"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"
Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya.
"Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras.
"A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"
Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku.
"Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.
Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya.
"Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengsek! Apa yang kau lakukan padaku!"
Ara bangun dari ranjang lebar yang ditidurinya tadi. Bajunya acak-acakan, rambutnya berantakan. "Astaga! Apa yang terjadi padaku? Kepalaku sakit,"
"Jangan coba kabur dariku!" Gavin seperti bukan dirinya, dia berjalan terhuyung-huyung mendekati Ara.
"Kau mabuk, brengsek! Jangan sentuh aku!" Ara menampar pipi Gavin, tapi pria itu malah tertawa.
"Aku akan membalas semua perbuatan mu, Luna! Kau adalah Luna, kan? Bisa-bisanya kau mencampakkan aku? Kau kira aku ini sampah?"
"Luna? Siapa Luna? Hei, kau mengigau ya! Sial! Kau sudah sangat mabuk, sadarlah Gavin!" pekik Ara, tapi Gavin malah memeluknya erat.
"Tubuhmu sangat seksi. Aku bahkan tidak pernah kurang ajar padamu, Luna. Tapi, kau dengan murah mengobralnya pada lelaki yang katanya lebih mencintaimu? Hahahaha dasar bodoh! Jelas aku yang paling mencintaimu! Bitch!"
Gavin Makin menggila, entah apa yang dia bicarakan sejak tadi. Nama Luna selalu dia ulang-ulang. Ara makin sesak saat pelukan Gavin sangat erat hingga hampir membuatnya kehabisan napas.
"Lepaskan!"
"Kita lakukan saja, agar kau tahu aku lebih perkasa dari dirinya!"
"Kau gila! Sadarlah Gavin, aku ini Arabella! Bukan Luna!"
Meski Ara tidak tahu siapa Luna, tapi dia sepenuhnya sadar. Ara tidak mabuk, dia ingat bahwa Gavin mabuk dan dia terhempas jatuh saat mengantar Gavin hingga dia pingsan. Kepalanya sakit karena keningnya membentur tembok, lukanya saja masih terasa pedih.
"Kau mabuk berat, Gavin! Lepaskan aku, kumohon." Ara merintih saat tangan Gavin mulai mencengkeram tubuhnya lagi.
"Hmmm..." Bibirnya menyentuh lagi bibir Ara, tapi kepala Ara terasa pening, pandangannya mulai memudar. "Please, lepaskan aku," suara Ara mulai melemah.
"Sayang, aku akan sangat lembut ...."
"Kau gila, lepaskan kubilang!" sentak Ara.
Namun semua sia-sia. Gavin malah menggendong tubuhnya lalu menghempaskan kembali ke atas ranjang hingga Ara yang merasa pusing hanya terbaring pasrah menatap Gavin yang belum juga sadar.
Tangan Gavin mulai meremas gaun yang dikenakan Ara, lalu mulai melepasnya. Tentu saja Ara menolak keras, tapi kepalanya sangat sakit sehingga tenaganya makin melemah. Kini, gaun yang membalut tubuhnya sudah berhasil disingkirkan oleh Gavin.
Kedua mata Gavin menyipit menatap Ara yang sedang menangis. Kalau saja dia tidak selemah ini tentu Ara tidak akan membuang waktu untuk menangis dan langsung menghajar Gavin.
"Kau brengsek! Aku benci kau, Gavin!"
Pria itu malah tersenyum lalu menyentuh kedua pipi Ara yang hanya mengenakan pakaian dalam saja. "Aku tidak akan menyakitimu. Kepalamu terluka?"
"Tutup mulutmu, sial! Berikan aku pakaianku! Kau sudah keterlaluan," kata Arabella entah harus bagaimana agar Gavin sadar.
Seandainya saja kepalanya tidak sakit, tentu dia akan segera mengambil air untuk menyiram wajah Gavin yang mabuk berat. Dia sadar, Gavin bisa mabuk seperti itu karena keluarga Gavin memaksa Ara untuk minum. Tapi Ara tidak pernah minum-minuman seperti itu. Akhirnya Gavin lah Yang menggantikan Ara untuk menghabisi minuman-minuman itu. Sialnya Gavin juga tidak terbiasa, hingga baru habis satu gelas saja dia sudah mabuk parah seperti sekarang.
Jemari Gavin menyentuh permukaan bibir Ara, kali ini sangat teramat lembut. Lalu lidahnya menyentuh lembut bibir Ara yang terbuka hingga ciuman itu tak dapat dielakkan lagi. Permainan lidah Gavin malah membuat Ara makin kikuk dan tidak bisa menolak. Ada yang aneh dengan Ara, dia merasakan sesuatu dalam dirinya... BASAH?
Apa ini? Kenapa aku tidak ingin menghentikan perbuatannya? Geram Ara dalam hati.
Ciuman yang teramat lembut, sama sekali tidak kasar seperti sebelumnya. Sentuhan bibir Gavin kini berpindah ke leher jenjang Ara, dia mengecupnya halus hingga membuat Ara melenguh tidak dapat menahan suaranya.
Tangan Gavin mulai menelusuri bagian perut Ara, menyingkap pakaian Ara hingga kulit halus Ara tampak.
Ara makin kalut, dia belum pernah disentuh seperti itu oleh laki-laki dan Gavin melakukannya dibawah pengaruh minuman keras.
Perlahan Gavin menelusupkan jarinya ke dalam underwear yang dikenakan Ara.
"Ah! Brengsek!" Ara melenguh tertahan. Jika dia berteriak, dia takut akan ada yang mendengarnya.
Namun tangan Gavin sudah menjamah area sensitif nya dan itu sangat menyiksa. Meski pertama kali merasakan perlakuan seperti itu, tapi Ara adalah gadis normal, dia mulai terpancing.
Raut wajah Gavin mulai meremang dalam pandangan Ara, pria itu menatapnya intens tak melepaskan sedikit pun sentuhannya di tubuh Ara yang mulai basah.
"Gavin! Hentikan kumohon..."
Ini tidak benar, aku... Batin Ara terus memberontak.
Kalau diteruskan, Ara tidak yakin dirinya bisa bertahan untuk terus menolak. Laki-laki ini sudah dikuasai Alkohol.
"Gavin tatap mataku. Lihatlah aku, aku ini Arabella, aku bukan Luna yang kau sebut-sebut!" sentak Ara sambil mengapit kedua pipi Gavin agar tersadar ini tidak boleh diteruskan. "Kau lihat ini aku Arabella! Kau janji tidak akan meniduri ku? Kau brengsek!" Ara menampar kembali pipi Gavin cukup keras.
"Kau? Ara?" Pria itu melepaskan cengkeramannya dari tubuh Ara. Dia mulai menyadari siapa dirinya, dan siapa gadis yang ada di bawahnya. "Kemana bajumu?"
"Brengsek! Kau kan yang melepasnya tadi!" Ara membentak lelaki itu. "Keluar kau! Pergi!" usir Ara, kini dia yakin bahwa Gavin sudah sadar. Secepatnya Ara mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Ara, aku... Sungguh, aku minta maaf, aku..." Gavin memijat kepalanya yang terasa berat. "Aku minta maaf, Ara."
"Pergi ku bilang!" Ara berteriak sambil menutupi tubuhnya. "Kau cuci muka dan pastikan sudah sadar dari mabuk! Biarkan aku membereskan diriku yang berantakan!"
"Ara..."
"Pergi!"
"Baiklah, maafkan aku, Ara." Gavin keluar dari ruangan kamarnya. Ya, itu adalah kamarnya di rumah keluarga besarnya. Gavin menutup pintu dengan perasaan bersalah, apa yang baru saja dia lakukan? Kenapa Ara hampir telanjang?
Suasana rumah sangat sepi. Perlahan dia mulai mengingat kejadian demi kejadian sebelumnya. Dia sangat mabuk, kepalanya sakit dan efek alkohol itu benar-benar gila.
"Sial! Ini semua karena Fabian brengsek!" umpatnya.
Dia tahu pasti kakaknya itu sekarang sama sedang mabuk juga. Tapi dia sebelumnya tidak pernah mabuk, dan kadar alkohol yang di berikan Fabian padanya pasti kadar yang cukup tinggi.
"Ara, dia pasti sangat membenciku sekarang."
"Lelaki bajingan itu. Ara apa kau gila!" Sekarang bayangan Gavin saat menyentuh tubuhnya malah terus muncul di pelupuk matanya. Ara sangat malu, dia merasakan hasrat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Seenaknya dia mengira aku Luna? Siapa dia?"
Tanpa sadar Ara menjatuhkan air matanya. Bukankah perbuatan Gavin tadi sama saja melecehkannya? Dan Ara sangat membenci dirinya sendiri, dia malah menikmati sentuhan Gavin itu.
"Kau bodoh Arabella! Kau sangat payah!"
Sedangkan Gavin tidak henti-hentinya menyesali apa yang sudah dia perbuat.
"Ini sangat aneh! Ini tidak bisa dipercaya? Kenapa aku dengan mudah menyentuh Arabella? Padahal sebelumnya aku selalu gemetar dan panas dingin saat dekat dengan wanita mana pun. Apakah Ara bukan wanita? Tidak! Tidak mungkin begitu! Ini pasti ada yang salah!"
Gavin langsung meraih ponsel untuk menghubungi dokter yang biasa menanganinya. Dia membuat janji untuk membicarakan apa yang baru saja dia alami.
Waktu sudah semakin larut, tapi Gavin tidak mau menunda untuk bertanya pada dokter. Setelah memastikan mabuknya hilang, Gavin segera menyalakan mesin mobil menuju tempat dokter itu. Karena Gavin adalah pasien eksklusif, dokter itu tidak keberatan Gavin datang, walau sekarang bukan jam praktiknya lagi.
"Gavin? Duduklah," titah dokter yang biasanya dipanggil Arnold oleh Gavin.
"Kau kenapa? Apa yang terjadi sampai kau menghubungiku larut malam begini? Apa kesehatanmu memburuk?" tanya dokter Arnold.
Gavin terlihat gusar, hal itu makin membuat Arnold penasaran. Di telepon tadi, Gavin belum menjelaskan apapun selain ingin bertemu dan mengatakan itu sangat penting.
"Arnold. Apa yang terjadi padaku?" tanya Gavin mulai terlihat panik.
"Apa yang terjadi? Ceritakanlah Vin, aku bukan peramal yang bisa membaca pikiranmu. Katakan, apa yang kau rasakan?" ujar dokter yang makin bingung dengan sikap Gavin.
"Kau tau aku tidak bisa dekat dengan wanita selain keluargaku, kan?" ucap Gavin.
"Ya. Itu adalah masalah yang belum berhasil kau kendalikan, Vin. Lalu ada apa? Apa itu mulai mengganggumu lagi? Bukankah kau yang bersikeras ingin menahannya dan membiarkan itu pulih dengan sendirinya?" jawab Arnold.
"Tapi aku mengalami hal aneh, aku saat ini sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita, dan aku tidak merasakan keluhan yang biasa kurasakan saat dekat dengan wanita lain. Ini sangat aneh, Ar!"
Arnold yang mendengar itu langsung tersentak dan menegakkan posisi duduknya menatap Gavin.
"Maksudmu kau sedang berpacaran? Dan kau tidak merasa gemetar ataupun sakau saat ada di dekatnya?"
Gavin mengusap wajahnya, lalu dia menganggukkan kepala. "Ya, begitu, Ar. Bukankah ini aneh? Dia jelas-jelas wanita dan aku tidak bermaksud menyentuhnya, tapi tadi aku mabuk dan aku...." ucap Gavin terputus.
"Kau menyentuhnya dan tidak terjadi apapun?" Sambung Arnold menebak dengan sangat tepat apa yang telah terjadi.
"Ini pasti ada kesalahan. Apakah aku sudah sembuh?" Tanya Gavin pada Arnold yang terlihat sedang memikirkan kembali kasus yang baru saja di alami oleh pasiennya.
"Ini memang aneh, bisa saja kau sudah kembali normal. Tapi untuk mengetahuinya kau harus mengetesnya terlebih dahulu, kau bisa coba dekati gadis lain selain kekasihmu itu, Vin. Jika tidak ada reaksi negatif, maka kau sudah pasti sembuh. Tapi jika sebaliknya, kau merasa trauma mu masih ada, maka ada yang berbeda dengan kekasihmu itu. Mungkin saja kau hanya bisa menyentuh gadis itu tidak dengan gadis yang lain."
Penjelasan Arnold itu masuk di akal dan Gavin memutuskan mengikuti saran dari Arnold untuk mengetes itu dengan gadis selain Arabella.
________
Bersambung
"Ya, Tuan. Apa Anda menginginkan saya?" Suara seorang wanita yang katanya paling cantik di sebuah bar ternama, membuat Gavin menoleh sekilas.Wanita itu memang cantik, tubuhnya bagus dan terlihat anggun dan seksi. Gavin tersenyum kecil, dia berusaha untuk tetap bersikap wajar. Ini bukan pertama kalinya Gavin mendatangi tempat seperti itu untuk mencari wanita.Tentu saja, hanya untuk mengecek apakah traumanya sudah menghilang? Sebab semalam dia menyentuh Arabella dan semuanya baik-baik saja. Gavin tidak merasakan reaksi yang biasanya dia rasakan, saat dekat dengan wanita.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Mungkin ini adalah hal yang gila. Seharusnya dia kembali ke rumah dan tidak perlu memastikan, tapi dia penasaran ada apa dengan Arabella? Kenapa dia baik-baik saja saat bercumbu dan nyaris saja bercinta dengan wanita itu?"Coba kemari, duduk dekatku," pinta Gavin. Wanita itu mengangguk setuju dengan
"Gavin, kumohon dengarkan dulu penjelasan ku. Kenapa kau selalu mengabaikan aku?" Tatap seorang gadis di depan Gavin. Keduanya tidak sengaja bertemu saat Gavin hendak membeli sesuatu di supermarket bersama dengan Arabella."Kau bertanya padaku? Lucu sekali, kau pasti tahu persis kenapa aku mengabaikan kau, bukan? Aluna! Ngomong-ngomong di mana kekasih terbaikmu? Apa dia sudah membuang mu?" sindir Gavin."Gavin, kau salah sangka! Aku dan Cedric tidak seperti yang kau bayangkan. Aku memang pergi dengannya, tapi bukan untuk bersama dalam artian berpacaran,""Sudahlah, aku tidak perduli. Walaupun kau memiliki hubungan atau tidak dengannya. Tapi semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku sudah harus pergi, Luna." Gavin tersenyum sarkastik lalu berbalik meninggalkan wanita itu.Sementara wanita yang bernama Luna itu terlihat sangat terpukul dengan perkataan Gavin barusan."Aku masih m
Kakiku terasa pegal dengan tumit yang agak perih karena high heels yang aku kenakan begitu menyiksa. Aku sudah berada di kamarku, sendirian. Malam ini adalah Malam pertama aku sebagai istri Gavin Narendra Tama. Tapi, pria itu mungkin sudah tidur di kamarnya.Kamarnya, bukan bersamaku. Tidak, memang sudah seharusnya begitu, kan? Ini bukan pernikahan, ini hanyalah sebuah kontrak selama satu tahun. Orang-orang melihat ini adalah pernikahan yang sakral, di penuhi cinta karena akting kami yang sungguh meyakinkan.Aku hanya tersenyum getir. Tapi apa lagi yang kuharap kan, sih? Begini saja sudah sangat bagus untukku. Setidaknya Ibuku mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ternama. Tentunya tanpa memikirkan biaya yang sangat besar karena Gavin sudah melunasinya.Meskipun begitu, aku terkadang bingung dengan diriku sendiri. Tadi, sewaktu Gavin begitu bangga memperkenalkan aku sebagai istrinya, di hadapan t
Mau tidak mau menerima tawaran orang tuanya, Gavin meski tidak nyaman akhirnya berada di dalam kamar yang sama dengan Arabella, istrinya. Mereka sepakat untuk tetap menjaga jarak aman dan tidak saling menyentuh sesuai perjanjian.Lelah. Setelah berbincang sambil makan malam dengan keluarga besar Gavin. Arabella memutuskan untuk beristirahat. Untungnya, rumah keluarga Gavin sangat besar, sehingga kamar itu bisa dikatakan lebih mirip ukuran sebuah rumah. Memiliki kelengkapan yang lengkap seperti dapur, kamar mandi tentunya, dan juga ruang bersantai dengan televisi yang besar."Ini kamar?" Arabella bukan pertama kali ke rumah tersebut. Saat Gavin mabuk, Arabella juga bermalam di kamar itu."Sial!! Aku jadi teringat lagi saat Gavin mabuk, dia memang payah!" Daripada memikirkan ingatan lalu, akhirnya Ara memutuskan untuk tidur.Entahlah, kemana Gavin pergi. Tadi dia berpamitan pada Ara untuk mengobrol dengan ka
Hari kedua Ara dan Gavin berada di rumah besar keluarga Marcellino Narendra. Hari ini kakak Gavin yang bernama Fabian Narendra akan pindah ke rumah pribadinya di luar negeri bersama keluarga kecilnya. Gavin merasa sedikit sedih, karena walaupun kakaknya itu seringkali mengusilinya, mem-bully-nya. Tapi dia adalah satu-satunya saudara Gavin."Kau kenapa? Kulihat murung terus sejak tadi," tegur Ara sambil menuangkan air ke dalam gelasnya. Dia pikir cukup satu malam saja dia merasakan malu karena mimpinya yang sungguh keterlaluan itu. Sekarang Ara berusaha untuk bersikap biasa saja pada Gavin."Tidak." Gavin menjawabnya singkat. "Berikan aku air.""Rupanya kau haus, kenapa tidak bilang." Ara mengambil gelas bermaksud menuangkan air di gelas baru. Tapi Gavin malah mengambil gelas milik Ara kemudian meminum sisa air yang ada didalamnya."Hei! Itu kan, milikku!""Ini hanya air, kau bisa ambil yan
Esok pun datang. Hari di mana Ara dan Gavin harus pergi berbulan madu. Indah, tentu itu hal yang direncanakan sebagian pengantin. Pergi mengunjungi tempat yang diinginkan, berdua, bermesraan, menghabiskan waktu untuk bercumbu sebagai pasangan. Namun berbeda dengan yang dirasakan Arabella. Dia pergi dengan pria yang berstatus suaminya, tapi dengan tujuan yang berbeda. Bulan madu? Ini lebih mirip ... "Anggap saja ini refreshing." Benar. Arabella tersenyum samar. "Ya. Aku anggap ini refreshing. Not bad, I also need for something like that—refreshing." "Take it easy. We can spend with satisfaction. You do what you like." Ara tersenyum getir. Apalagi yang dia harapkan? Ara sama sekali tidak menyangka bahwa menjalani pernikahan bisnis akan menyakitkan. Kenapa? Kenapa Ara merasakan sakit? Ini sudah tidak benar sekarang. Mereka sampai di tempat
Ara menghela napas panjang. Sekarang Gavin sudah berada di dalam taksi berkat bantuan wanita seksi dari bar tadi. Pria itu sangat menyusahkan ketika mabuk, kenapa juga Gavin sampai mabuk, sih. Ara hanya terus membatin sebelum akhirnya kini dia berada di dalam kamar hotel. Lagi-lagi berkat bantuan orang lain membawa Gavin. Untung saja supir taksi suka rela membantunya. Kalau tidak, siapa yang kuat mengangkat Gavin sendirian?"Hei Pemabuk! Bangunlah!" Ara menepuk pipi Gavin berulang-ulang. Tapi, pria itu hanya menyengir tanpa merasa bersalah menyusahkan Arabella."Kau sadar, kan? Hei, kau sangat menyusahkan tahu tidak!""Ara? Kau Ara? Cantik sekali. Aku tadi digoda wanita jelek. Dia kira..."Gavin menatap mata Ara di sela ocehannya yang tidak berarti. Tentu saja itu dibawah pengaruh alkohol. "Dia kira dia cantik, padahal Ara lebih cantik.""Berhenti berbicara. Lebih baik sekarang kau ke kama
Sekujur tubuh Arabella terasa pegal. Dibalik selimut dia masih meringkuk menghalanginya dari cahaya matahari yang lumayan silau. Matanya menyipit, merasa terganggu karena kilauan itu. Akhirnya, Ara bangun."Huh. Tulangku patah." Sembari memegangi belakang pinggangnya. "Apa aku sanggup bangun?""Ara."Suara itu?"Ya Tuhan! Gavin kau sedang apa?" Ara kaget saat melihat Gavin duduk di kursi dekat ranjangnya. Pria itu sudah rapi dengan pakaiannya. Sementara dirinya masih polos hanya ditutupi selimut tebal."Bajuku mana? Kau keluar dulu, aku harus ganti baju." Ara melilitkan selimut lalu turun dari ranjang. "Kenapa kau masih di sini!" sentaknya pada Gavin."Baiklah, aku akan keluar. Tapi setelah itu kita harus berbicara."Gavin keluar dari kamar itu dengan raut dingin dan datar. Ara merasa heran, padahal yang terjadi semalam antara dia dan Gavin bukanlah mimpi,