Hari kedua Ara dan Gavin berada di rumah besar keluarga Marcellino Narendra. Hari ini kakak Gavin yang bernama Fabian Narendra akan pindah ke rumah pribadinya di luar negeri bersama keluarga kecilnya. Gavin merasa sedikit sedih, karena walaupun kakaknya itu seringkali mengusilinya, mem-bully-nya. Tapi dia adalah satu-satunya saudara Gavin.
"Kau kenapa? Kulihat murung terus sejak tadi," tegur Ara sambil menuangkan air ke dalam gelasnya. Dia pikir cukup satu malam saja dia merasakan malu karena mimpinya yang sungguh keterlaluan itu. Sekarang Ara berusaha untuk bersikap biasa saja pada Gavin.
"Tidak." Gavin menjawabnya singkat. "Berikan aku air."
"Rupanya kau haus, kenapa tidak bilang." Ara mengambil gelas bermaksud menuangkan air di gelas baru. Tapi Gavin malah mengambil gelas milik Ara kemudian meminum sisa air yang ada didalamnya.
"Hei! Itu kan, milikku!"
"Ini hanya air, kau bisa ambil yan
Esok pun datang. Hari di mana Ara dan Gavin harus pergi berbulan madu. Indah, tentu itu hal yang direncanakan sebagian pengantin. Pergi mengunjungi tempat yang diinginkan, berdua, bermesraan, menghabiskan waktu untuk bercumbu sebagai pasangan. Namun berbeda dengan yang dirasakan Arabella. Dia pergi dengan pria yang berstatus suaminya, tapi dengan tujuan yang berbeda. Bulan madu? Ini lebih mirip ... "Anggap saja ini refreshing." Benar. Arabella tersenyum samar. "Ya. Aku anggap ini refreshing. Not bad, I also need for something like that—refreshing." "Take it easy. We can spend with satisfaction. You do what you like." Ara tersenyum getir. Apalagi yang dia harapkan? Ara sama sekali tidak menyangka bahwa menjalani pernikahan bisnis akan menyakitkan. Kenapa? Kenapa Ara merasakan sakit? Ini sudah tidak benar sekarang. Mereka sampai di tempat
Ara menghela napas panjang. Sekarang Gavin sudah berada di dalam taksi berkat bantuan wanita seksi dari bar tadi. Pria itu sangat menyusahkan ketika mabuk, kenapa juga Gavin sampai mabuk, sih. Ara hanya terus membatin sebelum akhirnya kini dia berada di dalam kamar hotel. Lagi-lagi berkat bantuan orang lain membawa Gavin. Untung saja supir taksi suka rela membantunya. Kalau tidak, siapa yang kuat mengangkat Gavin sendirian?"Hei Pemabuk! Bangunlah!" Ara menepuk pipi Gavin berulang-ulang. Tapi, pria itu hanya menyengir tanpa merasa bersalah menyusahkan Arabella."Kau sadar, kan? Hei, kau sangat menyusahkan tahu tidak!""Ara? Kau Ara? Cantik sekali. Aku tadi digoda wanita jelek. Dia kira..."Gavin menatap mata Ara di sela ocehannya yang tidak berarti. Tentu saja itu dibawah pengaruh alkohol. "Dia kira dia cantik, padahal Ara lebih cantik.""Berhenti berbicara. Lebih baik sekarang kau ke kama
Sekujur tubuh Arabella terasa pegal. Dibalik selimut dia masih meringkuk menghalanginya dari cahaya matahari yang lumayan silau. Matanya menyipit, merasa terganggu karena kilauan itu. Akhirnya, Ara bangun."Huh. Tulangku patah." Sembari memegangi belakang pinggangnya. "Apa aku sanggup bangun?""Ara."Suara itu?"Ya Tuhan! Gavin kau sedang apa?" Ara kaget saat melihat Gavin duduk di kursi dekat ranjangnya. Pria itu sudah rapi dengan pakaiannya. Sementara dirinya masih polos hanya ditutupi selimut tebal."Bajuku mana? Kau keluar dulu, aku harus ganti baju." Ara melilitkan selimut lalu turun dari ranjang. "Kenapa kau masih di sini!" sentaknya pada Gavin."Baiklah, aku akan keluar. Tapi setelah itu kita harus berbicara."Gavin keluar dari kamar itu dengan raut dingin dan datar. Ara merasa heran, padahal yang terjadi semalam antara dia dan Gavin bukanlah mimpi,
"Kenapa kau diam, Ara? Katakan pada Ibu. Apa tujuan kalian berdua menikah?"Manik mata Ara menggambarkan ketakutan. Dia ingin jujur pada ibunya. Tetapi bagaimana jika kejujurannya itu malah menyengsarakan orang yang paling dia sayang dalam hidupnya."Ibu akan baik-baik saja, jadi katakan yang sejujurnya."Wanita yang telah melahirkan Arabella bukanlah wanita yang lemah. Begitu juga Arabella, dia tidak mungkin menjadi lemah hanya karena pria. Ara menatap mata Ibunya, dia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya."Gavin memintaku menikah dengannya. Karena dia terus di desak oleh keluarganya. Gavin orang yang menawarkan bantuan untukku, Bu. Aku menimbang, daripada aku menjual diriku pada mucikari, demi—uang yang sangat kita butuhkan. Aku ... Aku memilih menerima tawaran lelaki yang sekarang menjadi suamiku."Pedih, sakit, dan Ara tercekat mengatakan semuanya pada ibunya. Hanya dia ti
Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Gavin. Kini dia diam beberapa saat setelah merobek kertas di depanku dan juga Ibu."Aku akan menyudahi perjanjian ini," katanya.Lalu setelah itu, apa? Kurasa ini memang akhirnya. Lucu, aku tidak berbeda dengan menjual diriku untuk bercinta satu malam bersama pria. Gavin mengeluarkan uangnya untuk membantuku, lalu aku dan dia berhubungan intim dan kurasa itu sama seperti aku menjual harga diriku padanya.Tidak. Tapi bagaimanapun aku sudah menikah dengannya. Sah. Aku bukan pelacur, aku tidak menjual diriku.Shit! Aku teringat lagi kenyataan bahwa aku membiarkannya meniduriku. Apakah aku menyerahkan diriku secara suka rela? Aku malu, aku ingin membayar semua pemberiannya. Apa tidak seperti aku yang begitu jelas menggilai tubuhnya semalam?"Apa kau akan menceraikan putriku." Ibuku angkat bicara. Ya, aku juga memiliki pertanyaan serupa. Jika, ya. Ak
Sebenarnya yang terjadi saat aku bangun, aku melihat Ara di sampingku. Meski tidak sepenuhnya sadar, aku yakin telah mengambil kehormatan Ara. Darah itu... menjadi buktinya. Bangun tidur dalam keadaan tak pantas aku berada satu selimut dengannya. Dia sangat pulas terlihat lelah.Apa yang telah aku lakukan? Aku shock. Kemudian aku mengingat lagi yang terjadi. Pelan-pelan meski tidak begitu jelas rekaman kejadian aku dan Ara membuatku sadar. Aku mengambil handuk melilitkan ke pinggang. Lalu aku tersentak saat melihat darah di atas selimut.Demi Tuhan, aku telah melakukan kesalahan fatal pada Ara. Dia memang istriku, tapi tidak begini konsepnya. Pikiranku kacau, aku bingung harus melakukan apa. Aku tidak mungkin membiarkan Ara menanggungnya sendiri. Aku yang telah menodainya, dia wanita baik, aku tidak pantas merebut itu darinya. Tetapi aku malah merenggutnya juga.Namun aku teringat lagi, seharusnya aku kambuh, seharusnya ak
Pukul enam. Separuh matanya terbuka sembari melongok jam dinding. Ia tersentak saat melihat Ara berada dengan jarak sangat dekat di sampingnya. Mata wanita itu masih terpejam, lalu bergerak pelan membuat Gavin reflek menutup matanya lagi."Sudah jam berapa ini, aku terlalu nyenyak." Ara bergumam sambil mengucek matanya yang malas untuk terjaga."Hm?" Sontak dia menjengkit kaget melihat Gavin tidur dengan posisi tangannya sebagai bantal untuk kepalanya."Oh Tuhan," dia berkata sangat teramat pelan mengangkat kepalanya dari tangan Gavin. "Kau pasti pegal," tambahnya merasa keterlaluan. "Bodoh!" Masih sangat pelan. Padahal Gavin mendengar, sebab dia sudah bangun lebih dulu.Ara beranjak langsung ke kamar mandi. Saat itulah Gavin bangun, lalu tersenyum.****"Kau mau ke mana?""Aku harus
"Vin. Akhirnya kau mau menemui ku. Aku benar-benar merasa bahagia."Benar, dia adalah Luna. Luna berulang kali meminta waktu untuk bisa bertemu dan berbicara dengan Gavin berdua. Padahal, Gavin sudah memberitahu Luna, bahwa kini dia sudah menikah."Katakan apa yang ingin kau sampaikan, kita tidak untuk berbincang santai."Gavin tetap dingin. Sorot matanya tajam mengarah pada Luna, sedetikpun Gavin tidak meloloskan tatapan mengintimidasi yang dia tujukan pada mantan kekasihnya yang telah membersamainya kurang lebih lima tahun itu."Vin. Kau ingat kapan terakhir kali kita berkencan?"Gavin berdecih sembari menggaruk alisnya. "Untuk apa kau menanyakan hal yang tidak berguna.""Vin, aku rindu saat-saat itu. Tidak mungkin semudah itu kau lupakan kenangan kita selama lima tahun, kan?""Tidak. Aku sudah melupakannya.""Bohong. Kau berkata begitu
"Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia
Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di
Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s
"Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki
Evelyn benar-benar cemas karena Arabella meminta bertemu empat mata dengan papa mertuanya. Sedang dia tau, bahwa papa mertuanya itu bukan termasuk orang yang bisa diajak bicara.Setelah sekitar tiga puluh menit Arabella bersama dengan Gilbert, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Akhirnya Arabella keluar dengan wajah yang datar pada awalnya. "Ara, kau akhirnya keluar juga. aku sangat mencemaskan mu."Barulah Arabella tersenyum. Dia menggenggam tangan Evelyn, dengan raut yang terlihat santai, seolah tak terjadi apa-apa."Aku baik-baik saja. Syukurlah, semuanya bisa diselesaikan. Aku sudah bicara, dan Tuan Gilbert akan menyelesaikan semuanya. Kau bisa lanjut dengan proyek yang sebelumnya berjalan, tanpa perlu memperpanjang semuanya lagi.""Hah? Apa maksud mu, Arabella? Bagaimana bisa?" tanya Evelyn yang kaget bukan main. Tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Karena dia tau persis bagaimana watak papa mertuanya. Apakah dia luluh? apa yang Ar
"Selamat siang, Tuan Gilbert." "Kamu? Kamu Arabella, kan?""Ya, saya Arabella, lama tidak bertemu, Tuan. Rasanya saya juga lupa, kapan terakhir kali kita saling mengenal. Karena waktu itu saya masih sangat kecil. Kalaulah bukan karena Ibu yang memintaku menemui Anda, mungkin saya sudah mengubur nama Anda dalam-dalam." Perkataan Arabella itu sangat membuat Gilbert terpukul. Tapi, pria tua itu menyadari, dia memang bersalah. Gilbert berjalan melangkahkan kakinya mendekati Arabella hingga jarak keduanya hanya sekitar satu meter saja. "Duduklah dulu, Ara. Silakan, kita bisa berbicara dulu."Ara pun duduk, meski sejujurnya enggan. "Baik, kita bicara. Meski saya enggan, saya malas berbicara dengan orang seperti Anda, Tuan." "Arabella, maafkan Ayah, Nak.""Anda bukan ayah saya." "Ara, aku adalah ayahmu. Suka tidak suka, aku adalah suami ibumu.""Apa?" decih malas Arabella. "Kau bilang suami ibuku? Apakah
"Oli, sudahlah, aku tau kau kesal. Tapi kau sendiri tau, kan? itu papamu, dia memang begitu sejak dulu.""Eve, tapi kali ini dia sudah sangat keterlaluan. Bukannya kita sudah sepakat, untuk tidak ikut campur dengan urusan masing-masing lagi. Tapi, dia malah terlalu jauh mencampuri urusan kita."Meski Evelyn juga heran, terutama dengan kata-kata Gilbert yang terang-terangan mengatakan tidak menyukai Gavin. Tapi, dia tidak mau itu menjadi beban pikiran suaminya. "Hei, tidak akan ada yang terjadi. Papa tidak bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar menggertak kita. Iya, kan?"Oliver memeluk Evelyn. Beruntung istrinya itu sangat penyabar dan mengerti keadaannya. "Maafkan aku, ya, Eve. Karena dia membuat kamu susah sekarang.""Tidak, aku justru sangat bersyukur, di saat seperti ini kau membelaku." "Tentu saja, kau adalah istriku, jadi sudah sewajarnya aku membela mu, kan?" "Hem, kau harus tau, aku sangat bahagia, Oli. Kuharap kau terus
Gilbert dalam keadaan geram segera meminta orang kepercayaannya untuk menemui Evelyn dan meminta Evelyn membatalkan kontrak kerja sama dengan Gavin. Namun tak lama kemudian. Evelyn dan Oliver datang dalam keadaan tidak terima sebab menurut mereka Gilbert sudah keterlaluan ikut campur dengan urusan mereka. "Pa, kita harus bicara.""Kalian berdua duduk."Evelyn dan Oliver duduk dengan kemarahan yang tertahan. Tak mengerti kenapa Gilbert sangat tidak setuju dengan kerja sama Evelyn dah Gavin. Padahal semuanya susah sesuai prosedur dan perusahaan Gavin juga terbukti telah berhasil selamat dari ancaman kebangkrutan dan mulai berjaya lagi. "Kalian tahu, kan, bahwa kalian tidak memiliki hak untuk menolak permintaan Papa."Oliver kelihatan sangat kesal, dia berdiri lalu menantang papanya dengan tatapan tajam. "Papa punya alasan?" "Oli, duduklah, kau tidak boleh begitu di depan papamu," pinta Evelyn. "Tidak, Eve. Ka
Kedatangan Evelyn ke rumahnya membuat Arabella kepikiran. Jadi, rupanya sosok Gilbert bukan hanya menyebalkan, dan jahat di matanya saja, melainkan di depan anak dan menantunya? "Ah, aku lupa, dia adalah ayahku." Ara berdesis sebelum akhirnya dia duduk di depan meja kerjanya. "Jadi, dia juga mengucilkan Evelyn karena Evelyn belum punya anak?" Ara teringat waktu Evelyn berkata, dia dikucilkan. Sebab selama berumah tangga kurang lebih sepuluh tahun, dia belum juga dikaruniai keturunan. Setahu Evelyn, Gilbert ingin sekali memiliki cucu. Dia ingin sekali punya cucu perempuan. "Tidak, aku tidak akan biarkan laki-laki tua yang sudah menghancurkan hidup ku dan ibu, juga hendak merenggut kebahagiaan putriku?" "Aku pulang, Sayang..." "Gavin." Ara berdiri, dia langsung menghambur ke arah suaminya yang baru pulang dari bekerja. "Akhirnya kau pulang, Sayang." "Hem, tentu saja. apa kau menungguku?" "Ya, tentu saja ak