Share

Topeng Inaya

Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.

Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.

“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.

“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.

Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.

“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletakkan dokumen ini di atas meja lalu saya tinggal ke toilet sebentar.” Rania gugup. Antara malu, kesal dan juga penasaran. Kenapa tiba-tiba ia salah ambil dokumen.

“Cuih, dasar wanita murahan,” ucap Bastian. Ia sangat merendahkan Rania.

“Pak, tolong jangan bicara seperti itu kepada saya. Demi Tuhan, ini salah paham. Saya bisa buktikan nanti.” Rania berusaha membela diri.

PLAK!!

Bastian kembali memukul meja dengan keras.

“Rania, ini kantor bukan tempat hiburan. Kalau kamu mau mesum, mesum saja di luar sana, jangan di sini. Jangan mengotori kantorku dengan khayal kotormu itu.” Bastian terlihat sangat marah.

“Pak, ini bukan saya. Saya tidak pernah menulis seperti ini. Bahkan saya sama sekali tidak pandai merangkai kata. Apalagi sekotor ini, Pak.” Rania masih berusaha membela diri.

“CUKUP! Menjijikkan!” Bastian semakin murka.

Rania terdiam.

“Sekarang sudah jelas, siapa sebenarnya yang menjijikkan,” ketus Bastian.

Rania tidak mampu berkata-kata. Ia memang sudah biasa menerima bentakan selama bekerja dengan Bastian, namun tidak pernah semenyakitkan ini. Tanpa memberikan kesempatan untuk klarifikasi, Bastian langsung mencap Rania sebagai wanita yang sangat menjijikkan.

“Kenapa kamu masih berdiri di sana?” Bastian melotot ke arah Rania.

Rania menyeka air matanya yang tidak mampu lagi ia tahan, “Permisi, Pak,” ucapnya seraya berlalu.

Rania meletakkan dokumen yang berisi cerita tidak senonoh itu di atas meja. Ia pun mendudukkan bokongnya dengan lemah, lalu menyandarkan sikunya di atas meja seraya mengusap ke dua pipi yang sudah penuh dengan linangan air mata.

“Ada apa, Ran?” tanya Farel. Beliau adalah general manager sekaligus atasan Rania.

“Eh, pak Farel. Maaf, saya tidak tahu siapa yang sudah mengganti dokumen ini. Tadinya dokumen yang ada di atas meja bukan ini, Pak. Sebelum menghadap pak Bastian, saya ke toilet sebentar. Saya tidak mengeceknya lagi sebelum memberikan dokumen ini pada pak Bastian. Nggak tahunya isinya yang bukan-bukan.” Rania menyodorkan dokumen itu pada Farel—atasannya.

Farel mengambil dokumen itu, membacanya sesaat lalu segera merobeknya.

“Aku percaya ini bukan ulah kamu,” ucap Farel.

“Demi Tuhan, memang bukan saya yang melakukannya, Pak.” Rania begitu berharap farel percaya padanya.

“Kita bisa cek di CCTV siapa yang sudah menukar dokumen asli kamu dengan yang ini. Aku akan bantu.” Farel berusaha menghibur.

Rania mengangguk.

“Sudah, jangan kamu pikirkan lagi. Ran, siang ini kamu ada acara nggak?” tanya Farel.

Rania menggeleng, “Memangnya kenapa, Pak?”

“Aku mau ajakin kamu makan siang di luar, gimana? Aku tahu kamu pasti diperlakukan semena-mena lagi oleh Bastian. Aku hanya ingin menghibur,” ucap Farel.

Rania mengangguk. Lagi pula ia memang sedang malas berada di kantor saat ini. Jadi, apa salahnya ia terima tawaran Farel. Ia pun butuh teman mengobrol saat ini dan Farel adalah salah seorang yang ia percaya.

“Sepuluh menit lagi, aku tunggu di lobi hotel. Kalau kita keluar sekarang, Bastian pasti murka lagi.” Farel terkekeh ringan.

“Baik, Pak. Nanti saya akan susul ke lobi.” Rania tersenyum.

“Oke ... Ingat, jangan menangis lagi. Air mata kamu terlalu berharga untuk dibuang-buang begitu saja.” Farel mencondongkan sedikit wajahnya ke arah Rania. Tepatnya ke daun telinga, tapi masih memberi jarak.

“Iya, Pak. Terima kasih,” balas Rania

“Sama-sama ... Ingat sepuluh menit lagi. Eh bukan deh, tujuh menit lagi. Obrolan kita tadi ternyata sudah berjalan beberapa menit,” ucap Farel seraya terkekeh ringan.

Rania tersenyum lebar. Farel selama ini memang mampu menghibur dirinya. Apa lagi setiap mendapat perlakuan tidak baik dari Bastian, Farel adalah penyelamatnya.

“Aku pamit ya,” ucap Farel.

“Iya, Pak,” balas Rania.

Rania terduduk di atas kursi kerjanya sesaat setelah Farel pergi. Lagi-lagi ia tidak habis pikir, siapa yang tega melakukan hal itu pada dirinya.

Tiba-tiba saja seseorang berjalan dengan sangat terburu-buru ke arah Rania. Seorang wanita yang terlihat panik.

Inaya, ya wanita itu adalah Inaya. Inaya mendekat seraya mengulurkan sebuah dokumen pada Rania.

“Ran, maaf ya ... Tadi dokumen kerjaan kamu nggak sengaja kebawa sama aku. Itu mau kamu serahkan ke pak Bastian’kan? Ya ampun, kamu belum ke sana’kan? Pas tahu kalau aku salah bawa dokumen, aku langsung buru-buru ke sini untuk menemui kamu,” bohong Inaya.

Rania terdiam. Antara percaya atau tidak, tapi akting Inaya memang terlihat sangat natural.

“Ran, aku benar-benar minta maaf lo. Sumpah, aku nggak sengaja. Jadi adik aku sedang nulis cerita, lalu minta aku buat cetak karena printer di rumah sedang rusak. Rencana mau ia jadikan buku novel dewasa. Tadi pas aku lewat sini, tiba-tiba saja kakiku sakit. Aku tarok dokumenku di atas meja kamu. Nggak tahunya aku salah bawa, Ran. Lihat nih, tumitku sampai lecet lo karena salah beli ukuran sepatu. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa lihat sendiri di CCTV, aku nggak sengaja, Ran. Kamu belum jadi ke ruangannya pak Bastian’kan?” Inaya terlihat khawatir.

Rania hanya diam.

“Ran, aku benar-benar minta maaf. Atau nanti biar aku yang temui pak Bastian dan menjelaskan kronologi yang sebenarnya.” Inaya berusaha meyakinkan kalau ia benar-benar tidak sengaja.

“Sudah, lupakan saja,” ucap Rania.

 “Ran, kamu nggak marah sama aku’kan?” Inaya menggenggam lembut lengan kanan Rania.

“Aku mau pergi.” Rania berusaha berlalu.

“Ran, dokumen milik adik aku mana?” tanya Inaya.

“Sudah dirobek sama pak Farel dan dibuang ke tempat sampah,” ucap Rania, kemudian ia pun berlalu tanpa memedulikan Inaya.

Inaya memerhatikan langkah kaki Rania. Wanita itu tersenyum miring, seolah merasa menang melawan Rania. Ia ambil ponselnya lalu ia ketikkan sesuatu di sebuah aplikasi pesan singkat. Entah apa yang ia tulis dan entah kepada siapa ia kirimkan pesan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status