"Alhamdulilah ...!" ucap kami semua saat melihat Citra menggeliat. Gadis itu mengucek matanya dengan bibir yang mengerucut. Setelah menunggu dua jam lamanya, akhirnya dia sadar juga.Setelah kesadarannya terkumpul, ia bangun dan melihat kami satu per satu."Oma, kenapa semuanya ada di kamal Cici?" tanyanya polos.Mama langsung memeluk Citra, lalu mengusap kepala gadis itu. Merapikan anak rambut yang berantakan. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Kita semua nungguin Cici, bangun. Syukurlah, sekarang Cici sudah bangun," tutur MamaCitra mengerjapkan mata berkali-kali. Pandangannya memindai ke seluruh ruangan."Mami, mana?" Citra kembali bertanya.Kaki semua diam. Bingung bagaimana menjelaskan pada Citra, tentang ibunya yang baru saja dibawa ke tempat rehabilitasi. "Mami sakit, Sayang. Dia sedang berobat," ujar Papa."Hah, sakit? Cici, mau lihat Mami.""Jangan, Nak. Anak kecil tidak boleh ke rumah sakit, Cici di sini saja, ya? Doakan saja, Mami segera sembuh. Oke?" ujar Mama menenangkan Citr
"Kabar ini, Ra!"Aku tertawa seraya menutup mulut kala Mbak Kinanti mengusap perutnya yang rata. Aku paham maksudnya, mungkin dia menunggu kabar kehamilanku. "Doakan saja, nanti pun akan ada saatnya," ucap Mas Raffi yang tiba-tiba mendekat seraya mengecup pucuk kepalaku.Aku tersenyum malu karena ulah Mas Raffi. Sedangkan saudara-saudaranya, saling menggoda yang katanya suamiku itu jadi budak cinta setelah dia menikah denganku. Waktu semakin malam, anak-anak Mama satu per satu pamit untuk pulang. Kini, rumah kembali sepi seperti awal. Celoteh Citra pun sudah tidak terdengar lagi, karena gadis itu telah terlelap.Aku membereskan rumah yang berantakan. Bekas makanan ringan, serta mainan Citra pun berceceran di mana-mana. "Sini, Mas bantu." Mas Raffi mengambil keresek hitam besar, kemudian memasukkan bungkus makanan ringan ke dalamnya. Sedangkan aku, memasukkan mainan Citra ke dalam keranjang. "Makasih, Mas.""Sama-sama, Sayang. Sudah? Yuk, kita tidur."Aku mengangguk, lalu menyimpan
"Mas, ini beneran?" Mas Raffi menganggukkan kepala seraya tersenyum.Aku kembali membaca tulisan itu seraya melebarkan mata. Takut, jika aku salah membaca. Namun, tidak sama sekali. Tulisan itu tetap sama seperti yang pertama aku lihat.Liburan? Ke rumah Ibu?Tentu saja aku mau!"Mas, kita ke Garut?" Mas Raffi kembali mengangguk."Yeeee ...! Ah, makasih, Mas!!" Aku berseru bahagia seraya memeluk suamiku. Dibalasnya pelukanku dengan erat, kemudian tubuhku diangkat seraya diputarnya."Aduh, pusing," ucapku setelah dia menghentikan aksinya.Mas Raffi hanya terkekeh kecil, kemudian kembali memelukku. "Seneng, mau jenguk Ibu?" ucapnya di telingaku.Tentu saja aku menganggukkan kepala dengan semangat. Rasa rinduku akan segera terobati. Ah, aku tidak sabar ingin segera bertemu hari esok."Yaudah, sekarang kita pergi, ya?"Aku mengurai pelukan Mas Raffi, menatap manik hitam milik pria paling tampan menurutku. "Ke mana? Bukannya kita akan pergi besok?" tanyaku dengan serius."Pergi ke rum
Mataku membulat, langsung aku menangkup kedua pipiku yang mulai memanas. Niat hati ingin menggoda Mas Raffi, tapi akhirnya aku malah termakan omonganku sendiri. Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya memejamkan mata, menepis pikiran yang sudah berkelana. Namun, saat aku membuka mata, ternyata aku sudah jadi perhatian banyak orang. Sedangkan Mas Raffi, dia sudah pergi terlebih dahulu bersama Citra yang duduk di atas troli. "Mas, tunggu!" ujarku dengan suara tertahan. Ingin berteriak, tapi malu oleh orang banyak.Esok harinya aku dan Mas Raffi sudah siap untuk pergi. Namun, di sinilah drama kembali terjadi. Citra, nangis meminta ikut bersama kami."Ikut, Om. Tante, ikut!" Rengekan Citra membuat aku dan Mas Raffi saling pandang.Sungguh, aku tidak tega meninggalkan Citra. Ingin rasanya aku membawa dia bersama kami. Namun, Mas Raffa tidak memberikan izin. Dia pun tidak ingin jauh dari putrinya yang sering ditinggal bekerja. "Janganlah, kalau untuk pergi jauh dan nginap, rasanya Mas, be
"Assalamualaikum, Ibu!" Aku berseru saat melihat Ibu membuka pintu. Ia keluar lalu memelukku yang langsung lari menubruk tubuhnya."Ya Allah, Raya? Kalian datang?" Belum aku menjawab pertanyaan Ibu, Mas Raffi menghampiri kami dan langsung mencium punggung tangan Ibuku itu."Ayo, masuk. Silahkan masuk," ujar Ibu menuntunku dan Mas Raffi.Aku masuk, dan duduk di kursi yang masih kokoh dari sewaktu aku kecil. Kupindai ruangan ini, masih sama seperti terakhir aku tinggalkan. Rak kayu, tivi kecil, gorden warna merah muda yang warnanya sudah memudar akibat terlalu sering dicuci. Semuanya tidak pernah berubah. "Ini, diminum dulu. Maaf, Ibu tidak menyiapkan apa-apa untuk menyambut kedatangan kalian. Karena Raya, tidak memberi kabar akan datang," ujar Ibu menyuguhkan dua gelas air putih padaku. "Terima kasih, Ibu. Kami memang sengaja ingin memberikan kejutan untuk Ibu," ujar Mas Raffi. Suamiku mengambil gelas berisikan air yang baru saja disuguhkan Ibu, lalu meminumnya hingga habis."Min
Keantusiasan Bibi, mengundang banyak mata untuk melihat. Akhirnya, aku jadi tontonan tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Ibu. Aku pun mengajak mereka masuk ke dalam rumah, sambil ngobrol-ngobrol. Di antara mereka yang datang ke rumah, ada yang pernah mengolok-olok wajah suamiku. Bahkan, mengatakan kalau aku ini wanita buta.Namun, sekarang dia tidak bisa lagi bicara. Mulutnya bungkam dan hanya mampu melirikku dengan ujung mata."Azriel, panggil Rahma sama Diana, ya? Bilang, Bibi Aya, mau ketemu," ujarku pada cucunya Bibi, yang tidak lain adalah anaknya Naima yang berusia tiga tahun.Balita itu mengangguk. Ia turun dari rumah dengan bersemangat. Kemudian lari ke arah rumah yang di tuju."Bibi Aya datang!!" teriak Azriel yang lari tunggang langgang.Para tetangga sudah pergi, kini hanya ada saudara-saudaraku. Aku pun mulai mengeluarkan oleh-oleh untuk mereka. Keponakan perempuanku ada dua. Yaitu Rahma dan Diana yang masing-masing masih duduk di bangku sekolah dasar. Sedangk
Aku menutup mulutku yang berseru dengan salah ucap. Tentu saja kata-kataku membuat Bu Rahmi mendelikkan mata tidak suka."Sini, Bu saya bantuin," ucapku mengulurkan tangan."Tidak usah, saya bisa sendiri. Orang saya tidak apa-apa, kok," jawab Bu Rahmi dengan sewot. Aku dan Mas Raffi pun hanya melihat tanpa membantunya. Bu Rahmi bangun dan naik dengan keadaan baju daster yang sudah basah dan sedikit ada yang sobek di bagian bawahnya. "Ibu, tidak apa-apa?" tanya suamiku.Bukannya menjawab, wanita seumuran Ibu itu malah cepat-cepat pergi dengan mengentakkan kakinya.Mas Raffi menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Bu Rahmi yang seperti anak kecil. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di rumah.Mas Raffi langsung mandi dengan air hangat yang sudah disiapkan Ibu. Aku pun melakukan hal yang sama, setelah suamiku itu selesai dengan ritual mandinya."Makasih, Ibuku Sayang, sudah dimasakin air panas. Jadi tidak kedinginan, deh," ujarku setelah keluar dari kamar m
Paginya, aku sudah siap dengan setelan rok payung yang dipadupadankan dengan kaus panjang serta kerudung pashmina. Rencananya, hari ini Mas Raffi akan membawaku ke restoran. Ingin bernostalgia di mana aku dan dia awal berjumpa."Sudah siap?" tanyanya saat aku tengah bercermin."Sudah. Kita berangkat sekarang?" "Terserah kamu saja. Mau sekarang, oke. Mau nanti juga gak papa. Terserah Tuan Putri.""Emmm ... gemes, deh," ujarku mencubit pipinya.Pukul tujuh pagi, aku berangkat dari rumah. Awalnya ingin mengajak Ibu untuk ikut serta, tapi beliau menolak. Katanya, masih banyak pekerjaan di sawah yang harus diselesaikan.Jarak rumah ke restoran tidaklah terlalu jauh, hanya butuh tiga menit menggunakan kendaraan. Dari depan gerbang, aku sudah melihat kalau teman-temanku tengah mengawali harinya dengan mengepel dan mengelap kaca. Sengaja aku datang lebih pagi, agar bisa punya banyak waktu untuk mengobrol dengan teman-temanku."Assalamualaikum!" Semua teman-temanku yang tengah menata kursi,
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas