Aku mengusap kedua mata, lalu turun dari ranjang untuk membuka pintu."Mbak, Ibu sama Bapak, nungguin Mbak sama Mas Raffi untuk makan bersama," ujar Bi Marni saat aku sudah membuka pintu."Iya, Bi. Aku turun sekarang." Aku menutup pintu setelah asisten rumah tangga itu menjauh dari kamarku.Kembali aku menghampiri Mas Raffi. Mengusap pipinya untuk membangunkan dia. Aku pun mengecup keningnya, agar dia tahu jika aku tersiksa dengan kediamannya."Mas, ditungguin Mama di bawah. Ayo, turun," ucapku mengguncang pelan tangannya."Aku tidak lapar, kamu saja yang makan." Hatiku senang saat Mas Raffi mulai membuka suara, tapi kembali merengut saat dia kembali diam dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.Meski tanpa Mas Raffi, aku memutuskan untuk turun menemui Mama. Takutnya, Mama pun tidak makan dan malah terus menunggu aku dan Mas Raffi. Dan benar saja, saat aku sampai di meja makan, piring Mama masih kosong. Ia benar-benar menunggu aku dan putra bungsunya."Lho, mana Raffi, Ra?" t
Piring yang tadi aku bawa masuk, sudah kosong. Mas Raffi mengambil satu botol air mineral yang selalu tersedia di kamar ini, lalu menuangkannya sebagian ke dalam gelas. Ia memberikan gelas itu padaku, sementara dia minum langsung dari botol."Mas, masih tidak mau bicara?" tanyaku untuk memancingnya bicara."Katanya tadi mau cerita, cerita apa?" Aku tertegun dengan kata-kata yang dia ucapkan. Dia mau mendengarkan ceritaku, itu artinya dia sudah tidak marah lagi?Kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Bukannya memulai bercerita, aku malah merangsek memeluk tubuhnya. "Mas, jangan marah lagi," ucapku seraya menenggelamkan wajah di dadanya.Usapan lembut di punggung membuatku semakin mengeratkan pelukan. Aku tahu, Mas Raffi masih belum sepenuhnya percaya padaku, tapi setidaknya sekarang dia sudah mau bicara."Ceritalah," ujar Mas Raffi.Tanpa melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya, aku pun mulai bercerita. Mengatakan apa yang aku lihat, dan apa yang terjadi siang tadi. Semuany
Paginya, sudah seperti biasa orang-orang akan pergi untuk bekerja. Dan aku, harus siap-siap menghadapi Mbak Cindy dengan segala tingkah lakunya."Mereka tidak keluar kamar setelah Raffi pulang kerja. Jadi, aku tidak tahu mereka bertengkar atau tidak."Aku yang hendak pergi ke kolam ikan, berhenti di ambang pintu saat melihat Mbak Cindy sudah berada di sana, sambil berbicara. "Tadi, pagi mereka turun baik-baik saja. Masih mesra dan seperti tidak terjadi apa-apa. Ih, aneh banget kalau Raffi gak marah. Masa, sih gak marah liat istrinya dikirimi pesan sama pria lain?"Aku semakin yakin kalau Mbak Cindy memang dalang di balik pesan itu.Kusenderkan bahuku di pintu kaca, mendengarkan Mbak Cindy yang tengah berbicara di telepon, seraya membelakangiku. "Iya, si Raffi bucin. Bisa aja, sih kalau sebenarnya si Raffi diguna-guna. Si Raya kan orang kampung," ujar Mbak Cindy lagi membuatku mengelus dada.Rasanya aku ingin sekali mendorong Mbak Cindy sampai tercebur ke kolam. Tapi, sayangnya ada C
Teringat pada pesan Mas Raffi, buru-buru aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangku, lalu memotret benda itu untuk aku kirimkan kepada Mas Raffi.Suara gemericik air sudah tidak terdengar lagi, segera aku keluar dari kamar Mbak Cindy dengan tangan yang gemetar. Apa yang aku lihat tadi sangat mengejutkan. Aku tidak menyangka, ada benda seperti itu di rumah ini. "Mbak, mana uangnya? Itu si kurir sudah marah-marah." Bibi menghampiriku dengan terpogoh-pogoh."Aku gak ada uang, Bi. Biarkan sajalah," ucapkuBi Marni mengangguk seraya kembali ke dapur. Sedangkan aku berjalan menuju kamarku. Namun, saat aku sudah di tengah-tengah tangga, Mbak Cindy tiba-tiba keluar kamar dan memanggilku."Ada apa?" tanyaku tanpa turun."Mana duitnya, itu kurir nungguin!" Aku mengembuskan napas berat. "Mbak, aku tidak punya lagi. Uang yang tadi aku berikan sama Mbak, itu uang terakhir. Mas Raffi tidak memberikanku banyak uang, karena aku hanya diam di rumah," ujarku berbohong."Ah, bohong banget kamu
"Keluarkan, Fi!" Papa memberikan perintah.Mas Raffi mengeluarkan tas kain berwarna hitam. Kemudian ia mengeluarkan isi dari dalam tas itu. Sebuah botol kecil lengkap dengan serbuk mirip pecahan beling berada di dalam plastik kecil. Papa mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sampai terduduk di lantai dengan keringat membasahi keningnya. Papa syok, dengan apa yang ia lihat sekarang ini. Menantunya, mengkonsumsi barang haram. "Telepon Raffa, suruh dia datang. Sekarang!" ujar Papa menahan emosi.Mas Raffi tidak membantah. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, lalu menelepon Mas Raffa.Setelah menunggu beberapa saat, Mas Raffa datang dan langsung menghampiri kami di kamar Mbak Cindy. Kebingungan tergambar jelas dari wajah dokter itu. Satu persatu, wajah kami dilihatnya dengan penuh tanda tanya."Kelakuan istrimu!!" ujar Papa seraya berdiri. Dadanya naik turun dengan napas yang memburu."Maksud Papa, apa?" tanya Mas Raffa pelan."Mbak Cindy, make, Mas!" Mas Raffi ikut menimpali
"Alhamdulilah ...!" ucap kami semua saat melihat Citra menggeliat. Gadis itu mengucek matanya dengan bibir yang mengerucut. Setelah menunggu dua jam lamanya, akhirnya dia sadar juga.Setelah kesadarannya terkumpul, ia bangun dan melihat kami satu per satu."Oma, kenapa semuanya ada di kamal Cici?" tanyanya polos.Mama langsung memeluk Citra, lalu mengusap kepala gadis itu. Merapikan anak rambut yang berantakan. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Kita semua nungguin Cici, bangun. Syukurlah, sekarang Cici sudah bangun," tutur MamaCitra mengerjapkan mata berkali-kali. Pandangannya memindai ke seluruh ruangan."Mami, mana?" Citra kembali bertanya.Kaki semua diam. Bingung bagaimana menjelaskan pada Citra, tentang ibunya yang baru saja dibawa ke tempat rehabilitasi. "Mami sakit, Sayang. Dia sedang berobat," ujar Papa."Hah, sakit? Cici, mau lihat Mami.""Jangan, Nak. Anak kecil tidak boleh ke rumah sakit, Cici di sini saja, ya? Doakan saja, Mami segera sembuh. Oke?" ujar Mama menenangkan Citr
"Kabar ini, Ra!"Aku tertawa seraya menutup mulut kala Mbak Kinanti mengusap perutnya yang rata. Aku paham maksudnya, mungkin dia menunggu kabar kehamilanku. "Doakan saja, nanti pun akan ada saatnya," ucap Mas Raffi yang tiba-tiba mendekat seraya mengecup pucuk kepalaku.Aku tersenyum malu karena ulah Mas Raffi. Sedangkan saudara-saudaranya, saling menggoda yang katanya suamiku itu jadi budak cinta setelah dia menikah denganku. Waktu semakin malam, anak-anak Mama satu per satu pamit untuk pulang. Kini, rumah kembali sepi seperti awal. Celoteh Citra pun sudah tidak terdengar lagi, karena gadis itu telah terlelap.Aku membereskan rumah yang berantakan. Bekas makanan ringan, serta mainan Citra pun berceceran di mana-mana. "Sini, Mas bantu." Mas Raffi mengambil keresek hitam besar, kemudian memasukkan bungkus makanan ringan ke dalamnya. Sedangkan aku, memasukkan mainan Citra ke dalam keranjang. "Makasih, Mas.""Sama-sama, Sayang. Sudah? Yuk, kita tidur."Aku mengangguk, lalu menyimpan
"Mas, ini beneran?" Mas Raffi menganggukkan kepala seraya tersenyum.Aku kembali membaca tulisan itu seraya melebarkan mata. Takut, jika aku salah membaca. Namun, tidak sama sekali. Tulisan itu tetap sama seperti yang pertama aku lihat.Liburan? Ke rumah Ibu?Tentu saja aku mau!"Mas, kita ke Garut?" Mas Raffi kembali mengangguk."Yeeee ...! Ah, makasih, Mas!!" Aku berseru bahagia seraya memeluk suamiku. Dibalasnya pelukanku dengan erat, kemudian tubuhku diangkat seraya diputarnya."Aduh, pusing," ucapku setelah dia menghentikan aksinya.Mas Raffi hanya terkekeh kecil, kemudian kembali memelukku. "Seneng, mau jenguk Ibu?" ucapnya di telingaku.Tentu saja aku menganggukkan kepala dengan semangat. Rasa rinduku akan segera terobati. Ah, aku tidak sabar ingin segera bertemu hari esok."Yaudah, sekarang kita pergi, ya?"Aku mengurai pelukan Mas Raffi, menatap manik hitam milik pria paling tampan menurutku. "Ke mana? Bukannya kita akan pergi besok?" tanyaku dengan serius."Pergi ke rum