Kita adalah sepasang kekasih, yang sedang di mabuk asmara.
Begitulah judul yang diberikan Ara untuk tema pesta malam ini. Walaupun Ara bukan pertama kalinya berakting, tapi tetap saja dia gugup. Malam ini dia bukan hanya akan berakting, tapi orang yang dia temui adalah keluarga besar Gavin, calon suaminya.
"Sayang, maaf kalau aku agak gugup. Tapi bisakah kau ambilkan aku minum?" Ara menutupi mulutnya sambil sesekali mengedipkan mata. Gavin tak kuat menahan diri untuk tidak tertawa.
"Hentikan. Aku tidak tahan lagi, jangan panggil sayang. Aku ingin tertawa terus," ucap Gavin.
"Gavin! Kau ingin penampilan malam ini sukses, kan? Astaga, kau kira aku tidak menahan diri sejak tadi, aku jug ..." Ara menghentikan kata-katanya saat Gavin tiba-tiba menarik tubuhnya. Keduanya saling menatap satu sama lain, ada yang berbeda dengan tatapan Gavin.
"Kau mau apa?" Mata Ara membulat saat Gavin malah mendekati wajahnya.
"Melihatmu, aku tidak bisa menahan diri. Bagaimana kalau kita pulang saja ke rumah, lalu..."
Ara meneguk ludahnya keras. Apa sekarang Gavin sedang berakting? Kalau iya, dia adalah aktor profesional, batinnya.
"Lalu apa?" Tubuh Ara masih berada sangat dekat dengan tubuh Gavin, bahkan telapak tangannya kini menyentuh tepat di dada bidang pria itu.
Kuat dan kokoh, dadanya lebar sekali. Rasanya aku bisa merebahkan kepalaku, dan mungkin itu agak hangat. Hei Arabella!! Kau sudah gila!
"Lalu, aku akan melakukan ini padamu," Gavin menempelkan sekilas bibirnya di bibir Ara, tentu saja itu sangat mengejutkan.
Mereka sama-sama saling menatap. Itu hanya ciuman sekilas, bahkan Ara ragu bibir Gavin menyentuh bibirnya. Tapi, rasa itu sangat mendebarkan, Ara terpaku dengan degup jantung yang kuat, seperti orang yang sedang ....
Mustahil! Batin Ara memberontak.
"Ka-kau! Kau mencium ku?" Ara memerah dan menjauhkan dirinya dari Gavin.
Gavin menggaruk tengkuk sambil mengedarkan pandangan.
Apa aku sudah gila! Kenapa aku malah menciumnya! Dan apa ini? Aku tidak gemetar? Aku tidak sesak napas? Batin Gavin.
Karena biasanya Gavin selalu gemetaran setiap kali dekat apalagi sampai kontak fisik dengan wanita. Tapi dengan Ara, hal itu terjadi sangat alami dan tidak dia rencanakan sama sekali.
"Itu hanya akting. Kau bilang kita harus tunjukkan yang terbaik, bukan? Kalau begitu lakukan dengan totalitas, jangan setengah-setengah, malah membuat aku tertawa saja nanti," jawab Gavin berusaha terlihat santai. Sedangkan Ara malah merona, dia ingin marah. Ya, harusnya dia marah, kan?
"Dasar brengsek!" Ara berbalik lalu berlari masuk ke kamarnya.
"Ara? Kau marah?" Gavin mengejar Ara, tapi Ara menutup pintunya keras.
"Tidak! Aku tiba-tiba ingin ke toilet!" teriak Ara, berbohong.
Bodoh kau, Arabella! Wajahmu seperti makanan laut yang dimasak setengah matang. Kau tidak boleh bersemu, tadi itu hanya akting. Kau begitu memalukan! Ara sibuk memaki dirinya dari balik pintu. Batin Ara terus memberontak.
"Apa aku salah? Itukan tadi hanya ciuman sekilas, lagipula mana mungkin dia baru pertama kali ciuman pertama dia?" gumam Gavin.
Gavin berdecak lalu mengetuk lagi pintu kamar Ara. "Hei! Jangan bilang tadi itu skin ship pertama mu Ara?"
"Ya Tuhan, pria itu gila? Tapi, mana mungkin aku jawab, iya. Pasti dia mengira aku ini sok polos. Tenanglah, Ara. Kau tidak boleh gugup begini, ingat bahwa kau dan Gavin hanya harus berakting," ucap Ara pelan, dia menarik napas dalam-dalam lalu melepaskan perlahan.
"Sudah tenang? Semua akan baik-baik saja, oke?" katanya sambil berusaha membuat dirinya setenang mungkin.
Kemudian Ara membuka pintu kamarnya, lalu tersenyum ke arah Gavin yang masih menunggu di depan pintu.
"Aku sudah selesai di kamar mandi. Mari kita lanjutkan," ucapnya, santai.
"Kau yakin? Apa aku tadi mengejutkanmu? Kau sampai memakiku brengsek, aku kira kau kaget," jawab Gavin dengan alis terangkat sebelah. Ara gelagapan, tapi dia berusaha untuk tetap tersenyum senatural mungkin.
"Ah itu..." Tentu saja Ara keceplosan karena kaget. Tapi apakah dia harus berbohong?
"Bukan, maaf itu aku tadi agak kaget, tapi tidak apa-apa. Aku tidak menyangka kau sangat totalitas, tapi jujur aku tidak bisa se-total dirimu," jelasnya dengan perasaan tidak menentu. Mana mungkin dia harus melakukan seperti tadi di depan umum.
"Hmm? Jadi benar, itu pertama kali ada orang yang mencium mu?"
Lagi, Ara meneguk ludahnya. Ya, baiklah dia memang harus jujur, kan?
"Ya, walau aku merasa ini agak berlebihan. Mungkin kau berpikir aku sok polos, tapi aku memang belum pernah berciuman,"
Gavin langsung mencium punggung tangan Ara secara mendadak.
Ara menyentak kan kedua bahunya, dia terkejut lagi.
"Kalau begitu, aku akan mengecup seperti ini saja, tidak apa-apa, bukan?
Laki-laki ini gila, bukan? Arabella, kau tidak boleh terlihat kaget, bodoh! Lagi-lagi batin Ara menjerit walau raut wajahnya seolah normal.
"Kenapa? Apa ini juga mengagetkan mu?" Gavin menaikkan alisnya lagi tanpa merasa bersalah. Tentu saja ini salahnya, batin Ara.
"Tidak. Baiklah, ini kurasa sudah cukup. Lagi pula kalau terlalu totalitas bukankah mereka juga akan curiga?"
Gavin menyeringai kecil, lalu mengacak rambut Ara. "Terserah kau saja, bersiaplah. Kita akan ke butik untuk memilih baju."
"Baju? Ah, benar juga. Tentu harus menggunakan gaun yang cocok dengan tema acara nanti malam."
"Iya. Kalau begitu aku tunggu di mobil," kata Gavin sembari mengelus rambut Ara, seperti sudah terbiasa, padahal itu membuat Ara salah tingkah.
Baru pertama kalinya, Ara menginjakkan kakinya ke sebuah butik ternama, ini sangat mewah, sampai Ara merasa ragu untuk masuk ke dalamnya.
"Tentu saja, Ara. Pesta ini pasti bukan pesta biasa, lalu kau datang memakai gaun seadanya? Tidak mungkin. Tapi, lihatlah gaun di sini, jelas tidak ada gaun murah di sana, yang biasa kau dapat dengan harga diskon? Hah, ini terlalu luar biasa." Sambil melihat-lihat gaun yang terpajang rapi, mewah dan sangat cantik, Ara terus saja bergumam.
"Pilihlah yang kau suka, Ara. Aku percaya selera mu." Gavin datang mengejutkan Ara. Sontak dia mengjengkit sambil memegang dadanya kaget. "Ya Tuhan, kau datang membuatku terkejut, Gavin."
"Kurasa kau terus terkejut, Arabella. Santai saja, dan kuharap nanti kau jangan terkejut melihat pestanya. Anggaplah itu sebagai pesta biasa, tidak ada yang spesial."
Ara berpikir mana mungkin bisa dianggap biasa. Sejujurnya Ara belum pernah ke pesta sebelumnya.
"Baiklah, aku akan memilih gaunnya."
"Ya. Kalau begitu aku akan duduk menunggu di sana," tunjuk Gavin pada sebuah sofa.
"Oke." Ara mengangguk lalu mulai memilih-milih gaun yang tergantung rapi, ada juga yang berada di dalam lemari kaca. Semuanya terlihat sangat cantik, elegan, dan pastinya itu mahal.
"Apa? Ini tidak salah? Gaun ini harganya sama seperti uang muka rumah sakit Ibu?" Ara melotot sambil melihat keterangan yang tertulis di sebuah daftar harga. Sengaja di taruh di meja khusus agar pelanggan bisa mencocokan harga sesuai kebutuhan.
Ara perlahan memundurkan kakinya, dia merasa kaget dan tidak berani memilih baju yang ada di sana. Tapi kakinya malah tergelincir hingga akhirnya dia menabrak tubuh seseorang.
"Astaga!" Ara berbalik, saat itu seorang pria reflek menangkap tubuhnya. "Maaf, Tuan."
"Ah, apa Nona tidak apa-apa?" tanya Lelaki itu. Postur tubuhnya tinggi, dia juga tampan. Siapa dia, ya?
"Tidak, aku tidak apa-apa. Terima kasih, Tuan. Maaf kalau saya berat," sahut Ara merasa tidak enak.
"Tidak masalah. Nona harus lebih berhati-hati. Kalau begitu saya permisi dulu ya."
Pria itu pergi keluar butik. Ara masih tertegun menatap punggung pria tersebut. Untung saja ada dia, kalau tidak aku sudah jatuh ke lantai, pikirnya.
"Ara? Apa kau sudah memilih?"
"Oh My God. Aku lupa, aku belum memilih. Gavin sepertinya aku tidak bisa memilih, ini Gila, Gavin. Harga gaun di sini sangat mahal, apa kau tidak berpikir begitu?"
Gavin menggaruk sebelah alisnya dengan sedikit menyengir. "Ara, kau ini lucu sekali sih. Baiklah, biar aku minta pegawai butik untuk memilihkannya. Kau tunggu saja di sini,"
"Tapi, Gavin?"
Ara menggeleng. "Astaga. Ya sudahlah, setidaknya kalau dia yang meminta aku tidak perlu merasa aku yang menguras isi dompetnya. Iya, kau benar Arabella, kau tidak meminta, ini keinginannya, kan?"
Tak lama kemudian pegawai butik datang lalu mengajak Ara untuk mencoba beberapa gaun. Ara suka yang simpel dan tidak berlebihan. Menurutnya itu malah terlihat elegan dibanding gaun yang bertaburan permata.
"Kau tidak perlu tanya harganya, Ara." Dia bergumam sambil merapikan gaun yang terakhir, kali ini dia yakin bahwa gaun ini adalah gaun yang paling pas. Gaun berwarna putih dengan potongan sangat pas di tubuhnya yang kecil.
"Aku membayangkan jika tubuh Ara jaman dulu yang mengenakan ini. Bisa-bisa gaun ini rusak," gumamnya lagi dengan sedikit tercengir mengingat bentuk tubuh gendutnya dulu.
Setelah menemukan gaun yang pas. Ara langsung menemui Gavin. "Gavin, bagaimana menurutmu? Apa gaun ini pas untukku?" tanyanya meminta pendapat pria yang sedang sibuk fokus ke layar ponsel pintarnya.
Gavin menaruh ponselnya ke saku, lalu dia menatap Ara yang berdiri di depannya dengan wajah tersenyum menunggu penilaian darinya.
"Kenapa? Apa menurutmu ini tidak cocok? Tapi aku sudah tiga kali ganti, kuharap ini yang terakhir," ucap Ara. Gavin malah terbengong.
"Itu bagus, cantik." Gavin mengalihkan pandangannya lalu menarik tangan Ara. "Kita hanya perlu merias wajahmu saja."
"Tunggu, lalu bagaimana denganmu?" tanya Ara.
"Aku gampang. Yang terpenting kau dulu."
Ara mengangguk. Tapi, apa yang dimaksud Gavin tadi itu? Cantik katanya, maksudnya gaunnya yang cantik, atau dirinya ya? Ara secepatnya menggeleng. "Jangan mengkhayal Ara...."
Setelah semuanya selesai, Ara dan Gavin langsung menuju lokasi pesta. Perasaan Ara bercampur aduk antara gugup dan takut. Bagaimana jika nanti dia tidak bisa meyakinkan keluarga Gavin? Lalu, jika ada pertanyaan yang aneh-aneh tentang asal-usul dirinya? Apa yang harus dia katakan?
"Tenanglah, Ara. Kau cukup berada di sampingku. Aku yang berbicara dengan mereka. Apapun yang mereka tanyakan nanti, kau tidak perlu menjawabnya. Cukup tersenyum, dan mengangguk. Paham?"
Ara menarik napasnya dalam-dalam lalu mengangguk. "Ya. Baiklah aku paham."
Mereka tiba juga di sebuah hotel mewah. Tempat pesta itu berlangsung. Ara melangkahkan kakinya sambil melingkarkan tangannya ke lengan Gavin. Keduanya tersenyum, tentunya ini sudah saatnya mereka mulai berakting.
"Gavin? Akhirnya kau datang!" Seorang wanita kira-kira berumur sekitar lima puluh tahunan, apakah itu orang tua Gavin?
"Ma. Kenalkan, ini Arabella, kekasihku. Sayang, beri salam pada Mama." Gavin mengecup telapak tangan Ara, meski gugup dan kaget, tapi Ara sebisa mungkin bersikap tenang.
"Salam, Nyonya. Kenalkan, saya Arabella." Senyuman Ara melingkar manis, dia berharap respon keluarga Gavin tidak buruk padanya.
"Hai, Arabella. Kau sangat cantik, aku baru tahu kalau Gavin benar memiliki kekasih. Aku kira dia hanya sedang menghindari perjodohan."
"Perjodohan?" Ara mengernyit. Gavin menghela napas panjang. "Ma, kumohon. Jangan bahas itu dihadapan kekasihku. Aku tidak akan menikah selain dengan Ara. Jadi mengertilah," ucapnya.
Wanita di hadapan Gavin dan Ara hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Ya. Asalkan kalian segera menikah. Gavin, usiamu sudah mapan. Tidak ada alasan kau menolak untuk menikah. Kekasih sudah ada, lalu apa yang kau tunggu?"
Gavin sudah tahu bahwa itu yang akan dikatakan mamanya. "Ya. Itu kita bicarakan lagi nanti. Mana Papa dan Kakak, Ma?"
"Mereka ada di sana, mereka sudah menunggu kau sejak tadi, ayo kita ke sana. Mari, Arabella," ajak Mama Gavin sambil menggandeng tangan Ara. Gavin mengangguk saat Ara menatapnya. Dia mengisyaratkan agar Ara tidak perlu mencemaskan apapun.
"Gavin? Kau kah, itu?" tegur pria dengan rambut berwarna pirang dan gaya yang stylis. Di sampingnya seorang wanita yang begitu rapi, terlihat sopan dan elegan sedang menggendong bayi.
"Kakak. Aku sangat rindu dengan Gabriel. Biar aku menciumnya." Gavin langsung menciumi bayi yang ada di gendongan wanita sopan di depan Ara. Saat itu Ara hanya berdiri canggung, dia tidak tahu harus berkata apa.
"Hei, seharusnya kau perkenalkan dulu wanita cantik di sampingmu, Gavin. Kenalkan pada Papa juga," ucap pria di sebelah Gavin.
"Ah, benar. Kenalkan, ini Arabella kekasihku. Arabella, kenalkan ini Fabian, kakakku. Yang disebelahnya adalah kakak ipar ku, dia adalah dokter yang ku ceritakan. Di gendongannya adalah Gabriel putra mereka. Lalu ini, dia papaku, Marcellino."
"Senang bertemu semuanya. Perkenalkan, saya Arabella." Seperti tadi, Ara berusaha se-sopan mungkin.
"Salam kemal, Ara. Kau cantik sekali. Aku baru tahu kalau Gavin memiliki pacar secantik dirimu, dimana kalian kenal?" tanya Fabian.
"Benar, Ara. Kau cantik sekali, kau kenal Gavin dimana? Apa kalian rekan bisnis?"
Ara tentu saja bingung harus menjawab apa. Tapi, dia ingat yang dikatakan Gavin. Dia hanya perlu tersenyum, tanpa harus menjawab.
"Ara dan aku bertemu di rumah sakit saat itu orang tua Ara sedang dirawat. Aku merasa tertarik dengannya karena dia sangat perhatian dengan ibunya, juga kepribadian dia yang sangat ramah. Karena itu aku jatuh cinta padanya," tutur Gavin sembari mengecup punggung tangan Arabella.
Apa yang baru saja dikatakan Gavin? Bukankah itu terlalu jujur? Kecuali bagian pernyataan cinta, itu adalah sebuah fakta tentang dirinya, pikir Ara.
Papa Gavin tidak banyak berkomentar sementara keluarga Gavin yang lain tampak menyukai Ara yang mudah berbaur dan sopan.
_____
Terima kasih
Kejadian sebelumnya ....Aku menarik napas ku dalam-dalam, saat melihat gadis di sampingku basah kuyup terkena hujan deras tadi. Apakah dia sebodoh itu? Duduk di bawah hujan tanpa payung. Atau dia memang sengaja ingin menutupi tangisannya?Tidak sengaja aku melihat dia sedang berbicara dengan dua wanita, walau itu sepertinya bukan pembicaraan yang tenang. Gadis itu terlihat menahan marah dan kuakui dia pandai menutupi emosinya itu. Tadinya aku ingin menemuinya untuk membicarakan masalah tawaranku. Aku malah tidak sengaja menyaksikan pertengkaran dia dengan dua wanita yang aku tidak tahu mereka itu siapa."Pakailah handuk ini, ini bukan handuk milikku. Itu handuk baru, tenang saja," ucapku padanya karena kalau dibiarkan dia bisa sakit. Ah, kenapa aku ini, apa aku sedang perhatian padanya? Entahlah."Terima kasih, Gavin." Dia mengambil handuk itu lalu mulai mengelap rambutny
"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya."Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras."A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku."Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya."Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengse
"Ya, Tuan. Apa Anda menginginkan saya?" Suara seorang wanita yang katanya paling cantik di sebuah bar ternama, membuat Gavin menoleh sekilas.Wanita itu memang cantik, tubuhnya bagus dan terlihat anggun dan seksi. Gavin tersenyum kecil, dia berusaha untuk tetap bersikap wajar. Ini bukan pertama kalinya Gavin mendatangi tempat seperti itu untuk mencari wanita.Tentu saja, hanya untuk mengecek apakah traumanya sudah menghilang? Sebab semalam dia menyentuh Arabella dan semuanya baik-baik saja. Gavin tidak merasakan reaksi yang biasanya dia rasakan, saat dekat dengan wanita.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Mungkin ini adalah hal yang gila. Seharusnya dia kembali ke rumah dan tidak perlu memastikan, tapi dia penasaran ada apa dengan Arabella? Kenapa dia baik-baik saja saat bercumbu dan nyaris saja bercinta dengan wanita itu?"Coba kemari, duduk dekatku," pinta Gavin. Wanita itu mengangguk setuju dengan
"Gavin, kumohon dengarkan dulu penjelasan ku. Kenapa kau selalu mengabaikan aku?" Tatap seorang gadis di depan Gavin. Keduanya tidak sengaja bertemu saat Gavin hendak membeli sesuatu di supermarket bersama dengan Arabella."Kau bertanya padaku? Lucu sekali, kau pasti tahu persis kenapa aku mengabaikan kau, bukan? Aluna! Ngomong-ngomong di mana kekasih terbaikmu? Apa dia sudah membuang mu?" sindir Gavin."Gavin, kau salah sangka! Aku dan Cedric tidak seperti yang kau bayangkan. Aku memang pergi dengannya, tapi bukan untuk bersama dalam artian berpacaran,""Sudahlah, aku tidak perduli. Walaupun kau memiliki hubungan atau tidak dengannya. Tapi semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku sudah harus pergi, Luna." Gavin tersenyum sarkastik lalu berbalik meninggalkan wanita itu.Sementara wanita yang bernama Luna itu terlihat sangat terpukul dengan perkataan Gavin barusan."Aku masih m
Kakiku terasa pegal dengan tumit yang agak perih karena high heels yang aku kenakan begitu menyiksa. Aku sudah berada di kamarku, sendirian. Malam ini adalah Malam pertama aku sebagai istri Gavin Narendra Tama. Tapi, pria itu mungkin sudah tidur di kamarnya.Kamarnya, bukan bersamaku. Tidak, memang sudah seharusnya begitu, kan? Ini bukan pernikahan, ini hanyalah sebuah kontrak selama satu tahun. Orang-orang melihat ini adalah pernikahan yang sakral, di penuhi cinta karena akting kami yang sungguh meyakinkan.Aku hanya tersenyum getir. Tapi apa lagi yang kuharap kan, sih? Begini saja sudah sangat bagus untukku. Setidaknya Ibuku mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ternama. Tentunya tanpa memikirkan biaya yang sangat besar karena Gavin sudah melunasinya.Meskipun begitu, aku terkadang bingung dengan diriku sendiri. Tadi, sewaktu Gavin begitu bangga memperkenalkan aku sebagai istrinya, di hadapan t
Mau tidak mau menerima tawaran orang tuanya, Gavin meski tidak nyaman akhirnya berada di dalam kamar yang sama dengan Arabella, istrinya. Mereka sepakat untuk tetap menjaga jarak aman dan tidak saling menyentuh sesuai perjanjian.Lelah. Setelah berbincang sambil makan malam dengan keluarga besar Gavin. Arabella memutuskan untuk beristirahat. Untungnya, rumah keluarga Gavin sangat besar, sehingga kamar itu bisa dikatakan lebih mirip ukuran sebuah rumah. Memiliki kelengkapan yang lengkap seperti dapur, kamar mandi tentunya, dan juga ruang bersantai dengan televisi yang besar."Ini kamar?" Arabella bukan pertama kali ke rumah tersebut. Saat Gavin mabuk, Arabella juga bermalam di kamar itu."Sial!! Aku jadi teringat lagi saat Gavin mabuk, dia memang payah!" Daripada memikirkan ingatan lalu, akhirnya Ara memutuskan untuk tidur.Entahlah, kemana Gavin pergi. Tadi dia berpamitan pada Ara untuk mengobrol dengan ka
Hari kedua Ara dan Gavin berada di rumah besar keluarga Marcellino Narendra. Hari ini kakak Gavin yang bernama Fabian Narendra akan pindah ke rumah pribadinya di luar negeri bersama keluarga kecilnya. Gavin merasa sedikit sedih, karena walaupun kakaknya itu seringkali mengusilinya, mem-bully-nya. Tapi dia adalah satu-satunya saudara Gavin."Kau kenapa? Kulihat murung terus sejak tadi," tegur Ara sambil menuangkan air ke dalam gelasnya. Dia pikir cukup satu malam saja dia merasakan malu karena mimpinya yang sungguh keterlaluan itu. Sekarang Ara berusaha untuk bersikap biasa saja pada Gavin."Tidak." Gavin menjawabnya singkat. "Berikan aku air.""Rupanya kau haus, kenapa tidak bilang." Ara mengambil gelas bermaksud menuangkan air di gelas baru. Tapi Gavin malah mengambil gelas milik Ara kemudian meminum sisa air yang ada didalamnya."Hei! Itu kan, milikku!""Ini hanya air, kau bisa ambil yan
Esok pun datang. Hari di mana Ara dan Gavin harus pergi berbulan madu. Indah, tentu itu hal yang direncanakan sebagian pengantin. Pergi mengunjungi tempat yang diinginkan, berdua, bermesraan, menghabiskan waktu untuk bercumbu sebagai pasangan. Namun berbeda dengan yang dirasakan Arabella. Dia pergi dengan pria yang berstatus suaminya, tapi dengan tujuan yang berbeda. Bulan madu? Ini lebih mirip ... "Anggap saja ini refreshing." Benar. Arabella tersenyum samar. "Ya. Aku anggap ini refreshing. Not bad, I also need for something like that—refreshing." "Take it easy. We can spend with satisfaction. You do what you like." Ara tersenyum getir. Apalagi yang dia harapkan? Ara sama sekali tidak menyangka bahwa menjalani pernikahan bisnis akan menyakitkan. Kenapa? Kenapa Ara merasakan sakit? Ini sudah tidak benar sekarang. Mereka sampai di tempat
"Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia
Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di
Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s
"Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki
Evelyn benar-benar cemas karena Arabella meminta bertemu empat mata dengan papa mertuanya. Sedang dia tau, bahwa papa mertuanya itu bukan termasuk orang yang bisa diajak bicara.Setelah sekitar tiga puluh menit Arabella bersama dengan Gilbert, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Akhirnya Arabella keluar dengan wajah yang datar pada awalnya. "Ara, kau akhirnya keluar juga. aku sangat mencemaskan mu."Barulah Arabella tersenyum. Dia menggenggam tangan Evelyn, dengan raut yang terlihat santai, seolah tak terjadi apa-apa."Aku baik-baik saja. Syukurlah, semuanya bisa diselesaikan. Aku sudah bicara, dan Tuan Gilbert akan menyelesaikan semuanya. Kau bisa lanjut dengan proyek yang sebelumnya berjalan, tanpa perlu memperpanjang semuanya lagi.""Hah? Apa maksud mu, Arabella? Bagaimana bisa?" tanya Evelyn yang kaget bukan main. Tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Karena dia tau persis bagaimana watak papa mertuanya. Apakah dia luluh? apa yang Ar
"Selamat siang, Tuan Gilbert." "Kamu? Kamu Arabella, kan?""Ya, saya Arabella, lama tidak bertemu, Tuan. Rasanya saya juga lupa, kapan terakhir kali kita saling mengenal. Karena waktu itu saya masih sangat kecil. Kalaulah bukan karena Ibu yang memintaku menemui Anda, mungkin saya sudah mengubur nama Anda dalam-dalam." Perkataan Arabella itu sangat membuat Gilbert terpukul. Tapi, pria tua itu menyadari, dia memang bersalah. Gilbert berjalan melangkahkan kakinya mendekati Arabella hingga jarak keduanya hanya sekitar satu meter saja. "Duduklah dulu, Ara. Silakan, kita bisa berbicara dulu."Ara pun duduk, meski sejujurnya enggan. "Baik, kita bicara. Meski saya enggan, saya malas berbicara dengan orang seperti Anda, Tuan." "Arabella, maafkan Ayah, Nak.""Anda bukan ayah saya." "Ara, aku adalah ayahmu. Suka tidak suka, aku adalah suami ibumu.""Apa?" decih malas Arabella. "Kau bilang suami ibuku? Apakah
"Oli, sudahlah, aku tau kau kesal. Tapi kau sendiri tau, kan? itu papamu, dia memang begitu sejak dulu.""Eve, tapi kali ini dia sudah sangat keterlaluan. Bukannya kita sudah sepakat, untuk tidak ikut campur dengan urusan masing-masing lagi. Tapi, dia malah terlalu jauh mencampuri urusan kita."Meski Evelyn juga heran, terutama dengan kata-kata Gilbert yang terang-terangan mengatakan tidak menyukai Gavin. Tapi, dia tidak mau itu menjadi beban pikiran suaminya. "Hei, tidak akan ada yang terjadi. Papa tidak bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar menggertak kita. Iya, kan?"Oliver memeluk Evelyn. Beruntung istrinya itu sangat penyabar dan mengerti keadaannya. "Maafkan aku, ya, Eve. Karena dia membuat kamu susah sekarang.""Tidak, aku justru sangat bersyukur, di saat seperti ini kau membelaku." "Tentu saja, kau adalah istriku, jadi sudah sewajarnya aku membela mu, kan?" "Hem, kau harus tau, aku sangat bahagia, Oli. Kuharap kau terus
Gilbert dalam keadaan geram segera meminta orang kepercayaannya untuk menemui Evelyn dan meminta Evelyn membatalkan kontrak kerja sama dengan Gavin. Namun tak lama kemudian. Evelyn dan Oliver datang dalam keadaan tidak terima sebab menurut mereka Gilbert sudah keterlaluan ikut campur dengan urusan mereka. "Pa, kita harus bicara.""Kalian berdua duduk."Evelyn dan Oliver duduk dengan kemarahan yang tertahan. Tak mengerti kenapa Gilbert sangat tidak setuju dengan kerja sama Evelyn dah Gavin. Padahal semuanya susah sesuai prosedur dan perusahaan Gavin juga terbukti telah berhasil selamat dari ancaman kebangkrutan dan mulai berjaya lagi. "Kalian tahu, kan, bahwa kalian tidak memiliki hak untuk menolak permintaan Papa."Oliver kelihatan sangat kesal, dia berdiri lalu menantang papanya dengan tatapan tajam. "Papa punya alasan?" "Oli, duduklah, kau tidak boleh begitu di depan papamu," pinta Evelyn. "Tidak, Eve. Ka
Kedatangan Evelyn ke rumahnya membuat Arabella kepikiran. Jadi, rupanya sosok Gilbert bukan hanya menyebalkan, dan jahat di matanya saja, melainkan di depan anak dan menantunya? "Ah, aku lupa, dia adalah ayahku." Ara berdesis sebelum akhirnya dia duduk di depan meja kerjanya. "Jadi, dia juga mengucilkan Evelyn karena Evelyn belum punya anak?" Ara teringat waktu Evelyn berkata, dia dikucilkan. Sebab selama berumah tangga kurang lebih sepuluh tahun, dia belum juga dikaruniai keturunan. Setahu Evelyn, Gilbert ingin sekali memiliki cucu. Dia ingin sekali punya cucu perempuan. "Tidak, aku tidak akan biarkan laki-laki tua yang sudah menghancurkan hidup ku dan ibu, juga hendak merenggut kebahagiaan putriku?" "Aku pulang, Sayang..." "Gavin." Ara berdiri, dia langsung menghambur ke arah suaminya yang baru pulang dari bekerja. "Akhirnya kau pulang, Sayang." "Hem, tentu saja. apa kau menungguku?" "Ya, tentu saja ak