[Raya.][Katanya mau ketemu, kapan?][Aku siap jadi pendengar setiamu.][Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja. Aku siap datang kapan saja.][Aku masih sangat menyayangimu, Ra.]Aku mengusap wajah dengan kasar saat membaca pesan yang masuk ke ponselku. Yang membuatku heran ialah, kontak itu bernama 'Arga'. Sedangkan aku tidak menyimpan nomor dari pria itu. Suami mana yang tidak akan marah, jika ada pria lain yang mengirimkan pesan seperti itu kepada istrinya. Itu pun yang dialami Mas Raffi sekarang ini. Dia pasti tengah menahan amarah, hingga menghindariku dengan pergi ke kamar mandi."Ini tidak mungkin Arga, aku tidak pernah menyimpan nomor dia lagi," ujarku seraya terus memperhatikan kontak itu. "Sudah berkirim pesannya?" Aku mengangkat kepala melihat pada Mas Raffi yang baru saja keluar dari kamar mandi."Mas, aku tidak pernah berkirim pesan dengan orang ini. Aku juga tidak menyimpan nomor Arga.""Kalau tidak kamu simpan, nama itu tidak akan ada di daftar kontak kamu, Ra. Sepertin
Aku mengusap kedua mata, lalu turun dari ranjang untuk membuka pintu."Mbak, Ibu sama Bapak, nungguin Mbak sama Mas Raffi untuk makan bersama," ujar Bi Marni saat aku sudah membuka pintu."Iya, Bi. Aku turun sekarang." Aku menutup pintu setelah asisten rumah tangga itu menjauh dari kamarku.Kembali aku menghampiri Mas Raffi. Mengusap pipinya untuk membangunkan dia. Aku pun mengecup keningnya, agar dia tahu jika aku tersiksa dengan kediamannya."Mas, ditungguin Mama di bawah. Ayo, turun," ucapku mengguncang pelan tangannya."Aku tidak lapar, kamu saja yang makan." Hatiku senang saat Mas Raffi mulai membuka suara, tapi kembali merengut saat dia kembali diam dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.Meski tanpa Mas Raffi, aku memutuskan untuk turun menemui Mama. Takutnya, Mama pun tidak makan dan malah terus menunggu aku dan Mas Raffi. Dan benar saja, saat aku sampai di meja makan, piring Mama masih kosong. Ia benar-benar menunggu aku dan putra bungsunya."Lho, mana Raffi, Ra?" t
Piring yang tadi aku bawa masuk, sudah kosong. Mas Raffi mengambil satu botol air mineral yang selalu tersedia di kamar ini, lalu menuangkannya sebagian ke dalam gelas. Ia memberikan gelas itu padaku, sementara dia minum langsung dari botol."Mas, masih tidak mau bicara?" tanyaku untuk memancingnya bicara."Katanya tadi mau cerita, cerita apa?" Aku tertegun dengan kata-kata yang dia ucapkan. Dia mau mendengarkan ceritaku, itu artinya dia sudah tidak marah lagi?Kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Bukannya memulai bercerita, aku malah merangsek memeluk tubuhnya. "Mas, jangan marah lagi," ucapku seraya menenggelamkan wajah di dadanya.Usapan lembut di punggung membuatku semakin mengeratkan pelukan. Aku tahu, Mas Raffi masih belum sepenuhnya percaya padaku, tapi setidaknya sekarang dia sudah mau bicara."Ceritalah," ujar Mas Raffi.Tanpa melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya, aku pun mulai bercerita. Mengatakan apa yang aku lihat, dan apa yang terjadi siang tadi. Semuany
Paginya, sudah seperti biasa orang-orang akan pergi untuk bekerja. Dan aku, harus siap-siap menghadapi Mbak Cindy dengan segala tingkah lakunya."Mereka tidak keluar kamar setelah Raffi pulang kerja. Jadi, aku tidak tahu mereka bertengkar atau tidak."Aku yang hendak pergi ke kolam ikan, berhenti di ambang pintu saat melihat Mbak Cindy sudah berada di sana, sambil berbicara. "Tadi, pagi mereka turun baik-baik saja. Masih mesra dan seperti tidak terjadi apa-apa. Ih, aneh banget kalau Raffi gak marah. Masa, sih gak marah liat istrinya dikirimi pesan sama pria lain?"Aku semakin yakin kalau Mbak Cindy memang dalang di balik pesan itu.Kusenderkan bahuku di pintu kaca, mendengarkan Mbak Cindy yang tengah berbicara di telepon, seraya membelakangiku. "Iya, si Raffi bucin. Bisa aja, sih kalau sebenarnya si Raffi diguna-guna. Si Raya kan orang kampung," ujar Mbak Cindy lagi membuatku mengelus dada.Rasanya aku ingin sekali mendorong Mbak Cindy sampai tercebur ke kolam. Tapi, sayangnya ada C
Teringat pada pesan Mas Raffi, buru-buru aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangku, lalu memotret benda itu untuk aku kirimkan kepada Mas Raffi.Suara gemericik air sudah tidak terdengar lagi, segera aku keluar dari kamar Mbak Cindy dengan tangan yang gemetar. Apa yang aku lihat tadi sangat mengejutkan. Aku tidak menyangka, ada benda seperti itu di rumah ini. "Mbak, mana uangnya? Itu si kurir sudah marah-marah." Bibi menghampiriku dengan terpogoh-pogoh."Aku gak ada uang, Bi. Biarkan sajalah," ucapkuBi Marni mengangguk seraya kembali ke dapur. Sedangkan aku berjalan menuju kamarku. Namun, saat aku sudah di tengah-tengah tangga, Mbak Cindy tiba-tiba keluar kamar dan memanggilku."Ada apa?" tanyaku tanpa turun."Mana duitnya, itu kurir nungguin!" Aku mengembuskan napas berat. "Mbak, aku tidak punya lagi. Uang yang tadi aku berikan sama Mbak, itu uang terakhir. Mas Raffi tidak memberikanku banyak uang, karena aku hanya diam di rumah," ujarku berbohong."Ah, bohong banget kamu
"Keluarkan, Fi!" Papa memberikan perintah.Mas Raffi mengeluarkan tas kain berwarna hitam. Kemudian ia mengeluarkan isi dari dalam tas itu. Sebuah botol kecil lengkap dengan serbuk mirip pecahan beling berada di dalam plastik kecil. Papa mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sampai terduduk di lantai dengan keringat membasahi keningnya. Papa syok, dengan apa yang ia lihat sekarang ini. Menantunya, mengkonsumsi barang haram. "Telepon Raffa, suruh dia datang. Sekarang!" ujar Papa menahan emosi.Mas Raffi tidak membantah. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, lalu menelepon Mas Raffa.Setelah menunggu beberapa saat, Mas Raffa datang dan langsung menghampiri kami di kamar Mbak Cindy. Kebingungan tergambar jelas dari wajah dokter itu. Satu persatu, wajah kami dilihatnya dengan penuh tanda tanya."Kelakuan istrimu!!" ujar Papa seraya berdiri. Dadanya naik turun dengan napas yang memburu."Maksud Papa, apa?" tanya Mas Raffa pelan."Mbak Cindy, make, Mas!" Mas Raffi ikut menimpali
"Alhamdulilah ...!" ucap kami semua saat melihat Citra menggeliat. Gadis itu mengucek matanya dengan bibir yang mengerucut. Setelah menunggu dua jam lamanya, akhirnya dia sadar juga.Setelah kesadarannya terkumpul, ia bangun dan melihat kami satu per satu."Oma, kenapa semuanya ada di kamal Cici?" tanyanya polos.Mama langsung memeluk Citra, lalu mengusap kepala gadis itu. Merapikan anak rambut yang berantakan. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Kita semua nungguin Cici, bangun. Syukurlah, sekarang Cici sudah bangun," tutur MamaCitra mengerjapkan mata berkali-kali. Pandangannya memindai ke seluruh ruangan."Mami, mana?" Citra kembali bertanya.Kaki semua diam. Bingung bagaimana menjelaskan pada Citra, tentang ibunya yang baru saja dibawa ke tempat rehabilitasi. "Mami sakit, Sayang. Dia sedang berobat," ujar Papa."Hah, sakit? Cici, mau lihat Mami.""Jangan, Nak. Anak kecil tidak boleh ke rumah sakit, Cici di sini saja, ya? Doakan saja, Mami segera sembuh. Oke?" ujar Mama menenangkan Citr
"Kabar ini, Ra!"Aku tertawa seraya menutup mulut kala Mbak Kinanti mengusap perutnya yang rata. Aku paham maksudnya, mungkin dia menunggu kabar kehamilanku. "Doakan saja, nanti pun akan ada saatnya," ucap Mas Raffi yang tiba-tiba mendekat seraya mengecup pucuk kepalaku.Aku tersenyum malu karena ulah Mas Raffi. Sedangkan saudara-saudaranya, saling menggoda yang katanya suamiku itu jadi budak cinta setelah dia menikah denganku. Waktu semakin malam, anak-anak Mama satu per satu pamit untuk pulang. Kini, rumah kembali sepi seperti awal. Celoteh Citra pun sudah tidak terdengar lagi, karena gadis itu telah terlelap.Aku membereskan rumah yang berantakan. Bekas makanan ringan, serta mainan Citra pun berceceran di mana-mana. "Sini, Mas bantu." Mas Raffi mengambil keresek hitam besar, kemudian memasukkan bungkus makanan ringan ke dalamnya. Sedangkan aku, memasukkan mainan Citra ke dalam keranjang. "Makasih, Mas.""Sama-sama, Sayang. Sudah? Yuk, kita tidur."Aku mengangguk, lalu menyimpan
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas