Dengan tangan bergetar Rania memutar gagang pintu, debar jantung dan dada sesak membuat dada perempuan itu kembang kempis, amarah yang sejak tadi terperangkap seakan menemukan tempat pelampiasan. Seorang perempuan paruh baya masuk dengan wajah getir setelah pintu terbuka, di tangannya menenteng sebuah tas berukuran sedang berwarna hitam mengkilat. "Ada yang membuat Mama lagi ke sini?" tanya Rania dengan tangan bersedekap di dada, matanya menelisik perempuan di hadapannya dengan raut wajah tak bersahabat. Haikal menatap lekat wajah wanita itu, hidung dan matanya begitu mirip dengan Rania. Bergantian di tatapnya dua perempuan yang tengah berdiri tak jauh dari darinya, ada sebongkah tanya yang menggumpal di hatinya yang belum bisa terucap. "Tolong Mama, Ran. Papamu nabrak orang, hingga korbannya meninggal di tempat," jelas wanita itu dengan memohon dengan wajah penuh kekhawatiran. Haikal menatap tak mengerti maksud perempuan itu. Bukankah orang tua Rania sudah lama meninggal, tapi k
Rania melempar tatapan ke arah Yuni dengan mata bak belati terhunus, membuat jantung wanita paruh baya itu berdegub kencang, menanti saat-saat kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir putrinya. "Sejak dulu kukatakan, aku tak ingin memiliki ayah sambung seperti bajing*n Alex, tapi kenapa Mama tak pernah mendengarkanku? Kenapa? Apakah setelah melihat hidupku sehancur sekarang, baru Mama akan mendengarkanku? Di saat teman sebayaku menikmati masa remajanya dengan suka cita, aku harus hidup dalam tekanan dan ancaman dari lelaki binat*ng yang Mama sebut sebagai suami. Bahkan belum genap seminggu Mama menikah dengannya, lelaki binatang itu telah merenggut paksa mahkota kesucian yang sebelumnya berusaha kujaga. Apakah terlalu jahat jika aku mengatakan Alex bajing*n? Ataukah salah jika aku menganggap kalian sudah mati?" Rania berkata dengan membentak, matanya tak henti mengurai air mata karena luka dan dendam yang melebur dalam dada. Yuni tersentak mendengar penjelasan panjang dari pu
Aku masih menunggu di depan ruang UGD bersama Aidil, pemuda yang tadi menabrak Sinta. Menurut Aidil, Sinta melintas tanpa menoleh kanan kiri karena sambil menangis, hingga kendaraan roda dua milik Aidil manbrak tubuh perempuan itu hingga terpental. Aidil tengah duduk terpaku tak jauh dariku, wajah lelaki itu terlihat gusar. Jari kaki dan lutut Aidil ikut terluka, setelah motornya terseret di aspal saat berusaha menghindari tubuh Sinta. Ayah dan Ibu sudah pulang, setelah selesai mengantar Sinta ke rumah sakit terdekat. Aku memilih menunggu, karena masih belum ada pihak keluarga yang datang, walau sempat sakit hati pada Sinta, aku tak sampai hati jika meninggalkannya terkapar di jalan dalam keadaan bermandi darah seperti tadi. Sayangnya aku tak memiliki nomor ponsel keluarga Sinta di kampung, berkali-kali menghubungi Kak Lila tak pernah tersambung, untuk menelpon Bang Haikal rasanya begitu malas, tapi akhirnya aku tetap menghubunginya. Aku sangat yakin Bang Haikal memiliki kontak kel
"Silahkan," jawabku tanpa menoleh. Kembali kukirim pesan pada Farah untuk lebih cepat menjemputku, agar memiliki alasan untuk pergi dari hadapan manusia menyebalkan ini. "Lihat Abang sebentar, Na."Aku mengangkat kepala, menatap ke arah lelaki yang masih berstatus suamiku itu dengan malas. "Kalau mau bicara, bicara saja! Tak perlu memintaku untuk menatapmu." Wajah lelaki itu terlihat terkejut mendengar kata-kata pedas dari bibirku barusan. Aku tak peduli, biarkan saja ia menikmati perlakuan tak bersahabat dari orang yang dulu ia kenal lemah lembut, karena semua adalah buah dari perbuatannya sendiri. "Maafkan Abang, Na … Abang hanya ingin mengatakan kalau surat-surat atas kepemilikan harta bersama yang kau minta beberapa minggu lalu sudah selesai dirubah atas namamu.""Hmm." Aku hanya berdehem, berita sebaik apa pun yang disampaikan Bang Haikal seakan tak ada daya tarik bagiku, sama seperti kali ini. "Kapan kau akan mengambilnya, Na?" "Secepatnya," jawabku dengan wajah datar.
Bergegas aku turun dari mobil Bang Amar, mendekat ke arah Bang Haikal yang menatap sinis ke arahku. Plak! Plak! Dua tamparan berhasil mendarat di pipi laki-laki kurang waras yang tengah berdiri di hadapanku, kuabaikan beberapa pasang mata yang tercengang melihat ke arah kami, Bang Amar hanya menjadi penonton. Sepertinya lelaki itu tak ingin terperosok ke dalam masalah keluarga kami. Dadaku kembang kempis menahan emosi yang membuat sesak setelah mendengar kalimat menyakitkan dari bibir Bang Haikal. "Jaga ucapanmu, Haikal! Masih kurangkah waku tiga tahun kau bermain gila dengan gundikmu untuk menyakitiku? Hingga sekarang kau malah menuduhku yang bukan-bukan. Lima tahun menjadi istrimu tak pernah terlintas di kepalaku untuk berpaling, tapi apa balasan darimu? Tiga tahun terakhir kau sudah menduakanku, hingga anak hasil perselingkuhan kalian aku yang kau minta untuk mengurusnya. Apa kau masih punya ot*k? Apakah maaih kurang pantas jika aku mengatakan kau tak punya hati?" Aku berkata
"Jika ingin menangis, menangislah, Na. Jangan sungkan! Aku cukup mengerti keadaanmu," ucap Bang Amar lembut. Aku tertunduk dalam, luka yang masih menganga kini bak tersiram air garam setelah mendengar tuduhan Bang Haikal tadi. Impian untuk menua bersama Bang Haikal kini tenggelam tak bersisa. "Andaikan saja dulu aku berani mengatakannya padamu," lirih Bang Amar hampir tak terdengar, lelaki itu seakan berbicara sendiri. Kuusap cepat air mata yang masih berurai, menarik napas dalam, mencoba untuk bertenang. "Maksud, Abang?" tanyaku pelan tanpa menoleh ke asal suara, Bang Amar tersentak demi mendengar pertanyaan dariku. "Gak papa, Na?" jawabnya, sambil berusaha menetralisir keterkejutannya dengan kembali tersenyum. Aku menerka-nerka apa yang baru saja kudengar. Mungkinkah Bang Amar dulu pernah memiliki rasa yang sama untukku? Ah, sudahlah aku tak ingin lebih sakit lagi, cukuplah Bang Haikal yang telah menoreh luka perih di hatiku, jangan sampai aku kembali terluka karena perasaanku
Aku memilih diam berusaha menenangkan hati yang bergejolak, Bang Amar pun sama. Aku tak ingin bertanya lebih jauh mengenai kalimat yang sudah lolos dari bibirnya. Mobil Bang Amar sudah terparkir sempurna di depan rumah Farah, aku membuka pintu mobil setelah mesin mobil dimatikan. "Abang langsung pulang ya, Na! Kebetulan habis magrib Mama minta temenin ke rumah temennya," ucap Bang Amar seraya menoleh ke arahku dengan tangan yang masih memegang setir. "Iya, Bang. Makasih banyak, ya.""Iya, Na. Maaf kalau kata-kataku tadi membuatmu tak nyaman.""Tak apa, aku masuk dulu, Bang," jawabku berusaha menghilangkan rasa canggung. Bang Amar mengangguk. Akau berjalan memasuki gerbang rumah Farah tanpa menoleh lagi ke arah Bang Amar, hati ini kenapa semakin berharap jika Bang Amar memiliki rasa yang sama untukku, padahal kutahu jika Farah memang lebih tepat untuknya. *****Haikal baru saja masuk ke rumahnya, lebih tepatnya rumah peninggalan orang tuanya. Amarah yang sejak tadi tertahan kini ia
Sendi-sendi di tubuhnya terasa begitu lemas, Haikal terduduk dengan tangan menangkup wajahnya. Sempat terpikir olehnya untuk meminta bantuan pada kedua kakaknya, tapi sesaat kemudian ia mengurungkan niatnya, rasanya tak mungkin kakak-kakaknya itu akan mendukung niatnya untuk membujuk Zana. Asik menikmati penyesalannya Haikal sampai lupa menjemput Harry dari rumah Bik Sum, bergegas ia mengusap air mata yang tadi sempat membasahi wajahnya, lalu bangkit berjalan keluar. Hari sudah beranjak malam, azan magrib mulai berkumandang, Haikal berjalan tergesa menuju rumah Bik Sum yang berjarak dua rumah dari rumahnya. Ia tak ingin terlalu lama menjemput Harry karena khawatir akan merepotkan Bik Sum. Tok! Tok! Tok! "Assalamu'alaikum," ucap Haikal setelah mengetuk pintu. "Wa'alaikumsalaam."Pintu terbuka, tergopoh janda paruh baya itu keluar setelah melihat Haikal berdiri di ambang pintu. "Masuk dulu, Nak! Harry sejak habis ashar mengalami demam tinggi, bibi beberapa kali menelpon tapi nomor