Aku tidak mempedulikan Mbak Cindy yang matanya sudah menyimpan amarah. Aku lebih memilih pergi mengabaikan dia yang menggerutu dengan bahasa kasarnya."Sudahlah aku seperti baby sitter anaknya, sekarang mau menjadikanku babu, juga?" ujarku bergumam seraya menyelimuti Citra yang tengah tidur meringkuk.Kutatap wajah mungil itu. Perpaduan wajah cantik Mbak Cindy dan wajah tegas Mas Raffa terukir indah menjadi satu. Citra begitu lucu dan menggemaskan. Namun, kecantikan Mbak Cindy tidak menggambarkan hatinya. Begitu kontras dan sangat jauh berbeda. Kasihan Citra, dia jadi korban keegoisan ibu kandungnya sendiri."Yaudah, aku pamit, ya? Jangan lupa, kabarin aku, jika nanti ada sesuatu yang menggembirakan.""Siap, pokoknya, kalau perlu aku akan rekam dan kasih ke kamu, agar kamu puas," ujar Mbak Cindy pada Malika.Mereka berjalan ke arah pintu utama, melewatiku yang tengah duduk melantai seraya membereskan mainan Citra. Setelah mengantar Malika ke depan pintu, Mbak Cindy kembali masuk, kem
[Raya.][Katanya mau ketemu, kapan?][Aku siap jadi pendengar setiamu.][Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja. Aku siap datang kapan saja.][Aku masih sangat menyayangimu, Ra.]Aku mengusap wajah dengan kasar saat membaca pesan yang masuk ke ponselku. Yang membuatku heran ialah, kontak itu bernama 'Arga'. Sedangkan aku tidak menyimpan nomor dari pria itu. Suami mana yang tidak akan marah, jika ada pria lain yang mengirimkan pesan seperti itu kepada istrinya. Itu pun yang dialami Mas Raffi sekarang ini. Dia pasti tengah menahan amarah, hingga menghindariku dengan pergi ke kamar mandi."Ini tidak mungkin Arga, aku tidak pernah menyimpan nomor dia lagi," ujarku seraya terus memperhatikan kontak itu. "Sudah berkirim pesannya?" Aku mengangkat kepala melihat pada Mas Raffi yang baru saja keluar dari kamar mandi."Mas, aku tidak pernah berkirim pesan dengan orang ini. Aku juga tidak menyimpan nomor Arga.""Kalau tidak kamu simpan, nama itu tidak akan ada di daftar kontak kamu, Ra. Sepertin
Aku mengusap kedua mata, lalu turun dari ranjang untuk membuka pintu."Mbak, Ibu sama Bapak, nungguin Mbak sama Mas Raffi untuk makan bersama," ujar Bi Marni saat aku sudah membuka pintu."Iya, Bi. Aku turun sekarang." Aku menutup pintu setelah asisten rumah tangga itu menjauh dari kamarku.Kembali aku menghampiri Mas Raffi. Mengusap pipinya untuk membangunkan dia. Aku pun mengecup keningnya, agar dia tahu jika aku tersiksa dengan kediamannya."Mas, ditungguin Mama di bawah. Ayo, turun," ucapku mengguncang pelan tangannya."Aku tidak lapar, kamu saja yang makan." Hatiku senang saat Mas Raffi mulai membuka suara, tapi kembali merengut saat dia kembali diam dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.Meski tanpa Mas Raffi, aku memutuskan untuk turun menemui Mama. Takutnya, Mama pun tidak makan dan malah terus menunggu aku dan Mas Raffi. Dan benar saja, saat aku sampai di meja makan, piring Mama masih kosong. Ia benar-benar menunggu aku dan putra bungsunya."Lho, mana Raffi, Ra?" t
Piring yang tadi aku bawa masuk, sudah kosong. Mas Raffi mengambil satu botol air mineral yang selalu tersedia di kamar ini, lalu menuangkannya sebagian ke dalam gelas. Ia memberikan gelas itu padaku, sementara dia minum langsung dari botol."Mas, masih tidak mau bicara?" tanyaku untuk memancingnya bicara."Katanya tadi mau cerita, cerita apa?" Aku tertegun dengan kata-kata yang dia ucapkan. Dia mau mendengarkan ceritaku, itu artinya dia sudah tidak marah lagi?Kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Bukannya memulai bercerita, aku malah merangsek memeluk tubuhnya. "Mas, jangan marah lagi," ucapku seraya menenggelamkan wajah di dadanya.Usapan lembut di punggung membuatku semakin mengeratkan pelukan. Aku tahu, Mas Raffi masih belum sepenuhnya percaya padaku, tapi setidaknya sekarang dia sudah mau bicara."Ceritalah," ujar Mas Raffi.Tanpa melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya, aku pun mulai bercerita. Mengatakan apa yang aku lihat, dan apa yang terjadi siang tadi. Semuany
Paginya, sudah seperti biasa orang-orang akan pergi untuk bekerja. Dan aku, harus siap-siap menghadapi Mbak Cindy dengan segala tingkah lakunya."Mereka tidak keluar kamar setelah Raffi pulang kerja. Jadi, aku tidak tahu mereka bertengkar atau tidak."Aku yang hendak pergi ke kolam ikan, berhenti di ambang pintu saat melihat Mbak Cindy sudah berada di sana, sambil berbicara. "Tadi, pagi mereka turun baik-baik saja. Masih mesra dan seperti tidak terjadi apa-apa. Ih, aneh banget kalau Raffi gak marah. Masa, sih gak marah liat istrinya dikirimi pesan sama pria lain?"Aku semakin yakin kalau Mbak Cindy memang dalang di balik pesan itu.Kusenderkan bahuku di pintu kaca, mendengarkan Mbak Cindy yang tengah berbicara di telepon, seraya membelakangiku. "Iya, si Raffi bucin. Bisa aja, sih kalau sebenarnya si Raffi diguna-guna. Si Raya kan orang kampung," ujar Mbak Cindy lagi membuatku mengelus dada.Rasanya aku ingin sekali mendorong Mbak Cindy sampai tercebur ke kolam. Tapi, sayangnya ada C
Teringat pada pesan Mas Raffi, buru-buru aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangku, lalu memotret benda itu untuk aku kirimkan kepada Mas Raffi.Suara gemericik air sudah tidak terdengar lagi, segera aku keluar dari kamar Mbak Cindy dengan tangan yang gemetar. Apa yang aku lihat tadi sangat mengejutkan. Aku tidak menyangka, ada benda seperti itu di rumah ini. "Mbak, mana uangnya? Itu si kurir sudah marah-marah." Bibi menghampiriku dengan terpogoh-pogoh."Aku gak ada uang, Bi. Biarkan sajalah," ucapkuBi Marni mengangguk seraya kembali ke dapur. Sedangkan aku berjalan menuju kamarku. Namun, saat aku sudah di tengah-tengah tangga, Mbak Cindy tiba-tiba keluar kamar dan memanggilku."Ada apa?" tanyaku tanpa turun."Mana duitnya, itu kurir nungguin!" Aku mengembuskan napas berat. "Mbak, aku tidak punya lagi. Uang yang tadi aku berikan sama Mbak, itu uang terakhir. Mas Raffi tidak memberikanku banyak uang, karena aku hanya diam di rumah," ujarku berbohong."Ah, bohong banget kamu
"Keluarkan, Fi!" Papa memberikan perintah.Mas Raffi mengeluarkan tas kain berwarna hitam. Kemudian ia mengeluarkan isi dari dalam tas itu. Sebuah botol kecil lengkap dengan serbuk mirip pecahan beling berada di dalam plastik kecil. Papa mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sampai terduduk di lantai dengan keringat membasahi keningnya. Papa syok, dengan apa yang ia lihat sekarang ini. Menantunya, mengkonsumsi barang haram. "Telepon Raffa, suruh dia datang. Sekarang!" ujar Papa menahan emosi.Mas Raffi tidak membantah. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, lalu menelepon Mas Raffa.Setelah menunggu beberapa saat, Mas Raffa datang dan langsung menghampiri kami di kamar Mbak Cindy. Kebingungan tergambar jelas dari wajah dokter itu. Satu persatu, wajah kami dilihatnya dengan penuh tanda tanya."Kelakuan istrimu!!" ujar Papa seraya berdiri. Dadanya naik turun dengan napas yang memburu."Maksud Papa, apa?" tanya Mas Raffa pelan."Mbak Cindy, make, Mas!" Mas Raffi ikut menimpali
"Alhamdulilah ...!" ucap kami semua saat melihat Citra menggeliat. Gadis itu mengucek matanya dengan bibir yang mengerucut. Setelah menunggu dua jam lamanya, akhirnya dia sadar juga.Setelah kesadarannya terkumpul, ia bangun dan melihat kami satu per satu."Oma, kenapa semuanya ada di kamal Cici?" tanyanya polos.Mama langsung memeluk Citra, lalu mengusap kepala gadis itu. Merapikan anak rambut yang berantakan. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Kita semua nungguin Cici, bangun. Syukurlah, sekarang Cici sudah bangun," tutur MamaCitra mengerjapkan mata berkali-kali. Pandangannya memindai ke seluruh ruangan."Mami, mana?" Citra kembali bertanya.Kaki semua diam. Bingung bagaimana menjelaskan pada Citra, tentang ibunya yang baru saja dibawa ke tempat rehabilitasi. "Mami sakit, Sayang. Dia sedang berobat," ujar Papa."Hah, sakit? Cici, mau lihat Mami.""Jangan, Nak. Anak kecil tidak boleh ke rumah sakit, Cici di sini saja, ya? Doakan saja, Mami segera sembuh. Oke?" ujar Mama menenangkan Citr