"Vin. Akhirnya kau mau menemui ku. Aku benar-benar merasa bahagia."
Benar, dia adalah Luna. Luna berulang kali meminta waktu untuk bisa bertemu dan berbicara dengan Gavin berdua. Padahal, Gavin sudah memberitahu Luna, bahwa kini dia sudah menikah.
"Katakan apa yang ingin kau sampaikan, kita tidak untuk berbincang santai."
Gavin tetap dingin. Sorot matanya tajam mengarah pada Luna, sedetikpun Gavin tidak meloloskan tatapan mengintimidasi yang dia tujukan pada mantan kekasihnya yang telah membersamainya kurang lebih lima tahun itu.
"Vin. Kau ingat kapan terakhir kali kita berkencan?"
Gavin berdecih sembari menggaruk alisnya. "Untuk apa kau menanyakan hal yang tidak berguna."
"Vin, aku rindu saat-saat itu. Tidak mungkin semudah itu kau lupakan kenangan kita selama lima tahun, kan?"
"Tidak. Aku sudah melupakannya."
"Bohong. Kau berkata begitu
Aku mengidap Philophobia. Sejak kapan? Setahun lalu, dan aku baru menyadarinya setelah konsultasi. Kau tahu, kan, apa itu Philophobia? Ya, aku tahu, sedikit. Kukira tidak akan bertemu dengan orang yang mengalami hal seperti itu. Tapi, dari yang kau alami, sepertinya memang begitu, ya. Ya, aku juga tidak tahu, kenapa aku sampai mengalami hal ini. Bukannya ada sebabnya? Mungkin kau mengalami hal yang sulit sebelumnya, itu bisa menjadi penyebab penyakit phobia yang kau alami. Hm, kurasa ini karena aku terlalu percaya pada cinta diawal. Lalu, akhirnya aku malah dikecewakan. Yang aneh, kenapa aku kambuh padahal aku tidak sedang jatuh cinta. Apa kau yakin? Mungkin saja kau masih mencintai Luna. Kenapa kau membicarakan Luna?
Gavin baru saja sampai di kantornya. Dia masih kepikiran tentang penyebab traumanya muncul kembali, kenapa hal itu bisa terjadi? Padahal jelas-jelas itu terjadi bukan karena Luna, lalu sebenarnya itu karena siapa?Semua karena pekerjaan yang baru saja dia mulai. Setelah menikah, orang tuanya menyerahkan sepenuhnya perusahaan padanya. Marcellino dan Adelina sudah berjanji jika Gavin menikah maka perusahaan akan menjadi tanggung jawabnya. Meski dia tidak terlalu tertarik dengan bisnis, tapi dia cukup mahir dalam bidang itu."Selamat pagi, Tuan Gavin." Karina adalah sekertarisnya di kantor, dia terlihat agak panik saat Gavin datang, seperti menunggu Gavin sejak tadi karena ada sesuatu yang terjadi di kantor."Pagi, ada apa, Karina?""Tuan di dalam ada nona Luna."Gavin melotot dengan rahang yang mengeras. "Dia mau apa sih?""Nona Luna bilang dia harus bertemu Tuan. Padahal sa
Ara membeku di dalam taksi. Masih teringat kata-kata Luna. Wanita itu sebenarnya baik, hanya saja dia melakukan kesalahan yang fatal, dan tidak semua orang bisa dengan mudah memaafkan, terlebih untuk melupakan dan bersikap layaknya biasa seperti semula."Luna itu cantik, manis, dan dia baik." Ara mengusap lengannya sambil menarik napas dalam."Lalu, sebenarnya apa kebohongan yang dia lakukan sampai tidak dimaafkan? Aku masih penasaran apakah itu karena Gavin?""Maaf Nona, kita sudah sampai," sela supir taksi berhenti tepat di depan rumah Gavin. Ara tersentak karena dia sibuk melamun, tidak terasa bahwa dia sudah sampai."Maaf, Pak. Baik, terima kasih, ya." Ara menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar."Kembaliannya tunggu sebentar, Nona.""Ambil saja, Pak," kata Ara dengan senyuman ringan."Benar Nona? Terima kasih banyak, Non."
Bukan pertemuan pertama yang membuatku jatuh cinta. Tepatnya, aku tidak tahu kapan memulai rasa itu. Tetapi perlahan kuyakini, rasa itu bertempat di dalam sini, di hatiku, untukmu. Imperfect Arabella ~ The Feeling is You ***"Apa?""Katakan, apa yang kau ketahui, bagaimana caranya, dan apa obatnya?"Tatapan mata Ara mendalam tertuju pada lelaki di hadapannya yang masih menggenggam erat kedua bahunya. Menunggu jawaban darinya, tentang sesuatu yang katanya dia ketahui. Jika itu bisa dia lakukan demi Gavin, lelaki yang berjasa baginya, maka Arabella akan melakukannya, demi Gavin Narendra Tama."Arabella." Tatapan Gavin menelusuri wajah termenung di depannya. "Bisakah kau mencoba mencintai...""Hah?" Ara terhenyak, dia sadar dari lamunan.
"Aku suka tubuhmu.""Ahhh!!" Ara mendesah hebat."Sentuhan ini, apa kau merasakannya?""Kumohon, kau menyiksaku!"Ara menggerakkan kepalanya pelan, kemudian matanya menyipit sembari merasakan sesuatu yang agak berat sedang bertumpu di atas lengannya. Matanya terbuka lebar saat menyadari itu adalah tangan kokoh Gavin yang sedang memeluknya."Hmm..." lenguh Gavin sontak Ara berpura-pura terpejam lagi.Gavin tersenyum melihat wanita di dekapannya. Ia menyingkirkan tangannya pelan, lalu mengecup kening Ara lembut.Ara ingin membuka mata, atau mungkin berteriak saking kagetnya. Sikap Gavin kenapa masih sama, dia mengira sikap Gavin akan berubah seperti yang sudah-sudah."Buka matamu."Jantung Ara berdegup saat Gavin mengatakan hal itu. Jadi, pria itu tahu bahwa dia sejak tadi sudah bangun?"Aku tahu kau bangun."Len
Gavin berusaha terbuka kepada Ara. Setelah memilih Ara sebagai teman hidup dan satu-satunya cinta dalam hati pria yang sempat mengalami trauma jatuh cinta itu.Aku akan menemui, Luna. Aku mengatakan ini karena ingin jujur padamu, Arabella. Kau percaya padaku, kan? "Ya, setidaknya dia berusaha jujur padaku. Kau harus percaya padanya, Ra," gumam Ara."Hei, apa yang kau gumamkan barusan?" tanya Gavin yang tiba-tiba saja muncul, barusan dia sedang berganti pakaian, sedang Ara menunggu di halaman rumah."Ti-tidak, itu bukan apa-apa," geleng Ara.Gavin mengusap puncak kepala istrinya kemudian mengecup keningnya. "Jangan memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan.""Hm," angguk Ara. "Baiklah, aku akan mengingatnya."***Ara sudah di ka
Gavin tak habis pikir siapa lelaki yang terlihat begitu mencemaskan Ara tadi. Sekarang Gavin sedang di dalam mobil membawa Ara pulang ke rumah. Luna sejak tadi terus mencoba menghubungi, tapi Gavin bukan lelaki bodoh, dia akan mencari tahu fakta sebenarnya tentang anak yang di klaim sebagai anaknya oleh Luna."Ara kumohon, percayalah padaku."Kenapa di saat Gavin sudah menemukan obat dari traumanya, malah ada kejadian seperti ini? Luna adalah penghancur semua kebahagiaannya."Kau keterlaluan Luna!" geramnya sambil memukul kemudi.Ara mulai membuka matanya, kepalanya terasa sangat pusing dan dia agak mual."Gavin? Turunkan aku!" teriak Ara histeris saat menyadari dia sedang bersama lelaki yang baru saja dia dengar memiliki anak dari wanita lain."Ara, tenanglah, aku akan membawamu pulang. Kita harus memeriksakan keadaanmu, dokter sudah aku suruh datang ke rumah," kata Gavin yang tidak mau membawa Ara ke rum
Meski Ara tidak sepenuhnya percaya apa yang dia dengar dan dia lihat. Bukankah semua tetap saja, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Pasti ada sesuatu yang membuat Luna mengatakan bahwa mereka memiliki anak. Mungkin saja, siapa yang tahu hubungan Gavin dulu dengan Luna? Ara hanya mendengar dari lelaki yang bahkan baru dikenalnya.Namun, dia adalah Gavin Narendra Tama, bukan orang lain. Gavin pria yang baik, yang selalu Ara percaya, meski mereka belum lama saling mengenal. Belum lagi tatapan mata Gavin yang selalu jujur dimatanya. Apa dia sudah salah? Apa dia seharusnya percaya pada yang dikatakan Gavin?"Astaga, perutku sakit sekali." Ara memegangi perutnya yang terasa melilit."Bagaimana ini, aku tidak bisa di dalam sini terus, aku harus keluar dari kamar ini." Ara terus menggedor pintu kamar yang sengaja dikunci oleh Gavin dari luar. Tapi mungkin saja Gavin bahkan tidak ada di rumah sekarang."Si
"Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia
Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di
Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s
"Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki
Evelyn benar-benar cemas karena Arabella meminta bertemu empat mata dengan papa mertuanya. Sedang dia tau, bahwa papa mertuanya itu bukan termasuk orang yang bisa diajak bicara.Setelah sekitar tiga puluh menit Arabella bersama dengan Gilbert, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Akhirnya Arabella keluar dengan wajah yang datar pada awalnya. "Ara, kau akhirnya keluar juga. aku sangat mencemaskan mu."Barulah Arabella tersenyum. Dia menggenggam tangan Evelyn, dengan raut yang terlihat santai, seolah tak terjadi apa-apa."Aku baik-baik saja. Syukurlah, semuanya bisa diselesaikan. Aku sudah bicara, dan Tuan Gilbert akan menyelesaikan semuanya. Kau bisa lanjut dengan proyek yang sebelumnya berjalan, tanpa perlu memperpanjang semuanya lagi.""Hah? Apa maksud mu, Arabella? Bagaimana bisa?" tanya Evelyn yang kaget bukan main. Tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Karena dia tau persis bagaimana watak papa mertuanya. Apakah dia luluh? apa yang Ar
"Selamat siang, Tuan Gilbert." "Kamu? Kamu Arabella, kan?""Ya, saya Arabella, lama tidak bertemu, Tuan. Rasanya saya juga lupa, kapan terakhir kali kita saling mengenal. Karena waktu itu saya masih sangat kecil. Kalaulah bukan karena Ibu yang memintaku menemui Anda, mungkin saya sudah mengubur nama Anda dalam-dalam." Perkataan Arabella itu sangat membuat Gilbert terpukul. Tapi, pria tua itu menyadari, dia memang bersalah. Gilbert berjalan melangkahkan kakinya mendekati Arabella hingga jarak keduanya hanya sekitar satu meter saja. "Duduklah dulu, Ara. Silakan, kita bisa berbicara dulu."Ara pun duduk, meski sejujurnya enggan. "Baik, kita bicara. Meski saya enggan, saya malas berbicara dengan orang seperti Anda, Tuan." "Arabella, maafkan Ayah, Nak.""Anda bukan ayah saya." "Ara, aku adalah ayahmu. Suka tidak suka, aku adalah suami ibumu.""Apa?" decih malas Arabella. "Kau bilang suami ibuku? Apakah
"Oli, sudahlah, aku tau kau kesal. Tapi kau sendiri tau, kan? itu papamu, dia memang begitu sejak dulu.""Eve, tapi kali ini dia sudah sangat keterlaluan. Bukannya kita sudah sepakat, untuk tidak ikut campur dengan urusan masing-masing lagi. Tapi, dia malah terlalu jauh mencampuri urusan kita."Meski Evelyn juga heran, terutama dengan kata-kata Gilbert yang terang-terangan mengatakan tidak menyukai Gavin. Tapi, dia tidak mau itu menjadi beban pikiran suaminya. "Hei, tidak akan ada yang terjadi. Papa tidak bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar menggertak kita. Iya, kan?"Oliver memeluk Evelyn. Beruntung istrinya itu sangat penyabar dan mengerti keadaannya. "Maafkan aku, ya, Eve. Karena dia membuat kamu susah sekarang.""Tidak, aku justru sangat bersyukur, di saat seperti ini kau membelaku." "Tentu saja, kau adalah istriku, jadi sudah sewajarnya aku membela mu, kan?" "Hem, kau harus tau, aku sangat bahagia, Oli. Kuharap kau terus
Gilbert dalam keadaan geram segera meminta orang kepercayaannya untuk menemui Evelyn dan meminta Evelyn membatalkan kontrak kerja sama dengan Gavin. Namun tak lama kemudian. Evelyn dan Oliver datang dalam keadaan tidak terima sebab menurut mereka Gilbert sudah keterlaluan ikut campur dengan urusan mereka. "Pa, kita harus bicara.""Kalian berdua duduk."Evelyn dan Oliver duduk dengan kemarahan yang tertahan. Tak mengerti kenapa Gilbert sangat tidak setuju dengan kerja sama Evelyn dah Gavin. Padahal semuanya susah sesuai prosedur dan perusahaan Gavin juga terbukti telah berhasil selamat dari ancaman kebangkrutan dan mulai berjaya lagi. "Kalian tahu, kan, bahwa kalian tidak memiliki hak untuk menolak permintaan Papa."Oliver kelihatan sangat kesal, dia berdiri lalu menantang papanya dengan tatapan tajam. "Papa punya alasan?" "Oli, duduklah, kau tidak boleh begitu di depan papamu," pinta Evelyn. "Tidak, Eve. Ka
Kedatangan Evelyn ke rumahnya membuat Arabella kepikiran. Jadi, rupanya sosok Gilbert bukan hanya menyebalkan, dan jahat di matanya saja, melainkan di depan anak dan menantunya? "Ah, aku lupa, dia adalah ayahku." Ara berdesis sebelum akhirnya dia duduk di depan meja kerjanya. "Jadi, dia juga mengucilkan Evelyn karena Evelyn belum punya anak?" Ara teringat waktu Evelyn berkata, dia dikucilkan. Sebab selama berumah tangga kurang lebih sepuluh tahun, dia belum juga dikaruniai keturunan. Setahu Evelyn, Gilbert ingin sekali memiliki cucu. Dia ingin sekali punya cucu perempuan. "Tidak, aku tidak akan biarkan laki-laki tua yang sudah menghancurkan hidup ku dan ibu, juga hendak merenggut kebahagiaan putriku?" "Aku pulang, Sayang..." "Gavin." Ara berdiri, dia langsung menghambur ke arah suaminya yang baru pulang dari bekerja. "Akhirnya kau pulang, Sayang." "Hem, tentu saja. apa kau menungguku?" "Ya, tentu saja ak