Jakarta, kediaman Maya.
Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.
“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.
“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.
“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.
“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.
“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.
Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.
“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini. Katanya prestasi kerjanya cukup baik,” jelas Maya.
“Lalu, kamu biarkan begitu saja? Apa kamu tidak takut kalau nanti wanita itu akan menggoda Bastian?” tanya Ami seraya berjalan mendekat.
Maya menoleh ke arah sang ibu, “Justru bagus kalau ia berada di kantor pusat. Jadi ia akan selalu berhadapan denganku. Bukankah setelah menikah nanti, aku juga akan jadi pimpinan di perusahaan? Bastian direktur utama dan aku akan jadi direktrisnya. Jadi wanita sialan itu bisa melihat kemesraanku bersama Bastian setiap hari di kantor.” Sebuah senyum sinis terukir di bibir Maya.
“Mami hanya khawatir, Maya.” Ami meyentuh lembut bahu kanan sang anak.
Maya menyibak lembut tangan sang ibu. Menggenggamnya dengan lembut lalu berkata, “Mami tidak perlu khawatir, Mi. Rania itu tidak akan berani macam-macam. Jika dia berani macam-macam, maka akan aku pastikan kalau ia akan menyesal seumur hidupnya,” ucap Maya.
Sang ibu mengangguk setuju.
“Mami senang, sebentar lagi kamu akan jadi bagian dari keluarga besar Pramudista. Ini adalah hubungan yang sangat menguntungkan,” ucap Ami.
“Iya, Mi. Aku sudah tidak sabar ingin menjadi nyonya besar di keluarga Pramudista.” Maya tersenyum. Kembali ia pendar pandangan matanya ke langit kota jakarta lewat dinding kaca kamarnya.
Sementara di tempat berbeda, Rania berada di sebuah resto. Duduk di hadapan Farel seraya tersenyum manis. Setiap berada di dekat pria itu, jiwa Rania serasa tentram. Permasalahannya seakan sirna.
“Pak, terima kasih sudah mengajakku ke sini,” ucap Rania.
“Rania, sudah berapa kali aku katakan, kalau bukan di jam kantor, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Memangnya aku ini terlihat sangat tua?” Farel tersenyum.
“Maaf, Mas,” ucap Rania.
“Rania, bibirmu kenapa?” Farel mencoba memerhatikan bibir Rania. Ada bekas luka di sana.
Rania menyentuh bibirnya, “Ah ini. Bukan apa-apa, Mas. Kebetulan kemarin aku sariawan dan tanpa sengaja kegigit. Jadinya seperti ini. Tapi nggak apa-apa kok. Beberapa hari lagi juga akan hilang bekasnya. Aku pikir dengan lipstik bisa tertutup sempurna,” bohong Rania.
“Oh, aku pikir kenapa,” ucap Farel.
“Memangnya mas pikir kenapa?” Rania tersenyum seraya mengaduk minumannya.
Farel membelas dengan kekehan ringan.
“Ran, dua minggu lagi Bastian dan Maya akan menikah,” ucap Farel.
“Ya, lalu?” Rania sedikit mengernyit.
“Maaf kalau aku lancang, tapi aku sangat ingin pergi bersamamu. Apakah bisa?” Farel menatap Rania dengan tatapan penuh harap.
“Maksudnya?” Rania masih terlihat bingung.
“Hhmm ... Begini lo, a—aku.” Farel menghentikan ucapannya. Pria itu meraih tangan kanan Rania, lalu menyentuh punggung tangan itu dengan lembut.
“Ada apa, Mas?” tanya Rania. Sorot matanya tajam, memerhatikan sikap dan wajah Farel.
Farel menghela napas sejenak. Ia lepaskan tangan Rania dari genggamannya lalu ia kembali menggenggan ke dua tangannya sendiri.
“Mas?” ucap Rania. Ia semakin memerhatikan sikap Farel. Wanita itu heran dengan sikap Farel.
“Ran, aku mau jujur sama kamu. Aku suka sama kamu, Ran. Kamu mau nggak jadi pacar aku? Ah bukan, jadi calon istri saja deh,” ucap Farel tiba-tiba. Pria itu terlihat sedikit gugup, namun berusaha ia sembunyikan di balik senyum tampannya.
Apa yang disampaikan Farel sontak membuat Rania tersentak. Ia kaget, tidak sangka kalau Farel akan mengatakan hal itu padanya siang ini.
Memang, selama ini sikap Farel begitu baik kepada Rania. Bahkan bisa dikatakan jika Farel adalah penyelamat dikala Rania mendapat masalah dengan Bastian ataupun masalah dengan pekerjaannya. Farel juga salah satu orang yang sangat berjasa atas pangkat dan jabatan yang saat ini Rania dapatkan karena pria itu yang sangat merekomendasikan dirinya kepada atasan.
Rania pikir semua itu hanya sebatas teman dan rekan kerja, tidak lebih. Namun siang ini ia mendapatkan pernyataan yang sangat mengejutkan. Apalagi Farel tahu kalau Rania adalah mantan kekasih Bastian.
“Ran, aku tahu kalau ini sangat mendadak dan terkesan tidak romantis. Tapi aku tidak bisa menahannya terlalu lama,” ucap Farel.
“Maaf, Mas. Aku belum bisa,” balas Rania.
“Kenapa, Ran? Apa karena masih ada Bastian di hati kamu.” Farel sedikit berdecak. Terpancar rasa kecewa di wajahnya.
“Ini semua tidak ada hubungannya dengan pak Bastian. Jadi tolong jangan sangkut pautkan dengan beliau. Lagi pula beliau sebentar lagi akan menikah dengan bu Maya.” Rania berusaha bersikap santai.
“Justru karena itu, Ran. Hari ini aku mengatakan perasaanku yang sesungguhnya karena aku yakin sudah tidak ada lagi Bastian di hati kamu,” ucap Farel.
Rania tersenyum, “Memang sudah tidak ada lagi Bastian, dan itu sudah sangat lama.”
“Terus kenapa?” tanya Farel.
“Karena belum ketemu yang cocok, Mas,” jawab Rania.
“Bagaimana kamu tahu cocok nggak cocoknya kalau kamu nggak pernah mencobanya, Ran. Aku tahu banget setelah kamu putus dengan Bastian, kamu nggak pernah lagi dekat dengan lelaki manapun. Aku ini sepupunya Bastian. Sahabat baiknya, sebelum ia berubah jadi seperti sekarang setelah menjabat direktur utama di perusahaan itu.” Farel menenggak minumannya setelah mengatakan hal itu.
Rania menghela napas. Ia menenggak sedikit minumannya lalu kembali tersenyum ke arah Farel, “Mungkin belum sekarang. Tapi tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti. Sebaiknya kita saksikan saja dulu pernikahan pak Bastian dan bu Maya.”
“Kalau mereka benar-benar sudah menikah, apa kamu sudah mau membuka hati untuk lelaki lain?” Farel memberikan penegasan pada kalimat terakhirnya.
“Kita lihat saja nanti. Oiya, aku sudah tahu siapa yang menukar dikumenku tadi.” Rania mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Aku juga sudah tahu,” balas Farel.
“Jadi mas juga sudah tahu? Kenapa nggak ngasih tahu aku?” Rania tersenyum lebar. Terlihat jelas ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan dari yang sebelumnya.
“Aku bahkan sudah melihatmu berbincang dengan Inaya lewat rekaman CCTV. Jadi aku pikir kamu juga sudah tahu,” balas Farel.
Rania mengangguk, “Iya. Memang Inaya yang melakukannya. Katanya ia tidak sengaja.”
“Kamu percaya?” tanya Farel.
“Bisa iya bisa juga tidak. Tapi biarkan saja’lah, Mas. Lagi pula aku tidak peduli. Jadi gimana tadi? Mau ajak aku ke nikahannya pak Bastian dan bu Maya ya? Pura-puranya sepasang kekasih gitu ya? Kalau mas maunya memang begitu, aku sih setuju-setuju saja.” Rania terkekeh ringan. Berusaha mencairkan suasana yang tadi sempat kaku sesaat.
Farel hanya tersenyum tipis menanggapi candaan Rania yang ia rasa garing.
***
The Lion Hotel Jakarta.
PLAK!! Sebuah tangan menampar keras meja kerja Rania. Tentu saja hal itu membuat Rania tersentak. Ponselnya yang harusnya masuk ke dalam tas, terlepas dari tangan dan jatuh ke meja. Untung ponsel itu tidak jatuh ke lantai.
Rania mengangkat kepalanya, “Kenapa, Inaya?” tanya Rania.
“Rania, kamu apa-apaan tadi pegang-pegangan tangan sama pak Farel, ha. Kamu mau merebut Farel dari aku. Kamu tahukan kalau aku sudah lama menaruh hati padanya. Kamu mau nikung aku?” Inaya melototkan ke dua matanya ke arah Rania. Sorot matanya sangat tajam, penuh kemarahan.
Rania menghela napas, “Aku tidak pernah punya masalah sama kamu, jadi tolong jangan membuat masalah denganku,” ucap Rania, datar. Ia tetap memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berniat pergi meninggalkan meja kerjanya.
“Rania, tunggu! Aku belum selesai bicara.” Inaya menarik tangan Rania dengan kuat lalu melepaskannya hingga Rania terpental ke lantai.
Tubuh Rania jatuh tepat di depan kaki seseorang. Inaya sendiri pucat pasi. Tidak menyangka kalau seorang pria tiba-tiba datang dan berdiri di depan mereka. Bahkan kini, Rania terduduk tepat di depan kaki sang pria.
“Pak—.” Ucapan Inaya terhenti. Ia takut.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
“Ran, kamu baik-baik saja?” tanya Farel. Kening pria itu sedikit mengernyit sebab ia lihat wajah Rania lemah dan semakin sayu.Rania berusaha tersenyum seraya mengangguk, “Mas, kita pulang sekarang yuk.Farel mengangguk, “Bagaimana dengan hasilnya? Kata dokter kamu sakit apa?”“A—aku ... Aku nggak kenapa-kenapa kok, Mas. Aku hanya kecapekan saja. Tekanan darahku juga lagi rendah, makanya sangat drop. Aku mau istirahat, Mas. Aku mau pulang,” ucap Rania.“Iya ... Aku akan antar kamu pulang. Tapi sebelumnya kita mampir ke restoran dulu ya,” ucap Farel.Rania menggeleng, “Aku benar-benar butuh istirahat, Mas.”“Maksud aku bukan makan di sana. Tapi aku mau beliin kamu makanan untuk kamu makan nanti di apartemen.” Farel tersenyum.“Nggak usah, Mas. Lagian di rumah makanan lagi banyak kok. Jihan sedang tidak di rumah, jadi makanannya nggak ada yang makan. Aku juga tidak berselera,” balas Rania.Farel menghela napas, “Baiklah ... Kali ini aku tidak akan memaksa. Aku akan mengantarmu pulang.”F
Rania terduduk di lantai tepat di depan pintu unit apartemen. Punggungnya ia sandarkan ke pintu sementara tangannya tergeletak begitu saja di atas lantai.Rania menangis. Sepeninggal Farel, wanita itu memang tidak mampu mengendalikan dirinya. Air mata yang memang sudah memaksa keluar dari tadi, akhirnya tumpah ruah. Rania terisak, sendiran di sana.Kenapa harus aku? Lirih Rania.Rania melirik gelang giok hijau yang masih melekat cantik di pergelangan tangannya. Rania buka gelang itu lalu ia tatap seraya ia elus dengan lembut. Rania menyesal, menyesal sudah mengecewakan sang ibu yang kini berada di desa Lembang. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.Masih dalam keadaan terisak, Rania mengelus perutnya yang masih datar. Terlintas sejenak pikiran buruk di hatinya. Membuang anak itu dan kembali menjalani kehidupan yang normal di kota Jakarta.Namun tiba-tiba Rania tersadar. Anak itu sama sekali tidak bersalah, jadi ia tidak pantas menerima hukuman seberat itu. Apa lagi sampai dibuang kar
Perlahan, Rania melepaskan tangannya dari genggaman Farel tanpa menoleh ke arah pria itu. Rania tetap melangkahkan kakinya. Ia seka air matanya yang masih saja tumpah ruah, lalu ia pun segera masuk ke dalam taksi online yang sudah ia pesan.Farel terdiam. Ia tidak ingin memaksakan diri. Ingin rasanya Farel menyusul Rania saat ini juga, namun Farel sadar jika Rania juga butuh privasi. Ia pun membiarkan wanita itu pergi, masuk ke dalam taksi online dan menghilang dari pandangannya.“Sesuai aplikasi, Kak?” tanya sang sopir taksi.“Iya, Mas,” balas Rania.Sang sopir taksi memerhatikan Rania lewat pantulan kaca spion yang ada di atas kepalanya.“Kakaknya menangis?” tanya sang sopir taksi.Rania gelagapan. Segera ia seka air matanya dengan telapak tangan kanannya.Sang sopir taksi meraih kotak tisu yang terletak di atas dashboard mobil. Ia ambil kotak tisu itu lalu ia berikan kepada Rania.“Terima kasih,” ucap Rania.“Seberat apa pun masalah kita, harusnya kita tidak terlalu membuang-buang a
Rania sudah sampai di dalam gerbong salah satu kereta api yang akan membawanya ke stasiun Bandung. Ia dudukkan bokongnya di salah satu bangku dengan nomor yang sama dengan nomor tiket yang ia miliki.Rania menghela napas. Ia tatap kota Jakarta yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Rania sudah memutuskan akan melanjutkan hidupnya di tanah kelahirannya—desa Lembang. Setidaknya, itulah yang Rania tahu. Apakah ada rahasia lain atau tidak, Rania belum mengetahuinya.“Kamu Rania’kan?” tanya seseorang yang kini duduk tepat di hadapan Rania. Seorang wanita berhijab yang memerhatikan Rania sejak mendudukkan bokongnya di kursi.Rania yang tadinya melamun, memutar wajahnya. Ia tatap wanita manis yang ada di hadapannya.“Hana?” tanya Rania dengan sedikit mengernyit. Ia tidak yakin tapi ia berusaha menebak.Sang wanita tersenyum, “Iya, aku Hana. Masa kamu sudah lupa saja? Kita satu SD lo dulunya,” ucap wanita bernama Hana.“Oiya, maaf ... Soalnya sekarang penampilan kamu sudah berbeda. Makanya ak
Di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, Maya duduk dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian, Ronald masuk, mengenakan kemeja santai. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti tidak ada beban yang menghantuinya.“Kamu terlambat,” ujar Maya ketus saat Ronald mendekatinya.Ronald hanya tersenyum tipis, duduk di hadapan Maya dengan santai. “Santai saja, Sayang. Jadi, ada apa kali ini?”Maya mendesah berat, memutar cangkir kopinya tanpa minat. “Bastian sudah tahu. Dia mulai menyelidiki semuanya. Aku yakin dia sudah punya bukti cukup kuat soal dana yang aku selewengkan.”“Lalu?” Ronald bertanya santai, menyandarkan punggungnya di kursi.Maya menatap Ronald dengan tajam. “Kamu tidak takut sama sekali? Kalau aku kena, kamu juga pasti terseret. Aku bisa saja memberitahu Bastian semuanya.”Ronald tertawa keci
Malam itu, rumah besar Bastian terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam yang terdengar samar, mengiringi langkah pria itu memasuki ruang kerjanya. Pintu kayu besar berderit pelan saat Bastian menutupnya, seolah menyegel dirinya dari dunia luar. Dengan gerakan yang kasar, ia menjatuhkan dirinya di kursi kebesaran di belakang meja kerja. Tatapan matanya kosong, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Rania dan tawa kecil Bintang. Naluri di hatinya berkecamuk, memunculkan pertanyaan yang tak bisa ia abaikan. “Bintang…” gumamnya, hampir seperti bisikan. Ada sesuatu yang ia rasakan saat melihat bocah itu—sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menggenggam sisi meja kerjanya dengan erat, mencoba menenangkan diri. Tapi, semakin ia berusaha, semakin kuat amarah yang meluap di hatinya. Ia marah karena Rania telah menikah dan memiliki anak tanpa pernah memberi tahu dirinya, tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat pikirannya tak tenang—naluri emosional yang begitu mendalam
Setelah percakapan emosional di taman belakang, Nora dan Maya kembali ke ruang makan. Prakas dan Bastian masih terlihat berbincang ringan sambil sesekali menyeruput teh hangat yang tersisa. Ketika keduanya melihat kedatangan Nora dan Maya, suasana perlahan berubah lebih serius. Nora duduk di kursinya dengan anggun, sementara Maya memilih tempat yang agak berjauhan dari Bastian, berusaha menghindari tatapan tajam suaminya. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak sebelum Nora menghela napas panjang, mencoba mencairkan suasana. “Bastian, Papi…” Nora memulai dengan nada tenang. “Aku sudah berbicara dengan Maya di taman tadi. Dia mengakui kesalahannya dan benar-benar menyesal.” Bastian mendengus kecil, matanya menyipit. “Menyesal? Baru sekarang? Setelah semua bukti jelas di depan mata?” “Bastian, dengarkan dulu,” potong Nora dengan lembut. “Maya merasa tertekan. Dia merasa diabaikan olehmu, dan itu yang membuatnya bertindak di luar kendali. Mami tidak membenarkan apa yang dia lakukan, t
Siang itu, rumah megah milik keluarga Prakas terasa lebih tenang dari biasanya, meski ketegangan menggantung di udara. Di meja makan yang besar, tersaji hidangan lengkap mulai dari sup asparagus hingga steak salmon, yang semuanya tampak menggugah selera. Namun, tak satu pun dari mereka tampak benar-benar menikmati makanannya. Bastian duduk dengan ekspresi dingin di salah satu ujung meja, sementara Maya duduk di seberangnya dengan wajah yang terlihat penuh kepura-puraan. Nora, sang ibu, duduk di tengah-tengah mereka, sesekali melirik ke arah kedua belah pihak. Prakas, yang memimpin meja makan, akhirnya memecah keheningan. “Baiklah, semua sudah di sini. Mari kita makan dulu sebelum berbicara,” ujar Prakas, mencoba memberi nada netral pada situasi yang jelas tidak bersahabat. Bastian hanya mengangguk singkat. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sini, namun rasa hormatnya pada kedua orang tuanya menahan keinginannya untuk pergi. Sementara itu, Maya, dengan senyuman kecil yang tampak di
Malam mulai merangkak, dan suasana di kantor Bastian terasa tegang. Di balik pintu ruangan pribadi yang tertutup rapat, suara-suara tinggi terdengar. Bastian yang biasanya tenang dan dingin kini berbeda. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya, napasnya memburu karena amarah yang membara.“Jadi benar, Maya? Semua ini karena ulahmu?” Suara Bastian menggema di ruangan, tatapannya dingin seperti es yang siap membekukan segala sesuatu di sekitarnya.Maya duduk di kursi berlapis kulit di depannya, berusaha tetap terlihat tenang. Namun, getaran di tangannya menunjukkan sebaliknya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada datar, “Bastian, kamu salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya.”“Jangan berani-berani memutarbalikkan fakta, Maya!” Bastian membentak, suaranya penuh kekerasan. Ia memukul meja dengan keras, membuat berkas-berkas yang ada di atasnya melompat kecil. “Semua bukti menunjukkan bahwa kamu sudah menggelapkan dana perusahaan. Kamu bahkan teg
Malam itu, Bastian berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas gelap yang disesuaikan dengan sempurna. Rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya seperti biasa—tegas, dingin, tanpa ekspresi yang benar-benar terbaca. Di tengah kesibukannya memeriksa dasi, Maya muncul dari belakang. Wanita itu, dalam gaun malam yang mewah berwarna biru tua, melangkah perlahan mendekati suaminya sambil memerhatikan penampilannya.“Kau terlihat rapi sekali malam ini,” ucap Maya, nadanya terdengar datar, tapi ada sedikit nada sindiran di baliknya. “Untuk menghadiri pertunangan Farel?”Bastian menghela napas pendek, tetap memandang bayangan dirinya di cermin tanpa menoleh ke arah istrinya. “Ya. Itu penting.”“Kenapa harus begitu formal? Dia hanya—.” Maya berhenti, menelan kalimat yang ingin diucapkannya. Namun, matanya yang mencemooh berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.“Dia hanya apa?” potong Bastian, suaranya tenang, tapi tegas. Ia menoleh, memandangi Maya dengan sorot mata tajam.“Farel hanya pri
Suasana malam itu di rumah Sonya perlahan-lahan mereda dari kesibukan menjadi hening penuh keletihan yang berbalut kehangatan. Rania melepaskan ikatan rambutnya dan mengusap wajahnya yang lelah, menatap hasil kerja kerasnya bersama tim dengan perasaan bangga bercampur lega. Pesta pertunangan besok akan berjalan dengan cantik sesuai harapan, dan itu adalah buah dari kerja keras tanpa henti yang mereka curahkan sepanjang hari.“Terima kasih, Icha,” Rania berkata dengan suara lembut, menggenggam tangan gadis muda itu yang ikut bersinar dengan kepuasan. “Tanpamu, aku tidak akan sanggup melakukannya.”Icha tersenyum lelah namun bahagia. “Mbak, aku justru yang berterima kasih. Ini pengalaman luar biasa,” katanya, nada suaranya penuh kehangatan. Keduanya tertawa kecil, melepaskan sebagian beban yang mereka rasakan.Sonya, dengan mata yang terlihat berusaha keras melawan kantuk, menghampiri mereka.“Nia,” sapanya seraya memaksa matanya tetap terbuka. “Hasil dekorasimu luar biasa. Aku benar-be
Setibanya di lokasi sekitar pukul sepuluh pagi, Rania segera disambut suasana ramah dan hangat dari keluarga Sonya. Rumah berlantai satu yang terletak di tepi kota Jakarta itu akan disulap menjadi tempat pesta pertunangan yang megah dan elegan, sesuai harapan Sonya dan keluarganya. Halaman rumah yang cukup luas memberi banyak ruang bagi Rania dan timnya untuk berkreasi dengan dekorasi.Sonya dan keluarganya langsung menghampiri Rania begitu ia turun dari mobil bersama Icha, Arman, dan Doni. Senyuman merekah menghiasi wajah Sonya saat memperkenalkan Rania kepada beberapa anggota keluarganya. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka membawa Rania dan tim ke meja yang sudah dipenuhi hidangan sarapan. Makanan lezat dan minuman hangat menjadi penyambutan yang membuat Rania merasa diterima layaknya sahabat lama.“Silakan, Nia,” ujar Sonya, panggilan akrab yang digunakan Rania di kalangan orang baru. “Kalian butuh energi untuk bekerja seharian.”Rania tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sela
Hai teman-teman ... Terima kasih yang sebesar-besarnya buat teman-teman yang sudah mampir ke cerita ini dan sudah support cerita ini. Terkhusus buat teman-teman yang sudah berkenan memberikan GEM serta rating yang baik untuk cerita ini, aku ucapkan TERIMA KASIH BANYAK. Hanya Tuhan yang bisa membalas semuanya ^_^Buat teman-teman yang belum support, mohon support ya, biar aku lebih semangat lagi nulisnya. Karena tanpa support dari teman-teman semuanya, aku bukan apa-apa. LUV ... ^_^Jika teman-teman berkenan, mohon bantu share cerita ini agar lebih banyak lagi teman-teman kita yang lain yang tahu perjuangan besar Rania di cerita ini, hehehe ... Buat teman-teman yang belum ikutan GA, yuk ikutan. Kayaknya DEADLINE akan diperpanjang sampai 31 Desember 2024. Yuk bantu ramaikan GA aku ya. Silahkan mampir ke akun pesbuq aku aja ya untuk mengikuti rulesnya ^_^Akhir kata, aku ucapkan Selamat Menikmati Lanjutan Cerita ini ya.Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ^_^