Aku masuk ke dalam mobil sport yang sangat mewah. Bahkan aku baru melihat mobil yang sangat bagus dan berkilau seperti itu.
"Apakah ini mobilmu, Pak?" kataku dengan polosnya. Aku hanya penasaran apa ini mobilnya? Kalau iya, berarti dia sangatlah Kaya Raya.
"Aku bukan pencuri mobil. Tentu ini mobilku. Kau pikir ini mobil curian?" jawabnya meski terdengar seperti penegasan tapi dia bersikap sangat santai.
"Ah... Begitu ya, maafkan saya." Aku pun memutuskan untuk diam dan tidak berkata-kata. Tapi aku baru ingat...
"Astaga. Jam berapa sekarang?" tanyaku reflek meraih tangan pria itu dan menatap arloji yang dikenakannya.
"Tuhan! Ini sudah hampir terlewatkan. Cek tadi mana?" ucapku panik sambil merogoh bra yang aku kenakan tanpa memperdulikan pria di depanku yang melotot menatapku.
"Hei, hentikan!" ucapnya tapi aku tidak peduli langsung mengambil cek yang aku selipkan di dalam pakaian dalam ku.
"Untunglah masih ada. Tapi bagaimana caranya menggunakan ini," gumam ku. Aku belum pernah menggunakan cek sebelumnya.
"Kau mau apa hah?" tanya pria yang terlupa hingga aku abaikan karena kepanikan ku.
"Maaf aku melupakan anda, Pak. Tapi bisakah bapak bantu saya dulu? Saya harus mentransfer uang untuk biaya rumah sakit ibu saya. Lima puluh juta sekarang. Tapi pria tadi memberiku cek ini dan aku tidak tahu bagaimana cara menggunakannya."Aku menyerahkan cek tersebut padanya.
Dia mengambil cek yang aku berikan lalu mengeluarkan ponselnya. "Tulis nomor rekening tujuan."Aku pun melakukan seperti perintahnya. Aku mengingat nomor rekening Alissa, karena setiap satu bulan sekali aku yang mengirimkan uang untuk ibuku. Bahkan aku juga yang membuatkan Alissa rekening baru tersebut.
Pria itu terlihat mengusap layar ponselnya beberapa kali sebelum akhirnya dia memperlihatkan padaku tampilan layar ponselnya."Sudah ku lakukan. Seratus juta."
"Hah?" aku kaget saat melihat angka seratus juta di layar itu. "Tapi aku hanya meminta lima pulih juta, Pak."
"Aku menambahkannya semauku. Dan buang saja ini," ucapnya sambil meremas kertas cek yang tadi aku berikan lalu melemparnya ke sembarang tempat.
"Astaga. Tapi pak, itu cek nya..." aku pun tergagap bingung. Apa yang sebenarnya orang itu inginkan dariku. Dia mentransfer seratus juta untuk ibuku. Lalu bagaimana cara aku mengembalikan uang itu?
"Masuklah. Jangan banyak tanya, aku lelah dan ingin istirahat," ucap lelaki itu. Aku hanya mengangguk dan langsung masuk ke dalam mobilnya.
Di dalam mobil aku hanya diam karena jujur aku hampir meledak karena semua ini. Dia melihatku sekilas saat aku sedang menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
"Kau jujur. Karena itu aku membawamu pulang ke rumahku."
Aku menoleh saat mendengar kata-kata itu terlontar dari mulutnya. "Maksud Bapak apa?" tanyaku bingung.
"Apa aku ini tua sampai kau memanggilku bapak?"
Aku menggeleng cepat. Dia tidak mungkin tua, dia sangat tampan, monologku. "Tidak, bukan begitu."
"Panggil aku Gavin. Hanya Gavin tanpa embel-embel apapun di depan dan dibelakangnya."
Aku mengangguk. "Iya. Baiklah Gavin."
"Bagus. Namamu siapa?"
"Arabella." Aku menundukkan kepalaku karena ketegasannya yang membuat nyaliku menciut."Oh jadi namamu Arabella. Rupanya kau terpaksa menjual diri demi ibumu, begitu-Ara?"
Jantungku berdegup lebih cepat seolah berlarian dan akan lepas hingga aku merasa seperti akan terjun dari tebing yang sangat tinggi. Aku berdebar dan terkena serangan jantung dalam satu waktu, itu yang aku rasakan sekarang.
"Iya, Gavin." Aku hampir menyebutnya bapak lagi.
"Orang yang membayar mu tadi. Lima puluh juta. Apa kau kenal?"
"Tidak." Aku menggeleng karena memang aku tidak mengenalnya. Mami yang mencarikan orang itu untuk menjadi pelanggan pertamaku. Untung saja aku bisa lepas dari jeratan itu.
"Dia adalah bawahan ku di kantor. Hari ini dia seharusnya mengurus meeting penting dan dia pergi begitu saja. Rupanya dia bedebah yang hanya memikirkan hawa nafsu. Dia menyewa wanita seharga lima puluh juta."
Aku kembali dikejutkan dengan kata-katanya.
"Aku..." bingung ingin berkata apa. Aku di sini tidak tahu harus berbuat apa sekarang.
"Kau tahu kenapa aku mengajakmu pergi?" tanyanya dan aku menggeleng lagi. Hanya gelengan karena memang aku tidak tahu.
"Karena aku juga tidak tahu kenapa. Kenapa aku malah membawamu, Ara. Sudahlah, anggap saja tadi bantuan dariku secara cuma-cuma untuk membantu ibumu."
Apakah bisa sesimpel itu? Lalu apa yang harus aku lakukan untuk membalas kebaikan itu.
"Kau sedang berpikir apa yang harus kau lakukan untuk membalas kebaikanku, begitu bukan?" ucapnya seolah bisa membaca pikiranku.
"Iya Gavin. Aku tidak mungkin menerima kebaikan orang secara percuma."
Gavin hanya menganggukkan kepala. Aku semakin bingung dibuatnya."Biar aku pikirkan nanti. Sekarang kau ikut saja pulang bersamaku ke rumah."
Aku tidak dapat menolak meski aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Gavin terhadapku nanti.Mobil mewah itu berhenti tepat di depan sebuah mansion yang sangat mewah. Aku membelalakkan mata karena baru pertama kali melihat gedung yang sangat megah yang disebut rumah oleh Gavin meski menurutku itu lebih pantas dikatakan sebagai istana.
"Masuklah, Ara." Pintu rumah itu terbuka dengan pelayan yang sudah berbaris menyambut kedatangan Gavin.
"Selamat datang Tuan Gavin."
Wah... Ini seperti drama yang aku lihat di televisi. Saat orang kaya raya datang lalu disambut oleh pelayan yang begitu rapi berbaris dengan seragam yang bahkan sepertinya terbuat dari bahan kain yang sangat mahal."Ara. Ikut aku ke dalam," ajaknya.
"Baik, Gavin." Aku hanya menuruti perintahnya. Setidaknya itu yang bisa aku lakukan sekarang.
Para pelayan menatap penuh curiga terhadapku tapi aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil.
Langkah kakiku terhenti saat Gavin juga berhenti tepat di depan sebuah ruangan yang aku kira tadinya itu adalah sebuah ruang pertemuan keluarga.
"Ini kamar untukmu, Ara."
Aku memang orang miskin tapi aku bukan tidak pernah melihat rumah orang kaya. Hanya saja sumpah demi apapun aku baru pertama kali melihat ruangan yang disebut kamar seperti yang terbentang di depanku.
"Ini kamar?"
"Ya. Apa kau mengira ini perpustakaan?" Gavin begitu dingin dia tidak tertawa saat mengucapkan kata yang menurutku agak lucu.
"Mana mungkin perpustakaan. Kukira aku baru pertama kali melihat kamar semewah ini,"
"Masuklah ini kamar yang paling kecil."
"Apa?" kataku kembali terkejut.
"Ya. Ini kecil. Kalau kau mau ke kamar yang lebih besar kau bisa ke kamarku, Ara."
Aku meneguk ludah. Jadi apa maksud dia itu?
"Ingat satu hal Ara. Aku membawamu bukan untuk menidurimu." Lagi-lagi dia menyentuh bahuku, dan aku merinding.
"Ah... Iya, terima kasih."
"Aku tidak yakin setelah aku mengutarakan maksudku kau akan berterima kasih padaku, Ara."
Aku berpikir keras mencerna maksud kata-katanya itu. "Kau memiliki rencana apa?" tanyaku nyaris mati penasaran sejak aku bertemu dengannya tadi.
Aku tentu tidak dapat menebak apa kiranya yang menjadi tujuannya membawaku.
"Istirahat saja dulu. Besok aku akan mengatakan maksudku padamu, Arabella."
Bagaimana caraku bertemu dengan pria bernama Gavin itu? Akan kalian ketahui setelah ini.
Aku di usia remaja bisa dikatakan seperti gumpalan lemak yang berjalan. Tepat sekali, aku sangat gendut untuk anak seumuran ku. Tapi beruntung, aku memiliki saudara sepupu yang selalu mendukungku, dia adalah Alissa. Saat aku dijadikan bahan olok-olokan, dia selalu ada di sisiku untuk membelaku."Hentikan! Arabella bukan gadis gendut! Dia itu gadis yang cantik!" Alissa membentak dua murid perempuan di sekolah hanya karena mereka berdua mengatakan aku sangat gendut dan tidak pantas berteman."Apa menjadi gendut seburuk itu?" tanyaku pada Alissa."Kau tidak buruk, Ara. Hati mereka yang buruk. Jangan dengarkan, tutup saja telingamu," jawab Alissa sambil menutupi kedua telingaku. Aku merasa lebih baik saat itu karena dia.Alissa hidup sebatang kara setelah kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal dunia. Lissa sudah seperti kakak buatku, meski dia berumur dua tahun di bawahku tapi statusnya lebih tua dariku, karena dia anak dari kaka
"Akhirnya kau bangun, Ara."Suara itu? Bukankah itu suara lelaki yang kemarin menolongku? Oh Tuhan! Bagaimana aku bisa lupa, aku kan sedang berada dirumahnya. Mataku yang lesu akhirnya membulat sempurna saat melihat lelaki itu sedang duduk tepat di sebelahku. Apa aku tidak salah? Dia memperhatikan aku yang sedang tidur?"Pak..." Aku menutup mulutku. Aku lupa, dia tidak ingin aku memanggilnya dengan sebutan 'pak'."Maksudku Gavin. Sedang apa kau di sini? Ah, bukan maksudku kenapa kau masuk ke kamar ini? Meski ini rumahmu tapi aku tetap saja kaget, kau muncul seperti hantu saat aku membuka mata, kau malah duduk di sebelahku..." putusku saat tangannya malah berada di depan bibirku."Bukankah aku lebih mirip suamimu dibanding hantu?" ucapnya membuat aku melotot kaget. "Su-suami?"Gavin mengangkat bahunya. "Ya. Menurutku itu lebih pas dibanding kata hantu. Mana ada hantu yang setampan diriku, iyakan?"Aku benci
"Apa kau bilang? Kurasa kau benar-benar gila, Gavin! Sudahlah, aku akan pulang ke kontrakan rumahku sekarang, untuk uang yang kau pinjamkan tidak perlu kau cemas, aku akan kembalikan uang itu."Dia benar-benar tidak waras. Melakukan seks katanya? Tapi bukankah aku hampir menjual diriku, kalau saja dia tidak datang aku pasti sudah menjadi pelacur seutuhnya. Sudahlah, aku tetap harus keluar dari rumah ini!Aku menurunkan kakiku dari ranjang yang sangat empuk itu. Gavin masih menatapku tanpa sepatah kata pun. Apa dia marah? Atau dia merasa aku menghinanya?"Arabella... Kau rupanya lebih tangguh dari yang kubayangkan, ya. Tenanglah Ara, kalau aku berniat tidur dengan mu, untuk apa tidak aku lakukan dari kemarin. Sudahlah, kalau kau tidak mau menikah denganku tidak apa-apa. Bersiaplah , aku akan antar kau pulang."Dia tertawa? Aku menatapnya heran."Kenapa? Kau tidak mau pulang?"Astaga! Seharusnya aku senang, kan.
Ara keluar dari ruangan ibunya, sudah waktunya dia pulang dan memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk melunasi biaya rumah sakit.Saat dia sedang memutar otaknya, sambil mengingat-ingat kiranya ada seseorang yang dapat membantunya, tapi tidak ada yang terlintas dalam benaknya kecuali Gavin."Lupakan, Ara! Kau belum mengenalnya, bagaimana bisa kau menerima tawaran orang asing. Walaupun, Gavin memang baik, tapi...""Wow! Lihatlah, siapa dia, Frey. Bukankah dia si buntelan lemak, Arabella? Hahahaha....""Coba kulihat? Oh my God! Benar, dia kan Arabella teman sekelas kita di SMA dulu? Wah, kau lupa ya, Jen. Dia sudah bukan buntelan lemak lagi. Tubuhnya kurus sekarang, nyaris tak memiliki lemak. Hahahaha!"Ara menghentikan langkahnya dengan perasaan kesal, tapi dia tidak mau menunjukkan hal itu di depan dua wanita yang bernama Freya dan Jennifer, mereka berdua adalah teman sekelas Ara.Meskipun Ara
Kita adalah sepasang kekasih, yang sedang di mabuk asmara. Begitulah judul yang diberikan Ara untuk tema pesta malam ini. Walaupun Ara bukan pertama kalinya berakting, tapi tetap saja dia gugup. Malam ini dia bukan hanya akan berakting, tapi orang yang dia temui adalah keluarga besar Gavin, calon suaminya. "Sayang, maaf kalau aku agak gugup. Tapi bisakah kau ambilkan aku minum?" Ara menutupi mulutnya sambil sesekali mengedipkan mata. Gavin tak kuat menahan diri untuk tidak tertawa. "Hentikan. Aku tidak tahan lagi, jangan panggil sayang. Aku ingin tertawa terus," ucap Gavin. "Gavin! Kau ingin penampilan malam ini sukses, kan? Astaga, kau kira aku tidak menahan diri sejak tadi, aku jug ..." Ara menghentikan kata-katanya saat Gavin tiba-tiba menarik tubuhnya. Keduanya saling menatap satu sama lain, ada yang berbeda dengan tatapan Gavin. "Kau mau apa?" Mata Ara me
Kejadian sebelumnya ....Aku menarik napas ku dalam-dalam, saat melihat gadis di sampingku basah kuyup terkena hujan deras tadi. Apakah dia sebodoh itu? Duduk di bawah hujan tanpa payung. Atau dia memang sengaja ingin menutupi tangisannya?Tidak sengaja aku melihat dia sedang berbicara dengan dua wanita, walau itu sepertinya bukan pembicaraan yang tenang. Gadis itu terlihat menahan marah dan kuakui dia pandai menutupi emosinya itu. Tadinya aku ingin menemuinya untuk membicarakan masalah tawaranku. Aku malah tidak sengaja menyaksikan pertengkaran dia dengan dua wanita yang aku tidak tahu mereka itu siapa."Pakailah handuk ini, ini bukan handuk milikku. Itu handuk baru, tenang saja," ucapku padanya karena kalau dibiarkan dia bisa sakit. Ah, kenapa aku ini, apa aku sedang perhatian padanya? Entahlah."Terima kasih, Gavin." Dia mengambil handuk itu lalu mulai mengelap rambutny
"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya."Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras."A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku."Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya."Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengse
"Ya, Tuan. Apa Anda menginginkan saya?" Suara seorang wanita yang katanya paling cantik di sebuah bar ternama, membuat Gavin menoleh sekilas.Wanita itu memang cantik, tubuhnya bagus dan terlihat anggun dan seksi. Gavin tersenyum kecil, dia berusaha untuk tetap bersikap wajar. Ini bukan pertama kalinya Gavin mendatangi tempat seperti itu untuk mencari wanita.Tentu saja, hanya untuk mengecek apakah traumanya sudah menghilang? Sebab semalam dia menyentuh Arabella dan semuanya baik-baik saja. Gavin tidak merasakan reaksi yang biasanya dia rasakan, saat dekat dengan wanita.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Mungkin ini adalah hal yang gila. Seharusnya dia kembali ke rumah dan tidak perlu memastikan, tapi dia penasaran ada apa dengan Arabella? Kenapa dia baik-baik saja saat bercumbu dan nyaris saja bercinta dengan wanita itu?"Coba kemari, duduk dekatku," pinta Gavin. Wanita itu mengangguk setuju dengan
"Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia
Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di
Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s
"Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki
Evelyn benar-benar cemas karena Arabella meminta bertemu empat mata dengan papa mertuanya. Sedang dia tau, bahwa papa mertuanya itu bukan termasuk orang yang bisa diajak bicara.Setelah sekitar tiga puluh menit Arabella bersama dengan Gilbert, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Akhirnya Arabella keluar dengan wajah yang datar pada awalnya. "Ara, kau akhirnya keluar juga. aku sangat mencemaskan mu."Barulah Arabella tersenyum. Dia menggenggam tangan Evelyn, dengan raut yang terlihat santai, seolah tak terjadi apa-apa."Aku baik-baik saja. Syukurlah, semuanya bisa diselesaikan. Aku sudah bicara, dan Tuan Gilbert akan menyelesaikan semuanya. Kau bisa lanjut dengan proyek yang sebelumnya berjalan, tanpa perlu memperpanjang semuanya lagi.""Hah? Apa maksud mu, Arabella? Bagaimana bisa?" tanya Evelyn yang kaget bukan main. Tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Karena dia tau persis bagaimana watak papa mertuanya. Apakah dia luluh? apa yang Ar
"Selamat siang, Tuan Gilbert." "Kamu? Kamu Arabella, kan?""Ya, saya Arabella, lama tidak bertemu, Tuan. Rasanya saya juga lupa, kapan terakhir kali kita saling mengenal. Karena waktu itu saya masih sangat kecil. Kalaulah bukan karena Ibu yang memintaku menemui Anda, mungkin saya sudah mengubur nama Anda dalam-dalam." Perkataan Arabella itu sangat membuat Gilbert terpukul. Tapi, pria tua itu menyadari, dia memang bersalah. Gilbert berjalan melangkahkan kakinya mendekati Arabella hingga jarak keduanya hanya sekitar satu meter saja. "Duduklah dulu, Ara. Silakan, kita bisa berbicara dulu."Ara pun duduk, meski sejujurnya enggan. "Baik, kita bicara. Meski saya enggan, saya malas berbicara dengan orang seperti Anda, Tuan." "Arabella, maafkan Ayah, Nak.""Anda bukan ayah saya." "Ara, aku adalah ayahmu. Suka tidak suka, aku adalah suami ibumu.""Apa?" decih malas Arabella. "Kau bilang suami ibuku? Apakah
"Oli, sudahlah, aku tau kau kesal. Tapi kau sendiri tau, kan? itu papamu, dia memang begitu sejak dulu.""Eve, tapi kali ini dia sudah sangat keterlaluan. Bukannya kita sudah sepakat, untuk tidak ikut campur dengan urusan masing-masing lagi. Tapi, dia malah terlalu jauh mencampuri urusan kita."Meski Evelyn juga heran, terutama dengan kata-kata Gilbert yang terang-terangan mengatakan tidak menyukai Gavin. Tapi, dia tidak mau itu menjadi beban pikiran suaminya. "Hei, tidak akan ada yang terjadi. Papa tidak bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar menggertak kita. Iya, kan?"Oliver memeluk Evelyn. Beruntung istrinya itu sangat penyabar dan mengerti keadaannya. "Maafkan aku, ya, Eve. Karena dia membuat kamu susah sekarang.""Tidak, aku justru sangat bersyukur, di saat seperti ini kau membelaku." "Tentu saja, kau adalah istriku, jadi sudah sewajarnya aku membela mu, kan?" "Hem, kau harus tau, aku sangat bahagia, Oli. Kuharap kau terus
Gilbert dalam keadaan geram segera meminta orang kepercayaannya untuk menemui Evelyn dan meminta Evelyn membatalkan kontrak kerja sama dengan Gavin. Namun tak lama kemudian. Evelyn dan Oliver datang dalam keadaan tidak terima sebab menurut mereka Gilbert sudah keterlaluan ikut campur dengan urusan mereka. "Pa, kita harus bicara.""Kalian berdua duduk."Evelyn dan Oliver duduk dengan kemarahan yang tertahan. Tak mengerti kenapa Gilbert sangat tidak setuju dengan kerja sama Evelyn dah Gavin. Padahal semuanya susah sesuai prosedur dan perusahaan Gavin juga terbukti telah berhasil selamat dari ancaman kebangkrutan dan mulai berjaya lagi. "Kalian tahu, kan, bahwa kalian tidak memiliki hak untuk menolak permintaan Papa."Oliver kelihatan sangat kesal, dia berdiri lalu menantang papanya dengan tatapan tajam. "Papa punya alasan?" "Oli, duduklah, kau tidak boleh begitu di depan papamu," pinta Evelyn. "Tidak, Eve. Ka
Kedatangan Evelyn ke rumahnya membuat Arabella kepikiran. Jadi, rupanya sosok Gilbert bukan hanya menyebalkan, dan jahat di matanya saja, melainkan di depan anak dan menantunya? "Ah, aku lupa, dia adalah ayahku." Ara berdesis sebelum akhirnya dia duduk di depan meja kerjanya. "Jadi, dia juga mengucilkan Evelyn karena Evelyn belum punya anak?" Ara teringat waktu Evelyn berkata, dia dikucilkan. Sebab selama berumah tangga kurang lebih sepuluh tahun, dia belum juga dikaruniai keturunan. Setahu Evelyn, Gilbert ingin sekali memiliki cucu. Dia ingin sekali punya cucu perempuan. "Tidak, aku tidak akan biarkan laki-laki tua yang sudah menghancurkan hidup ku dan ibu, juga hendak merenggut kebahagiaan putriku?" "Aku pulang, Sayang..." "Gavin." Ara berdiri, dia langsung menghambur ke arah suaminya yang baru pulang dari bekerja. "Akhirnya kau pulang, Sayang." "Hem, tentu saja. apa kau menungguku?" "Ya, tentu saja ak