"Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki
Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s
Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di
"Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia
Aku masuk ke dalam mobil sport yang sangat mewah. Bahkan aku baru melihat mobil yang sangat bagus dan berkilau seperti itu."Apakah ini mobilmu, Pak?" kataku dengan polosnya. Aku hanya penasaran apa ini mobilnya? Kalau iya, berarti dia sangatlah Kaya Raya."Aku bukan pencuri mobil. Tentu ini mobilku. Kau pikir ini mobil curian?" jawabnya meski terdengar seperti penegasan tapi dia bersikap sangat santai."Ah... Begitu ya, maafkan saya." Aku pun memutuskan untuk diam dan tidak berkata-kata. Tapi aku baru ingat..."Astaga. Jam berapa sekarang?" tanyaku reflek meraih tangan pria itu dan menatap arloji yang dikenakannya."Tuhan! Ini sudah hampir terlewatkan. Cek tadi mana?" ucapku panik sambil merogoh bra yang aku kenakan tanpa memperdulikan pria di depanku yang melotot menatapku."Hei, hentikan!" ucapnya tapi aku tidak peduli langsung mengambil cek yang aku selipkan di dalam pakaian dalam ku."Untunglah masih ada. Tapi bagaima
Aku di usia remaja bisa dikatakan seperti gumpalan lemak yang berjalan. Tepat sekali, aku sangat gendut untuk anak seumuran ku. Tapi beruntung, aku memiliki saudara sepupu yang selalu mendukungku, dia adalah Alissa. Saat aku dijadikan bahan olok-olokan, dia selalu ada di sisiku untuk membelaku."Hentikan! Arabella bukan gadis gendut! Dia itu gadis yang cantik!" Alissa membentak dua murid perempuan di sekolah hanya karena mereka berdua mengatakan aku sangat gendut dan tidak pantas berteman."Apa menjadi gendut seburuk itu?" tanyaku pada Alissa."Kau tidak buruk, Ara. Hati mereka yang buruk. Jangan dengarkan, tutup saja telingamu," jawab Alissa sambil menutupi kedua telingaku. Aku merasa lebih baik saat itu karena dia.Alissa hidup sebatang kara setelah kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal dunia. Lissa sudah seperti kakak buatku, meski dia berumur dua tahun di bawahku tapi statusnya lebih tua dariku, karena dia anak dari kaka
"Akhirnya kau bangun, Ara."Suara itu? Bukankah itu suara lelaki yang kemarin menolongku? Oh Tuhan! Bagaimana aku bisa lupa, aku kan sedang berada dirumahnya. Mataku yang lesu akhirnya membulat sempurna saat melihat lelaki itu sedang duduk tepat di sebelahku. Apa aku tidak salah? Dia memperhatikan aku yang sedang tidur?"Pak..." Aku menutup mulutku. Aku lupa, dia tidak ingin aku memanggilnya dengan sebutan 'pak'."Maksudku Gavin. Sedang apa kau di sini? Ah, bukan maksudku kenapa kau masuk ke kamar ini? Meski ini rumahmu tapi aku tetap saja kaget, kau muncul seperti hantu saat aku membuka mata, kau malah duduk di sebelahku..." putusku saat tangannya malah berada di depan bibirku."Bukankah aku lebih mirip suamimu dibanding hantu?" ucapnya membuat aku melotot kaget. "Su-suami?"Gavin mengangkat bahunya. "Ya. Menurutku itu lebih pas dibanding kata hantu. Mana ada hantu yang setampan diriku, iyakan?"Aku benci
"Apa kau bilang? Kurasa kau benar-benar gila, Gavin! Sudahlah, aku akan pulang ke kontrakan rumahku sekarang, untuk uang yang kau pinjamkan tidak perlu kau cemas, aku akan kembalikan uang itu."Dia benar-benar tidak waras. Melakukan seks katanya? Tapi bukankah aku hampir menjual diriku, kalau saja dia tidak datang aku pasti sudah menjadi pelacur seutuhnya. Sudahlah, aku tetap harus keluar dari rumah ini!Aku menurunkan kakiku dari ranjang yang sangat empuk itu. Gavin masih menatapku tanpa sepatah kata pun. Apa dia marah? Atau dia merasa aku menghinanya?"Arabella... Kau rupanya lebih tangguh dari yang kubayangkan, ya. Tenanglah Ara, kalau aku berniat tidur dengan mu, untuk apa tidak aku lakukan dari kemarin. Sudahlah, kalau kau tidak mau menikah denganku tidak apa-apa. Bersiaplah , aku akan antar kau pulang."Dia tertawa? Aku menatapnya heran."Kenapa? Kau tidak mau pulang?"Astaga! Seharusnya aku senang, kan.