Jakarta, kediaman Maya.
Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.
“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.
“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.
“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.
“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.
“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.
Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.
“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini. Katanya prestasi kerjanya cukup baik,” jelas Maya.
“Lalu, kamu biarkan begitu saja? Apa kamu tidak takut kalau nanti wanita itu akan menggoda Bastian?” tanya Ami seraya berjalan mendekat.
Maya menoleh ke arah sang ibu, “Justru bagus kalau ia berada di kantor pusat. Jadi ia akan selalu berhadapan denganku. Bukankah setelah menikah nanti, aku juga akan jadi pimpinan di perusahaan? Bastian direktur utama dan aku akan jadi direktrisnya. Jadi wanita sialan itu bisa melihat kemesraanku bersama Bastian setiap hari di kantor.” Sebuah senyum sinis terukir di bibir Maya.
“Mami hanya khawatir, Maya.” Ami meyentuh lembut bahu kanan sang anak.
Maya menyibak lembut tangan sang ibu. Menggenggamnya dengan lembut lalu berkata, “Mami tidak perlu khawatir, Mi. Rania itu tidak akan berani macam-macam. Jika dia berani macam-macam, maka akan aku pastikan kalau ia akan menyesal seumur hidupnya,” ucap Maya.
Sang ibu mengangguk setuju.
“Mami senang, sebentar lagi kamu akan jadi bagian dari keluarga besar Pramudista. Ini adalah hubungan yang sangat menguntungkan,” ucap Ami.
“Iya, Mi. Aku sudah tidak sabar ingin menjadi nyonya besar di keluarga Pramudista.” Maya tersenyum. Kembali ia pendar pandangan matanya ke langit kota jakarta lewat dinding kaca kamarnya.
Sementara di tempat berbeda, Rania berada di sebuah resto. Duduk di hadapan Farel seraya tersenyum manis. Setiap berada di dekat pria itu, jiwa Rania serasa tentram. Permasalahannya seakan sirna.
“Pak, terima kasih sudah mengajakku ke sini,” ucap Rania.
“Rania, sudah berapa kali aku katakan, kalau bukan di jam kantor, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Memangnya aku ini terlihat sangat tua?” Farel tersenyum.
“Maaf, Mas,” ucap Rania.
“Rania, bibirmu kenapa?” Farel mencoba memerhatikan bibir Rania. Ada bekas luka di sana.
Rania menyentuh bibirnya, “Ah ini. Bukan apa-apa, Mas. Kebetulan kemarin aku sariawan dan tanpa sengaja kegigit. Jadinya seperti ini. Tapi nggak apa-apa kok. Beberapa hari lagi juga akan hilang bekasnya. Aku pikir dengan lipstik bisa tertutup sempurna,” bohong Rania.
“Oh, aku pikir kenapa,” ucap Farel.
“Memangnya mas pikir kenapa?” Rania tersenyum seraya mengaduk minumannya.
Farel membelas dengan kekehan ringan.
“Ran, dua minggu lagi Bastian dan Maya akan menikah,” ucap Farel.
“Ya, lalu?” Rania sedikit mengernyit.
“Maaf kalau aku lancang, tapi aku sangat ingin pergi bersamamu. Apakah bisa?” Farel menatap Rania dengan tatapan penuh harap.
“Maksudnya?” Rania masih terlihat bingung.
“Hhmm ... Begini lo, a—aku.” Farel menghentikan ucapannya. Pria itu meraih tangan kanan Rania, lalu menyentuh punggung tangan itu dengan lembut.
“Ada apa, Mas?” tanya Rania. Sorot matanya tajam, memerhatikan sikap dan wajah Farel.
Farel menghela napas sejenak. Ia lepaskan tangan Rania dari genggamannya lalu ia kembali menggenggan ke dua tangannya sendiri.
“Mas?” ucap Rania. Ia semakin memerhatikan sikap Farel. Wanita itu heran dengan sikap Farel.
“Ran, aku mau jujur sama kamu. Aku suka sama kamu, Ran. Kamu mau nggak jadi pacar aku? Ah bukan, jadi calon istri saja deh,” ucap Farel tiba-tiba. Pria itu terlihat sedikit gugup, namun berusaha ia sembunyikan di balik senyum tampannya.
Apa yang disampaikan Farel sontak membuat Rania tersentak. Ia kaget, tidak sangka kalau Farel akan mengatakan hal itu padanya siang ini.
Memang, selama ini sikap Farel begitu baik kepada Rania. Bahkan bisa dikatakan jika Farel adalah penyelamat dikala Rania mendapat masalah dengan Bastian ataupun masalah dengan pekerjaannya. Farel juga salah satu orang yang sangat berjasa atas pangkat dan jabatan yang saat ini Rania dapatkan karena pria itu yang sangat merekomendasikan dirinya kepada atasan.
Rania pikir semua itu hanya sebatas teman dan rekan kerja, tidak lebih. Namun siang ini ia mendapatkan pernyataan yang sangat mengejutkan. Apalagi Farel tahu kalau Rania adalah mantan kekasih Bastian.
“Ran, aku tahu kalau ini sangat mendadak dan terkesan tidak romantis. Tapi aku tidak bisa menahannya terlalu lama,” ucap Farel.
“Maaf, Mas. Aku belum bisa,” balas Rania.
“Kenapa, Ran? Apa karena masih ada Bastian di hati kamu.” Farel sedikit berdecak. Terpancar rasa kecewa di wajahnya.
“Ini semua tidak ada hubungannya dengan pak Bastian. Jadi tolong jangan sangkut pautkan dengan beliau. Lagi pula beliau sebentar lagi akan menikah dengan bu Maya.” Rania berusaha bersikap santai.
“Justru karena itu, Ran. Hari ini aku mengatakan perasaanku yang sesungguhnya karena aku yakin sudah tidak ada lagi Bastian di hati kamu,” ucap Farel.
Rania tersenyum, “Memang sudah tidak ada lagi Bastian, dan itu sudah sangat lama.”
“Terus kenapa?” tanya Farel.
“Karena belum ketemu yang cocok, Mas,” jawab Rania.
“Bagaimana kamu tahu cocok nggak cocoknya kalau kamu nggak pernah mencobanya, Ran. Aku tahu banget setelah kamu putus dengan Bastian, kamu nggak pernah lagi dekat dengan lelaki manapun. Aku ini sepupunya Bastian. Sahabat baiknya, sebelum ia berubah jadi seperti sekarang setelah menjabat direktur utama di perusahaan itu.” Farel menenggak minumannya setelah mengatakan hal itu.
Rania menghela napas. Ia menenggak sedikit minumannya lalu kembali tersenyum ke arah Farel, “Mungkin belum sekarang. Tapi tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti. Sebaiknya kita saksikan saja dulu pernikahan pak Bastian dan bu Maya.”
“Kalau mereka benar-benar sudah menikah, apa kamu sudah mau membuka hati untuk lelaki lain?” Farel memberikan penegasan pada kalimat terakhirnya.
“Kita lihat saja nanti. Oiya, aku sudah tahu siapa yang menukar dikumenku tadi.” Rania mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Aku juga sudah tahu,” balas Farel.
“Jadi mas juga sudah tahu? Kenapa nggak ngasih tahu aku?” Rania tersenyum lebar. Terlihat jelas ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan dari yang sebelumnya.
“Aku bahkan sudah melihatmu berbincang dengan Inaya lewat rekaman CCTV. Jadi aku pikir kamu juga sudah tahu,” balas Farel.
Rania mengangguk, “Iya. Memang Inaya yang melakukannya. Katanya ia tidak sengaja.”
“Kamu percaya?” tanya Farel.
“Bisa iya bisa juga tidak. Tapi biarkan saja’lah, Mas. Lagi pula aku tidak peduli. Jadi gimana tadi? Mau ajak aku ke nikahannya pak Bastian dan bu Maya ya? Pura-puranya sepasang kekasih gitu ya? Kalau mas maunya memang begitu, aku sih setuju-setuju saja.” Rania terkekeh ringan. Berusaha mencairkan suasana yang tadi sempat kaku sesaat.
Farel hanya tersenyum tipis menanggapi candaan Rania yang ia rasa garing.
***
The Lion Hotel Jakarta.
PLAK!! Sebuah tangan menampar keras meja kerja Rania. Tentu saja hal itu membuat Rania tersentak. Ponselnya yang harusnya masuk ke dalam tas, terlepas dari tangan dan jatuh ke meja. Untung ponsel itu tidak jatuh ke lantai.
Rania mengangkat kepalanya, “Kenapa, Inaya?” tanya Rania.
“Rania, kamu apa-apaan tadi pegang-pegangan tangan sama pak Farel, ha. Kamu mau merebut Farel dari aku. Kamu tahukan kalau aku sudah lama menaruh hati padanya. Kamu mau nikung aku?” Inaya melototkan ke dua matanya ke arah Rania. Sorot matanya sangat tajam, penuh kemarahan.
Rania menghela napas, “Aku tidak pernah punya masalah sama kamu, jadi tolong jangan membuat masalah denganku,” ucap Rania, datar. Ia tetap memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berniat pergi meninggalkan meja kerjanya.
“Rania, tunggu! Aku belum selesai bicara.” Inaya menarik tangan Rania dengan kuat lalu melepaskannya hingga Rania terpental ke lantai.
Tubuh Rania jatuh tepat di depan kaki seseorang. Inaya sendiri pucat pasi. Tidak menyangka kalau seorang pria tiba-tiba datang dan berdiri di depan mereka. Bahkan kini, Rania terduduk tepat di depan kaki sang pria.
“Pak—.” Ucapan Inaya terhenti. Ia takut.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
“Ran, kamu baik-baik saja?” tanya Farel. Kening pria itu sedikit mengernyit sebab ia lihat wajah Rania lemah dan semakin sayu.Rania berusaha tersenyum seraya mengangguk, “Mas, kita pulang sekarang yuk.Farel mengangguk, “Bagaimana dengan hasilnya? Kata dokter kamu sakit apa?”“A—aku ... Aku nggak kenapa-kenapa kok, Mas. Aku hanya kecapekan saja. Tekanan darahku juga lagi rendah, makanya sangat drop. Aku mau istirahat, Mas. Aku mau pulang,” ucap Rania.“Iya ... Aku akan antar kamu pulang. Tapi sebelumnya kita mampir ke restoran dulu ya,” ucap Farel.Rania menggeleng, “Aku benar-benar butuh istirahat, Mas.”“Maksud aku bukan makan di sana. Tapi aku mau beliin kamu makanan untuk kamu makan nanti di apartemen.” Farel tersenyum.“Nggak usah, Mas. Lagian di rumah makanan lagi banyak kok. Jihan sedang tidak di rumah, jadi makanannya nggak ada yang makan. Aku juga tidak berselera,” balas Rania.Farel menghela napas, “Baiklah ... Kali ini aku tidak akan memaksa. Aku akan mengantarmu pulang.”F
Rania terduduk di lantai tepat di depan pintu unit apartemen. Punggungnya ia sandarkan ke pintu sementara tangannya tergeletak begitu saja di atas lantai.Rania menangis. Sepeninggal Farel, wanita itu memang tidak mampu mengendalikan dirinya. Air mata yang memang sudah memaksa keluar dari tadi, akhirnya tumpah ruah. Rania terisak, sendiran di sana.Kenapa harus aku? Lirih Rania.Rania melirik gelang giok hijau yang masih melekat cantik di pergelangan tangannya. Rania buka gelang itu lalu ia tatap seraya ia elus dengan lembut. Rania menyesal, menyesal sudah mengecewakan sang ibu yang kini berada di desa Lembang. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.Masih dalam keadaan terisak, Rania mengelus perutnya yang masih datar. Terlintas sejenak pikiran buruk di hatinya. Membuang anak itu dan kembali menjalani kehidupan yang normal di kota Jakarta.Namun tiba-tiba Rania tersadar. Anak itu sama sekali tidak bersalah, jadi ia tidak pantas menerima hukuman seberat itu. Apa lagi sampai dibuang kar
Perlahan, Rania melepaskan tangannya dari genggaman Farel tanpa menoleh ke arah pria itu. Rania tetap melangkahkan kakinya. Ia seka air matanya yang masih saja tumpah ruah, lalu ia pun segera masuk ke dalam taksi online yang sudah ia pesan.Farel terdiam. Ia tidak ingin memaksakan diri. Ingin rasanya Farel menyusul Rania saat ini juga, namun Farel sadar jika Rania juga butuh privasi. Ia pun membiarkan wanita itu pergi, masuk ke dalam taksi online dan menghilang dari pandangannya.“Sesuai aplikasi, Kak?” tanya sang sopir taksi.“Iya, Mas,” balas Rania.Sang sopir taksi memerhatikan Rania lewat pantulan kaca spion yang ada di atas kepalanya.“Kakaknya menangis?” tanya sang sopir taksi.Rania gelagapan. Segera ia seka air matanya dengan telapak tangan kanannya.Sang sopir taksi meraih kotak tisu yang terletak di atas dashboard mobil. Ia ambil kotak tisu itu lalu ia berikan kepada Rania.“Terima kasih,” ucap Rania.“Seberat apa pun masalah kita, harusnya kita tidak terlalu membuang-buang a
Rania sudah sampai di dalam gerbong salah satu kereta api yang akan membawanya ke stasiun Bandung. Ia dudukkan bokongnya di salah satu bangku dengan nomor yang sama dengan nomor tiket yang ia miliki.Rania menghela napas. Ia tatap kota Jakarta yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Rania sudah memutuskan akan melanjutkan hidupnya di tanah kelahirannya—desa Lembang. Setidaknya, itulah yang Rania tahu. Apakah ada rahasia lain atau tidak, Rania belum mengetahuinya.“Kamu Rania’kan?” tanya seseorang yang kini duduk tepat di hadapan Rania. Seorang wanita berhijab yang memerhatikan Rania sejak mendudukkan bokongnya di kursi.Rania yang tadinya melamun, memutar wajahnya. Ia tatap wanita manis yang ada di hadapannya.“Hana?” tanya Rania dengan sedikit mengernyit. Ia tidak yakin tapi ia berusaha menebak.Sang wanita tersenyum, “Iya, aku Hana. Masa kamu sudah lupa saja? Kita satu SD lo dulunya,” ucap wanita bernama Hana.“Oiya, maaf ... Soalnya sekarang penampilan kamu sudah berbeda. Makanya ak
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela ruang keluarga rumah Rania. Di atas meja, beberapa cangkir teh hangat tersusun rapi, sementara di ruang tamu terdengar tawa renyah Bintang yang sedang bermain di atas karpet bersama mobil-mobilan kecilnya.“Ma, lihat ini!” teriak Bintang sambil menunjukkan mainan barunya yang kemarin ia beli bersama Rania.Sebelum Rania sempat menjawab, suara bel rumah berbunyi.“Sebentar, Bintang,” kata Rania sambil melangkah ke pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pria dengan setelan kasual—kaus putih dan celana jeans—tersenyum hangat. Satria, pria yang belakangan ini sering mampir ke rumah Rania, berdiri dengan sebuah kantong kertas besar di tangannya.“Pagi, Rania. Ini untuk Bintang,” ujarnya sambil menyerahkan kantong itu.Rania melirik kantong tersebut, lalu ke arah Satria dengan ekspresi sedikit bingung. “Kamu nggak perlu repot-repot setiap kali datang, Mas.”Satria hanya tertawa kecil. “Aku nggak merasa repot, kok. Aku senang bisa membawakan sesua
Kepulan asap pesawat terbang tampak membumbung tinggi di udara Bandara Soekarno-Hatta. Maya berdiri di tepi jendela kaca besar di ruang tunggu, memandang ke arah landasan pacu. Matanya kosong, wajahnya lelah, tetapi bibirnya tetap membentuk garis tegas seolah ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Di tangannya, paspor dan tiket penerbangan ke Frankfurt, Jerman, tergenggam erat.Hari ini, segalanya berubah. Perceraian yang baru saja disahkan beberapa minggu lalu telah menghapus statusnya sebagai istri dari Bastian, seorang pengusaha ternama di Jakarta.“Bu Maya, sudah waktunya boarding,” suara sopir pribadinya memecah keheningan.Maya menoleh sekilas. “Kamu pulang saja. Terima kasih sudah mengantarkan,” jawabnya singkat.Pria itu mengangguk hormat sebelum pergi, meninggalkan Maya sendirian.Maya menarik napas panjang dan berjalan menuju gerbang keberangkatan. Sepanjang langkahnya, ingatan tentang rumah megah yang pernah ia tinggali bersama Bastian menghantui pikirannya. Di sana, ia pern
Pagi ini, aroma embun bercampur harum bunga dari taman rumah Rania membuat suasana terasa sejuk. Udara segar Bandung menjadi pelengkap sempurna untuk perjalanan menuju Lembang. Sebuah mobil SUV hitam mewah sudah terparkir rapi di depan rumah, menunggu penumpangnya.Seorang sopir pribadi berdiri di sisi mobil, mengenakan seragam rapi, sementara seorang bodyguard berjaga tidak jauh darinya. Tugas mereka hari ini adalah memastikan perjalanan keluarga Rania berjalan lancar dan aman.Rania muncul dari dalam rumah, mengenakan pakaian kasual tetapi tetap elegan. Rambutnya yang tergerai membuat wajahnya terlihat segar meski kesibukan akhir-akhir ini menguras energinya. Di sampingnya, Bintang berlari kecil dengan semangat khas anak kecil, menggenggam tangan boneka superhero kesayangannya.“Mama, nanti di Lembang kita bisa lihat bunga banyak, kan?” tanya Bintang dengan mata berbinar.“Tentu saja, Sayang,” jawab Rania sambil mengusap kepala p
Siang itu, matahari menyinari gedung perkantoran megah yang menjadi pusat kesibukan Bastian sehari-hari. Di lantai paling atas, ruangan kantor Bastian tampak luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Suasana ruangan beraroma kopi dan kayu cedar, mencerminkan kepribadian Bastian yang tegas dan profesional.Seorang asisten mengetuk pintu sebelum membukanya. “Pak Bastian, ada Bu Ami dan Pak Gery yang ingin bertemu.”Bastian, yang tengah duduk di belakang meja kerjanya, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menatap asistennya dengan ekspresi tenang. “Persilakan mereka masuk.”Beberapa saat kemudian, Ami dan Gery memasuki ruangan. Ami mengenakan gaun pastel elegan, sementara Gery terlihat rapi dalam setelan formal. Mereka memasang senyum ramah, meskipun ketegangan terlihat di mata mereka.“Selamat siang, Mami, Papi,” sapa Bastian sambil berdiri dan menjabat tangan mereka. “Silakan duduk.”“Terima kasih, Nak,” jawab Ami dengan nada lembut, berusaha me
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menerobos masuk melalui jendela besar di ruang makan. Aroma roti panggang yang baru keluar dari oven bercampur dengan wangi kopi hitam yang pekat memenuhi udara, menciptakan suasana nyaman di rumah keluarga Rania.Di meja makan besar, keluarga kecil itu berkumpul. Boby dan Rita duduk di sisi kepala meja, sementara Cucu, ibu angkat Rania, duduk bersebelahan dengan Bintang yang sibuk menyendokkan bubur ke mulut kecilnya. Rania, mengenakan gaun rumah sederhana berwarna pastel, duduk di sisi lain meja, tampak menikmati secangkir teh hangat.“Mama, tolong minta rotinya,” pinta Bintang dengan suaranya yang riang.Rania tersenyum, mengambil sepotong roti panggang dan menyerahkannya ke tangan kecil putranya. “Pelan-pelan makannya, Sayang. Jangan sampai tumpah lagi, ya.”“Iya, Ma,” jawab Bintang dengan pipi yang sudah menggembung karena bubur.Suasana pagi itu begitu hangat, dipenuhi c
Hujan deras mengguyur Bandung sejak semalam, menciptakan suasana dingin dan temaram yang terasa menusuk hingga ke tulang. Di dalam kamar bernuansa krem yang hangat, Rania duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya dengan wajah terkejut. Portal berita yang terpampang di layar menampilkan sebuah judul yang membuat dadanya berdebar."Pebisnis Ternama Bastian Pramudista Akan Ceraikan Istrinya, Maya Kartika!"Rania membaca ulang judul itu, seolah ingin memastikan bahwa matanya tidak salah menangkap kata-kata yang terpampang di sana. Ia menelusuri artikel tersebut, membacanya perlahan dengan alis berkerut.Keputusan itu tak disangka. Bastian, pria yang dulu pernah mengisi ruang hatinya, kini menjadi pusat perhatian publik karena rencana perceraian ini. Nama Maya disebut-sebut terlibat dalam skandal yang mencoreng reputasi keluarga mereka.“Bastian...” bisik Rania lirih, hampir tidak percaya.Ia meletakkan ponselnya di samping, menarik napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Rintik h
Sore ini, Bastian duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi wajah yang gelap. Di atas mejanya, berkas-berkas yang menjadi bukti nyata perselingkuhan Maya dan penyelewengan dana yang dilakukan bersama Ronal terhampar dengan jelas. Semua bukti telah ia kumpulkan, dari laporan transaksi mencurigakan hingga foto-foto dan pesan-pesan pribadi yang tidak dapat disangkal lagi.Bastian mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan amarah yang bergejolak dalam dadanya. Namun, semakin ia melihat bukti-bukti itu, semakin sulit baginya untuk menahan diri. Pernikahan yang ia jaga dengan segala usahanya ternyata dihancurkan begitu saja oleh orang yang seharusnya menjadi pasangannya.“Cukup sudah,” gumamnya, suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan.Ia mengambil tumpukan dokumen itu, lalu melangkah cepat menuju kamar utama. Pintu kamar didorongnya dengan keras, membuat Maya yang sedang duduk di depan cermin berdandan terkejut.“Bastian?” Maya berbalik, menatap suaminya dengan bingung.Bastian tidak
Malam itu, suasana di rumah Rania begitu tenang. Suara tawa kecil Bintang menggema di ruang keluarga. Anak itu duduk di karpet sambil bermain balok susun, ditemani Rania yang sesekali tersenyum melihat polah lucunya. Ia tampak cantik dengan balutan baju santai berwarna lembut, rambutnya diikat rapi.Namun, ketenangan itu berubah saat suara klakson halus terdengar dari halaman depan. Rania menoleh ke arah pintu, bingung. “Siapa malam-malam begini?” gumamnya pelan.Tak lama kemudian, Rita muncul dari arah ruang makan. Ia melangkah ke arah pintu utama sambil memanggil Boby. “Pa, ada tamu rupanya. Kamu tahu siapa?”Boby, yang sedang membaca koran di sofa, melipat bacaannya dan ikut berjalan ke pintu. “Sudah kukatakan tadi. Satria bilang ingin mampir,” jawabnya santai.Rania mengernyitkan dahi. “Mas Satria?” tanyanya, nyaris tidak percaya.Rita menoleh dan tersenyum. “Iya, sayang. Kamu nggak dengar kami bicara tadi siang? Dia ingin berkunjung.”Belum sempat Rania menjawab, pintu terbuka, m
Malam sudah menjelang ketika Nora dan Prakas tiba di rumah mereka. Udara dingin mengiringi langkah keduanya yang berat. Meski lampu-lampu rumah menyala terang, suasana hati mereka gelap oleh kabar yang baru saja mereka terima tadi siang dari Bastian.Nora meletakkan tas tangannya di atas meja kecil di ruang tamu, lalu menghela napas panjang. “Pi,” panggilnya pelan, menoleh pada Prakas yang duduk di sofa dengan wajah serius. “Apa yang kita lakukan sekarang?”Prakas tidak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke depan, pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.“Pi?” Nora kembali memanggil, suaranya lebih pelan.Prakas menghela napas berat sebelum akhirnya menjawab. “Aku tidak tahu, Mi. Jujur saja, aku tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi seperti ini.”Nora duduk di samping suaminya, menatap wajah pria yang sudah menemaninya selama puluhan tahun itu. “Masih jelas di ingatan kita, bagaimana dulu kita menolak Rania untuk menjadi bagian dari keluarga ini. Tapi s