Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Gavin. Kini dia diam beberapa saat setelah merobek kertas di depanku dan juga Ibu.
"Aku akan menyudahi perjanjian ini," katanya.
Lalu setelah itu, apa?
Kurasa ini memang akhirnya. Lucu, aku tidak berbeda dengan menjual diriku untuk bercinta satu malam bersama pria. Gavin mengeluarkan uangnya untuk membantuku, lalu aku dan dia berhubungan intim dan kurasa itu sama seperti aku menjual harga diriku padanya.Tidak. Tapi bagaimanapun aku sudah menikah dengannya. Sah. Aku bukan pelacur, aku tidak menjual diriku.
Shit! Aku teringat lagi kenyataan bahwa aku membiarkannya meniduriku. Apakah aku menyerahkan diriku secara suka rela? Aku malu, aku ingin membayar semua pemberiannya. Apa tidak seperti aku yang begitu jelas menggilai tubuhnya semalam?
"Apa kau akan menceraikan putriku." Ibuku angkat bicara. Ya, aku juga memiliki pertanyaan serupa. Jika, ya. Ak
Sebenarnya yang terjadi saat aku bangun, aku melihat Ara di sampingku. Meski tidak sepenuhnya sadar, aku yakin telah mengambil kehormatan Ara. Darah itu... menjadi buktinya. Bangun tidur dalam keadaan tak pantas aku berada satu selimut dengannya. Dia sangat pulas terlihat lelah.Apa yang telah aku lakukan? Aku shock. Kemudian aku mengingat lagi yang terjadi. Pelan-pelan meski tidak begitu jelas rekaman kejadian aku dan Ara membuatku sadar. Aku mengambil handuk melilitkan ke pinggang. Lalu aku tersentak saat melihat darah di atas selimut.Demi Tuhan, aku telah melakukan kesalahan fatal pada Ara. Dia memang istriku, tapi tidak begini konsepnya. Pikiranku kacau, aku bingung harus melakukan apa. Aku tidak mungkin membiarkan Ara menanggungnya sendiri. Aku yang telah menodainya, dia wanita baik, aku tidak pantas merebut itu darinya. Tetapi aku malah merenggutnya juga.Namun aku teringat lagi, seharusnya aku kambuh, seharusnya ak
Pukul enam. Separuh matanya terbuka sembari melongok jam dinding. Ia tersentak saat melihat Ara berada dengan jarak sangat dekat di sampingnya. Mata wanita itu masih terpejam, lalu bergerak pelan membuat Gavin reflek menutup matanya lagi."Sudah jam berapa ini, aku terlalu nyenyak." Ara bergumam sambil mengucek matanya yang malas untuk terjaga."Hm?" Sontak dia menjengkit kaget melihat Gavin tidur dengan posisi tangannya sebagai bantal untuk kepalanya."Oh Tuhan," dia berkata sangat teramat pelan mengangkat kepalanya dari tangan Gavin. "Kau pasti pegal," tambahnya merasa keterlaluan. "Bodoh!" Masih sangat pelan. Padahal Gavin mendengar, sebab dia sudah bangun lebih dulu.Ara beranjak langsung ke kamar mandi. Saat itulah Gavin bangun, lalu tersenyum.****"Kau mau ke mana?""Aku harus
"Vin. Akhirnya kau mau menemui ku. Aku benar-benar merasa bahagia."Benar, dia adalah Luna. Luna berulang kali meminta waktu untuk bisa bertemu dan berbicara dengan Gavin berdua. Padahal, Gavin sudah memberitahu Luna, bahwa kini dia sudah menikah."Katakan apa yang ingin kau sampaikan, kita tidak untuk berbincang santai."Gavin tetap dingin. Sorot matanya tajam mengarah pada Luna, sedetikpun Gavin tidak meloloskan tatapan mengintimidasi yang dia tujukan pada mantan kekasihnya yang telah membersamainya kurang lebih lima tahun itu."Vin. Kau ingat kapan terakhir kali kita berkencan?"Gavin berdecih sembari menggaruk alisnya. "Untuk apa kau menanyakan hal yang tidak berguna.""Vin, aku rindu saat-saat itu. Tidak mungkin semudah itu kau lupakan kenangan kita selama lima tahun, kan?""Tidak. Aku sudah melupakannya.""Bohong. Kau berkata begitu
Aku mengidap Philophobia. Sejak kapan? Setahun lalu, dan aku baru menyadarinya setelah konsultasi. Kau tahu, kan, apa itu Philophobia? Ya, aku tahu, sedikit. Kukira tidak akan bertemu dengan orang yang mengalami hal seperti itu. Tapi, dari yang kau alami, sepertinya memang begitu, ya. Ya, aku juga tidak tahu, kenapa aku sampai mengalami hal ini. Bukannya ada sebabnya? Mungkin kau mengalami hal yang sulit sebelumnya, itu bisa menjadi penyebab penyakit phobia yang kau alami. Hm, kurasa ini karena aku terlalu percaya pada cinta diawal. Lalu, akhirnya aku malah dikecewakan. Yang aneh, kenapa aku kambuh padahal aku tidak sedang jatuh cinta. Apa kau yakin? Mungkin saja kau masih mencintai Luna. Kenapa kau membicarakan Luna?
Gavin baru saja sampai di kantornya. Dia masih kepikiran tentang penyebab traumanya muncul kembali, kenapa hal itu bisa terjadi? Padahal jelas-jelas itu terjadi bukan karena Luna, lalu sebenarnya itu karena siapa?Semua karena pekerjaan yang baru saja dia mulai. Setelah menikah, orang tuanya menyerahkan sepenuhnya perusahaan padanya. Marcellino dan Adelina sudah berjanji jika Gavin menikah maka perusahaan akan menjadi tanggung jawabnya. Meski dia tidak terlalu tertarik dengan bisnis, tapi dia cukup mahir dalam bidang itu."Selamat pagi, Tuan Gavin." Karina adalah sekertarisnya di kantor, dia terlihat agak panik saat Gavin datang, seperti menunggu Gavin sejak tadi karena ada sesuatu yang terjadi di kantor."Pagi, ada apa, Karina?""Tuan di dalam ada nona Luna."Gavin melotot dengan rahang yang mengeras. "Dia mau apa sih?""Nona Luna bilang dia harus bertemu Tuan. Padahal sa
Ara membeku di dalam taksi. Masih teringat kata-kata Luna. Wanita itu sebenarnya baik, hanya saja dia melakukan kesalahan yang fatal, dan tidak semua orang bisa dengan mudah memaafkan, terlebih untuk melupakan dan bersikap layaknya biasa seperti semula."Luna itu cantik, manis, dan dia baik." Ara mengusap lengannya sambil menarik napas dalam."Lalu, sebenarnya apa kebohongan yang dia lakukan sampai tidak dimaafkan? Aku masih penasaran apakah itu karena Gavin?""Maaf Nona, kita sudah sampai," sela supir taksi berhenti tepat di depan rumah Gavin. Ara tersentak karena dia sibuk melamun, tidak terasa bahwa dia sudah sampai."Maaf, Pak. Baik, terima kasih, ya." Ara menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar."Kembaliannya tunggu sebentar, Nona.""Ambil saja, Pak," kata Ara dengan senyuman ringan."Benar Nona? Terima kasih banyak, Non."
Bukan pertemuan pertama yang membuatku jatuh cinta. Tepatnya, aku tidak tahu kapan memulai rasa itu. Tetapi perlahan kuyakini, rasa itu bertempat di dalam sini, di hatiku, untukmu. Imperfect Arabella ~ The Feeling is You ***"Apa?""Katakan, apa yang kau ketahui, bagaimana caranya, dan apa obatnya?"Tatapan mata Ara mendalam tertuju pada lelaki di hadapannya yang masih menggenggam erat kedua bahunya. Menunggu jawaban darinya, tentang sesuatu yang katanya dia ketahui. Jika itu bisa dia lakukan demi Gavin, lelaki yang berjasa baginya, maka Arabella akan melakukannya, demi Gavin Narendra Tama."Arabella." Tatapan Gavin menelusuri wajah termenung di depannya. "Bisakah kau mencoba mencintai...""Hah?" Ara terhenyak, dia sadar dari lamunan.
"Aku suka tubuhmu.""Ahhh!!" Ara mendesah hebat."Sentuhan ini, apa kau merasakannya?""Kumohon, kau menyiksaku!"Ara menggerakkan kepalanya pelan, kemudian matanya menyipit sembari merasakan sesuatu yang agak berat sedang bertumpu di atas lengannya. Matanya terbuka lebar saat menyadari itu adalah tangan kokoh Gavin yang sedang memeluknya."Hmm..." lenguh Gavin sontak Ara berpura-pura terpejam lagi.Gavin tersenyum melihat wanita di dekapannya. Ia menyingkirkan tangannya pelan, lalu mengecup kening Ara lembut.Ara ingin membuka mata, atau mungkin berteriak saking kagetnya. Sikap Gavin kenapa masih sama, dia mengira sikap Gavin akan berubah seperti yang sudah-sudah."Buka matamu."Jantung Ara berdegup saat Gavin mengatakan hal itu. Jadi, pria itu tahu bahwa dia sejak tadi sudah bangun?"Aku tahu kau bangun."Len