Ara keluar dari ruangan ibunya, sudah waktunya dia pulang dan memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk melunasi biaya rumah sakit.
Saat dia sedang memutar otaknya, sambil mengingat-ingat kiranya ada seseorang yang dapat membantunya, tapi tidak ada yang terlintas dalam benaknya kecuali Gavin.
"Lupakan, Ara! Kau belum mengenalnya, bagaimana bisa kau menerima tawaran orang asing. Walaupun, Gavin memang baik, tapi..."
"Wow! Lihatlah, siapa dia, Frey. Bukankah dia si buntelan lemak, Arabella? Hahahaha...."
"Coba kulihat? Oh my God! Benar, dia kan Arabella teman sekelas kita di SMA dulu? Wah, kau lupa ya, Jen. Dia sudah bukan buntelan lemak lagi. Tubuhnya kurus sekarang, nyaris tak memiliki lemak. Hahahaha!"
Ara menghentikan langkahnya dengan perasaan kesal, tapi dia tidak mau menunjukkan hal itu di depan dua wanita yang bernama Freya dan Jennifer, mereka berdua adalah teman sekelas Ara.
Meskipun Ara tidak tahu kenapa dirinya bisa bertemu dengan dua orang itu. Baru mendengar suara tanpa melihat wajahnya saja Ara sudah tahu, bahwa mereka adalah orang yang selalu menghinanya dulu.
"Sombong sekali, kau! Tidak mau menatap kita? Hei, kau di rumah sakit bukan untuk menggoda dokter, kan? Aku sudah dengar, kau bekerja keras rupanya. Tentu saja, kalau tidak bekerja keras, mana bisa kau menghidupi dirimu sendiri, iya, kan?"
Freya melipat kedua tangannya ke dada sambil memasang raut sinis.Jennifer mengambil beberapa lembar uang dari tasnya, lalu memberikan uang itu kepada Ara. "Ambillah. Anggap saja ini kompensasi karena kita telah mengganggumu, jangan marah, ya?"
Ara mengangkat wajahnya lalu tersenyum. Ia menggenggam uang itu, lalu berjalan mendekati Jennifer. "Simpan uang ini, aku bukan pengemis."
"Apa? Hahahaha lihatlah, Jen. Dia sungguh sombong," ejek Freya.
"Ambillah, Ara. Aku dengar kau menemui mami Kania, bukan?"
Mami Kania adalah mucikari yang memang ditemui oleh Ara kemarin. Tapi bagaimana Jennifer tahu hal itu?
"Kau bicara apa, Jen?" tanya Ara.
"Kita berdua sudah tahu kalau kau menjual diri untuk uang, kan?" bisik Freya dengan nada menghina. "Kau sungguh memalukan, Arabella. Jangan karena wajahmu cantik, tubuhmu tidak lagi gemuk, ya. Kau kira ada yang mau membayarmu? Cih!!"
"Sudahlah, terima ini." Jennifer melemparkan lembaran uang ke wajah Ara, hingga uang itu berhamburan jatuh ke lantai.
Arabella tidak tahu apa masalah yang diperbuatnya pada Freya dan Jennifer. Kenapa mereka selalu saja menghinanya, apakah ini semua salahnya?
Dengan hati yang perih sambil memendam rasa emosi. Ara memungut lembaran uang tersebut. Freya dan Jennifer terkekeh melihat Ara membungkuk mengambil lembaran uang itu satu persatu.
"Lihatlah, rupanya dia tidak sesombong yang kita kira, Frey."
"Baguslah, itu tandanya dia sadar siapa dirinya." Jennifer menanggapi.
Namun Ara bukan mengambil uang itu untuk dirinya, melainkan dia memberikan uang itu pada dua wanita di depannya.
"Jangan menyampah. Bawalah sampah ini." Ara menaruh uang itu ke telapak tangan Jennifer.
"Apa?" Jennifer geram, ia meremas uang itu.
"Beraninya, kau!" sentak Freya.
"Kalian benar, aku ini memang menemui Mami Kania kemarin, tapi aku penasaran dari mana kalian mengenal Mami Kania? Bukankah orang itu tidak sembarangan bisa dikenal kecuali kalian terlibat langsung dengannya? Jangan-jangan..." Ara menggeleng.
"Cari tahu lagi, tanyakan pada Mami Kania apakah aku menjual diriku atau tidak! Aku memang miskin, tapi setidaknya aku tidak munafik seperti kalian," sentak Ara.
"Kau menuduh kami menjual harga diri pada Mami Kania, begitu?" Jennifer melotot sambil berkacak pinggang dengan sombongnya.
"Kau gila, Arabella! Yang hina itu dirimu, bukan kami!" Freya tidak kalah geram, dia meninggikan suaranya.
"Hentikan, pelankan suara kalian. Ini rumah sakit. Apa kalian tidak berpendidikan? Ah, aku lupa. Otak kalian bukan berisi pendidikan, tapi hanya berisi sampah." Ara tersenyum bengis. Jennifer dan Freya tidak menyangka bahwa Ara yang pendiam telah berubah.
"Kau keterlaluan, Ara! Kau menuduh kami yang tidak-tidak!" Jennifer tidak terima dengan sikap Ara.
"Siapa yang memulai, hah? Gunakan mulutmu dengan benar, jangan suka menghina orang. Aku tidak pernah menyusahkan hidupmu. Jangan kau urus bibir mu saja dengan mengoleskan lipstick di sana, rawat juga mulutmu untuk menyaring kata-kata yang tidak bermoral. Memalukan!" Ara sudah merasa terhina dengan kata-kata mereka berdua, tidak masalah bukan, jika dia balik menghina mereka, pikirnya.
Freya dan Jennifer hendak menarik rambut Ara, tapi Ara lebih dulu menangkisnya.
"Jangan sentuh rambutku. Atau bagian tubuhku yang lainnya. Aku masih bersih, tapi aku tidak yakin kalian bersih, kalian mengenal Mami Kania, kan? Cih! Rupanya kalian yang menjijikkan! Jangan coba mengusikku lagi, atau kalian akan menyesal!"
"Brengsek kau Arabella!"
Hidup Ara sudah terbiasa begini. Menerima hinaan, hanya karena dia miskin. Tapi Ara tidak bisa ditindas oleh siapapun juga. Dia mengurus hidupnya sendiri, tanpa membebani orang lain. Meski hatinya sakit, tidak dipungkiri, dia selalu teriris ketika menerima kata-kata buruk dari orang lain tentang dirinya.
"Kau sudah biasa, Ara. Jangan menangis," ucapnya pada dirinya sendiri. Semula ia ingin pulang ke rumah kontrakannya. Tapi, Ara memutuskan untuk duduk di taman rumah sakit sambil menenangkan hatinya.
"Kau tidak salah, Ara. Bahkan jika kau menjual dirimu, kau tidak menyusahkan orang lain. Jangan menangis, ini bukan kesalahanmu." Ara menyentuh dadanya, meski matanya terasa pedih dan panas. Hingga bulir bening akhirnya menetes membasahi pipinya.
"Aku tidak meminta hidup seperti ini, kalau boleh memilih aku ingin hidup bahagia bersama keluargaku. Tapi..." Dadanya terasa sesak, tak kuat lagi menahan tangisnya.
Tangannya basah, lalu dia menengadah menatap langit yang menggelap. Rupanya bukan hanya air matanya yang jatuh, hujan seolah melindunginya dari perasaan malu. Air langit turun dengan derasnya, sehingga air matanya tersamarkan, berbaur dengan air hujan.
"Terima kasih, Tuhan. Setidaknya ini melegakan," gumamnya sambil memejamkan mata, dia membiarkan hujan membuatnya basah kuyup tanpa berusaha menghindar mencari tempat berteduh.
Saat dinginnya hujan menyentuh kulit putihnya, tiba-tiba saja sebuah payung menutupinya, membuatnya terkejut. Arabella mengangkat wajahnya, lalu di depannya sedang berdiri sosok pria sedang menatapnya dalam ke sepasang matanya yang basah.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ara saat melihat Gavin, pria yang kemarin membantunya. Lalu kenapa dia bisa ada di sini?
"Apa kau sedang menikmati air hujan?" pria itu malah balik bertanya pada Ara.
"Tidak. Aku hanya sedang...." Tidak mungkin Ara memberitahu pria itu kalau dia sedang menangis.
"Tidak perlu menjawab jika tidak ingin menjawabnya. Ikutlah denganku, sepertinya keadaanmu tidak sedang baik-baik saja, Arabella."
Apakah ini saatnya Ara menerima tawaran pria bernama Gavin itu? Tapi, dia bisa apa sekarang. Sementara ibunya membutuhkan uang itu.
"Aku minta maaf," ucap Ara dengan suara tercekat.
"Aku tidak ingin mendengar kata itu. Ikutlah denganku, kita bicarakan lagi semuanya." Gavin mengulurkan tangannya pada Ara.
Ara tidak tahu, apakah dia sudah melakukan hal yang benar atau tidak? Saat ini sepertinya tidak ada pilihan untuknya menolak Gavin. Meski ragu, dia meraih tangan Gavin.
Kita adalah sepasang kekasih, yang sedang di mabuk asmara. Begitulah judul yang diberikan Ara untuk tema pesta malam ini. Walaupun Ara bukan pertama kalinya berakting, tapi tetap saja dia gugup. Malam ini dia bukan hanya akan berakting, tapi orang yang dia temui adalah keluarga besar Gavin, calon suaminya. "Sayang, maaf kalau aku agak gugup. Tapi bisakah kau ambilkan aku minum?" Ara menutupi mulutnya sambil sesekali mengedipkan mata. Gavin tak kuat menahan diri untuk tidak tertawa. "Hentikan. Aku tidak tahan lagi, jangan panggil sayang. Aku ingin tertawa terus," ucap Gavin. "Gavin! Kau ingin penampilan malam ini sukses, kan? Astaga, kau kira aku tidak menahan diri sejak tadi, aku jug ..." Ara menghentikan kata-katanya saat Gavin tiba-tiba menarik tubuhnya. Keduanya saling menatap satu sama lain, ada yang berbeda dengan tatapan Gavin. "Kau mau apa?" Mata Ara me
Kejadian sebelumnya ....Aku menarik napas ku dalam-dalam, saat melihat gadis di sampingku basah kuyup terkena hujan deras tadi. Apakah dia sebodoh itu? Duduk di bawah hujan tanpa payung. Atau dia memang sengaja ingin menutupi tangisannya?Tidak sengaja aku melihat dia sedang berbicara dengan dua wanita, walau itu sepertinya bukan pembicaraan yang tenang. Gadis itu terlihat menahan marah dan kuakui dia pandai menutupi emosinya itu. Tadinya aku ingin menemuinya untuk membicarakan masalah tawaranku. Aku malah tidak sengaja menyaksikan pertengkaran dia dengan dua wanita yang aku tidak tahu mereka itu siapa."Pakailah handuk ini, ini bukan handuk milikku. Itu handuk baru, tenang saja," ucapku padanya karena kalau dibiarkan dia bisa sakit. Ah, kenapa aku ini, apa aku sedang perhatian padanya? Entahlah."Terima kasih, Gavin." Dia mengambil handuk itu lalu mulai mengelap rambutny
"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya."Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras."A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku."Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya."Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengse
"Ya, Tuan. Apa Anda menginginkan saya?" Suara seorang wanita yang katanya paling cantik di sebuah bar ternama, membuat Gavin menoleh sekilas.Wanita itu memang cantik, tubuhnya bagus dan terlihat anggun dan seksi. Gavin tersenyum kecil, dia berusaha untuk tetap bersikap wajar. Ini bukan pertama kalinya Gavin mendatangi tempat seperti itu untuk mencari wanita.Tentu saja, hanya untuk mengecek apakah traumanya sudah menghilang? Sebab semalam dia menyentuh Arabella dan semuanya baik-baik saja. Gavin tidak merasakan reaksi yang biasanya dia rasakan, saat dekat dengan wanita.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Mungkin ini adalah hal yang gila. Seharusnya dia kembali ke rumah dan tidak perlu memastikan, tapi dia penasaran ada apa dengan Arabella? Kenapa dia baik-baik saja saat bercumbu dan nyaris saja bercinta dengan wanita itu?"Coba kemari, duduk dekatku," pinta Gavin. Wanita itu mengangguk setuju dengan
"Gavin, kumohon dengarkan dulu penjelasan ku. Kenapa kau selalu mengabaikan aku?" Tatap seorang gadis di depan Gavin. Keduanya tidak sengaja bertemu saat Gavin hendak membeli sesuatu di supermarket bersama dengan Arabella."Kau bertanya padaku? Lucu sekali, kau pasti tahu persis kenapa aku mengabaikan kau, bukan? Aluna! Ngomong-ngomong di mana kekasih terbaikmu? Apa dia sudah membuang mu?" sindir Gavin."Gavin, kau salah sangka! Aku dan Cedric tidak seperti yang kau bayangkan. Aku memang pergi dengannya, tapi bukan untuk bersama dalam artian berpacaran,""Sudahlah, aku tidak perduli. Walaupun kau memiliki hubungan atau tidak dengannya. Tapi semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku sudah harus pergi, Luna." Gavin tersenyum sarkastik lalu berbalik meninggalkan wanita itu.Sementara wanita yang bernama Luna itu terlihat sangat terpukul dengan perkataan Gavin barusan."Aku masih m
Kakiku terasa pegal dengan tumit yang agak perih karena high heels yang aku kenakan begitu menyiksa. Aku sudah berada di kamarku, sendirian. Malam ini adalah Malam pertama aku sebagai istri Gavin Narendra Tama. Tapi, pria itu mungkin sudah tidur di kamarnya.Kamarnya, bukan bersamaku. Tidak, memang sudah seharusnya begitu, kan? Ini bukan pernikahan, ini hanyalah sebuah kontrak selama satu tahun. Orang-orang melihat ini adalah pernikahan yang sakral, di penuhi cinta karena akting kami yang sungguh meyakinkan.Aku hanya tersenyum getir. Tapi apa lagi yang kuharap kan, sih? Begini saja sudah sangat bagus untukku. Setidaknya Ibuku mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ternama. Tentunya tanpa memikirkan biaya yang sangat besar karena Gavin sudah melunasinya.Meskipun begitu, aku terkadang bingung dengan diriku sendiri. Tadi, sewaktu Gavin begitu bangga memperkenalkan aku sebagai istrinya, di hadapan t
Mau tidak mau menerima tawaran orang tuanya, Gavin meski tidak nyaman akhirnya berada di dalam kamar yang sama dengan Arabella, istrinya. Mereka sepakat untuk tetap menjaga jarak aman dan tidak saling menyentuh sesuai perjanjian.Lelah. Setelah berbincang sambil makan malam dengan keluarga besar Gavin. Arabella memutuskan untuk beristirahat. Untungnya, rumah keluarga Gavin sangat besar, sehingga kamar itu bisa dikatakan lebih mirip ukuran sebuah rumah. Memiliki kelengkapan yang lengkap seperti dapur, kamar mandi tentunya, dan juga ruang bersantai dengan televisi yang besar."Ini kamar?" Arabella bukan pertama kali ke rumah tersebut. Saat Gavin mabuk, Arabella juga bermalam di kamar itu."Sial!! Aku jadi teringat lagi saat Gavin mabuk, dia memang payah!" Daripada memikirkan ingatan lalu, akhirnya Ara memutuskan untuk tidur.Entahlah, kemana Gavin pergi. Tadi dia berpamitan pada Ara untuk mengobrol dengan ka
Hari kedua Ara dan Gavin berada di rumah besar keluarga Marcellino Narendra. Hari ini kakak Gavin yang bernama Fabian Narendra akan pindah ke rumah pribadinya di luar negeri bersama keluarga kecilnya. Gavin merasa sedikit sedih, karena walaupun kakaknya itu seringkali mengusilinya, mem-bully-nya. Tapi dia adalah satu-satunya saudara Gavin."Kau kenapa? Kulihat murung terus sejak tadi," tegur Ara sambil menuangkan air ke dalam gelasnya. Dia pikir cukup satu malam saja dia merasakan malu karena mimpinya yang sungguh keterlaluan itu. Sekarang Ara berusaha untuk bersikap biasa saja pada Gavin."Tidak." Gavin menjawabnya singkat. "Berikan aku air.""Rupanya kau haus, kenapa tidak bilang." Ara mengambil gelas bermaksud menuangkan air di gelas baru. Tapi Gavin malah mengambil gelas milik Ara kemudian meminum sisa air yang ada didalamnya."Hei! Itu kan, milikku!""Ini hanya air, kau bisa ambil yan