Jakarta, kediaman Maya.
Maya tersenyum simpul membaca pesan singkat yang baru saja ia terima dari salah seorang anak buah Bastian. Rencananya berhasil dan tentu saja membuatnya sangat senang.
“Maya, kamu sedang apa?” tanya seseorang. Ia adalah nyonya Ami—ibu kandung Maya.
“Eh, mami. Ini lagi memerhatikan desain gaun yang akan aku pakai di nikahan nanti. Menurut mami gimana?” Maya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Ami.
“Bagus, tapi menurut mami ini terlalu terbuka.” Kening Ami sedikit mengernyit.
“Justru model terbaru memang seperti ini, Mi. Mami ini terlalu kuno,” balas Maya.
“Terserah kamu saja kalau begitu. Oiya, mami dengar mantan pacarnya Bastian dipindahkan ke kantor pusat. Apa benar?” tanya Ami.
Maya meletakkan ponselnya di atas meja. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju dinding kaca kamarnya.
“Iya, Mi. Ia baru saja dipindahkan hari ini. Katanya prestasi kerjanya cukup baik,” jelas Maya.
“Lalu, kamu biarkan begitu saja? Apa kamu tidak takut kalau nanti wanita itu akan menggoda Bastian?” tanya Ami seraya berjalan mendekat.
Maya menoleh ke arah sang ibu, “Justru bagus kalau ia berada di kantor pusat. Jadi ia akan selalu berhadapan denganku. Bukankah setelah menikah nanti, aku juga akan jadi pimpinan di perusahaan? Bastian direktur utama dan aku akan jadi direktrisnya. Jadi wanita sialan itu bisa melihat kemesraanku bersama Bastian setiap hari di kantor.” Sebuah senyum sinis terukir di bibir Maya.
“Mami hanya khawatir, Maya.” Ami meyentuh lembut bahu kanan sang anak.
Maya menyibak lembut tangan sang ibu. Menggenggamnya dengan lembut lalu berkata, “Mami tidak perlu khawatir, Mi. Rania itu tidak akan berani macam-macam. Jika dia berani macam-macam, maka akan aku pastikan kalau ia akan menyesal seumur hidupnya,” ucap Maya.
Sang ibu mengangguk setuju.
“Mami senang, sebentar lagi kamu akan jadi bagian dari keluarga besar Pramudista. Ini adalah hubungan yang sangat menguntungkan,” ucap Ami.
“Iya, Mi. Aku sudah tidak sabar ingin menjadi nyonya besar di keluarga Pramudista.” Maya tersenyum. Kembali ia pendar pandangan matanya ke langit kota jakarta lewat dinding kaca kamarnya.
Sementara di tempat berbeda, Rania berada di sebuah resto. Duduk di hadapan Farel seraya tersenyum manis. Setiap berada di dekat pria itu, jiwa Rania serasa tentram. Permasalahannya seakan sirna.
“Pak, terima kasih sudah mengajakku ke sini,” ucap Rania.
“Rania, sudah berapa kali aku katakan, kalau bukan di jam kantor, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Memangnya aku ini terlihat sangat tua?” Farel tersenyum.
“Maaf, Mas,” ucap Rania.
“Rania, bibirmu kenapa?” Farel mencoba memerhatikan bibir Rania. Ada bekas luka di sana.
Rania menyentuh bibirnya, “Ah ini. Bukan apa-apa, Mas. Kebetulan kemarin aku sariawan dan tanpa sengaja kegigit. Jadinya seperti ini. Tapi nggak apa-apa kok. Beberapa hari lagi juga akan hilang bekasnya. Aku pikir dengan lipstik bisa tertutup sempurna,” bohong Rania.
“Oh, aku pikir kenapa,” ucap Farel.
“Memangnya mas pikir kenapa?” Rania tersenyum seraya mengaduk minumannya.
Farel membelas dengan kekehan ringan.
“Ran, dua minggu lagi Bastian dan Maya akan menikah,” ucap Farel.
“Ya, lalu?” Rania sedikit mengernyit.
“Maaf kalau aku lancang, tapi aku sangat ingin pergi bersamamu. Apakah bisa?” Farel menatap Rania dengan tatapan penuh harap.
“Maksudnya?” Rania masih terlihat bingung.
“Hhmm ... Begini lo, a—aku.” Farel menghentikan ucapannya. Pria itu meraih tangan kanan Rania, lalu menyentuh punggung tangan itu dengan lembut.
“Ada apa, Mas?” tanya Rania. Sorot matanya tajam, memerhatikan sikap dan wajah Farel.
Farel menghela napas sejenak. Ia lepaskan tangan Rania dari genggamannya lalu ia kembali menggenggan ke dua tangannya sendiri.
“Mas?” ucap Rania. Ia semakin memerhatikan sikap Farel. Wanita itu heran dengan sikap Farel.
“Ran, aku mau jujur sama kamu. Aku suka sama kamu, Ran. Kamu mau nggak jadi pacar aku? Ah bukan, jadi calon istri saja deh,” ucap Farel tiba-tiba. Pria itu terlihat sedikit gugup, namun berusaha ia sembunyikan di balik senyum tampannya.
Apa yang disampaikan Farel sontak membuat Rania tersentak. Ia kaget, tidak sangka kalau Farel akan mengatakan hal itu padanya siang ini.
Memang, selama ini sikap Farel begitu baik kepada Rania. Bahkan bisa dikatakan jika Farel adalah penyelamat dikala Rania mendapat masalah dengan Bastian ataupun masalah dengan pekerjaannya. Farel juga salah satu orang yang sangat berjasa atas pangkat dan jabatan yang saat ini Rania dapatkan karena pria itu yang sangat merekomendasikan dirinya kepada atasan.
Rania pikir semua itu hanya sebatas teman dan rekan kerja, tidak lebih. Namun siang ini ia mendapatkan pernyataan yang sangat mengejutkan. Apalagi Farel tahu kalau Rania adalah mantan kekasih Bastian.
“Ran, aku tahu kalau ini sangat mendadak dan terkesan tidak romantis. Tapi aku tidak bisa menahannya terlalu lama,” ucap Farel.
“Maaf, Mas. Aku belum bisa,” balas Rania.
“Kenapa, Ran? Apa karena masih ada Bastian di hati kamu.” Farel sedikit berdecak. Terpancar rasa kecewa di wajahnya.
“Ini semua tidak ada hubungannya dengan pak Bastian. Jadi tolong jangan sangkut pautkan dengan beliau. Lagi pula beliau sebentar lagi akan menikah dengan bu Maya.” Rania berusaha bersikap santai.
“Justru karena itu, Ran. Hari ini aku mengatakan perasaanku yang sesungguhnya karena aku yakin sudah tidak ada lagi Bastian di hati kamu,” ucap Farel.
Rania tersenyum, “Memang sudah tidak ada lagi Bastian, dan itu sudah sangat lama.”
“Terus kenapa?” tanya Farel.
“Karena belum ketemu yang cocok, Mas,” jawab Rania.
“Bagaimana kamu tahu cocok nggak cocoknya kalau kamu nggak pernah mencobanya, Ran. Aku tahu banget setelah kamu putus dengan Bastian, kamu nggak pernah lagi dekat dengan lelaki manapun. Aku ini sepupunya Bastian. Sahabat baiknya, sebelum ia berubah jadi seperti sekarang setelah menjabat direktur utama di perusahaan itu.” Farel menenggak minumannya setelah mengatakan hal itu.
Rania menghela napas. Ia menenggak sedikit minumannya lalu kembali tersenyum ke arah Farel, “Mungkin belum sekarang. Tapi tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti. Sebaiknya kita saksikan saja dulu pernikahan pak Bastian dan bu Maya.”
“Kalau mereka benar-benar sudah menikah, apa kamu sudah mau membuka hati untuk lelaki lain?” Farel memberikan penegasan pada kalimat terakhirnya.
“Kita lihat saja nanti. Oiya, aku sudah tahu siapa yang menukar dikumenku tadi.” Rania mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Aku juga sudah tahu,” balas Farel.
“Jadi mas juga sudah tahu? Kenapa nggak ngasih tahu aku?” Rania tersenyum lebar. Terlihat jelas ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan dari yang sebelumnya.
“Aku bahkan sudah melihatmu berbincang dengan Inaya lewat rekaman CCTV. Jadi aku pikir kamu juga sudah tahu,” balas Farel.
Rania mengangguk, “Iya. Memang Inaya yang melakukannya. Katanya ia tidak sengaja.”
“Kamu percaya?” tanya Farel.
“Bisa iya bisa juga tidak. Tapi biarkan saja’lah, Mas. Lagi pula aku tidak peduli. Jadi gimana tadi? Mau ajak aku ke nikahannya pak Bastian dan bu Maya ya? Pura-puranya sepasang kekasih gitu ya? Kalau mas maunya memang begitu, aku sih setuju-setuju saja.” Rania terkekeh ringan. Berusaha mencairkan suasana yang tadi sempat kaku sesaat.
Farel hanya tersenyum tipis menanggapi candaan Rania yang ia rasa garing.
***
The Lion Hotel Jakarta.
PLAK!! Sebuah tangan menampar keras meja kerja Rania. Tentu saja hal itu membuat Rania tersentak. Ponselnya yang harusnya masuk ke dalam tas, terlepas dari tangan dan jatuh ke meja. Untung ponsel itu tidak jatuh ke lantai.
Rania mengangkat kepalanya, “Kenapa, Inaya?” tanya Rania.
“Rania, kamu apa-apaan tadi pegang-pegangan tangan sama pak Farel, ha. Kamu mau merebut Farel dari aku. Kamu tahukan kalau aku sudah lama menaruh hati padanya. Kamu mau nikung aku?” Inaya melototkan ke dua matanya ke arah Rania. Sorot matanya sangat tajam, penuh kemarahan.
Rania menghela napas, “Aku tidak pernah punya masalah sama kamu, jadi tolong jangan membuat masalah denganku,” ucap Rania, datar. Ia tetap memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berniat pergi meninggalkan meja kerjanya.
“Rania, tunggu! Aku belum selesai bicara.” Inaya menarik tangan Rania dengan kuat lalu melepaskannya hingga Rania terpental ke lantai.
Tubuh Rania jatuh tepat di depan kaki seseorang. Inaya sendiri pucat pasi. Tidak menyangka kalau seorang pria tiba-tiba datang dan berdiri di depan mereka. Bahkan kini, Rania terduduk tepat di depan kaki sang pria.
“Pak—.” Ucapan Inaya terhenti. Ia takut.
Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.Inaya sedikit gemetar. Tanpa me
Ballroom The Lion Hotel Jakarta.Ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta itu sudah di sulap menjadi ruang pesta yang sangat megah dan mewah. Dekorasi bernuansa putih dan sedikit aksen biru metalik—warna kesukaan Maya dan Bastian. Maya pecinta warna putih sementara Bastian pecinta warna biru metalik.Ada dua lantai di sana dan ke dua lantai dipenuhi dengan meja serta kursi yang bisa ditempati oleh tamu undangan yang datang. Ada beberapa suguhan juga yang terhidang di sana. Mulai dari masakan khas Indonesia, sampai masakan luar negeri pun ada.Di bagian depan, terdapat panggung yang berisi pelaminan dengan dekorasi mewah dan berkelas. Sudah duduk di sana Bastian dan Maya dengan pakaian pengantin yang sangat bersinar. Maya terlihat sangat anggun dan seksi dengan pakaian pengantin berwarna putih dengan belahan dada rendah, sementara Bastian tampak gagah dan tampan dengan jas modern dengan warna senada.Sepanjang acara, tidak pernah putus senyum terukir dari bibir ke duany
Will You marry me? Terngiang kalimat itu di telinga Rania. Sementara Farel masih menunggu jawaban wanita itu. Tangannya tampak pegal memegangi kotak perhiasan yang kini masih terpampang manis di depan Rania.“Bagaimana, Ran?” tanya Farel.Rania yang sedari tadi masih melongo, tiba-tiba saja tersenyum kecil. Ia raih tangan Farel lalu ia turunkan tangan itu dengan lembut tanpa mengambil kotak perhiasan yang diberikan Farel kepadanya.“Kenapa, Ran?” tanya Farel. Pria itu tentu sangat kecewa dengan sikap Rania yang secara tidak langsung sudah memberikan jawaban yang tidak diharapkan oleh pria itu.“Aku masih belum siap, Mas. Maaf ...,” jawab Rania.“Tapi kenapa?” Farel masih mendesak.“Aku tidak tahu. Sebaiknya kita jalani saja dulu. Nanti kalau aku sudah siap, aku sendiri yang akan memberitahumu.” Rania berusaha tersenyum.“Apa tidak ada sedikit saja perasaanmu terhadapku, Rania?” Farel menggenggam lembut tangan kanan Rania.“Jujur saja, perasaan itu memang ada. Tapi aku tidak berani memu
Satu bulan lebih berlalu semenjak kejadian malam menyedihkan itu. Malam di mana Rania kehilangan kesuciannya.Rania terjaga. Kali ini ia sendirian di kamar apartemen sewaannya sebab Jihan sudah beberapa hari dinas luar kota. Rania merasa sangat pusing, perutnya juga terasa mual.Belum sempat melirik ke jam dinding, Rania langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia muntah di sana. Memuntahkan udara ke westafel yang terdapat di dalam kamar mandi.Rania menyeka wajahnya dengan air. Ia tatap wajah cantiknya lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Wajah itu tampak sangat pucat.Rania kembali menghidupkan kran air. Ia tampung air mengalir itu dengan ke dua telapak tangannya lalu kembali ia basuhkan ke wajahnya. Segar, itulah yang terasa saat ini.Merasa dirinya sudah sedikit lega, Rania pun beranjak masuk kembali ke dalam kamar. Ia dudukkan bokongnya di tepi ranjang lalu ia tatap jam dinding yang terdapat di dalam kamar itu. Benda bulat itu menunjukkan pukul e
“Ran, kamu baik-baik saja?” tanya Farel. Kening pria itu sedikit mengernyit sebab ia lihat wajah Rania lemah dan semakin sayu.Rania berusaha tersenyum seraya mengangguk, “Mas, kita pulang sekarang yuk.Farel mengangguk, “Bagaimana dengan hasilnya? Kata dokter kamu sakit apa?”“A—aku ... Aku nggak kenapa-kenapa kok, Mas. Aku hanya kecapekan saja. Tekanan darahku juga lagi rendah, makanya sangat drop. Aku mau istirahat, Mas. Aku mau pulang,” ucap Rania.“Iya ... Aku akan antar kamu pulang. Tapi sebelumnya kita mampir ke restoran dulu ya,” ucap Farel.Rania menggeleng, “Aku benar-benar butuh istirahat, Mas.”“Maksud aku bukan makan di sana. Tapi aku mau beliin kamu makanan untuk kamu makan nanti di apartemen.” Farel tersenyum.“Nggak usah, Mas. Lagian di rumah makanan lagi banyak kok. Jihan sedang tidak di rumah, jadi makanannya nggak ada yang makan. Aku juga tidak berselera,” balas Rania.Farel menghela napas, “Baiklah ... Kali ini aku tidak akan memaksa. Aku akan mengantarmu pulang.”F
“Nggghh ....”Suara lenguhan keluar dari bibir Rania ketika Bastian mulai menyapu lehernya dengan kecupan yang lebih panas lagi. Desahan itu semakin terdengar jelas ketika bibir basah seorang pria mulai menggelitik bahkan menggigit lembut daun telinga Rania.Bibir bastian menari-menari di leher dan daun telinga Rania, sementara tangannya mulai melepas sendiri celananya, membuat rongga yang luar biasa hingga sebuah benda yang mulai menegang merasa lega.Bastian mendorong lembut tubuh Rania hingga rebah ke atas ranjang. Melepas rok span yang dikenakan wanita itu, lalu menarik paksa segi tiga pengaman milik Rania. Basah, itulah yang terasa di tangan Bastian ketika menyentuh segitiga pengaman milik Rania.Tidak lama, sebuah benda mulai memaksa masuk ke dalam tubuh Rania. Sesuatu yang membuat rasa sakit dan nyeri menguasai bagian bawah miliknya.“Auuhh ... sakit ...,” lirih Rania. Ia berusaha mendorong tubuh kekar itu.“Jangan ...,” ucapnya lagi. Rania sadar kalau semua ini tidak boleh ter
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Ran
“Auh ....” Seorang wanita melenguh ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya. Ia adalah salah satu tamu istimewa di hotel milik Bastian. Wanita itu dan suaminya—Boby—sedang menyewa kamar terbaik dan mahal di hotel itu selama mereka menginap di Jakarta.“Maaf, Bu ... Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Rania.“Tidak masalah,” jawab sang wanita seraya menekan langkah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rania.Rania membalik tubuhnya, melihat langkah kaki wanita yang sedang berjalan dengan anggun keluar dari hotel. Rania tersenyum, ia bahkan tidak tahu kenapa ia tersenyum. Walau tidak melihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja ia tabrak, Rania merasa ada perasaan yang berbeda di hatinya tatkala berada dekat dengan wanita itu.Sepersekian detik kemudian, Rania tersentak. Ia kembali memasang wajah serius lalu menekan langkah menuju ruangannya.“Rania, kamu kemana saja? Tadi pak Bastian nyariin dan kelihatannya ia marah sama kamu,” ucap salah seorang rekan kerja Rani