"Silahkan," jawabku tanpa menoleh. Kembali kukirim pesan pada Farah untuk lebih cepat menjemputku, agar memiliki alasan untuk pergi dari hadapan manusia menyebalkan ini. "Lihat Abang sebentar, Na."Aku mengangkat kepala, menatap ke arah lelaki yang masih berstatus suamiku itu dengan malas. "Kalau mau bicara, bicara saja! Tak perlu memintaku untuk menatapmu." Wajah lelaki itu terlihat terkejut mendengar kata-kata pedas dari bibirku barusan. Aku tak peduli, biarkan saja ia menikmati perlakuan tak bersahabat dari orang yang dulu ia kenal lemah lembut, karena semua adalah buah dari perbuatannya sendiri. "Maafkan Abang, Na … Abang hanya ingin mengatakan kalau surat-surat atas kepemilikan harta bersama yang kau minta beberapa minggu lalu sudah selesai dirubah atas namamu.""Hmm." Aku hanya berdehem, berita sebaik apa pun yang disampaikan Bang Haikal seakan tak ada daya tarik bagiku, sama seperti kali ini. "Kapan kau akan mengambilnya, Na?" "Secepatnya," jawabku dengan wajah datar.
Bergegas aku turun dari mobil Bang Amar, mendekat ke arah Bang Haikal yang menatap sinis ke arahku. Plak! Plak! Dua tamparan berhasil mendarat di pipi laki-laki kurang waras yang tengah berdiri di hadapanku, kuabaikan beberapa pasang mata yang tercengang melihat ke arah kami, Bang Amar hanya menjadi penonton. Sepertinya lelaki itu tak ingin terperosok ke dalam masalah keluarga kami. Dadaku kembang kempis menahan emosi yang membuat sesak setelah mendengar kalimat menyakitkan dari bibir Bang Haikal. "Jaga ucapanmu, Haikal! Masih kurangkah waku tiga tahun kau bermain gila dengan gundikmu untuk menyakitiku? Hingga sekarang kau malah menuduhku yang bukan-bukan. Lima tahun menjadi istrimu tak pernah terlintas di kepalaku untuk berpaling, tapi apa balasan darimu? Tiga tahun terakhir kau sudah menduakanku, hingga anak hasil perselingkuhan kalian aku yang kau minta untuk mengurusnya. Apa kau masih punya ot*k? Apakah maaih kurang pantas jika aku mengatakan kau tak punya hati?" Aku berkata
"Jika ingin menangis, menangislah, Na. Jangan sungkan! Aku cukup mengerti keadaanmu," ucap Bang Amar lembut. Aku tertunduk dalam, luka yang masih menganga kini bak tersiram air garam setelah mendengar tuduhan Bang Haikal tadi. Impian untuk menua bersama Bang Haikal kini tenggelam tak bersisa. "Andaikan saja dulu aku berani mengatakannya padamu," lirih Bang Amar hampir tak terdengar, lelaki itu seakan berbicara sendiri. Kuusap cepat air mata yang masih berurai, menarik napas dalam, mencoba untuk bertenang. "Maksud, Abang?" tanyaku pelan tanpa menoleh ke asal suara, Bang Amar tersentak demi mendengar pertanyaan dariku. "Gak papa, Na?" jawabnya, sambil berusaha menetralisir keterkejutannya dengan kembali tersenyum. Aku menerka-nerka apa yang baru saja kudengar. Mungkinkah Bang Amar dulu pernah memiliki rasa yang sama untukku? Ah, sudahlah aku tak ingin lebih sakit lagi, cukuplah Bang Haikal yang telah menoreh luka perih di hatiku, jangan sampai aku kembali terluka karena perasaanku
Aku memilih diam berusaha menenangkan hati yang bergejolak, Bang Amar pun sama. Aku tak ingin bertanya lebih jauh mengenai kalimat yang sudah lolos dari bibirnya. Mobil Bang Amar sudah terparkir sempurna di depan rumah Farah, aku membuka pintu mobil setelah mesin mobil dimatikan. "Abang langsung pulang ya, Na! Kebetulan habis magrib Mama minta temenin ke rumah temennya," ucap Bang Amar seraya menoleh ke arahku dengan tangan yang masih memegang setir. "Iya, Bang. Makasih banyak, ya.""Iya, Na. Maaf kalau kata-kataku tadi membuatmu tak nyaman.""Tak apa, aku masuk dulu, Bang," jawabku berusaha menghilangkan rasa canggung. Bang Amar mengangguk. Akau berjalan memasuki gerbang rumah Farah tanpa menoleh lagi ke arah Bang Amar, hati ini kenapa semakin berharap jika Bang Amar memiliki rasa yang sama untukku, padahal kutahu jika Farah memang lebih tepat untuknya. *****Haikal baru saja masuk ke rumahnya, lebih tepatnya rumah peninggalan orang tuanya. Amarah yang sejak tadi tertahan kini ia
Sendi-sendi di tubuhnya terasa begitu lemas, Haikal terduduk dengan tangan menangkup wajahnya. Sempat terpikir olehnya untuk meminta bantuan pada kedua kakaknya, tapi sesaat kemudian ia mengurungkan niatnya, rasanya tak mungkin kakak-kakaknya itu akan mendukung niatnya untuk membujuk Zana. Asik menikmati penyesalannya Haikal sampai lupa menjemput Harry dari rumah Bik Sum, bergegas ia mengusap air mata yang tadi sempat membasahi wajahnya, lalu bangkit berjalan keluar. Hari sudah beranjak malam, azan magrib mulai berkumandang, Haikal berjalan tergesa menuju rumah Bik Sum yang berjarak dua rumah dari rumahnya. Ia tak ingin terlalu lama menjemput Harry karena khawatir akan merepotkan Bik Sum. Tok! Tok! Tok! "Assalamu'alaikum," ucap Haikal setelah mengetuk pintu. "Wa'alaikumsalaam."Pintu terbuka, tergopoh janda paruh baya itu keluar setelah melihat Haikal berdiri di ambang pintu. "Masuk dulu, Nak! Harry sejak habis ashar mengalami demam tinggi, bibi beberapa kali menelpon tapi nomor
"Assalamu'alaikum," Suara salam dari seberang sana khas laki-laki dewasa, membuat Haikal tersentak. Ia memijat dahinya yang tiba-tiba berdenyut. Di saat ia ingin memperbaiki kesalahan mengapa keadaan terasa semakin sulit. "Kamu siapa?" tanya Haikal tanpa menjawab salam, ia merasa asing dengan suara lelaki di seberang sana. "Amar. Katakan saja apa keperluanmu menelpon Zana?" jawab Amar datar. Haikal sempat tersulut emosi, tapi sebisa mungkin ia kontrol demi Harry. Ia tak ingin keegoisannya membuat Harry kembali gagal bertemu Zana. "Bisakah aku berbicara dengannya?" tanya Haikal. "Zana tak di sini!" "Zana di mana? Kenapa ponsel Zana ada padamu?" "Di rumah Farah. Ponselnya tertinggal di mobilku."Haikal terdiam. Bagaimana caranya ia mengabari Zana jika ponselnya tengah di tangan laki-laki itu. Untuk berbicara panjang lebar pada Amar rasanya tak mungkin, karena sejak awal suara Amar terdengar sangat cuek padanya. "Tolong katakan pada Zana jika Harry sakit dan ingin bertemu dengann
"Dulu, aku sangat menyayangi Harry, bahkan meski dia anak angkat rasa sayangku cukup dalam untuknya," ujar Zana dengan tatapan menerawang. Bik Imah menatap sendu pada Zana. Farah terdiam. "Setelah semuanya berubah rasa itu masih ada, meski tak sekuat dulu, aku hanya tak ingin Bang Haikal memanfaatkan rasa sayangku pada Harry." Lanjut Zana. "Lantas, apa yang akan kau lakukan?" tanya Farah sambil mengunyah makanan yang tiba-tiba berubah hambar, seiring selera makan yang berubah. "Entahlah!" Zana terdengar pasrah. "Jangan menyiksa perasaanmu sendiri! Aku cukup kenal dirimu, Na. Ya sudah, kapan kau akan menemui Harry?" Farah berusaha menghibur. "Mungkin besok, Fa," jawab Zana pelan. "Aku akan menemanimu."Zana menatap lekat wajah Farah yang duduk di hadapannya kini tersenyum manis ke arahnya. "Makasih, Fa." jawab Zana. Farah mengangguk pelan. "Sekarang makan dulu." Perintah Farah. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu depan membuat Bik Imah Bangkit, berjalan ke luar untuk meliha
Harry tiba-tiba menangis histeris, memeluk lututku yang menyentuh lantai. Kuraih tubuh mungil Harry untuk kupeluk, hingga kami larut dalam rindu yang tak terucap. "Bunda di sini, Nak. Jangan nangis lagi, ya! Bunda sayang, Harry," lirihku di sela isak yang membuat dada sesak. Harry tak dapat berkata apa-apa, tangisnya tak juga reda, membuat suhu tubuhnya terasa semakin panas. Aku berusaha merenggang pelukan pada Harry, tapi seolah ia enggan melepas pelukanku. Farah mengusap lembut punggung Harry yang tengah berada dalam dekapanku, air matanya menetes tanpa suara. Pun dengan Bik Sum. Wanita paruh baya itu berkali-kali mengelap sudut matanya dengan lengan daster motif batik yang tengah ia pakai. Ada rasa sesal karena dulu aku pernah membenci Harry karena perbuatan orang tuanya. Hati kecilku mengatakan Harry tak salah sedikit pun, tapi rasa sakit membuatku abai dengan hal itu. "Harry, dengerin Bunda, Sayang. Setelah ini Bunda akan sering-sering mengunjungi Harry di sini, Bunda janji,