Share

Tiga

Gina kini sudah berdiri sambil memeganggi pipinya. Emosi Danu sama sekali tidak bisa dikendalikan. Hampir saja Danu menendang perut Gina. Beruntung, ada tetangga yang menarik tubuh mungil Gina.

"Saya akan melaporkan pada pihak berwajib jika ada hal buruk terjadi pada Gina. Masalah rumah tangga itu bisa dibicarakan baik-baik. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah." Tetangga Danu mengatakan dengan tegas.

"Cukup! Lepaskan istri saya!" Danu menarik kuat lengan Gina lalu menutup pintu dengan keras. "Kamu pergi sesuka hati hanya karena aku tidak punya uang? Kamu memang wanita sialan!" teriak Danu tepat di depan wajah Gina.

Tubuh Gina gemetar hebat pagi ini. Ia pulang karena harus mengambil pakaian bersih untuk Putri. Gina juga harus mandi dan berganti pakaian saat ini. Tubuhnya sangat lengket karena keringat. Putri di rumah sakit dititipkan pada perawat.

"Aku memang pergi, tapi bukan sesuka hati. Putri masuk rumah sakit." Jawaban Gina membuat Danu terkejut. "Aku tidak bisa mengabarimu karena ponselku tertinggal juga tidak ada pulsa," lanjut Gina lalu segera meninggalkan sang suami.

Gegas, Gina langsung mandi dan menyiapkan semua keperluan Putri. Botol air minum kesayangan Putri dibawa serta benda lain kesukaan sang anak. Danu masih bengong di tempatnya. Ia merasa tertampar dengan jawaban sang istri.

"Gin, biar aku antar," kata Danu seolah tidak terjadi apa pun.

"Bukankah aku wanita sialan? Jangan dekat dengan wanita sialan ini, nanti hidupmu akan sial." Gina melengos lalu segera meninggalkan Danu seorang diri.

Gina bahkan lupa membeli sarapan untuk dirinya. Pertengkaran dengan sang suami membuat pikirannya kacau. Tidak hanya masalah uang ujian dalam rumah tangganya, masalah ke-posesifan Danu juga kadang membuat Gina meradang. Tak jarang, Danu cemburu tanpa sebab.

Dua jam berlalu dan Danu masih berada di rumah. Ketukan pintu dari luar membuat ayah satu anak itu terkejut. Danu kembali membuka pintu. Ia berharap jika Gina kembali pulang.

"Gina-nya ada?" Salma berdiri di depan pintu rumah kontrakan Danu dengan menggunakan seragam kantornya.

Mata Danu membola saat tahu siapa yang datang. Salma--wanita matang yang kemarin memborong semua dagangannya kini datang ke rumahnya. Danu mengembuskan napas panjang sebelum menjawab. Sejujurnya, ia tidak tahu ke mana Gina pergi tadi.

"Gina ke rumah sakit. Anak kami dirawat." Danu menjawab dengan cepat.

"Oh, jadi, kemarin pagi dari puskesmas langsung dirujuk ke rumah sakit untuk dirawat?" Pertanyaan Salma semakin membuat Danu sakit kepala. "Kamu kenapa masih di rumah? Emang mau tetap jualan pas anak sakit?" tanya Salma sambil melambaikan tangan di depan wajah Danu.

"Oh, a-anu, saya mau ke rumah sakit ini," kata Danu menahan rasa malu karena tidak peduli dengan anak dan istrinya.

"Ini, aku tadinya mau bawakan makanan buat Putri. Aku kira cuma masuk angin biasa, Dan. Nggak tahunya harus rawat inap di rumah sakit. Mungkin dari puskesmas langsung dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat," kata Salma asal karena tidak tahu juga di mana keberadaan Putri saat ini.

Danu mendadak bodoh, bukankah bisa menghubungi sang istri. Gina sudah membawa ponselnya tadi. Entahlah, ketika sudah emosi, Danu seperti kesetanan. Banyak tetangga yang menyayangkan sikap Danu jika sudah emosi.

"Mbak Salma, saya tinggal dulu, ya." Danu akhirnya menutup pintu rumah kontrakannya lalu menguncinya dengan cepat.

Salma hanya melongo saat ditinggalkan oleh Danu. Ia bahkan belum menyerahkan bungkusan plastik berisi banyak kue dan makanan untuk Gina dan Putri. Mendadak ada kasak-kusuk tidak mengenakkan dari ibu-ibu tetangga kontrakan Danu. Mereka menggunjing Salma.

"Sal, jangan rusak rumah tangga Danu dan Gina. Mereka orang baik." Salah satu ibu-ibu itu tanpa basa-basi mengeluarkan kalimat keramat karena tahu siapa Salma yang sebenarnya.

"Saya ini mau jenguk Putri. Ternyata dia masih opname di rumah sakit. Siapa juga yang mau merusak rumah tangga mereka. Saya sudah menganggap Gina sebagai adik saya sendiri," jawab Salma dengan ketus.

"Awalnya Gina dianggap adik, tapi nggak menutup kemungkinan kamu merebut Danu." Ibu-ibu itu masih saja menghina Salma.

Salma mengembuskan napas kasar dan tidak mau berdebat lagi. Ia pun akhirnya meletakkan kantung plastik hitam itu di depan teras rumah kontrakan Danu. Tidak ada waktu untuk menjawab ucapan manusia tidak berguna itu karena Salma harus segera ke pabrik. Ia pun melajukan motornya menuju ke pabrik.

Sementara itu, Danu kebingungan karena tidak tahu di mana keberadaan anak dan istrinya itu. Otak di kepalanya tidak bisa berpikir sama sekali. Lagi dan lagi, emosi sudah menguasai otak dan hati Danu. Danu saat ini justru berada di puskesmas.

"Mbak, kemarin ada pasien anak usia dua tahun namanya Putri Sukma, nggak?" tanya Danu pada petugas puskesmas.

"Sebentar, ya, Pak. Biar saya cek, karena kemarin bukan saya yang tugas di sini." Petugas itu mengetikkan nama pasien yang disebutkan oleh Danu. "Pasien atas nama Putri Sukma dirujuk ke Rumah Sakit Unum Pusat, Pak. Pasien harus dirawat," kata petugas itu dengan ramah.

Danu lantas mengucapkan terima kasih dan meninggalkan puskesmas. Ia mengembuskan napas panjang dan meremas rambutnya dengan kasar. Danu merasa bodoh karena justru marah pada Gina, wanita yang telah mendampinginya selama tiga tahun ini. Danu pun segera mencari angkutan umum untuk menuju ke rumah sakit itu.

Sementara itu, Gina saat ini sedang mengganti pakaian sang anak. Putri sudah jauh lebih baik keadaannya daripada kemarin. Anak perempuan usia dua tahun itu sudah tidak muntah lagi meski hanya makan sedikit. Putri bahkan patuh saat minum obat.

"Bu, Apak, kok tidak ke cini temani puteli?" tanya Putri dengan nada khas anak kecil.

"Bapak mungkin sebentar lagi. Putri cepat sembuh, ya. Biar bisa ketemu Bapak lagi. Biasanya Bapak pulang jualan sore," kata Gina berusaha tampak baik-baik saja meski ada bekas tangan di wajahnya.

Tamparan Danu sangatlah keras bagi perempuan sekecil Gina. Entahlah, apa yang ada dalam otak Danu hingga tega menampar sang istri. Danu kalap karena tidak mandapati anak dan istrinya di rumah hingga pagi menjelang. Akan tetapi, haruskah bersikap kasar pada perempuan?

"Ini, Pak ruangan atas nama Putri." Suara itu membuat Gina menoleh ke arah pintu.

Danu datang ditemani oleh salah petugas kebersihan. Wajah Putri sangat sumringah ketika melihat kedatangan sang bapak. Lain halnya dengan Gina yang langsung memasang wajah masam. Sebelum Danu datang, Gina sudah mengabari kedua orang tuanya jika Putri masuk dan harus dirawat dirumah sakit.

"Itu Bapak, Bu." Putri menunjuk ke arah laki-laki yang menggunakan kemeja warna merah yang sudah pudar.

"Iya." Gina hanya menjawab singkat ucapan sang anak tanpa menatap ke arah Putri.

"Seharusnya kamu bilang kalo anak kita sakit. Aku salah paham karena berpikir yang tidak-tidak." Bukan permintaan maaf yang keluar dari mulut Danu melainkan menyalahkan Gina yang dianggap tidak memberi kabar. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status