Aku di usia remaja bisa dikatakan seperti gumpalan lemak yang berjalan. Tepat sekali, aku sangat gendut untuk anak seumuran ku. Tapi beruntung, aku memiliki saudara sepupu yang selalu mendukungku, dia adalah Alissa. Saat aku dijadikan bahan olok-olokan, dia selalu ada di sisiku untuk membelaku.
"Hentikan! Arabella bukan gadis gendut! Dia itu gadis yang cantik!" Alissa membentak dua murid perempuan di sekolah hanya karena mereka berdua mengatakan aku sangat gendut dan tidak pantas berteman.
"Apa menjadi gendut seburuk itu?" tanyaku pada Alissa.
"Kau tidak buruk, Ara. Hati mereka yang buruk. Jangan dengarkan, tutup saja telingamu," jawab Alissa sambil menutupi kedua telingaku. Aku merasa lebih baik saat itu karena dia.
Alissa hidup sebatang kara setelah kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal dunia. Lissa sudah seperti kakak buatku, meski dia berumur dua tahun di bawahku tapi statusnya lebih tua dariku, karena dia anak dari kakak ayahku.
Sedangkan ayahku sendiri, entah di mana sekarang. Dia menghilang, pergi tanpa pamit meninggalkan aku dan ibuku.
Sejak saat itulah Lissa tinggal bersamaku di rumah ibu. Lissa sangat cantik, berbeda denganku yang kerap dikata-katai gadis jelek.
"Lissa, kau sangat cantik. Apakah aku tidak pantas di sisimu?"
"Ara, kau cantik. Hanya saja, orang belum melihat kecantikan mu, karena mereka memiliki standar yang rendah, tentang kecantikan itu sendiri."
Lagi-lagi Alissa selalu menenangkan ku.
Kehidupan ku yang semakin sulit membuat aku yang tadinya sangat suka makan terpaksa harus belajar menahan lapar dan berpuasa. Keuangan ibuku sangatlah memprihatinkan. Sebagai buruh cuci dengan bayaran yang tidak seberapa, tentu aku dan Lissa seringkali harus menahan lapar sehingga berat badanku pun turun dengan sendirinya.
Perubahan fisikku yang tadinya gemuk menjadi kurus setidaknya membawa dampak positif untukku. Aku sekarang bukan lagi Arabella yang gemuk, melainkan bobot ku sudah normal seperti gadis pada umumnya. Paras ku pun lumayan cantik, karena memang sejujurnya aku tidak jelek. Aku hanya kelebihan berat badan, sekarang aku berbeda. Aku percaya, jika kau adalah wanita maka kau akan tetap menjadi cantik bagaimanapun bentuk tubuhmu, dan apapun warna kulitmu.
Nyatanya, ditempat kelahiran ku ini. Meski aku tidak lagi gendut dan bertumpukan lemak seperti dulu. Aku tetap saja dipandang sebelah mata.
Kenapa demikian? Karena aku, miskin.
Saat menjadi cantik sekali pun, aku tetap saja akan direndahkan juga. Begitulah hidupku berjalan. Tapi, aku tidak menyerah, aku yakin akan ada secercah sinar yang akan menerangi jalanku. Asalkan aku percaya bahwa kebahagiaan tidak untuk dia yang sempurna. Karena memang kesempurnaan itu tidak ada.
Benar saja. Aku saat itu mendapatkan kesempatan yang sungguh mujur. Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang kuliah tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun karena semua sudah ditanggung oleh sekolah. Ibuku adalah orang pertama yang mendorong aku untuk menerima kesempatan itu dan tidak boleh menolaknya.
Kata ibuku, dia ingin aku menjadi orang yang sukses dengan pendidikan yang tinggi tidak seperti dirinya yang saat dinikahi ayahku hanya memiliki lulusan rendah. Beruntung ibuku sangat cantik, dia memiliki paras yang menawan dengan darah campuran yang melekat di dirinya. Kecantikan itulah yang membuat ayahku terpikat hingga akhirnya menikah dengan ibuku.
Kehidupanku saat kuliah bisa dibilang lancar. Aku yang sudah bertransformasi menjadi gadis cantik acapkali mendapatkan tawaran pekerjaan paruh waktu yang cukup menggiurkan. Sebagai SPG ataupun model pembantu yang lumayan menghasilkan untukku. Uangnya tentu aku kirimkan sebagian untuk ibuku yang saat ini tinggal ditemani Alissa.
Setelah lulus. Rupanya keadaan tidak sebaik yang aku harapkan. Ibuku masuk rumah sakit karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Dia selama ini tidak memberitahuku bahwa dia merasakan sakit. Tentu aku tahu, dia tidak ingin merepotkan aku. Tapi sekarang, apa aku harus diam saja ketika dia masuk ICU dan membutuhkan perawatan yang lebih intensif.
"Lima puluh juta. Apa kau bisa membayar ku di muka?" kataku dengan suara gemetar. Aku terpaksa melangkahkan kakiku ke sini. Pertemuan yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Aku sudah menolaknya dengan keras kemarin, aku bahkan ingin meludahi orang yang menawariku pekerjaan itu. Tapi nyatanya sekarang? Aku di sini, seakan menjilati ludahku sendiri. Menjijikkan! Tapi aku terpaksa melakukan ini.
"Sayang. Untuk wajah secantik kau tentu aku bisa mendapatkan orang yang mau membayar mu segitu, di muka." Perempuan kira-kira berusia empat puluh tahun yang sering di panggil mami. Seorang mucikari yang cukup populer dikalangan nya. Keahliannya mencari gadis muda seperti aku, untuk dijadikan bank berjalan olehnya.
"Cepatlah karena ibuku sangat membutuhkan uang itu," ucapku dengan segenap keberanian aku mengatakan itu. Aku Arabella, akan menjual diriku demi ibu.
Rupanya tak butuh waktu lama. Hari itu juga mami membawa pelanggan untukku. Pelanggan yang berani memberikan uang cash lima puluh juta kepadaku. Aku tersentak, meneguk ludahku keras-keras. Jadi? Aku akan berakhir malam ini, aku akan melepaskan keperawanan ku dengan cara hina seperti ini.
"Wow. Rupanya mami tidak berbohong. Berlian yang aku bayar lima puluh juta sangatlah cantik dan sepadan. Sini sayang, kemarilah. Kulitmu sangat halus, lembut dan sangat-harum."
Demi Tuhan aku jijik dengan diriku sendiri saat pria itu mendekati aku, menyentuh tanganku menciumnya bahkan menjilati ujung jemariku. Apa yang dia lakukan? Aku ingin meludahinya saat ini juga. Tapi, ini demi Ibu kan?
"Pak. Aku mohon lepaskan aku." Mungkin aku bodoh. Mana mungkin dia mau melepaskan aku, sementara uang lima puluh juta sudah aku pegang, selembar cek sudah dia berikan di muka dan aku sudah menerimanya.
"Hah? Apa katamu?" ucapnya dengan tatapan tajam ke arahku. Aku bergidik, sungguh tapi aku mual sekarang.
"Aku sebenarnya penyakitan, Pak." Entahlah aku hanya berharap dia melepaskan aku walau itu terdengar bodoh.
"Hahahaha kucing jalang! Kau coba membodohi ku, hah? Kenapa? Apa ini cara jalang memikat pelanggan? Dengan berpura-pura lugu, belum pernah disentuh? Hah! Kemari kau!" tekannya sambil menarik paksa diriku hingga berada dalam cengkeramannya yang cukup kuat.
"Ouch! Please, lepaskan aku!"
"Bitch! Kau sudah ku bayar lunas, sial!"
"Hentikan jangan sentuh aku! Brengsek!"
Aku hanya terus meronta memohon agar pria keparat itu melepaskan aku. Ini memang sudah sesuai perjanjian awal.
Ya, aku terpaksa menjual diriku pada lelaki hidung belang. Aku terpaksa, sungguh jika bukan karena ibuku. Kumohon siapapun, tolong aku.
"Brengsek!" Aku memekik mencoba sekuat tenaga agar bebas dari dekapan erat lelaki itu.
"Singkirkan tangan kotor mu!"
Suara siapa itu? Aku tersentak kaget mendengar suara yang cukup keras dari belakangku. Suara itu, terdengar seperti suara pria dewasa. Parau, agak serak. Ya, apakah dia hendak menyelamatkan aku? Mustahil. Ini kamar hotel, siapa yang bisa masuk ke sini.
Aku terkejut saat cengkeraman tangan pria brengsek itu mengendur bahkan terlepas dengan segera. Siapa sebenarnya pria itu. Pria yang berteriak di belakangku? Kenapa pria di depanku sampai ketakutan melihat dia. Tidak mungkin kan kalau dia? HANTU.
"Pa-pak Gavin?"
"Gavin?" aku mengulang nama yang disebutkan oleh pria itu. Jadi pria itu mengenal nama tersebut. Gavin katanya? Dia itu siapa? Aku merasa penasaran dan langsung berbalik.
"ASTAGA."
Jadi dia itu siapa? Gavin itu siapa? Dia sangat tampan dan terlihat seperti orang KAYA.
"Rupanya begini kelakuanmu. Aku membayar mu untuk bekerja bukan untuk bermain dengan jalang, brengsek!"
Aku turut tersentak saat lelaki yang dipanggil pak Gavin itu berteriak cukup keras, menggelegar dan nyaris membuat jantungku lepas.
"Maafkan saya, Pak. Saya hanya..." putus pria itu sepertinya dia hampir semaput karena mendengar teriakan orang yang dipanggil Gavin itu.
"Kembali ke kantor dan selesaikan apa yang harus kau selesaikan bodoh!" sentak orang itu.
"Ba-baik Pak."
Seperti pembantunya saja. Pria yang semula kukira orang kaya raya sehingga mampu membayar ku lima puluh juta. Rupanya dia memiliki atasan yang lebih hebat lagi. Buktinya dia sanggup mengusir pria itu menyingkir dari sisiku. Tadi itu hampir saja, kukira aku akan segera kehilangan keperawanan.
Saat ini pria yang bernama Gavin itu berjalan ke arahku. Aku hanya terdiam mematung dengan mata melebar dan tidak berkedip. Siapa dia sebenarnya? Kenapa aku seperti tersihir. Dia menyentuh bahuku yang terbuka, lalu mengelusnya. Anehnya aku hanya diam saja, tidak melawan seperti tadi.
"Kau dibayar berapa oleh lelaki tadi?" ucapnya membuat aku bergidik saat menatap kedua matanya, seperti elang yang akan menerkam mangsanya hidup-hidup.
"Lima puluh juta." Aku menjawab jujur. Aku tidak tahu apakah aku harus diam, atau berbohong. Tapi aku memilih jujur.
"Oh. Kenapa kau menjual diri?" tanyanya lagi.
"Demi ibuku. Terpaksa karena dia butuh uang untuk biaya rumah sakit." Apakah aku bodoh karena menceritakan semua itu pada pria yang baru aku kenal? Tapi sumpah, jika kau jadi aku sekarang, maka kau akan tahu rasanya berdiri di depan pria ini. Mengerikan...
"Hmmm..." dia hanya berdehem tapi sanggup membuat aku membeku di tempatku. Tangannya perlahan bergerak menaikkan tali dress tipis yang aku gunakan. Semula kukira dia akan menyentak tali itu hingga terlepas dan aku telanjang. Nyatanya tidak, dia sama sekali tidak melakukannya.
"Pakailah ini," katanya sambil melepaskan jasnya lalu memberikannya padaku. "Tutupi tubuhmu. Ikuti aku," imbuhnya dan aku terhipnotis begitu saja mengikuti apa yang dia katakan.
"Maaf," kataku sambil berjalan keluar dari kamar hotel mengikuti laki-laki itu.
"Jangan bicara apapun dan ikut saja denganku. Satu hal yang perlu kau tahu. Aku tidak akan meniduri mu."
Aku terkejut dan langsung membungkam mulutku rapat-rapat. Meski aku merasa lega, tapi kurasa ini bukan saatnya merasakan kelegaan. Bisa saja dia tidak meniduri ku bukan karena tidak akan merusak ku. Tapi, adakah yang lebih buruk? Misalkan dia akan menjual ku dengan harga yang lebih tinggi? Oh Tuhan. Lebih baik aku kembali gendut dan jelek jika menjadi cantik rupanya sangat teramat mengerikan.
"Akhirnya kau bangun, Ara."Suara itu? Bukankah itu suara lelaki yang kemarin menolongku? Oh Tuhan! Bagaimana aku bisa lupa, aku kan sedang berada dirumahnya. Mataku yang lesu akhirnya membulat sempurna saat melihat lelaki itu sedang duduk tepat di sebelahku. Apa aku tidak salah? Dia memperhatikan aku yang sedang tidur?"Pak..." Aku menutup mulutku. Aku lupa, dia tidak ingin aku memanggilnya dengan sebutan 'pak'."Maksudku Gavin. Sedang apa kau di sini? Ah, bukan maksudku kenapa kau masuk ke kamar ini? Meski ini rumahmu tapi aku tetap saja kaget, kau muncul seperti hantu saat aku membuka mata, kau malah duduk di sebelahku..." putusku saat tangannya malah berada di depan bibirku."Bukankah aku lebih mirip suamimu dibanding hantu?" ucapnya membuat aku melotot kaget. "Su-suami?"Gavin mengangkat bahunya. "Ya. Menurutku itu lebih pas dibanding kata hantu. Mana ada hantu yang setampan diriku, iyakan?"Aku benci
"Apa kau bilang? Kurasa kau benar-benar gila, Gavin! Sudahlah, aku akan pulang ke kontrakan rumahku sekarang, untuk uang yang kau pinjamkan tidak perlu kau cemas, aku akan kembalikan uang itu."Dia benar-benar tidak waras. Melakukan seks katanya? Tapi bukankah aku hampir menjual diriku, kalau saja dia tidak datang aku pasti sudah menjadi pelacur seutuhnya. Sudahlah, aku tetap harus keluar dari rumah ini!Aku menurunkan kakiku dari ranjang yang sangat empuk itu. Gavin masih menatapku tanpa sepatah kata pun. Apa dia marah? Atau dia merasa aku menghinanya?"Arabella... Kau rupanya lebih tangguh dari yang kubayangkan, ya. Tenanglah Ara, kalau aku berniat tidur dengan mu, untuk apa tidak aku lakukan dari kemarin. Sudahlah, kalau kau tidak mau menikah denganku tidak apa-apa. Bersiaplah , aku akan antar kau pulang."Dia tertawa? Aku menatapnya heran."Kenapa? Kau tidak mau pulang?"Astaga! Seharusnya aku senang, kan.
Ara keluar dari ruangan ibunya, sudah waktunya dia pulang dan memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk melunasi biaya rumah sakit.Saat dia sedang memutar otaknya, sambil mengingat-ingat kiranya ada seseorang yang dapat membantunya, tapi tidak ada yang terlintas dalam benaknya kecuali Gavin."Lupakan, Ara! Kau belum mengenalnya, bagaimana bisa kau menerima tawaran orang asing. Walaupun, Gavin memang baik, tapi...""Wow! Lihatlah, siapa dia, Frey. Bukankah dia si buntelan lemak, Arabella? Hahahaha....""Coba kulihat? Oh my God! Benar, dia kan Arabella teman sekelas kita di SMA dulu? Wah, kau lupa ya, Jen. Dia sudah bukan buntelan lemak lagi. Tubuhnya kurus sekarang, nyaris tak memiliki lemak. Hahahaha!"Ara menghentikan langkahnya dengan perasaan kesal, tapi dia tidak mau menunjukkan hal itu di depan dua wanita yang bernama Freya dan Jennifer, mereka berdua adalah teman sekelas Ara.Meskipun Ara
Kita adalah sepasang kekasih, yang sedang di mabuk asmara. Begitulah judul yang diberikan Ara untuk tema pesta malam ini. Walaupun Ara bukan pertama kalinya berakting, tapi tetap saja dia gugup. Malam ini dia bukan hanya akan berakting, tapi orang yang dia temui adalah keluarga besar Gavin, calon suaminya. "Sayang, maaf kalau aku agak gugup. Tapi bisakah kau ambilkan aku minum?" Ara menutupi mulutnya sambil sesekali mengedipkan mata. Gavin tak kuat menahan diri untuk tidak tertawa. "Hentikan. Aku tidak tahan lagi, jangan panggil sayang. Aku ingin tertawa terus," ucap Gavin. "Gavin! Kau ingin penampilan malam ini sukses, kan? Astaga, kau kira aku tidak menahan diri sejak tadi, aku jug ..." Ara menghentikan kata-katanya saat Gavin tiba-tiba menarik tubuhnya. Keduanya saling menatap satu sama lain, ada yang berbeda dengan tatapan Gavin. "Kau mau apa?" Mata Ara me
Kejadian sebelumnya ....Aku menarik napas ku dalam-dalam, saat melihat gadis di sampingku basah kuyup terkena hujan deras tadi. Apakah dia sebodoh itu? Duduk di bawah hujan tanpa payung. Atau dia memang sengaja ingin menutupi tangisannya?Tidak sengaja aku melihat dia sedang berbicara dengan dua wanita, walau itu sepertinya bukan pembicaraan yang tenang. Gadis itu terlihat menahan marah dan kuakui dia pandai menutupi emosinya itu. Tadinya aku ingin menemuinya untuk membicarakan masalah tawaranku. Aku malah tidak sengaja menyaksikan pertengkaran dia dengan dua wanita yang aku tidak tahu mereka itu siapa."Pakailah handuk ini, ini bukan handuk milikku. Itu handuk baru, tenang saja," ucapku padanya karena kalau dibiarkan dia bisa sakit. Ah, kenapa aku ini, apa aku sedang perhatian padanya? Entahlah."Terima kasih, Gavin." Dia mengambil handuk itu lalu mulai mengelap rambutny
"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya."Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras."A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku."Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya."Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengse
"Ya, Tuan. Apa Anda menginginkan saya?" Suara seorang wanita yang katanya paling cantik di sebuah bar ternama, membuat Gavin menoleh sekilas.Wanita itu memang cantik, tubuhnya bagus dan terlihat anggun dan seksi. Gavin tersenyum kecil, dia berusaha untuk tetap bersikap wajar. Ini bukan pertama kalinya Gavin mendatangi tempat seperti itu untuk mencari wanita.Tentu saja, hanya untuk mengecek apakah traumanya sudah menghilang? Sebab semalam dia menyentuh Arabella dan semuanya baik-baik saja. Gavin tidak merasakan reaksi yang biasanya dia rasakan, saat dekat dengan wanita.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Mungkin ini adalah hal yang gila. Seharusnya dia kembali ke rumah dan tidak perlu memastikan, tapi dia penasaran ada apa dengan Arabella? Kenapa dia baik-baik saja saat bercumbu dan nyaris saja bercinta dengan wanita itu?"Coba kemari, duduk dekatku," pinta Gavin. Wanita itu mengangguk setuju dengan
"Gavin, kumohon dengarkan dulu penjelasan ku. Kenapa kau selalu mengabaikan aku?" Tatap seorang gadis di depan Gavin. Keduanya tidak sengaja bertemu saat Gavin hendak membeli sesuatu di supermarket bersama dengan Arabella."Kau bertanya padaku? Lucu sekali, kau pasti tahu persis kenapa aku mengabaikan kau, bukan? Aluna! Ngomong-ngomong di mana kekasih terbaikmu? Apa dia sudah membuang mu?" sindir Gavin."Gavin, kau salah sangka! Aku dan Cedric tidak seperti yang kau bayangkan. Aku memang pergi dengannya, tapi bukan untuk bersama dalam artian berpacaran,""Sudahlah, aku tidak perduli. Walaupun kau memiliki hubungan atau tidak dengannya. Tapi semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku sudah harus pergi, Luna." Gavin tersenyum sarkastik lalu berbalik meninggalkan wanita itu.Sementara wanita yang bernama Luna itu terlihat sangat terpukul dengan perkataan Gavin barusan."Aku masih m