya khawatir, Maya.” Ami meyentuh lembut bahu kanan sang anak.
Maya menyibak lembut tangan sang ibu. Menggenggamnya dengan lembut lalu berkata, “Mami tidak perlu khawatir, Mi. Rania itu tidak akan berani macam-macam. Jika dia berani macam-macam, maka akan aku pastikan kalau ia akan menyesal seumur hidupnya,” ucap Maya.
Sang ibu mengangguk setuju.
“Mami senang, sebentar lagi kamu akan jadi bagian dari keluarga besar Pramudista. Ini adalah hubungan yang sangat menguntungkan,” ucap Ami.
“Iya, Mi. Aku sudah tidak sabar ingin menjadi nyonya besar di keluarga Pramudista.” Maya tersenyum. Kembali ia pendar pandangan matanya ke langit kota jakarta lewat dinding kaca kamarnya.
Sementara di tempat berbeda, Rania berada di sebuah resto. Duduk di hadapan Farel seraya tersenyum manis. Setiap berada di dekat pria itu, jiwa Rania serasa tentram. Permasalahannya seakan sirna.
“Pak, terima kasih sudah mengajakku ke sini,” ucap Rania.
“Rania, sudah berapa kali aku katakan, kalau bukan di jam kantor, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Memangnya aku ini terlihat sangat tua?” Farel tersenyum.
“Maaf, Mas,” ucap Rania.
“Rania, bibirmu kenapa?” Farel mencoba memerhatikan bibir Rania. Ada bekas luka di sana.
Rania menyentuh bibirnya, “Ah ini. Bukan apa-apa, Mas. Kebetulan kemarin aku sariawan dan tanpa sengaja kegigit. Jadinya seperti ini. Tapi nggak apa-apa kok. Beberapa hari lagi juga akan hilang bekasnya. Aku pikir dengan lipstik bisa tertutup sempurna,” bohong Rania.
“Oh, aku pikir kenapa,” ucap Farel.
“Memangnya mas pikir kenapa?” Rania tersenyum seraya mengaduk minumannya.
Farel membelas dengan kekehan ringan.
“Ran, dua minggu lagi Bastian dan Maya akan menikah,” ucap Farel.
“Ya, lalu?” Rania sedikit mengernyit.
“Maaf kalau aku lancang, tapi aku sangat ingin pergi bersamamu. Apakah bisa?” Farel menatap Rania dengan tatapan penuh harap.
“Maksudnya?” Rania masih terlihat bingung.
“Hhmm ... Begini lo, a—aku.” Farel menghentikan ucapannya. Pria itu meraih tangan kanan Rania, lalu menyentuh punggung tangan itu dengan lembut.
“Ada apa, Mas?” tanya Rania. Sorot matanya tajam, memerhatikan sikap dan wajah Farel.
Farel menghela napas sejenak. Ia lepaskan tangan Rania dari genggamannya lalu ia kembali menggenggan ke dua tangannya sendiri.
“Mas?” ucap Rania. Ia semakin memerhatikan sikap Farel. Wanita itu heran dengan sikap Farel.
“Ran, aku mau jujur sama kamu. Aku suka sama kamu, Ran. Kamu mau nggak jadi pacar aku? Ah bukan, jadi calon istri saja deh,” ucap Farel tiba-tiba. Pria itu terlihat sedikit gugup, namun berusaha ia sembunyikan di balik senyum tampannya.
Apa yang disampaikan Farel sontak membuat Rania tersentak. Ia kaget, tidak sangka kalau Farel akan mengatakan hal itu padanya siang ini.
Memang, selama ini sikap Farel begitu baik kepada Rania. Bahkan bisa dikatakan jika Farel adalah penyelamat dikala Rania mendapat masalah dengan Bastian ataupun masalah dengan pekerjaannya. Farel juga salah satu orang yang sangat berjasa atas pangkat dan jabatan yang saat ini Rania dapatkan karena pria itu yang sangat merekomendasikan dirinya kepada atasan.
Rania pikir semua itu hanya sebatas teman dan rekan kerja, tidak lebih. Namun siang ini ia mendapatkan pernyataan yang sangat mengejutkan. Apalagi Farel tahu kalau Rania adalah mantan kekasih Bastian.
“Ran, aku tahu kalau ini sangat mendadak dan terkesan tidak romantis. Tapi aku tidak bisa menahannya terlalu lama,” ucap Farel.
“Maaf, Mas. Aku belum bisa,” balas Rania.
“Kenapa, Ran? Apa karena masih ada Bastian di hati kamu.” Farel sedikit berdecak. Terpancar rasa kecewa di wajahnya.
“Ini semua tidak ada hubungannya dengan pak Bastian. Jadi tolong jangan sangkut pautkan dengan beliau. Lagi pula beliau sebentar lagi akan menikah dengan bu Maya.” Rania berusaha bersikap santai.
“Justru karena itu, Ran. Hari ini aku mengatakan perasaanku yang sesungguhnya karena aku yakin sudah tidak ada lagi Bastian di hati kamu,” ucap Farel.
Rania tersenyum, “Memang sudah tidak ada lagi Bastian, dan itu sudah sangat lama.”
“Terus kenapa?” tanya Farel.
“Karena belum ketemu yang cocok, Mas,” jawab Rania.
“Bagaimana kamu tahu cocok nggak cocoknya kalau kamu nggak pernah mencobanya, Ran. Aku tahu banget setelah kamu putus dengan Bastian, kamu nggak pernah lagi dekat dengan lelaki manapun. Aku ini sepupunya Bastian. Sahabat baiknya, sebelum ia berubah jadi seperti sekarang setelah menjabat direktur utama di perusahaan itu.” Farel menenggak minumannya setelah mengatakan hal itu.
Rania menghela napas. Ia menenggak sedikit minumannya lalu kembali tersenyum ke arah Farel, “Mungkin belum sekarang. Tapi tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti. Sebaiknya kita saksikan saja dulu pernikahan pak Bastian dan bu Maya.”
“Kalau mereka benar-benar sudah menikah, apa kamu sudah mau membuka hati untuk lelaki lain?” Farel memberikan penegasan pada kalimat terakhirnya.
“Kita lihat saja nanti. Oiya, aku sudah tahu siapa yang menukar dikumenku tadi.” Rania mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Aku juga sudah tahu,” balas Farel.
“Jadi mas juga sudah tahu? Kenapa nggak ngasih tahu aku?” Rania tersenyum lebar. Terlihat jelas ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan dari yang sebelumnya.
“Aku bahkan sudah melihatmu berbincang dengan Inaya lewat rekaman CCTV. Jadi aku pikir kamu juga sudah tahu,” balas Farel.
Rania mengangguk, “Iya. Memang Inaya yang melakukannya. Katanya ia tidak sengaja.”
“Kamu percaya?” tanya Farel.
“Bisa iya bisa juga tidak. Tapi biarkan saja’lah, Mas. Lagi pula aku tidak peduli. Jadi gimana tadi? Mau ajak aku ke nikahannya pak Bastian dan bu Maya ya? Pura-puranya sepasang kekasih gitu ya? Kalau mas maunya memang begitu, aku sih setuju-setuju saja.” Rania terkekeh ringan. Berusaha mencairkan suasana yang tadi sempat kaku sesaat.
Farel hanya tersenyum tipis menanggapi candaan Rania yang ia rasa garing.
***
The Lion Hotel Jakarta.
PLAK!! Sebuah tangan menampar keras meja kerja Rania. Tentu saja hal itu membuat Rania tersentak. Ponselnya yang harusnya masuk ke dalam tas, terlepas dari tangan dan jatuh ke meja. Untung ponsel itu tidak jatuh ke lantai.
Rania mengangkat kepalanya, “Kenapa, Inaya?” tanya Rania.
“Rania, kamu apa-apaan tadi pegang-pegangan tangan sama pak Farel, ha. Kamu mau merebut Farel dari aku. Kamu tahukan kalau aku sudah lama menaruh hati padanya. Kamu mau nikung aku?” Inaya melototkan ke dua matanya ke arah Rania. Sorot matanya sangat tajam, penuh kemarahan.
Rania menghela napas, “Aku tidak pernah punya masalah sama kamu, jadi tolong jangan membuat masalah denganku,” ucap Rania, datar. Ia tetap memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berniat pergi meninggalkan meja kerjanya.
“Rania, tunggu! Aku belum selesai bicara.” Inaya menarik tangan Rania dengan kuat lalu melepaskannya hingga Rania terpental ke lantai.
Tubuh Rania jatuh tepat di depan kaki seseorang. Inaya sendiri pucat pasi. Tidak menyangka kalau seorang pria tiba-tiba datang dan berdiri di depan mereka. Bahkan kini, Rania terduduk tepat di depan kaki sang pria.
“Pak—.” Ucapan Inaya terhenti. Ia takut.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
“Ran, kamu baik-baik saja?” tanya Farel. Kening pria itu sedikit mengernyit sebab ia lihat wajah Rania lemah dan semakin sayu.Rania berusaha tersenyum seraya mengangguk, “Mas, kita pulang sekarang yuk.Farel mengangguk, “Bagaimana dengan hasilnya? Kata dokter kamu sakit apa?”“A—aku ... Aku nggak kenapa-kenapa kok, Mas. Aku hanya kecapekan saja. Tekanan darahku juga lagi rendah, makanya sangat drop. Aku mau istirahat, Mas. Aku mau pulang,” ucap Rania.“Iya ... Aku akan antar kamu pulang. Tapi sebelumnya kita mampir ke restoran dulu ya,” ucap Farel.Rania menggeleng, “Aku benar-benar butuh istirahat, Mas.”“Maksud aku bukan makan di sana. Tapi aku mau beliin kamu makanan untuk kamu makan nanti di apartemen.” Farel tersenyum.“Nggak usah, Mas. Lagian di rumah makanan lagi banyak kok. Jihan sedang tidak di rumah, jadi makanannya nggak ada yang makan. Aku juga tidak berselera,” balas Rania.Farel menghela napas, “Baiklah ... Kali ini aku tidak akan memaksa. Aku akan mengantarmu pulang.”F
Rania terduduk di lantai tepat di depan pintu unit apartemen. Punggungnya ia sandarkan ke pintu sementara tangannya tergeletak begitu saja di atas lantai.Rania menangis. Sepeninggal Farel, wanita itu memang tidak mampu mengendalikan dirinya. Air mata yang memang sudah memaksa keluar dari tadi, akhirnya tumpah ruah. Rania terisak, sendiran di sana.Kenapa harus aku? Lirih Rania.Rania melirik gelang giok hijau yang masih melekat cantik di pergelangan tangannya. Rania buka gelang itu lalu ia tatap seraya ia elus dengan lembut. Rania menyesal, menyesal sudah mengecewakan sang ibu yang kini berada di desa Lembang. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.Masih dalam keadaan terisak, Rania mengelus perutnya yang masih datar. Terlintas sejenak pikiran buruk di hatinya. Membuang anak itu dan kembali menjalani kehidupan yang normal di kota Jakarta.Namun tiba-tiba Rania tersadar. Anak itu sama sekali tidak bersalah, jadi ia tidak pantas menerima hukuman seberat itu. Apa lagi sampai dibuang kar
Perlahan, Rania melepaskan tangannya dari genggaman Farel tanpa menoleh ke arah pria itu. Rania tetap melangkahkan kakinya. Ia seka air matanya yang masih saja tumpah ruah, lalu ia pun segera masuk ke dalam taksi online yang sudah ia pesan.Farel terdiam. Ia tidak ingin memaksakan diri. Ingin rasanya Farel menyusul Rania saat ini juga, namun Farel sadar jika Rania juga butuh privasi. Ia pun membiarkan wanita itu pergi, masuk ke dalam taksi online dan menghilang dari pandangannya.“Sesuai aplikasi, Kak?” tanya sang sopir taksi.“Iya, Mas,” balas Rania.Sang sopir taksi memerhatikan Rania lewat pantulan kaca spion yang ada di atas kepalanya.“Kakaknya menangis?” tanya sang sopir taksi.Rania gelagapan. Segera ia seka air matanya dengan telapak tangan kanannya.Sang sopir taksi meraih kotak tisu yang terletak di atas dashboard mobil. Ia ambil kotak tisu itu lalu ia berikan kepada Rania.“Terima kasih,” ucap Rania.“Seberat apa pun masalah kita, harusnya kita tidak terlalu membuang-buang a
Rania sudah sampai di dalam gerbong salah satu kereta api yang akan membawanya ke stasiun Bandung. Ia dudukkan bokongnya di salah satu bangku dengan nomor yang sama dengan nomor tiket yang ia miliki.Rania menghela napas. Ia tatap kota Jakarta yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Rania sudah memutuskan akan melanjutkan hidupnya di tanah kelahirannya—desa Lembang. Setidaknya, itulah yang Rania tahu. Apakah ada rahasia lain atau tidak, Rania belum mengetahuinya.“Kamu Rania’kan?” tanya seseorang yang kini duduk tepat di hadapan Rania. Seorang wanita berhijab yang memerhatikan Rania sejak mendudukkan bokongnya di kursi.Rania yang tadinya melamun, memutar wajahnya. Ia tatap wanita manis yang ada di hadapannya.“Hana?” tanya Rania dengan sedikit mengernyit. Ia tidak yakin tapi ia berusaha menebak.Sang wanita tersenyum, “Iya, aku Hana. Masa kamu sudah lupa saja? Kita satu SD lo dulunya,” ucap wanita bernama Hana.“Oiya, maaf ... Soalnya sekarang penampilan kamu sudah berbeda. Makanya ak
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band
Setelah hari-hari penuh pertimbangan dan renungan, Rania akhirnya mantap dengan keputusannya. Pagi ini, ia, Bintang, dan Cucu bersiap meninggalkan rumah kecil mereka di Lembang untuk memulai babak baru di Bandung. Udara pagi Lembang terasa sejuk seperti biasa, namun ada rasa haru yang mengiringi kepergian mereka.Mobil SUV putih yang dikemudikan sopir pribadi Rita sudah menunggu di depan rumah. Tidak banyak barang yang mereka bawa, hanya koper kecil berisi pakaian dan beberapa barang penting. Rita sudah menyiapkan segalanya di rumah baru mereka, memastikan Rania dan Bintang tidak perlu repot membawa banyak hal.Mobil pick up milik Rania pun ikut menanti mereka. Mobil itu sudah penuh dengan barang-barang milik Bintang. Mainan baru yang sangat banyak. Tidak hanya dari nenek dan kakeknya, tapi juga dari Bastian. Awalnya Rita meminta agar barang-barang itu ditinggalkan saja, Rita akan belikan yang baru di Bandung. Namun Rania menolak, ia sudah terbiasa hidup sederhana. Jadi Rania tidak ma
Pagi ini, langit Lembang tampak gelap, awan-awan kelabu menggantung rendah, seolah siap menumpahkan air kapan saja. Saat mobil SUV putih yang membawa Rita dan Emma mendekati rumah Rania, hujan deras mulai turun, membasahi jalanan dan membuat suhu udara semakin dingin.“Bu, coat ini sudah saya siapkan,” kata Emma sambil menyerahkan coat tebal berwarna krem pada majikannya.“Terima kasih, Emma,” ucap Rita sambil tersenyum. Ia mengenakan coat itu dengan hati-hati. Udara Lembang memang menusuk, tapi semangat Rita untuk bertemu Rania dan Bintang menghangatkannya.Mobil berhenti tepat di depan rumah Rania. Sopir dengan sigap membuka payung besar untuk melindungi Rita dan Emma dari hujan lebat. Mereka berjalan menuju pintu rumah Rania, langkah-langkah mereka tergesa karena derasnya hujan.Cucu yang mendengar suara mobil langsung membuka pintu, menyambut mereka dengan wajah penuh senyum. “Bu Rita, silakan masuk. Maaf, cuaca kurang bersahabat,” ujar Cucu ramah, sambil menyingkirkan beberapa ge
Di Bandung, di sebuah kamar mewah yang terletak di lantai dua, Rita duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berlarian. Matanya memandang jendela kaca besar yang menghadap taman belakang, namun hatinya masih tertuju pada Rania dan Bintang. Ia mencoba memejamkan mata beberapa kali, tetapi bayangan wajah putrinya terus saja muncul di benaknya.“Masih belum bisa tidur?” Suara Boby terdengar lembut dari sisi lain ranjang.Rita menoleh dan menggeleng pelan. “Tidak, Mas. Aku masih tidak percaya semua ini nyata. Rania... Clarissa kita... dia begitu cantik. Perpaduan wajahmu dan wajahku. Aku tidak pernah menyangka dia akan tumbuh menjadi wanita yang begitu jelita.”Boby tersenyum kecil, mendekat dan duduk di samping Rita. “Itu artinya, perjuanganmu selama ini tidak sia-sia, Sayang. Doamu dijawab oleh Tuhan.”“Tapi aku masih rindu, Mas.” Suara Rita mulai bergetar. “Rasanya ingin kembali ke sana sekarang juga, melihat wajahnya, mendengar tawanya. Dan Bintang... oh, Mas, cucu kita begitu mengge
Malam yang cerah itu menghadirkan suasana hangat di restoran mewah yang berhiaskan lampu-lampu temaram. Meskipun udara Lembang tetap dingin menusuk, kehangatan keluarga yang kini berkumpul membuat malam itu terasa berbeda.Di meja bundar besar, Rania duduk di samping Cucu, sementara Boby dan Rita duduk berseberangan dengan mereka. Di samping Rania, Bintang tampak asyik dengan mainannya, duduk di kursi khusus bayi yang sengaja disiapkan oleh pihak restoran. Meja mereka dipenuhi berbagai hidangan mewah—dari steak daging sapi premium hingga makanan khas Indonesia yang diolah dengan sentuhan elegan.Rita tersenyum hangat sambil memandang Rania, lalu ia membuka percakapan. “Rania, malam ini kami hanya ingin merayakan momen indah ini. Momen di mana keluarga kita akhirnya bisa berkumpul kembali setelah sekian lama terpisah. Rasanya seperti mimpi.”Rania mengangguk pelan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini. “Terima kasih, Bu... untuk semuanya,” ujarnya dengan nada pela
Di ruang tamu yang sederhana itu, suasana hening kembali menyelimuti setelah momen haru yang baru saja terjadi. Cucu masih duduk menemani Rita dan Boby, sementara Rania memilih masuk ke kamarnya sejenak untuk menenangkan diri.Boby menghela napas panjang, lalu dengan nada rendah penuh rasa hormat, ia membuka percakapan. “Bu Cucu, kami benar-benar berterima kasih atas semua yang Ibu lakukan untuk Clarissa, untuk putri kami. Kalau bukan karena Ibu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Kami sangat bersyukur.”Cucu mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menunduk, lalu dengan suara lirih berkata, “Saya senang Rania akhirnya menemukan kembali keluarga kandungnya. Tapi...” Ia terdiam sejenak, menahan isak yang mulai menyeruak, “saya takut kehilangan dia dan Bintang.”Kata-kata itu membuat hati Rita dan Boby tersentuh. Rita segera menggenggam tangan Cucu, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Bu Cucu, tolong jangan berpikir seperti