Ara menghela napas panjang. Sekarang Gavin sudah berada di dalam taksi berkat bantuan wanita seksi dari bar tadi. Pria itu sangat menyusahkan ketika mabuk, kenapa juga Gavin sampai mabuk, sih. Ara hanya terus membatin sebelum akhirnya kini dia berada di dalam kamar hotel. Lagi-lagi berkat bantuan orang lain membawa Gavin. Untung saja supir taksi suka rela membantunya. Kalau tidak, siapa yang kuat mengangkat Gavin sendirian?
"Hei Pemabuk! Bangunlah!" Ara menepuk pipi Gavin berulang-ulang. Tapi, pria itu hanya menyengir tanpa merasa bersalah menyusahkan Arabella.
"Kau sadar, kan? Hei, kau sangat menyusahkan tahu tidak!"
"Ara? Kau Ara? Cantik sekali. Aku tadi digoda wanita jelek. Dia kira..."
Gavin menatap mata Ara di sela ocehannya yang tidak berarti. Tentu saja itu dibawah pengaruh alkohol. "Dia kira dia cantik, padahal Ara lebih cantik."
"Berhenti berbicara. Lebih baik sekarang kau ke kama
Sekujur tubuh Arabella terasa pegal. Dibalik selimut dia masih meringkuk menghalanginya dari cahaya matahari yang lumayan silau. Matanya menyipit, merasa terganggu karena kilauan itu. Akhirnya, Ara bangun."Huh. Tulangku patah." Sembari memegangi belakang pinggangnya. "Apa aku sanggup bangun?""Ara."Suara itu?"Ya Tuhan! Gavin kau sedang apa?" Ara kaget saat melihat Gavin duduk di kursi dekat ranjangnya. Pria itu sudah rapi dengan pakaiannya. Sementara dirinya masih polos hanya ditutupi selimut tebal."Bajuku mana? Kau keluar dulu, aku harus ganti baju." Ara melilitkan selimut lalu turun dari ranjang. "Kenapa kau masih di sini!" sentaknya pada Gavin."Baiklah, aku akan keluar. Tapi setelah itu kita harus berbicara."Gavin keluar dari kamar itu dengan raut dingin dan datar. Ara merasa heran, padahal yang terjadi semalam antara dia dan Gavin bukanlah mimpi,
"Kenapa kau diam, Ara? Katakan pada Ibu. Apa tujuan kalian berdua menikah?"Manik mata Ara menggambarkan ketakutan. Dia ingin jujur pada ibunya. Tetapi bagaimana jika kejujurannya itu malah menyengsarakan orang yang paling dia sayang dalam hidupnya."Ibu akan baik-baik saja, jadi katakan yang sejujurnya."Wanita yang telah melahirkan Arabella bukanlah wanita yang lemah. Begitu juga Arabella, dia tidak mungkin menjadi lemah hanya karena pria. Ara menatap mata Ibunya, dia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya."Gavin memintaku menikah dengannya. Karena dia terus di desak oleh keluarganya. Gavin orang yang menawarkan bantuan untukku, Bu. Aku menimbang, daripada aku menjual diriku pada mucikari, demi—uang yang sangat kita butuhkan. Aku ... Aku memilih menerima tawaran lelaki yang sekarang menjadi suamiku."Pedih, sakit, dan Ara tercekat mengatakan semuanya pada ibunya. Hanya dia ti
Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Gavin. Kini dia diam beberapa saat setelah merobek kertas di depanku dan juga Ibu."Aku akan menyudahi perjanjian ini," katanya.Lalu setelah itu, apa? Kurasa ini memang akhirnya. Lucu, aku tidak berbeda dengan menjual diriku untuk bercinta satu malam bersama pria. Gavin mengeluarkan uangnya untuk membantuku, lalu aku dan dia berhubungan intim dan kurasa itu sama seperti aku menjual harga diriku padanya.Tidak. Tapi bagaimanapun aku sudah menikah dengannya. Sah. Aku bukan pelacur, aku tidak menjual diriku.Shit! Aku teringat lagi kenyataan bahwa aku membiarkannya meniduriku. Apakah aku menyerahkan diriku secara suka rela? Aku malu, aku ingin membayar semua pemberiannya. Apa tidak seperti aku yang begitu jelas menggilai tubuhnya semalam?"Apa kau akan menceraikan putriku." Ibuku angkat bicara. Ya, aku juga memiliki pertanyaan serupa. Jika, ya. Ak
Sebenarnya yang terjadi saat aku bangun, aku melihat Ara di sampingku. Meski tidak sepenuhnya sadar, aku yakin telah mengambil kehormatan Ara. Darah itu... menjadi buktinya. Bangun tidur dalam keadaan tak pantas aku berada satu selimut dengannya. Dia sangat pulas terlihat lelah.Apa yang telah aku lakukan? Aku shock. Kemudian aku mengingat lagi yang terjadi. Pelan-pelan meski tidak begitu jelas rekaman kejadian aku dan Ara membuatku sadar. Aku mengambil handuk melilitkan ke pinggang. Lalu aku tersentak saat melihat darah di atas selimut.Demi Tuhan, aku telah melakukan kesalahan fatal pada Ara. Dia memang istriku, tapi tidak begini konsepnya. Pikiranku kacau, aku bingung harus melakukan apa. Aku tidak mungkin membiarkan Ara menanggungnya sendiri. Aku yang telah menodainya, dia wanita baik, aku tidak pantas merebut itu darinya. Tetapi aku malah merenggutnya juga.Namun aku teringat lagi, seharusnya aku kambuh, seharusnya ak
Pukul enam. Separuh matanya terbuka sembari melongok jam dinding. Ia tersentak saat melihat Ara berada dengan jarak sangat dekat di sampingnya. Mata wanita itu masih terpejam, lalu bergerak pelan membuat Gavin reflek menutup matanya lagi."Sudah jam berapa ini, aku terlalu nyenyak." Ara bergumam sambil mengucek matanya yang malas untuk terjaga."Hm?" Sontak dia menjengkit kaget melihat Gavin tidur dengan posisi tangannya sebagai bantal untuk kepalanya."Oh Tuhan," dia berkata sangat teramat pelan mengangkat kepalanya dari tangan Gavin. "Kau pasti pegal," tambahnya merasa keterlaluan. "Bodoh!" Masih sangat pelan. Padahal Gavin mendengar, sebab dia sudah bangun lebih dulu.Ara beranjak langsung ke kamar mandi. Saat itulah Gavin bangun, lalu tersenyum.****"Kau mau ke mana?""Aku harus
"Vin. Akhirnya kau mau menemui ku. Aku benar-benar merasa bahagia."Benar, dia adalah Luna. Luna berulang kali meminta waktu untuk bisa bertemu dan berbicara dengan Gavin berdua. Padahal, Gavin sudah memberitahu Luna, bahwa kini dia sudah menikah."Katakan apa yang ingin kau sampaikan, kita tidak untuk berbincang santai."Gavin tetap dingin. Sorot matanya tajam mengarah pada Luna, sedetikpun Gavin tidak meloloskan tatapan mengintimidasi yang dia tujukan pada mantan kekasihnya yang telah membersamainya kurang lebih lima tahun itu."Vin. Kau ingat kapan terakhir kali kita berkencan?"Gavin berdecih sembari menggaruk alisnya. "Untuk apa kau menanyakan hal yang tidak berguna.""Vin, aku rindu saat-saat itu. Tidak mungkin semudah itu kau lupakan kenangan kita selama lima tahun, kan?""Tidak. Aku sudah melupakannya.""Bohong. Kau berkata begitu
Aku mengidap Philophobia. Sejak kapan? Setahun lalu, dan aku baru menyadarinya setelah konsultasi. Kau tahu, kan, apa itu Philophobia? Ya, aku tahu, sedikit. Kukira tidak akan bertemu dengan orang yang mengalami hal seperti itu. Tapi, dari yang kau alami, sepertinya memang begitu, ya. Ya, aku juga tidak tahu, kenapa aku sampai mengalami hal ini. Bukannya ada sebabnya? Mungkin kau mengalami hal yang sulit sebelumnya, itu bisa menjadi penyebab penyakit phobia yang kau alami. Hm, kurasa ini karena aku terlalu percaya pada cinta diawal. Lalu, akhirnya aku malah dikecewakan. Yang aneh, kenapa aku kambuh padahal aku tidak sedang jatuh cinta. Apa kau yakin? Mungkin saja kau masih mencintai Luna. Kenapa kau membicarakan Luna?
Gavin baru saja sampai di kantornya. Dia masih kepikiran tentang penyebab traumanya muncul kembali, kenapa hal itu bisa terjadi? Padahal jelas-jelas itu terjadi bukan karena Luna, lalu sebenarnya itu karena siapa?Semua karena pekerjaan yang baru saja dia mulai. Setelah menikah, orang tuanya menyerahkan sepenuhnya perusahaan padanya. Marcellino dan Adelina sudah berjanji jika Gavin menikah maka perusahaan akan menjadi tanggung jawabnya. Meski dia tidak terlalu tertarik dengan bisnis, tapi dia cukup mahir dalam bidang itu."Selamat pagi, Tuan Gavin." Karina adalah sekertarisnya di kantor, dia terlihat agak panik saat Gavin datang, seperti menunggu Gavin sejak tadi karena ada sesuatu yang terjadi di kantor."Pagi, ada apa, Karina?""Tuan di dalam ada nona Luna."Gavin melotot dengan rahang yang mengeras. "Dia mau apa sih?""Nona Luna bilang dia harus bertemu Tuan. Padahal sa