"Mas, ini beneran?" Mas Raffi menganggukkan kepala seraya tersenyum.Aku kembali membaca tulisan itu seraya melebarkan mata. Takut, jika aku salah membaca. Namun, tidak sama sekali. Tulisan itu tetap sama seperti yang pertama aku lihat.Liburan? Ke rumah Ibu?Tentu saja aku mau!"Mas, kita ke Garut?" Mas Raffi kembali mengangguk."Yeeee ...! Ah, makasih, Mas!!" Aku berseru bahagia seraya memeluk suamiku. Dibalasnya pelukanku dengan erat, kemudian tubuhku diangkat seraya diputarnya."Aduh, pusing," ucapku setelah dia menghentikan aksinya.Mas Raffi hanya terkekeh kecil, kemudian kembali memelukku. "Seneng, mau jenguk Ibu?" ucapnya di telingaku.Tentu saja aku menganggukkan kepala dengan semangat. Rasa rinduku akan segera terobati. Ah, aku tidak sabar ingin segera bertemu hari esok."Yaudah, sekarang kita pergi, ya?"Aku mengurai pelukan Mas Raffi, menatap manik hitam milik pria paling tampan menurutku. "Ke mana? Bukannya kita akan pergi besok?" tanyaku dengan serius."Pergi ke rum
Mataku membulat, langsung aku menangkup kedua pipiku yang mulai memanas. Niat hati ingin menggoda Mas Raffi, tapi akhirnya aku malah termakan omonganku sendiri. Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya memejamkan mata, menepis pikiran yang sudah berkelana. Namun, saat aku membuka mata, ternyata aku sudah jadi perhatian banyak orang. Sedangkan Mas Raffi, dia sudah pergi terlebih dahulu bersama Citra yang duduk di atas troli. "Mas, tunggu!" ujarku dengan suara tertahan. Ingin berteriak, tapi malu oleh orang banyak.Esok harinya aku dan Mas Raffi sudah siap untuk pergi. Namun, di sinilah drama kembali terjadi. Citra, nangis meminta ikut bersama kami."Ikut, Om. Tante, ikut!" Rengekan Citra membuat aku dan Mas Raffi saling pandang.Sungguh, aku tidak tega meninggalkan Citra. Ingin rasanya aku membawa dia bersama kami. Namun, Mas Raffa tidak memberikan izin. Dia pun tidak ingin jauh dari putrinya yang sering ditinggal bekerja. "Janganlah, kalau untuk pergi jauh dan nginap, rasanya Mas, be
"Assalamualaikum, Ibu!" Aku berseru saat melihat Ibu membuka pintu. Ia keluar lalu memelukku yang langsung lari menubruk tubuhnya."Ya Allah, Raya? Kalian datang?" Belum aku menjawab pertanyaan Ibu, Mas Raffi menghampiri kami dan langsung mencium punggung tangan Ibuku itu."Ayo, masuk. Silahkan masuk," ujar Ibu menuntunku dan Mas Raffi.Aku masuk, dan duduk di kursi yang masih kokoh dari sewaktu aku kecil. Kupindai ruangan ini, masih sama seperti terakhir aku tinggalkan. Rak kayu, tivi kecil, gorden warna merah muda yang warnanya sudah memudar akibat terlalu sering dicuci. Semuanya tidak pernah berubah. "Ini, diminum dulu. Maaf, Ibu tidak menyiapkan apa-apa untuk menyambut kedatangan kalian. Karena Raya, tidak memberi kabar akan datang," ujar Ibu menyuguhkan dua gelas air putih padaku. "Terima kasih, Ibu. Kami memang sengaja ingin memberikan kejutan untuk Ibu," ujar Mas Raffi. Suamiku mengambil gelas berisikan air yang baru saja disuguhkan Ibu, lalu meminumnya hingga habis."Min
Keantusiasan Bibi, mengundang banyak mata untuk melihat. Akhirnya, aku jadi tontonan tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Ibu. Aku pun mengajak mereka masuk ke dalam rumah, sambil ngobrol-ngobrol. Di antara mereka yang datang ke rumah, ada yang pernah mengolok-olok wajah suamiku. Bahkan, mengatakan kalau aku ini wanita buta.Namun, sekarang dia tidak bisa lagi bicara. Mulutnya bungkam dan hanya mampu melirikku dengan ujung mata."Azriel, panggil Rahma sama Diana, ya? Bilang, Bibi Aya, mau ketemu," ujarku pada cucunya Bibi, yang tidak lain adalah anaknya Naima yang berusia tiga tahun.Balita itu mengangguk. Ia turun dari rumah dengan bersemangat. Kemudian lari ke arah rumah yang di tuju."Bibi Aya datang!!" teriak Azriel yang lari tunggang langgang.Para tetangga sudah pergi, kini hanya ada saudara-saudaraku. Aku pun mulai mengeluarkan oleh-oleh untuk mereka. Keponakan perempuanku ada dua. Yaitu Rahma dan Diana yang masing-masing masih duduk di bangku sekolah dasar. Sedangk
Aku menutup mulutku yang berseru dengan salah ucap. Tentu saja kata-kataku membuat Bu Rahmi mendelikkan mata tidak suka."Sini, Bu saya bantuin," ucapku mengulurkan tangan."Tidak usah, saya bisa sendiri. Orang saya tidak apa-apa, kok," jawab Bu Rahmi dengan sewot. Aku dan Mas Raffi pun hanya melihat tanpa membantunya. Bu Rahmi bangun dan naik dengan keadaan baju daster yang sudah basah dan sedikit ada yang sobek di bagian bawahnya. "Ibu, tidak apa-apa?" tanya suamiku.Bukannya menjawab, wanita seumuran Ibu itu malah cepat-cepat pergi dengan mengentakkan kakinya.Mas Raffi menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Bu Rahmi yang seperti anak kecil. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di rumah.Mas Raffi langsung mandi dengan air hangat yang sudah disiapkan Ibu. Aku pun melakukan hal yang sama, setelah suamiku itu selesai dengan ritual mandinya."Makasih, Ibuku Sayang, sudah dimasakin air panas. Jadi tidak kedinginan, deh," ujarku setelah keluar dari kamar m
Paginya, aku sudah siap dengan setelan rok payung yang dipadupadankan dengan kaus panjang serta kerudung pashmina. Rencananya, hari ini Mas Raffi akan membawaku ke restoran. Ingin bernostalgia di mana aku dan dia awal berjumpa."Sudah siap?" tanyanya saat aku tengah bercermin."Sudah. Kita berangkat sekarang?" "Terserah kamu saja. Mau sekarang, oke. Mau nanti juga gak papa. Terserah Tuan Putri.""Emmm ... gemes, deh," ujarku mencubit pipinya.Pukul tujuh pagi, aku berangkat dari rumah. Awalnya ingin mengajak Ibu untuk ikut serta, tapi beliau menolak. Katanya, masih banyak pekerjaan di sawah yang harus diselesaikan.Jarak rumah ke restoran tidaklah terlalu jauh, hanya butuh tiga menit menggunakan kendaraan. Dari depan gerbang, aku sudah melihat kalau teman-temanku tengah mengawali harinya dengan mengepel dan mengelap kaca. Sengaja aku datang lebih pagi, agar bisa punya banyak waktu untuk mengobrol dengan teman-temanku."Assalamualaikum!" Semua teman-temanku yang tengah menata kursi,
"Sampaikan maaf Ibu, kepada mertuamu di kota. Ibu tidak bisa memberikan oleh-oleh yang bagus, yang banyak untuk yang di sana. Hanya ini yang bisa Ibu berikan."Satu plastik besar kue kering khas lebaran daerah kami, Ibu simpan di atas meja makan. Aku yang melihat itu, hanya mengangguk seraya mengunyah makanan yang sama."Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak berharap akan bawa apa-apa dari sini. Cukup doa Ibu, yang selalu aku nantikan," ujarku.Senyum Ibu terukir, namun matanya mulai mengembun. Kemudian ia duduk di kursi di sebelahku."Jangankan kamu minta, Ra. Kamu tidak meminta pun, doa Ibu selalu mengalir untuk kebahagiaan kalian," ucap Ibu sembari mengelus kepalaku.Aku tersenyum kecil menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Rasanya tidak puas aku berada di sini. Rinduku masih belum terhapuskan pada Ibu.Namun, besok pagi aku harus kembali ke Jakarta. Meninggalkan Ibu seorang diri dan rumah ini. Rasanya berat, tapi harus aku lakukan. Bagaimanapun, aku seorang istri yang harus iku
Delapan jam perjalanan membuatku sangat kelelahan. Sudah beberapa kali aku tertidur di dalam mobil membiarkan Mas Raffi seorang diri. Sekarang, mobil sudah membawa kami masuk ke perumahan di mana kami tinggal. Bangunan besar dengan cat warna kuning keemasan sudah menyambutku dan Mas Raffi. "Alhamdulillah, kita sampai. Turun, Sayang." Mas Raffi memberikan instruksi. "Bentar, Mas. Pegal!" ujarku menggeliat menarik tangan ke atas.Mas Raffi terkekeh pelan. "Kamu yang hanya duduk saja pegal, apalagi aku yang nyetir? Pokoknya nanti pijitin.""Ah, gak mau. Aku juga kelelahan ini." Aku merengut dengan kepala kusandarkan pada dashboard. Suara teriakan anak kecil membuatku mengangkat kepala. Ternyata Citra sudah berdiri di teras seraya bertepuk tangan. Dia terus memanggil-manggilku dengan suara khasnya. Bukannya segera turun, Mas Raffi malah menyalakan mobil dan memundurkannya seperti akan pergi kembali. Tentu saja, hal itu membuat Citra berteriak histeris seraya mengejar kami."Jahat, de