Kejadian sebelumnya ....
Tidak sengaja aku melihat dia sedang berbicara dengan dua wanita, walau itu sepertinya bukan pembicaraan yang tenang. Gadis itu terlihat menahan marah dan kuakui dia pandai menutupi emosinya itu. Tadinya aku ingin menemuinya untuk membicarakan masalah tawaranku. Aku malah tidak sengaja menyaksikan pertengkaran dia dengan dua wanita yang aku tidak tahu mereka itu siapa.
"Pakailah handuk ini, ini bukan handuk milikku. Itu handuk baru, tenang saja," ucapku padanya karena kalau dibiarkan dia bisa sakit. Ah, kenapa aku ini, apa aku sedang perhatian padanya? Entahlah.
"Terima kasih, Gavin." Dia mengambil handuk itu lalu mulai mengelap rambutnya. Sebenarnya sepedih apa kisah hidupnya? Aku mendadak penasaran, apakah karena hinaan dua wanita tadi? Memang sih, mereka keterlaluan.
"Apa kau sedang sedih?" tanyaku, aku ingin tahu apa dia berterus terang atau malah menutupinya juga.
"Ya. Aku sedang sedih," jawabnya. Rupanya dia berkata jujur padaku. Baiklah, aku suka kejujurannya.
"Ada masalah? Tentang ibumu?"
"Hm, iya. Ini memang tentang ibuku. Ternyata lima puluh juta itu hanya uang muka rumah sakit, tadi aku sudah membayar biaya obat-obatan separuhnya. Ibuku memerlukan perawatan intensif karena penyakit komplikasinya sudah parah."
Ternyata begitu, pantas saja dia sangat sedih. Belum lagi ditambah hinaan dua wanita tadi. Apakah ini bagus untukku, menawarkan lagi kerja sama kemarin? Sial. Aku juga didesak oleh keluargaku, kenapa harus dijodohkan sih!
"Apa kau juga sedang ada masalah?"
Aku terkejut dia menanyakan itu padaku.
"Tidak." Meski aku berbohong. Tapi kalau aku cerita padanya, rasanya tidak tepat ku ceritakan di sini. Nanti saja, di rumah.
"Kau terlihat banyak pikiran, Gavin. Setidaknya kalau kau berkenan, ceritakan denganku. Walau kita baru kenal, tapi kau sudah banyak menolongku. Ini kebetulan ataukah takdir, aku pun tidak tahu persis. Intinya, aku berharap kau tidak keberatan jika kita jadi teman."
"Teman?" Aku sendiri belum pernah punya teman sebelumnya. Kalau hanya teman yang sok kenal dan mendekatiku karena keuntungan rasanya tidak bisa dihitung, saking banyaknya. Tapi mereka tidak pernah sekalipun aku sebut sebagai teman.
"Ya. Apa aku tidak boleh menjadi temanmu, Gavin?"
"Aku tidak yakin kita bisa berteman." Aku hanya tersenyum kecil. Iya, aku sangat tidak yakin.
"Ah benar juga. Aku dan dirimu beda kelas, kan?"
"Dasar bodoh. Bukan karena itu." Kenapa dia selalu mengukur dengan uang. Tentu itu bukan yang aku maksud.
"Kau mengatai aku bodoh? Kurang ajar kau!" sentaknya terlihat kesal. Aku malah terkekeh lucu melihat raut wajahnya yang berubah masam.
"Lagi pula kau memang bodoh, Ara. Kenapa hujan turun kau malah duduk saja bukan menyingkir mencari tempat berteduh? Apa kau sengaja ingin menutupi tangisanmu?"
Gadis itu pasti tidak menyangka kalau aku sudah membaca situasinya tadi. Dugaan ku tidak mungkin salah, dia tadi pasti sedang menangis dibawah guyuran air hujan.
"Kau seperti paranormal. Apakah orang tuamu keturunan dukun? Ah, pasti begitu ya. Kau hampir membaca jalan pikiranku, sial!"
"Hahahaha dukun? Kau ini Ara, jelas sekali aku bisa membedakan air mata dan air langit. Baru melihat sekilas saja aku sudah paham."
Gadis ini, dia terlalu polos. Meskipun dia terlihat kuat dan mandiri, pada dasarnya dia amat lemah dan rapuh.
"Ya, terserahlah. Intinya kau sudah menebak dengan benar. Aku memang menangis. Aku sakit hati karena hinaan teman-temanku."
Apa aku tidak salah dengar? Jadi dua wanita yang kulihat sedang berbicara dengannya itu adalah teman-temannya?
"Kenapa teman-temanmu menghina mu? Setahuku, teman selalu membela temannya. Jika mereka menghinamu, itu tandanya mereka bukan teman-teman mu, Arabella."
"Ya. Kau benar, Gavin. Mereka bukan teman. Mereka hanyalah orang yang kebetulan sekolah bersamaku saat SMA. Mereka tidak menyukaiku, karena dulu aku gemuk dan aku miskin. Sekarang, aku tidak lagi gemuk, walau aku masih miskin, sih."
Arabella, dia meringis walau dengan sedikit tawa untuk menutupi kesedihannya. Tapi aku yakin, itu menyakiti hatinya. Rupanya begitu, jadi dia dihina karena masa lalunya.
"Tidak perlu kau dengar kata-kata mereka. Apa kau tahu? Orang seperti mereka yang mengurusi hidupmu terlalu dalam, sebetulnya mereka hanyalah iri denganmu."
Setidaknya itu yang aku tahu. Aku yakin ada sesuatu pada diri Arabella, yang membuat dua orang tadi iri. Karena itulah mereka mengusik Ara.
"Mana mungkin, Gavin. Seorang seperti aku tidak memiliki sesuatu yang cukup berharga untuk membuat orang lain iri, aku tidak memiliki apapun."
Dasar polos. Dia sungguh sangat polos. Aku sudah mengenal banyak macam karakter manusia. Dan aku sudah tahu hanya dengan mendengar ceritanya saja.
"Kau tidak dapat melihat dirimu sendiri sedalam itu, Ara. Tapi, orang lain mungkin bisa. Intinya, tidak perlu merasa kecil dan menelan mentah-mentah setiap hinaan yang ditujukan padamu. Kau adalah Arabella, meski memiliki kekurangan, pasti ada kelebihan yang kau miliki di sisi lainnya."
Semoga saja yang kukatakan ini dapat membantu perasaannya yang tidak nyaman karena hinaan dua orang tadi. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku ingin tahu urusan dia, tapi aku hanya tidak suka melihat wanita menangis di sampingku.
"Terima kasih, Gavin. Kata-katamu membuat aku kembali percaya diri."
Dia tersenyum ke arahku dengan bibir yang putih pucat, pasti karena kedinginan setelah kehujanan ditambah suhu dingin di dalam mobil.
"Tidak perlu berterima kasih, aku hanya tidak suka melihat wanita menangis."
"Baiklah, lagi pula aku tidak lagi menangis. Aku hanya sedang lemah karena kondisi ibuku saja, kok. Biasanya aku tidak peduli orang mau menghinaku seperti apa. Aku hidup tanpa membebani mereka. Jadi buat apa aku tersinggung,"
"Baguslah. Sesampainya di rumahku nanti, kita akan bicarakan masalah kesepakatan kerja sama kita, aku harap kau tidak berubah pikiran, Arabella."
"Ya. Aku kira tidak ada alasan aku berubah pikiran."
"Tolong kau bantu nona Arabella berganti pakaian. Siapkan pakaian yang bersih untuknya."
"Baik, Tuan."
Aku berbicara pada pelayan, lalu aku duduk menunggu gadis itu selesai berganti pakaian.
Tak beberapa lama, pelayan keluar dari kamar tamu.
"Kenapa kau keluar? Bukankah aku bilang bantu nona Arabella?"
"Maaf Tuan, nona itu tidak mau aku membantunya. Katanya dia malu," jawab pelayan.
"Oh, rupanya begitu. Baiklah, tolong kau siapkan coklat panas untuknya ya."
"Baik, Tuan."
Sejujurnya aku masih pusing memikirkan rencana gila keluargaku. Apa kata mereka? Aku harus menerima perjodohan kalau sampai tidak membawa kekasih? Sungguh konyol, padahal aku belum tua untuk diperlakukan seperti orang yang tidak laku. Sudahlah, semoga saja Ara tidak berubah pikiran, dan aku bisa tertolong karenanya. Setidaknya aku melihatnya bisa di ajak kerja sama, entah kenapa juga aku merasa kasihan padanya. Gadis itu terlalu polos, dan dia akan hancur jika jatuh ke tangan orang jahat.
"Gavin, bagaimana bisa kau dapat baju yang pas sekali denganku?"
Aku mengangkat wajahku, dan aku sedikit terkejut. Gadis itu? Dia kenapa mengikat rambutnya, sih? Singkirkan pikiran bodohmu, Gavin!
"Hm, aku yang meminta pelayan menyiapkan baju untukmu. Karena aku yakin, kau akan menerima tawaranku, Nona Ara."
"Hah? Jangan memanggilku begitu, panggil saja Ara. Tapi kau ternyata sangat percaya diri ya, walaupun memang benar perhitunganmu, aku akan menerima tawaran itu."
Aku tertawa mendengarnya. Bagaimana tidak percaya diri, aku pikir kalau dia memiliki otak yang cerdas, dia pasti akan menerima tawaranku dibanding mencari pekerjaan lain. Setidaknya aku lihat dia bukan gadis yang bodoh.
"Ya. Karena kau bukan gadis bodoh, Ara. Duduklah, kita mulai saja,"
"Baiklah, semoga saja aku bisa memenuhi persyaratan yang kau ajukan."
"Persyaratan?"
"Ya, bukannya kau mengajakku duduk untuk membicarakan itu?"
Aku menggeleng. "Tidak syarat apapun. Kalau kau setuju, kita langsung jalankan rencana."
"Rencana?"
"Aku ada pertemuan malam ini dengan keluargaku. Kalau aku tidak membawa kekasih, maka aku akan dijodohkan dengan wanita yang tidak aku kenal."
"Oh rupanya begitu," jawabnya. Aku tersenyum tidak menyangka dia setenang ini.
"Ya. Jadi, apa kau sudah siap menjalankan rencana awal kita? Kau datang menemaniku sebagai kekasih, dan kita berakting seolah kita pasangan yang..." Aku sedikit geli mengatakannya.
"Pasangan yang dimabuk asmara? Hahahaha kau memilih orang yang tepat, Gavin! Aku ini sebenarnya seorang aktris," jawabnya. Aku tersentak walau akhirnya terbahak-bahak.
"Apa kau yakin?" tanyaku.
"Iya. Walaupun pemain figuran, tapi itu kan sama saja. Aku juga berakting,"
Aku tertawa makin keras sambil mengusap rambutnya. Aku tidak sangka, dia ternyata sangat lucu. Sudah lama sekali aku tidak tertawa seperti ini.
"Hei, jangan mengacak rambutku. Tadi aku sudah menyemprotnya dengan hair spray."
"Baiklah, aku tidak akan mengacaknya,"
"Oke. Aku tidak masalah. Tapi aku juga minta tolong ya. Kau bantu biaya rumah sakit ibuku, Gavin."
Aku orang yang bertanggung jawab. Jadi sebelum dia minta, aku sudah melakukan yang harus aku lakukan.
Tak lama kemudian ponselnya berdering.
"Angkat saja," ucapku padanya.
"Hallo? Lissa, ada apa?"
Aku mengambil secangkir coklat panas yang sudah dibuatkan pelayan barusan. Lalu menaruhnya di depan Ara.
"Apa? Biaya rumah sakit Ibu sudah lunas! Apa kau yakin, Lissa? Mana mungkin, siapa yang melunasi?"
Aku tersenyum melihat Ara melirikku sekilas.
"Atas nama Gavin? Oh Tuhan!"
Ara benar-benar menatapku saat ini.
"Baiklah, Lissa. Tolong jaga ibu ya, selalu beri tahu aku perkembangan Ibu. Aku akan datang lagi setelah urusanku selesai. Tenanglah, katakan pada Ibu bahwa Gavin adalah orang baik yang aku ceritakan padanya."
Syukurlah, aku rasa itu sangat membantu Arabella. Uang yang bagiku tidak seberapa, baginya itu sangat besar, mungkin saja.
"Gavin? Kau sudah melunasi biaya rumah sakit ibuku?"
Aku mengangguk. "Kurasa itu harus dilakukan secepatnya, aku tahu prosedur rumah sakit. Kebetulan kakak iparku seorang dokter."
"Astaga, Gavin. Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi aku sangat berterima kasih."
Aku bisa melihat sudut matanya mulai memerah.
"Ya. Kau kan juga akan membantuku nanti malam, sekarang minumlah dulu coklat panas ini. Aku tahu kau kedinginan,"
Entah ini perasaan apa. Kenapa aku merasa bahagia saat bisa membantunya. Aku merasa lega, karena dia menerima tawaranku, bukan hanya karena aku membutuhkan bantuannya. Tapi, aku merasa lega, karena aku bisa menjaganya, bersamaku.
_________
Bersambung...
"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya."Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras."A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku."Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya."Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengse
"Ya, Tuan. Apa Anda menginginkan saya?" Suara seorang wanita yang katanya paling cantik di sebuah bar ternama, membuat Gavin menoleh sekilas.Wanita itu memang cantik, tubuhnya bagus dan terlihat anggun dan seksi. Gavin tersenyum kecil, dia berusaha untuk tetap bersikap wajar. Ini bukan pertama kalinya Gavin mendatangi tempat seperti itu untuk mencari wanita.Tentu saja, hanya untuk mengecek apakah traumanya sudah menghilang? Sebab semalam dia menyentuh Arabella dan semuanya baik-baik saja. Gavin tidak merasakan reaksi yang biasanya dia rasakan, saat dekat dengan wanita.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Mungkin ini adalah hal yang gila. Seharusnya dia kembali ke rumah dan tidak perlu memastikan, tapi dia penasaran ada apa dengan Arabella? Kenapa dia baik-baik saja saat bercumbu dan nyaris saja bercinta dengan wanita itu?"Coba kemari, duduk dekatku," pinta Gavin. Wanita itu mengangguk setuju dengan
"Gavin, kumohon dengarkan dulu penjelasan ku. Kenapa kau selalu mengabaikan aku?" Tatap seorang gadis di depan Gavin. Keduanya tidak sengaja bertemu saat Gavin hendak membeli sesuatu di supermarket bersama dengan Arabella."Kau bertanya padaku? Lucu sekali, kau pasti tahu persis kenapa aku mengabaikan kau, bukan? Aluna! Ngomong-ngomong di mana kekasih terbaikmu? Apa dia sudah membuang mu?" sindir Gavin."Gavin, kau salah sangka! Aku dan Cedric tidak seperti yang kau bayangkan. Aku memang pergi dengannya, tapi bukan untuk bersama dalam artian berpacaran,""Sudahlah, aku tidak perduli. Walaupun kau memiliki hubungan atau tidak dengannya. Tapi semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku sudah harus pergi, Luna." Gavin tersenyum sarkastik lalu berbalik meninggalkan wanita itu.Sementara wanita yang bernama Luna itu terlihat sangat terpukul dengan perkataan Gavin barusan."Aku masih m
Kakiku terasa pegal dengan tumit yang agak perih karena high heels yang aku kenakan begitu menyiksa. Aku sudah berada di kamarku, sendirian. Malam ini adalah Malam pertama aku sebagai istri Gavin Narendra Tama. Tapi, pria itu mungkin sudah tidur di kamarnya.Kamarnya, bukan bersamaku. Tidak, memang sudah seharusnya begitu, kan? Ini bukan pernikahan, ini hanyalah sebuah kontrak selama satu tahun. Orang-orang melihat ini adalah pernikahan yang sakral, di penuhi cinta karena akting kami yang sungguh meyakinkan.Aku hanya tersenyum getir. Tapi apa lagi yang kuharap kan, sih? Begini saja sudah sangat bagus untukku. Setidaknya Ibuku mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ternama. Tentunya tanpa memikirkan biaya yang sangat besar karena Gavin sudah melunasinya.Meskipun begitu, aku terkadang bingung dengan diriku sendiri. Tadi, sewaktu Gavin begitu bangga memperkenalkan aku sebagai istrinya, di hadapan t
Mau tidak mau menerima tawaran orang tuanya, Gavin meski tidak nyaman akhirnya berada di dalam kamar yang sama dengan Arabella, istrinya. Mereka sepakat untuk tetap menjaga jarak aman dan tidak saling menyentuh sesuai perjanjian.Lelah. Setelah berbincang sambil makan malam dengan keluarga besar Gavin. Arabella memutuskan untuk beristirahat. Untungnya, rumah keluarga Gavin sangat besar, sehingga kamar itu bisa dikatakan lebih mirip ukuran sebuah rumah. Memiliki kelengkapan yang lengkap seperti dapur, kamar mandi tentunya, dan juga ruang bersantai dengan televisi yang besar."Ini kamar?" Arabella bukan pertama kali ke rumah tersebut. Saat Gavin mabuk, Arabella juga bermalam di kamar itu."Sial!! Aku jadi teringat lagi saat Gavin mabuk, dia memang payah!" Daripada memikirkan ingatan lalu, akhirnya Ara memutuskan untuk tidur.Entahlah, kemana Gavin pergi. Tadi dia berpamitan pada Ara untuk mengobrol dengan ka
Hari kedua Ara dan Gavin berada di rumah besar keluarga Marcellino Narendra. Hari ini kakak Gavin yang bernama Fabian Narendra akan pindah ke rumah pribadinya di luar negeri bersama keluarga kecilnya. Gavin merasa sedikit sedih, karena walaupun kakaknya itu seringkali mengusilinya, mem-bully-nya. Tapi dia adalah satu-satunya saudara Gavin."Kau kenapa? Kulihat murung terus sejak tadi," tegur Ara sambil menuangkan air ke dalam gelasnya. Dia pikir cukup satu malam saja dia merasakan malu karena mimpinya yang sungguh keterlaluan itu. Sekarang Ara berusaha untuk bersikap biasa saja pada Gavin."Tidak." Gavin menjawabnya singkat. "Berikan aku air.""Rupanya kau haus, kenapa tidak bilang." Ara mengambil gelas bermaksud menuangkan air di gelas baru. Tapi Gavin malah mengambil gelas milik Ara kemudian meminum sisa air yang ada didalamnya."Hei! Itu kan, milikku!""Ini hanya air, kau bisa ambil yan
Esok pun datang. Hari di mana Ara dan Gavin harus pergi berbulan madu. Indah, tentu itu hal yang direncanakan sebagian pengantin. Pergi mengunjungi tempat yang diinginkan, berdua, bermesraan, menghabiskan waktu untuk bercumbu sebagai pasangan. Namun berbeda dengan yang dirasakan Arabella. Dia pergi dengan pria yang berstatus suaminya, tapi dengan tujuan yang berbeda. Bulan madu? Ini lebih mirip ... "Anggap saja ini refreshing." Benar. Arabella tersenyum samar. "Ya. Aku anggap ini refreshing. Not bad, I also need for something like that—refreshing." "Take it easy. We can spend with satisfaction. You do what you like." Ara tersenyum getir. Apalagi yang dia harapkan? Ara sama sekali tidak menyangka bahwa menjalani pernikahan bisnis akan menyakitkan. Kenapa? Kenapa Ara merasakan sakit? Ini sudah tidak benar sekarang. Mereka sampai di tempat
Ara menghela napas panjang. Sekarang Gavin sudah berada di dalam taksi berkat bantuan wanita seksi dari bar tadi. Pria itu sangat menyusahkan ketika mabuk, kenapa juga Gavin sampai mabuk, sih. Ara hanya terus membatin sebelum akhirnya kini dia berada di dalam kamar hotel. Lagi-lagi berkat bantuan orang lain membawa Gavin. Untung saja supir taksi suka rela membantunya. Kalau tidak, siapa yang kuat mengangkat Gavin sendirian?"Hei Pemabuk! Bangunlah!" Ara menepuk pipi Gavin berulang-ulang. Tapi, pria itu hanya menyengir tanpa merasa bersalah menyusahkan Arabella."Kau sadar, kan? Hei, kau sangat menyusahkan tahu tidak!""Ara? Kau Ara? Cantik sekali. Aku tadi digoda wanita jelek. Dia kira..."Gavin menatap mata Ara di sela ocehannya yang tidak berarti. Tentu saja itu dibawah pengaruh alkohol. "Dia kira dia cantik, padahal Ara lebih cantik.""Berhenti berbicara. Lebih baik sekarang kau ke kama