"Akhirnya kau bangun, Ara."
Suara itu? Bukankah itu suara lelaki yang kemarin menolongku? Oh Tuhan! Bagaimana aku bisa lupa, aku kan sedang berada dirumahnya. Mataku yang lesu akhirnya membulat sempurna saat melihat lelaki itu sedang duduk tepat di sebelahku. Apa aku tidak salah? Dia memperhatikan aku yang sedang tidur?
"Pak..." Aku menutup mulutku. Aku lupa, dia tidak ingin aku memanggilnya dengan sebutan 'pak'.
"Maksudku Gavin. Sedang apa kau di sini? Ah, bukan maksudku kenapa kau masuk ke kamar ini? Meski ini rumahmu tapi aku tetap saja kaget, kau muncul seperti hantu saat aku membuka mata, kau malah duduk di sebelahku..." putusku saat tangannya malah berada di depan bibirku.
"Bukankah aku lebih mirip suamimu dibanding hantu?" ucapnya membuat aku melotot kaget. "Su-suami?"
Gavin mengangkat bahunya. "Ya. Menurutku itu lebih pas dibanding kata hantu. Mana ada hantu yang setampan diriku, iyakan?"
Aku benci mengakuinya tapi dia memang tampan.
"Ah sudahlah, Gavin. Katakan apa tujuanmu membantuku? Bukankah aneh, kau membantu orang yang baru kau kenal. Apalagi aku ini hanyalah seorang pelacur."
Meski aku merasa aku belum menjadi pelacur seutuhnya. Aku masih perawan hingga detik ini.
Gavin, dia malah terkekeh geli. "Kau bukan pelacur Ara. Bahkan kau masih perawan, bukan?"
Aku tersentak kaget. "Darimana kau tahu, brengsek!" umpat ku sambil memeriksa tubuhku. Jangan-jangan dia melakukan sesuatu padaku.
"Tenanglah, Ara. Aku tidak melakukan apapun padamu. Aku hanya menebaknya. Lagi pula apa kau lupa bahwa aku tidak berniat meniduri mu."
Aku menatap matanya yang berwarna abu-abu. Aku baru menyadarinya bahwa dia memiliki tatapan yang memabukkan. Bibirnya tipis dan agak menggodaku, kenapa aku malah merasa sedikit terluka karena dia bilang tidak akan meniduri ku? Apa aku gila?
"Baguslah jika kau memang tidak berniat meniduri ku. Aku janji akan mengembalikan uang yang kau berikan untuk biaya rumah sakit ibuku. Hanya lima puluh juta, karena lima puluh juta lagi itu pemberian yang tidak aku sepakati sebelumnya."
Dia malah tertawa saat aku mengatakan itu. Apa dia merasa aku harus mengembalikan uang lima puluh juta yang dia tambahkan itu juga? Astaga, aku bisa bangkrut!
"Baik baik. Aku akan kembalikan seratus juta full, setelah aku mendapatkan uang nanti." Aku mengatakannya dengan susah payah. Tapi aku memang harus mengembalikan uang itu, apapun caranya.
Gavin. Kenapa dia malah tersenyum sekarang?
"Apa kau akan mencari lelaki yang mau membayar kau seratus juta?"
Aku terhenyak. Bingung sekaligus tidak tahu harus menjawab apa. Memang aku ini bisa apa? Kalaupun aku bekerja, aku tidak akan dengan mudah mendapatkan uang sebanyak itu.
"Ara. Bagaimana jika kita bekerja sama? Kau mau membantuku? Maka aku akan anggap hutangmu lunas. Bahkan aku bisa memberikan uang bulanan untukmu."
Gavin mengambil sejumput rambutku lalu menciuminya. Aku merinding, merasakan desah napasnya mengenai telingaku. "Bagaimana, Arabella?"
"Kau butuh bantuan apa?" tanyaku berharap permintaan dia tidak aneh-aneh.
Gavin tersenyum lalu mengusap permukaan bibirku dan mendekat padaku.
"Jadi istriku," ucapnya dan aku yakin telingaku masih berfungsi dengan baik.
Apa dia gila??
"Kau bilang istri? Hahaha kau sudah gila?"
Baru kali ini aku melihat kegilaan seorang lelaki asing yang seperti dia. Baru kenal, sudah mengatakan jadi istrinya? Aku hanya menggeleng sambil menahan geli, walau ada rasa sedikit penasaran, apa maksud omong kosongnya itu.
"Aku tidak sedang bercanda. Lagi pula, hidupku tidak pernah aku luangkan untuk candaan. Ini adalah bagian yang aku katakan mengenai kerja sama, simbiosis mutualisme."
"Ja-jadi kau tidak bercanda?"
"Tidak."
Aku tidak mungkin menikah dengan orang yang baru aku kenal. Dia benar-benar tidak waras, dia mungkin saja habis terbentur atau semacamnya.
"Aku tidak mau menikah denganmu, Gavin." Tentu saja, aku tidak mau menikah dengan orang asing seperti dia. "Aku akan lunasi hutangku, meski dengan menjual diri sekali pun."
Lelaki itu, dia hanya sedikit menaikkan sudut bibirnya dengan decih pelan lalu menarik napasnya agak panjang. "Kau akan kehilangan hal yang berharga dalam dirimu, jika kau menjual dirimu. Tidakkah lebih baik menerima tawaranku, dan aku akan memberikan apa yang kau butuhkan, dengan status yang sah."
Aku mengedarkan pandangan karena merasa bingung, apa yang harus aku lakukan. Apakah aku sudah terjebak permainannya? Tapi, suka tidak suka, karena dia aku tidak jadi menjual diriku dan masih menjaga keperawanan ku hingga kini.
"Jika ada yang ingin kau tanyakan, silahkan. Jangan memendamnya sendiri, aku akan menjawab dengan jujur, siapa tahu kau berubah pikiran."
Baiklah. Aku memang ingin bertanya satu hal padanya.
"Kenapa kau ingin menikah denganku?"
"Karena tuntutan keluarga, dan aku tidak pernah memikirkan untuk menikah. Melihat mu, aku merasa sepertinya kita cocok jika bekerja sama. Kau butuh uang, dan aku membutuhkan status pernikahan."
"Maksud mu? Kita menikah kontrak?"
Lagi-lagi dia tersenyum. Oh Tuhan, kumohon jangan biarkan orang ini terus memperlihatkan senyumannya itu di hadapanku. Tidak! Dia terlalu memperdaya, dia sangat sempurna.
"Bukan. Apakah bagimu pernikahan kontrak itu menyenangkan?"
"Hah?"
Maksud dia apa?
"Kita menikah sungguhan. Hanya saja, kita menikah untuk kepentingan yang saling menguntungkan. Ini seperti yang kukatakan, simbiosis mutualisme. Jadilah istriku, bersamaku jika aku butuh, dan selebihnya terserah kau saja. Kau bisa melakukan apa yang kau inginkan, aku tidak akan melarang mu."
Aku masih berpikir ini hal yang gila. Lalu menurutnya aku harus menjadi seperti istri pada umumnya, termasuk?
"Kita tidak melakukan seks. Tenanglah," katanya. Aku langsung meneguk ludahku keras, bagiku dia mengerikan, dia bisa membaca apa yang aku pikirkan.
"Aku tidak akan melakukan hal itu, aku juga tidak tertarik."
"Apa kau gay?"
Ya. Jika dia normal mana mungkin tidak tertarik dengan seks bersama wanita? Dia pasti menyukai sesama jenis, pikirku.
"Kau gila, Ara. Aku ini normal. Tapi aku bukan lelaki brengsek yang mengambil keuntungan pribadi."
Obrolan ini semakin aneh, tidak sesuai jalan pikiranku. Apakah aku mendadak dungu?
"Tapi kita menikah, lalu bagaimana bisa kita tidak melakukan seks?"
Gavin. Pria itu mendekat ke arahku dengan seringai kecil. Aku bergidik merinding, pelan-pelan menjauh. "Apa yang mau kau lakukan?"
"Apakah kau ingin melakukan seks denganku?"
"Apa kau bilang? Kurasa kau benar-benar gila, Gavin! Sudahlah, aku akan pulang ke kontrakan rumahku sekarang, untuk uang yang kau pinjamkan tidak perlu kau cemas, aku akan kembalikan uang itu."Dia benar-benar tidak waras. Melakukan seks katanya? Tapi bukankah aku hampir menjual diriku, kalau saja dia tidak datang aku pasti sudah menjadi pelacur seutuhnya. Sudahlah, aku tetap harus keluar dari rumah ini!Aku menurunkan kakiku dari ranjang yang sangat empuk itu. Gavin masih menatapku tanpa sepatah kata pun. Apa dia marah? Atau dia merasa aku menghinanya?"Arabella... Kau rupanya lebih tangguh dari yang kubayangkan, ya. Tenanglah Ara, kalau aku berniat tidur dengan mu, untuk apa tidak aku lakukan dari kemarin. Sudahlah, kalau kau tidak mau menikah denganku tidak apa-apa. Bersiaplah , aku akan antar kau pulang."Dia tertawa? Aku menatapnya heran."Kenapa? Kau tidak mau pulang?"Astaga! Seharusnya aku senang, kan.
Ara keluar dari ruangan ibunya, sudah waktunya dia pulang dan memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk melunasi biaya rumah sakit.Saat dia sedang memutar otaknya, sambil mengingat-ingat kiranya ada seseorang yang dapat membantunya, tapi tidak ada yang terlintas dalam benaknya kecuali Gavin."Lupakan, Ara! Kau belum mengenalnya, bagaimana bisa kau menerima tawaran orang asing. Walaupun, Gavin memang baik, tapi...""Wow! Lihatlah, siapa dia, Frey. Bukankah dia si buntelan lemak, Arabella? Hahahaha....""Coba kulihat? Oh my God! Benar, dia kan Arabella teman sekelas kita di SMA dulu? Wah, kau lupa ya, Jen. Dia sudah bukan buntelan lemak lagi. Tubuhnya kurus sekarang, nyaris tak memiliki lemak. Hahahaha!"Ara menghentikan langkahnya dengan perasaan kesal, tapi dia tidak mau menunjukkan hal itu di depan dua wanita yang bernama Freya dan Jennifer, mereka berdua adalah teman sekelas Ara.Meskipun Ara
Kita adalah sepasang kekasih, yang sedang di mabuk asmara. Begitulah judul yang diberikan Ara untuk tema pesta malam ini. Walaupun Ara bukan pertama kalinya berakting, tapi tetap saja dia gugup. Malam ini dia bukan hanya akan berakting, tapi orang yang dia temui adalah keluarga besar Gavin, calon suaminya. "Sayang, maaf kalau aku agak gugup. Tapi bisakah kau ambilkan aku minum?" Ara menutupi mulutnya sambil sesekali mengedipkan mata. Gavin tak kuat menahan diri untuk tidak tertawa. "Hentikan. Aku tidak tahan lagi, jangan panggil sayang. Aku ingin tertawa terus," ucap Gavin. "Gavin! Kau ingin penampilan malam ini sukses, kan? Astaga, kau kira aku tidak menahan diri sejak tadi, aku jug ..." Ara menghentikan kata-katanya saat Gavin tiba-tiba menarik tubuhnya. Keduanya saling menatap satu sama lain, ada yang berbeda dengan tatapan Gavin. "Kau mau apa?" Mata Ara me
Kejadian sebelumnya ....Aku menarik napas ku dalam-dalam, saat melihat gadis di sampingku basah kuyup terkena hujan deras tadi. Apakah dia sebodoh itu? Duduk di bawah hujan tanpa payung. Atau dia memang sengaja ingin menutupi tangisannya?Tidak sengaja aku melihat dia sedang berbicara dengan dua wanita, walau itu sepertinya bukan pembicaraan yang tenang. Gadis itu terlihat menahan marah dan kuakui dia pandai menutupi emosinya itu. Tadinya aku ingin menemuinya untuk membicarakan masalah tawaranku. Aku malah tidak sengaja menyaksikan pertengkaran dia dengan dua wanita yang aku tidak tahu mereka itu siapa."Pakailah handuk ini, ini bukan handuk milikku. Itu handuk baru, tenang saja," ucapku padanya karena kalau dibiarkan dia bisa sakit. Ah, kenapa aku ini, apa aku sedang perhatian padanya? Entahlah."Terima kasih, Gavin." Dia mengambil handuk itu lalu mulai mengelap rambutny
"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya."Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras."A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku."Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya."Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengse
"Ya, Tuan. Apa Anda menginginkan saya?" Suara seorang wanita yang katanya paling cantik di sebuah bar ternama, membuat Gavin menoleh sekilas.Wanita itu memang cantik, tubuhnya bagus dan terlihat anggun dan seksi. Gavin tersenyum kecil, dia berusaha untuk tetap bersikap wajar. Ini bukan pertama kalinya Gavin mendatangi tempat seperti itu untuk mencari wanita.Tentu saja, hanya untuk mengecek apakah traumanya sudah menghilang? Sebab semalam dia menyentuh Arabella dan semuanya baik-baik saja. Gavin tidak merasakan reaksi yang biasanya dia rasakan, saat dekat dengan wanita.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Mungkin ini adalah hal yang gila. Seharusnya dia kembali ke rumah dan tidak perlu memastikan, tapi dia penasaran ada apa dengan Arabella? Kenapa dia baik-baik saja saat bercumbu dan nyaris saja bercinta dengan wanita itu?"Coba kemari, duduk dekatku," pinta Gavin. Wanita itu mengangguk setuju dengan
"Gavin, kumohon dengarkan dulu penjelasan ku. Kenapa kau selalu mengabaikan aku?" Tatap seorang gadis di depan Gavin. Keduanya tidak sengaja bertemu saat Gavin hendak membeli sesuatu di supermarket bersama dengan Arabella."Kau bertanya padaku? Lucu sekali, kau pasti tahu persis kenapa aku mengabaikan kau, bukan? Aluna! Ngomong-ngomong di mana kekasih terbaikmu? Apa dia sudah membuang mu?" sindir Gavin."Gavin, kau salah sangka! Aku dan Cedric tidak seperti yang kau bayangkan. Aku memang pergi dengannya, tapi bukan untuk bersama dalam artian berpacaran,""Sudahlah, aku tidak perduli. Walaupun kau memiliki hubungan atau tidak dengannya. Tapi semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku sudah harus pergi, Luna." Gavin tersenyum sarkastik lalu berbalik meninggalkan wanita itu.Sementara wanita yang bernama Luna itu terlihat sangat terpukul dengan perkataan Gavin barusan."Aku masih m
Kakiku terasa pegal dengan tumit yang agak perih karena high heels yang aku kenakan begitu menyiksa. Aku sudah berada di kamarku, sendirian. Malam ini adalah Malam pertama aku sebagai istri Gavin Narendra Tama. Tapi, pria itu mungkin sudah tidur di kamarnya.Kamarnya, bukan bersamaku. Tidak, memang sudah seharusnya begitu, kan? Ini bukan pernikahan, ini hanyalah sebuah kontrak selama satu tahun. Orang-orang melihat ini adalah pernikahan yang sakral, di penuhi cinta karena akting kami yang sungguh meyakinkan.Aku hanya tersenyum getir. Tapi apa lagi yang kuharap kan, sih? Begini saja sudah sangat bagus untukku. Setidaknya Ibuku mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ternama. Tentunya tanpa memikirkan biaya yang sangat besar karena Gavin sudah melunasinya.Meskipun begitu, aku terkadang bingung dengan diriku sendiri. Tadi, sewaktu Gavin begitu bangga memperkenalkan aku sebagai istrinya, di hadapan t