"Mbak, disuruh Mama ke dapur," ucapku pada Mbak Cindy yang tengah bermain ponsel di ruang televisi."Mau apa?" Mbak Cindy bertanya balik, tanpa melihat ke arahku."Nggak tahu, Mbak. Mungkin nyuruh masak."Mata Mbak Cindy yang tadi fokus pada ponsel, kini beralih padaku. Ia mengerutkan kening seraya menegakkan tubuhnya."Kamu, gak salah bicara, 'kan? Apa tadi? Masak? Raya, seumur-umur aku tidak pernah masak. Mama, tahu itu, kok," jawabnya dengan wajah juteknya dia."Tapi ....""Kamu pasti yang udah racunin pikiran Mama, 'kan? Biar Mama nyuruh aku ke dapur, dan ikut masak. Jangan, sok paling bisa, kamu. Kamu pikir kamu siapa? Kamu itu, gak lebih oke, dari aku!" Aku hanya bisa menarik napas dalam, lalu mengembuskannya saat Mbak Cindy bicara seraya berdiri, dengan telunjuk mengarah ke wajahku. Sungguh, jangankan untuk mengajarkan dia soal pekerjaan rumah, untuk hal sekecil ini pun Mbak Cindy sudah mencak-mencak."Ada apa, ini? Kenapa ribut?" Papa datang dari arah kolam ikan bersama Mas R
Aku mengembuskan napas kasar saat Mbak Cindy yang menjawab pertanyaanku. Sepertinya aku akan selalu salah jika bicara dengan dia. Apa pun yang aku katakan, jawabannya selalu sinis."Cindy, tidak boleh seperti itu menjawab pertanyaan dari orang. Tidak sopan." Mama menegur menantunya. "Belum, Ra. Mama akan berangkat ke yayasan, sebentar lagi. Setelah Pak Tarmin pulang mengantarkan Bi Marni dari pasar," lanjut Mama bicara kepadaku.Aku hanya mengangguk, seraya membulatkan mulut. Sedangkan Mbak Cindy, seperti biasa, ia akan mendelikkan mata kepadaku. Dalam hati, aku mengucapkan istighfar dengan sikap Mbak Cindy itu."Dengar, Mama ingin mengatakan sesuatu kepada kalian."Aku mengalihkan pandangan dari televisi ke wajah Mama yang terlihat sangat serius. Begitu pun Mbak Cindy yang duduk di sofa yang ada di depanku. Ia melihat Mama dengan lekat."Untuk Cindy, Mama tidak mengijinkan kamu keluar dari rumah ini. Apa pun alasannya, kamu tidak boleh keluar. Kecuali, kalau Raffa yang datang dan men
"Citraaa!!" Aku berseru dengan panik saat melihat Citra sudah berada di dalam kolam ikan. Buru-buru aku mengangkat tubuh kecil itu dan membuka semua bajunya."Kenapa masuk ke sana?" tanyaku seraya menggendong Citra."Cici tak ada teman. Cici mau main sama ikan, Tante," ujarnya dengan polos. Aku membawa Citra ke dalam kamarku. Memandikan dia, lalu membungkus tubuhnya dengan handuk. Tidak lupa, aku mengolesi kayu putih agar tubuhnya menghangat."Citra, tidak boleh lagi main ke kolam, ya? Bahaya, kalau nanti Citra terpeleset dan jatuh, gimana?"Anak itu hanya diam seraya mengangguk lemah.Kolam ikan memang tidak terlalu dalam. Hanya sebatas perut Citra. Namun, bawahnya sangat licin dengan pinggiran kolam yang dibentengi bebatuan. Takutnya, Citra akan terpeleset dan jatuh dengan kepala mengenai batu. Itu sangat berbahaya."Citra, sekarang kita turun ke bawah, dan Citra ambil baju di kamarnya Mami, ya?" "Iya, Tante. Tapi, nanti Tante main sama Cici, ya? Tante mau, 'kan?""Iya, Sayang. N
Aku tidak mempedulikan Mbak Cindy yang matanya sudah menyimpan amarah. Aku lebih memilih pergi mengabaikan dia yang menggerutu dengan bahasa kasarnya."Sudahlah aku seperti baby sitter anaknya, sekarang mau menjadikanku babu, juga?" ujarku bergumam seraya menyelimuti Citra yang tengah tidur meringkuk.Kutatap wajah mungil itu. Perpaduan wajah cantik Mbak Cindy dan wajah tegas Mas Raffa terukir indah menjadi satu. Citra begitu lucu dan menggemaskan. Namun, kecantikan Mbak Cindy tidak menggambarkan hatinya. Begitu kontras dan sangat jauh berbeda. Kasihan Citra, dia jadi korban keegoisan ibu kandungnya sendiri."Yaudah, aku pamit, ya? Jangan lupa, kabarin aku, jika nanti ada sesuatu yang menggembirakan.""Siap, pokoknya, kalau perlu aku akan rekam dan kasih ke kamu, agar kamu puas," ujar Mbak Cindy pada Malika.Mereka berjalan ke arah pintu utama, melewatiku yang tengah duduk melantai seraya membereskan mainan Citra. Setelah mengantar Malika ke depan pintu, Mbak Cindy kembali masuk, kem
[Raya.][Katanya mau ketemu, kapan?][Aku siap jadi pendengar setiamu.][Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja. Aku siap datang kapan saja.][Aku masih sangat menyayangimu, Ra.]Aku mengusap wajah dengan kasar saat membaca pesan yang masuk ke ponselku. Yang membuatku heran ialah, kontak itu bernama 'Arga'. Sedangkan aku tidak menyimpan nomor dari pria itu. Suami mana yang tidak akan marah, jika ada pria lain yang mengirimkan pesan seperti itu kepada istrinya. Itu pun yang dialami Mas Raffi sekarang ini. Dia pasti tengah menahan amarah, hingga menghindariku dengan pergi ke kamar mandi."Ini tidak mungkin Arga, aku tidak pernah menyimpan nomor dia lagi," ujarku seraya terus memperhatikan kontak itu. "Sudah berkirim pesannya?" Aku mengangkat kepala melihat pada Mas Raffi yang baru saja keluar dari kamar mandi."Mas, aku tidak pernah berkirim pesan dengan orang ini. Aku juga tidak menyimpan nomor Arga.""Kalau tidak kamu simpan, nama itu tidak akan ada di daftar kontak kamu, Ra. Sepertin
Aku mengusap kedua mata, lalu turun dari ranjang untuk membuka pintu."Mbak, Ibu sama Bapak, nungguin Mbak sama Mas Raffi untuk makan bersama," ujar Bi Marni saat aku sudah membuka pintu."Iya, Bi. Aku turun sekarang." Aku menutup pintu setelah asisten rumah tangga itu menjauh dari kamarku.Kembali aku menghampiri Mas Raffi. Mengusap pipinya untuk membangunkan dia. Aku pun mengecup keningnya, agar dia tahu jika aku tersiksa dengan kediamannya."Mas, ditungguin Mama di bawah. Ayo, turun," ucapku mengguncang pelan tangannya."Aku tidak lapar, kamu saja yang makan." Hatiku senang saat Mas Raffi mulai membuka suara, tapi kembali merengut saat dia kembali diam dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.Meski tanpa Mas Raffi, aku memutuskan untuk turun menemui Mama. Takutnya, Mama pun tidak makan dan malah terus menunggu aku dan Mas Raffi. Dan benar saja, saat aku sampai di meja makan, piring Mama masih kosong. Ia benar-benar menunggu aku dan putra bungsunya."Lho, mana Raffi, Ra?" t
Piring yang tadi aku bawa masuk, sudah kosong. Mas Raffi mengambil satu botol air mineral yang selalu tersedia di kamar ini, lalu menuangkannya sebagian ke dalam gelas. Ia memberikan gelas itu padaku, sementara dia minum langsung dari botol."Mas, masih tidak mau bicara?" tanyaku untuk memancingnya bicara."Katanya tadi mau cerita, cerita apa?" Aku tertegun dengan kata-kata yang dia ucapkan. Dia mau mendengarkan ceritaku, itu artinya dia sudah tidak marah lagi?Kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Bukannya memulai bercerita, aku malah merangsek memeluk tubuhnya. "Mas, jangan marah lagi," ucapku seraya menenggelamkan wajah di dadanya.Usapan lembut di punggung membuatku semakin mengeratkan pelukan. Aku tahu, Mas Raffi masih belum sepenuhnya percaya padaku, tapi setidaknya sekarang dia sudah mau bicara."Ceritalah," ujar Mas Raffi.Tanpa melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya, aku pun mulai bercerita. Mengatakan apa yang aku lihat, dan apa yang terjadi siang tadi. Semuany
Paginya, sudah seperti biasa orang-orang akan pergi untuk bekerja. Dan aku, harus siap-siap menghadapi Mbak Cindy dengan segala tingkah lakunya."Mereka tidak keluar kamar setelah Raffi pulang kerja. Jadi, aku tidak tahu mereka bertengkar atau tidak."Aku yang hendak pergi ke kolam ikan, berhenti di ambang pintu saat melihat Mbak Cindy sudah berada di sana, sambil berbicara. "Tadi, pagi mereka turun baik-baik saja. Masih mesra dan seperti tidak terjadi apa-apa. Ih, aneh banget kalau Raffi gak marah. Masa, sih gak marah liat istrinya dikirimi pesan sama pria lain?"Aku semakin yakin kalau Mbak Cindy memang dalang di balik pesan itu.Kusenderkan bahuku di pintu kaca, mendengarkan Mbak Cindy yang tengah berbicara di telepon, seraya membelakangiku. "Iya, si Raffi bucin. Bisa aja, sih kalau sebenarnya si Raffi diguna-guna. Si Raya kan orang kampung," ujar Mbak Cindy lagi membuatku mengelus dada.Rasanya aku ingin sekali mendorong Mbak Cindy sampai tercebur ke kolam. Tapi, sayangnya ada C