"Apa kau bilang? Kurasa kau benar-benar gila, Gavin! Sudahlah, aku akan pulang ke kontrakan rumahku sekarang, untuk uang yang kau pinjamkan tidak perlu kau cemas, aku akan kembalikan uang itu."
Dia benar-benar tidak waras. Melakukan seks katanya? Tapi bukankah aku hampir menjual diriku, kalau saja dia tidak datang aku pasti sudah menjadi pelacur seutuhnya. Sudahlah, aku tetap harus keluar dari rumah ini!
Aku menurunkan kakiku dari ranjang yang sangat empuk itu. Gavin masih menatapku tanpa sepatah kata pun. Apa dia marah? Atau dia merasa aku menghinanya?
"Arabella... Kau rupanya lebih tangguh dari yang kubayangkan, ya. Tenanglah Ara, kalau aku berniat tidur dengan mu, untuk apa tidak aku lakukan dari kemarin. Sudahlah, kalau kau tidak mau menikah denganku tidak apa-apa. Bersiaplah , aku akan antar kau pulang."
Dia tertawa? Aku menatapnya heran.
"Kenapa? Kau tidak mau pulang?"
Astaga! Seharusnya aku senang, kan.
"Apa? Jadi, kau membiarkan aku pulang?"
Gavin mengangguk lalu berdiri tepat di hadapanku. "Ya. Bukankah tadi kau bilang mau pulang? Aku bukan menculik mu. Aku tentu akan mengantar kau pulang. Kalau kau berubah pikiran, kau bisa hubungi aku. Ini kartu namaku," ucapnya sembari menyodorkan benda pipih berwarna hitam kepadaku.
"Ini kartu namamu?" Aku membaca seksama yang tertulis di kartu berwarna hitam dengan tinta abu-abu bertuliskan namanya. Gavin Narendra Tama.
"Ya. Hubungi aku jika kau berubah pikiran. Sekarang bersiaplah, aku akan antar kau pulang."
Sikap santai macam apa itu? Dia beberapa menit lalu baru saja menanyakan apakah aku mau melakukan seks dengannya, bukan? Sekarang, dia seolah tidak pernah mengatakan apapun. Astaga, aku hanya bisa bermonolog dalam hati.
"Huuh... Ibu... Benar! Apa aku lupa kalau ibu ada di ruang ICU. Aku harus pulang ke tempat ibu dan menjenguknya di rumah sakit. Aku harus bergegas."
Aku berdiri menunggu Gavin di depan rumahnya. Dilihat dari sudut mana pun rumah ini sangat mewah, dan aku belum pernah melihat rumah semewah ini. Sejenak, aku berpikir bagaimana rasanya menjadi nyonya di rumah yang seperti istana ini? Ya Tuhan. Berpikir apa sih, aku! Pasti aku sudah gila, ini karena terlalu banyak berbicara dengan pria dingin itu. Gavin, aku tidak boleh berbelit-belit seperti ini. Aku harus dapatkan uang dan melepaskan diri dari hutangku padanya.
"Ayo kita jalan," suara bariton itu...
Aku menoleh ke arah suara itu. "Kau?" Dia sangat tampan, ah, tidak. Dia bukan hanya tampan, dia juga sangat... Hentikan Ara!
"Ya. Tapi bisakah kau antar aku ke rumah sakit tempat ibuku di rawat? Maksudku aku minta maaf karena merepotkan, tapi... "
"Baiklah, aku akan antar kau ke sana."
Jika dia terlalu baik, bagaimana bisa aku berpikiran dia jahat? Atau dia memang tulus ingin meminta bantuan ku, tanpa niat terselubung?
"Kalau kau tidak naik, kita akan mengulur lebih banyak waktu."
"Ah, iya. Baiklah,"
Pria itu, dia sangat fokus ketika sedang menyetir. Aku mencoba menatapnya dari berbagai sudut dirinya, dan aku menyesali penglihatan ku yang payah ini. Apakah dia tidak pernah terlihat jelek sesekali?
"Apa Ibumu sudah lama sakit?"
Benar, dia memiliki suara yang agak serak. Tapi, itu terdengar agak seksi.
"Ara? Apa kau tidak mendengar, ku?"
"Ha? Apa?"
Aku memang sudah gila! Aku malah terbengong, dia sejak tadi mengajakku berbicara, kan?
"Ku rasa kau bengong, Ara. Aku bertanya, apa ibumu sudah lama sakit?"
"Maafkan aku. Ibuku, dia memang sudah lama sakit, tapi selama ini ibuku tidak pernah bercerita, bahwa sakitnya separah itu."
"Oh. Semoga ibumu cepat membaik."
"Terima kasih, Gavin."
Setelah itu kita tidak saling berbicara, perjalanan menuju rumah sakit membutuhkan sekitar dua jam. Semoga saja, keadaan ibu sudah membaik, aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk padanya.
Mobil mewah Gavin berhenti di depan rumah sakit. Aku segera melepas sabuk pengaman.
"Terima kasih, Gavin. Aku akan menemui ibuku. Aku akan menghubungi kau jika aku sudah memiliki uang untuk membayar hutangku, aku minta tenggang waktu, ya."
Gavin mengangguk pelan. Dia tidak tersenyum seperti biasanya, tapi apa yang dia lakukan? Dia... Dia mengusap pipiku?
"Hubungi aku kalau kau berubah pikiran. Aku tidak berharap kau membayar hutang dengan mengembalikan uang. Aku butuh bantuan mu, Ara."
Sentuhan tangannya teramat lembut mengelus pipiku, aku seperti enggan melepaskan tangan itu tanpa sadar aku menyentuh punggung tangannya.
"Maaf." Gavin menarik tangannya, lalu tersenyum tipis. "Aku berdoa tulus untuk ibumu. Kuharap dia akan segera sembuh."
"Terima kasih, Gavin. Kau sangat baik, aku turun ya."
"Ya, berhati-hatilah."
"Sampai jumpa, Gavin. Maksudku, tentu kita akan bertemu lagi saat aku membayar hutangku, kan?"
Gavin hanya melambaikan tangan tanpa menjawab, dia segera berlalu dengan mobilnya.
****
"Lissa? Bagaimana keadaan ibu?"
"Ara! Akhirnya kau datang, aku kira kau tidak datang hari ini," jawab Lissa, dari raut wajahnya sepertinya dia sedang sedih. Apa terjadi sesuatu yang buruk pada ibu? Tidak, ibu pasti baik-baik saja.
"Bibi baik-baik saja, setelah di pindahkan ke ruangan ICU kondisinya mulai membaik, tapi Ara, ada masalah..."
"Masalah? Katakan Lissa, ada apa?"
"Biaya rumah sakit harus segera kau lunasi. Biaya lima puluh juta hanya sebagai uang muka. Sisanya kurang lebih seratus lima puluh juta, kau harus segera melunasinya, Ara."
"Apa?"
Dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu. Benar, harusnya itu menjadi pertimbangan ku. Biaya rumah sakit pasti akan jauh lebih mahal, lima puluh juta hanyalah uang muka dan biaya perhari saja sudah mahal. Belum lagi obat-obatan dan penanganan lainnya. Aku sungguh tidak memiliki uang lagi sekarang. Seratus juta dari Gavin hanya sisa lima puluh juta, aku kira itu cukup untuk melunasi biaya rumah sakit, ternyata itu belum cukup.
"Ara, maafkan aku. Aku sama sekali tidak dapat membantumu,"
"Ini bukan salahmu Lissa, kau sudah banyak membantuku menjaga Ibu. Sudahlah, aku ingin melihat kondisi Ibu dulu, ya. Untuk biaya rumah sakit aku akan pikirkan nanti."
"Tapi Ara, dari mana kau dapatkan uang sebanyak itu? Lalu dari mana kau dapatkan uang lima puluh juta dalam semalam? Maaf, aku takut kau kesusahan, kau tidak terlibat dalam masalah, kan?"
Aku tersenyum pahit. Aku tidak mungkin menceritakannya pada Lissa. Dia pasti kaget, dia pasti akan kecewa jika dia tahu aku hampir menjual diriku.
"Ada orang baik yang membantuku, Lissa. Kau tidak perlu cemas, itu bukan uang haram."
"Ara... Kau begitu tegar, aku sedih melihatmu susah, maafkan aku,"
Lissa, dia selalu saja seperti itu. Padahal dia sudah banyak membantuku. "Jangan sedih, aku tidak apa-apa. Hapus air matamu, kau harus tersenyum meski itu pahit. Ingatkah, bahwa Tuhan selalu ada, jangan berpikir Tuhan tidur."
Meski aku sempat merasa, mungkinkah Tuhan tidak berpihak padaku, tapi ini semua terjadi karena Tuhan memiliki tujuan untukku. Itu saja yang kuyakini.
"Aku masuk dulu ke ruangan Ibu, Ya."
Lissa mengangguk mempersilahkan aku masuk ke ruangan Ibu.
"Ibu. Ini aku, Ara. Bagaimana bisa Ibu menjadi seperti ini. Maafkan Ara, Bu." Aku mengelus tangan ibuku yang kurus, pucat, dan sudah terlihat keriput.
"Ibu cukup makan, bukan? Kenapa Ibu sangat kurus,"
Sungguh aku sekuat tenaga menahan genangan yang hampir tumpah dari ujung mata ini. Tapi, mataku terasa pedih, akhirnya aku terisak sambil mencium tangan ibuku yang masih tertidur. "Ara tidak mau Ibu sakit,"
"Ara, kau kah itu, Nak?"
"Ibu. Ya, ini aku, Ara."
Tangan yang sudah renta itu menyentuh pipiku sambil berusaha tersenyum dengan bibir pucat dan bergetar. Aku tahu, dia tidak sedang baik-baik saja.
"Jangan sedih, ibu baik-baik saja, Nak."
Ibu selalu menjadi pembohong ulung jika itu berkaitan tentang keadaannya. Dia selalu berkata baik-baik saja, padahal dia tidak begitu.
"Ibu, aku pasti akan mengurus semua urusan rumah sakit. Ibu harus sembuh, ya."
"Dari mana kau dapat uang, Nak? Kau tidak mungkin punya uang sebanyak itu, kan? Katakan pada Ibu, apa kau baik-baik saja?"
Dia tetaplah seorang Ibu yang peka. Ibuku pasti memiliki firasat bahwa anaknya tidak dalam baik-baik saja.
"Jangan cemaskan aku, keadaan Ibu jauh lebih penting dari apapun."
"Nak, berjanji dengan ibu. Apapun yang terjadi pada Ibu, kau jangan pernah menjual harga dirimu demi uang. Lebih baik Ibu mati, dari pada kau harus mengorbankan dirimu,"
Apa ini? Apakah ibu tahu semua rencana ku?
"Maksud Ibu apa? Jangan bicara yang bukan-bukan, pikirkan kesehatan Ibu. Aku tidak apa-apa, kok."
"Ara, kau anak Ibu satu-satunya. Kau bisa menutupi apapun dari orang lain, tapi tidak dari ibu, Nak. Katakan, kau tidak melakukan itu, kan?"
Wajar ibuku berpikir ke arah sana. Mendapatkan uang lima puluh juta dalam semalam, dari mana lagi kalau bukan menjual diri. Merampok? Aku tidak seberani itu. Meminjam uang dari bank? Aku tidak punya jaminan apapun. Meminjam dari rentenir? Aku tidak mungkin melakukannya.
"Tidak, Bu. Ini semua bantuan dari orang yang sangat baik dan peduli."
Setidaknya aku jujur pada Ibu. Uang itu memang dari orang baik, aku yakin Gavin orang yang baik, walau aku belum lama mengenalnya.
"Bantuan? Siapa dia? Apa dia kekasihmu?"
Wajah ibuku mendadak ceria. "Katakan pada Ibu, dia pasti kekasihmu, kan?"
"Bukan, Bu. Mana mungkin. Ara tidak memiliki waktu cukup untuk berpacaran. Bagaimana bisa Ara mempunyai kekasih?"
Tuhan. Pikiranku melalang buana kemana-mana. Aku berpikir apa sebaiknya aku menerima tawaran Gavin? Aku harus dapat uang dari mana? Mendengar kata-kata Ibu yang lebih baik mati dari pada aku menjual diri. Membuatku membuang jauh-jauh niat menjijikan itu dalam rencana ku ke depan.
"Ara, ibu akan senang sekali jika kau menikah, Nak. Ibu kira orang itu adalah kekasihmu. Bukankah sangat bagus jika kau mendapatkan jodoh yang baik, yang peduli dan sayang padamu?"
Ya. Tentu itu luar biasa. Tapi di mana aku bisa mendapatkan pria seperti itu. Tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan pria seperti itu. Siapa aku? Aku hanyalah gadis yang penuh dengan kekurangan. Tapi aku tidak boleh berhenti berjuang. Tujuanku adalah membuat ibuku bahagia.
"Jangan dipikirkan, ada orang yang baik padaku saja itu sudah bagus, Bu. Tuhan tidak mungkin membiarkan aku hidup terlalu menderita, bukan?"
Aku berusaha tetap tersenyum, meski rasanya sangat sulit melingkarkan garis bibirku dalam keadaan seperti sekarang.
Ara keluar dari ruangan ibunya, sudah waktunya dia pulang dan memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk melunasi biaya rumah sakit.Saat dia sedang memutar otaknya, sambil mengingat-ingat kiranya ada seseorang yang dapat membantunya, tapi tidak ada yang terlintas dalam benaknya kecuali Gavin."Lupakan, Ara! Kau belum mengenalnya, bagaimana bisa kau menerima tawaran orang asing. Walaupun, Gavin memang baik, tapi...""Wow! Lihatlah, siapa dia, Frey. Bukankah dia si buntelan lemak, Arabella? Hahahaha....""Coba kulihat? Oh my God! Benar, dia kan Arabella teman sekelas kita di SMA dulu? Wah, kau lupa ya, Jen. Dia sudah bukan buntelan lemak lagi. Tubuhnya kurus sekarang, nyaris tak memiliki lemak. Hahahaha!"Ara menghentikan langkahnya dengan perasaan kesal, tapi dia tidak mau menunjukkan hal itu di depan dua wanita yang bernama Freya dan Jennifer, mereka berdua adalah teman sekelas Ara.Meskipun Ara
Kita adalah sepasang kekasih, yang sedang di mabuk asmara. Begitulah judul yang diberikan Ara untuk tema pesta malam ini. Walaupun Ara bukan pertama kalinya berakting, tapi tetap saja dia gugup. Malam ini dia bukan hanya akan berakting, tapi orang yang dia temui adalah keluarga besar Gavin, calon suaminya. "Sayang, maaf kalau aku agak gugup. Tapi bisakah kau ambilkan aku minum?" Ara menutupi mulutnya sambil sesekali mengedipkan mata. Gavin tak kuat menahan diri untuk tidak tertawa. "Hentikan. Aku tidak tahan lagi, jangan panggil sayang. Aku ingin tertawa terus," ucap Gavin. "Gavin! Kau ingin penampilan malam ini sukses, kan? Astaga, kau kira aku tidak menahan diri sejak tadi, aku jug ..." Ara menghentikan kata-katanya saat Gavin tiba-tiba menarik tubuhnya. Keduanya saling menatap satu sama lain, ada yang berbeda dengan tatapan Gavin. "Kau mau apa?" Mata Ara me
Kejadian sebelumnya ....Aku menarik napas ku dalam-dalam, saat melihat gadis di sampingku basah kuyup terkena hujan deras tadi. Apakah dia sebodoh itu? Duduk di bawah hujan tanpa payung. Atau dia memang sengaja ingin menutupi tangisannya?Tidak sengaja aku melihat dia sedang berbicara dengan dua wanita, walau itu sepertinya bukan pembicaraan yang tenang. Gadis itu terlihat menahan marah dan kuakui dia pandai menutupi emosinya itu. Tadinya aku ingin menemuinya untuk membicarakan masalah tawaranku. Aku malah tidak sengaja menyaksikan pertengkaran dia dengan dua wanita yang aku tidak tahu mereka itu siapa."Pakailah handuk ini, ini bukan handuk milikku. Itu handuk baru, tenang saja," ucapku padanya karena kalau dibiarkan dia bisa sakit. Ah, kenapa aku ini, apa aku sedang perhatian padanya? Entahlah."Terima kasih, Gavin." Dia mengambil handuk itu lalu mulai mengelap rambutny
"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya."Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras."A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku."Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya."Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengse
"Ya, Tuan. Apa Anda menginginkan saya?" Suara seorang wanita yang katanya paling cantik di sebuah bar ternama, membuat Gavin menoleh sekilas.Wanita itu memang cantik, tubuhnya bagus dan terlihat anggun dan seksi. Gavin tersenyum kecil, dia berusaha untuk tetap bersikap wajar. Ini bukan pertama kalinya Gavin mendatangi tempat seperti itu untuk mencari wanita.Tentu saja, hanya untuk mengecek apakah traumanya sudah menghilang? Sebab semalam dia menyentuh Arabella dan semuanya baik-baik saja. Gavin tidak merasakan reaksi yang biasanya dia rasakan, saat dekat dengan wanita.Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Mungkin ini adalah hal yang gila. Seharusnya dia kembali ke rumah dan tidak perlu memastikan, tapi dia penasaran ada apa dengan Arabella? Kenapa dia baik-baik saja saat bercumbu dan nyaris saja bercinta dengan wanita itu?"Coba kemari, duduk dekatku," pinta Gavin. Wanita itu mengangguk setuju dengan
"Gavin, kumohon dengarkan dulu penjelasan ku. Kenapa kau selalu mengabaikan aku?" Tatap seorang gadis di depan Gavin. Keduanya tidak sengaja bertemu saat Gavin hendak membeli sesuatu di supermarket bersama dengan Arabella."Kau bertanya padaku? Lucu sekali, kau pasti tahu persis kenapa aku mengabaikan kau, bukan? Aluna! Ngomong-ngomong di mana kekasih terbaikmu? Apa dia sudah membuang mu?" sindir Gavin."Gavin, kau salah sangka! Aku dan Cedric tidak seperti yang kau bayangkan. Aku memang pergi dengannya, tapi bukan untuk bersama dalam artian berpacaran,""Sudahlah, aku tidak perduli. Walaupun kau memiliki hubungan atau tidak dengannya. Tapi semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku sudah harus pergi, Luna." Gavin tersenyum sarkastik lalu berbalik meninggalkan wanita itu.Sementara wanita yang bernama Luna itu terlihat sangat terpukul dengan perkataan Gavin barusan."Aku masih m
Kakiku terasa pegal dengan tumit yang agak perih karena high heels yang aku kenakan begitu menyiksa. Aku sudah berada di kamarku, sendirian. Malam ini adalah Malam pertama aku sebagai istri Gavin Narendra Tama. Tapi, pria itu mungkin sudah tidur di kamarnya.Kamarnya, bukan bersamaku. Tidak, memang sudah seharusnya begitu, kan? Ini bukan pernikahan, ini hanyalah sebuah kontrak selama satu tahun. Orang-orang melihat ini adalah pernikahan yang sakral, di penuhi cinta karena akting kami yang sungguh meyakinkan.Aku hanya tersenyum getir. Tapi apa lagi yang kuharap kan, sih? Begini saja sudah sangat bagus untukku. Setidaknya Ibuku mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ternama. Tentunya tanpa memikirkan biaya yang sangat besar karena Gavin sudah melunasinya.Meskipun begitu, aku terkadang bingung dengan diriku sendiri. Tadi, sewaktu Gavin begitu bangga memperkenalkan aku sebagai istrinya, di hadapan t
Mau tidak mau menerima tawaran orang tuanya, Gavin meski tidak nyaman akhirnya berada di dalam kamar yang sama dengan Arabella, istrinya. Mereka sepakat untuk tetap menjaga jarak aman dan tidak saling menyentuh sesuai perjanjian.Lelah. Setelah berbincang sambil makan malam dengan keluarga besar Gavin. Arabella memutuskan untuk beristirahat. Untungnya, rumah keluarga Gavin sangat besar, sehingga kamar itu bisa dikatakan lebih mirip ukuran sebuah rumah. Memiliki kelengkapan yang lengkap seperti dapur, kamar mandi tentunya, dan juga ruang bersantai dengan televisi yang besar."Ini kamar?" Arabella bukan pertama kali ke rumah tersebut. Saat Gavin mabuk, Arabella juga bermalam di kamar itu."Sial!! Aku jadi teringat lagi saat Gavin mabuk, dia memang payah!" Daripada memikirkan ingatan lalu, akhirnya Ara memutuskan untuk tidur.Entahlah, kemana Gavin pergi. Tadi dia berpamitan pada Ara untuk mengobrol dengan ka