Gina kini sudah berdiri sambil memeganggi pipinya. Emosi Danu sama sekali tidak bisa dikendalikan. Hampir saja Danu menendang perut Gina. Beruntung, ada tetangga yang menarik tubuh mungil Gina.
"Saya akan melaporkan pada pihak berwajib jika ada hal buruk terjadi pada Gina. Masalah rumah tangga itu bisa dibicarakan baik-baik. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah." Tetangga Danu mengatakan dengan tegas. "Cukup! Lepaskan istri saya!" Danu menarik kuat lengan Gina lalu menutup pintu dengan keras. "Kamu pergi sesuka hati hanya karena aku tidak punya uang? Kamu memang wanita sialan!" teriak Danu tepat di depan wajah Gina. Tubuh Gina gemetar hebat pagi ini. Ia pulang karena harus mengambil pakaian bersih untuk Putri. Gina juga harus mandi dan berganti pakaian saat ini. Tubuhnya sangat lengket karena keringat. Putri di rumah sakit dititipkan pada perawat. "Aku memang pergi, tapi bukan sesuka hati. Putri masuk rumah sakit." Jawaban Gina membuat Danu terkejut. "Aku tidak bisa mengabarimu karena ponselku tertinggal juga tidak ada pulsa," lanjut Gina lalu segera meninggalkan sang suami. Gegas, Gina langsung mandi dan menyiapkan semua keperluan Putri. Botol air minum kesayangan Putri dibawa serta benda lain kesukaan sang anak. Danu masih bengong di tempatnya. Ia merasa tertampar dengan jawaban sang istri. "Gin, biar aku antar," kata Danu seolah tidak terjadi apa pun. "Bukankah aku wanita sialan? Jangan dekat dengan wanita sialan ini, nanti hidupmu akan sial." Gina melengos lalu segera meninggalkan Danu seorang diri. Gina bahkan lupa membeli sarapan untuk dirinya. Pertengkaran dengan sang suami membuat pikirannya kacau. Tidak hanya masalah uang ujian dalam rumah tangganya, masalah ke-posesifan Danu juga kadang membuat Gina meradang. Tak jarang, Danu cemburu tanpa sebab. Dua jam berlalu dan Danu masih berada di rumah. Ketukan pintu dari luar membuat ayah satu anak itu terkejut. Danu kembali membuka pintu. Ia berharap jika Gina kembali pulang. "Gina-nya ada?" Salma berdiri di depan pintu rumah kontrakan Danu dengan menggunakan seragam kantornya. Mata Danu membola saat tahu siapa yang datang. Salma--wanita matang yang kemarin memborong semua dagangannya kini datang ke rumahnya. Danu mengembuskan napas panjang sebelum menjawab. Sejujurnya, ia tidak tahu ke mana Gina pergi tadi. "Gina ke rumah sakit. Anak kami dirawat." Danu menjawab dengan cepat. "Oh, jadi, kemarin pagi dari puskesmas langsung dirujuk ke rumah sakit untuk dirawat?" Pertanyaan Salma semakin membuat Danu sakit kepala. "Kamu kenapa masih di rumah? Emang mau tetap jualan pas anak sakit?" tanya Salma sambil melambaikan tangan di depan wajah Danu. "Oh, a-anu, saya mau ke rumah sakit ini," kata Danu menahan rasa malu karena tidak peduli dengan anak dan istrinya. "Ini, aku tadinya mau bawakan makanan buat Putri. Aku kira cuma masuk angin biasa, Dan. Nggak tahunya harus rawat inap di rumah sakit. Mungkin dari puskesmas langsung dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat," kata Salma asal karena tidak tahu juga di mana keberadaan Putri saat ini. Danu mendadak bodoh, bukankah bisa menghubungi sang istri. Gina sudah membawa ponselnya tadi. Entahlah, ketika sudah emosi, Danu seperti kesetanan. Banyak tetangga yang menyayangkan sikap Danu jika sudah emosi. "Mbak Salma, saya tinggal dulu, ya." Danu akhirnya menutup pintu rumah kontrakannya lalu menguncinya dengan cepat. Salma hanya melongo saat ditinggalkan oleh Danu. Ia bahkan belum menyerahkan bungkusan plastik berisi banyak kue dan makanan untuk Gina dan Putri. Mendadak ada kasak-kusuk tidak mengenakkan dari ibu-ibu tetangga kontrakan Danu. Mereka menggunjing Salma. "Sal, jangan rusak rumah tangga Danu dan Gina. Mereka orang baik." Salah satu ibu-ibu itu tanpa basa-basi mengeluarkan kalimat keramat karena tahu siapa Salma yang sebenarnya. "Saya ini mau jenguk Putri. Ternyata dia masih opname di rumah sakit. Siapa juga yang mau merusak rumah tangga mereka. Saya sudah menganggap Gina sebagai adik saya sendiri," jawab Salma dengan ketus. "Awalnya Gina dianggap adik, tapi nggak menutup kemungkinan kamu merebut Danu." Ibu-ibu itu masih saja menghina Salma. Salma mengembuskan napas kasar dan tidak mau berdebat lagi. Ia pun akhirnya meletakkan kantung plastik hitam itu di depan teras rumah kontrakan Danu. Tidak ada waktu untuk menjawab ucapan manusia tidak berguna itu karena Salma harus segera ke pabrik. Ia pun melajukan motornya menuju ke pabrik. Sementara itu, Danu kebingungan karena tidak tahu di mana keberadaan anak dan istrinya itu. Otak di kepalanya tidak bisa berpikir sama sekali. Lagi dan lagi, emosi sudah menguasai otak dan hati Danu. Danu saat ini justru berada di puskesmas. "Mbak, kemarin ada pasien anak usia dua tahun namanya Putri Sukma, nggak?" tanya Danu pada petugas puskesmas. "Sebentar, ya, Pak. Biar saya cek, karena kemarin bukan saya yang tugas di sini." Petugas itu mengetikkan nama pasien yang disebutkan oleh Danu. "Pasien atas nama Putri Sukma dirujuk ke Rumah Sakit Unum Pusat, Pak. Pasien harus dirawat," kata petugas itu dengan ramah. Danu lantas mengucapkan terima kasih dan meninggalkan puskesmas. Ia mengembuskan napas panjang dan meremas rambutnya dengan kasar. Danu merasa bodoh karena justru marah pada Gina, wanita yang telah mendampinginya selama tiga tahun ini. Danu pun segera mencari angkutan umum untuk menuju ke rumah sakit itu. Sementara itu, Gina saat ini sedang mengganti pakaian sang anak. Putri sudah jauh lebih baik keadaannya daripada kemarin. Anak perempuan usia dua tahun itu sudah tidak muntah lagi meski hanya makan sedikit. Putri bahkan patuh saat minum obat. "Bu, Apak, kok tidak ke cini temani puteli?" tanya Putri dengan nada khas anak kecil. "Bapak mungkin sebentar lagi. Putri cepat sembuh, ya. Biar bisa ketemu Bapak lagi. Biasanya Bapak pulang jualan sore," kata Gina berusaha tampak baik-baik saja meski ada bekas tangan di wajahnya. Tamparan Danu sangatlah keras bagi perempuan sekecil Gina. Entahlah, apa yang ada dalam otak Danu hingga tega menampar sang istri. Danu kalap karena tidak mandapati anak dan istrinya di rumah hingga pagi menjelang. Akan tetapi, haruskah bersikap kasar pada perempuan? "Ini, Pak ruangan atas nama Putri." Suara itu membuat Gina menoleh ke arah pintu. Danu datang ditemani oleh salah petugas kebersihan. Wajah Putri sangat sumringah ketika melihat kedatangan sang bapak. Lain halnya dengan Gina yang langsung memasang wajah masam. Sebelum Danu datang, Gina sudah mengabari kedua orang tuanya jika Putri masuk dan harus dirawat dirumah sakit. "Itu Bapak, Bu." Putri menunjuk ke arah laki-laki yang menggunakan kemeja warna merah yang sudah pudar. "Iya." Gina hanya menjawab singkat ucapan sang anak tanpa menatap ke arah Putri. "Seharusnya kamu bilang kalo anak kita sakit. Aku salah paham karena berpikir yang tidak-tidak." Bukan permintaan maaf yang keluar dari mulut Danu melainkan menyalahkan Gina yang dianggap tidak memberi kabar.Gina tidak mengatakan apa pun pada sang suami. Danu kini sibuk menidurkan Putri hingga kedua orang Gina datang. Wajah Pak Syamsuri dan sang istri tampak masam. Gina memang meminta mereka untuk datang agar bisa bergantian jaga. "Kamu tahu 'kan, kami ini sudah tua, tidak seharusnya disuruh gantian jaga anak kamu. Baru anak satu udah merepotkan orang tua," kata Tuti--ibunda dari Gina yang merasa tidak suka ketika datang menjenguk cucu mereka. Dari empat anaknya, hanya Gina saja yang nasibnya tidak baik karena menikah dengan Danu. Ketiga kakak Gina sudah sukses semua. Lihat saja Gina, hidup jauh dari kata pas-pasan atau bahkan sangat kekurangan. Dulu Syamsuri menolak pernikahan mereka. "Saya hanya minta tolong, Pak, Bu." Gina menahan air matanya yang akan jatuh ke pipi. "Minta tolong? Lalu suami kamu sibuk apa? Kalian bisa bergantian jaga. Ibu itu anaknya empat, nggak pernah sekali pun merepotkan kakek dan nenekmu dulu." Tuti tampak sangat kesal karena harus jauh-jauh datang dari Bek
"Nggak usah dikembalikan uangnya, Dan. Anggap saja uang jajan buat Putri." Hanya itu yang bisa terdengar oleh Gina dari ujung pintu kamarnya."Nggak bisa gitu, Mbak Salma. Gina nggak pernah bilang kalo ada pinjam uang sama, Mbak. Saya sebagai suaminya harus tanggung jawab," lanjut Danu sambil mengeluarkan dompet dan mengambil empat lembar uang pecahan lima puluh ribuan.Gina menahan napas karena terkejut. Ternyata Salma datang ke rumah kontrakan ini karena mau menagih hutang. Gina tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak ada uang saat itu. Ia butuh uang karena Putri harus segera berobat."Bukan gitu, Dan. Maksudku, pakai saja uangku itu. Toh, anggap saja rezekinya Putri. Mungkin Gina nggak ada pegang uang pas mau bawa anak kalian berobat," kata Salma menolak uang pemberian dari Danu.Napas Gina terengah menahan amarah. Ia tidak bisa lagi terus di dalam kamar. Uang itu masih tersisa separuhnya. Astaga! Kenapa hal ini membuat emosi."Bu Salma, maaf, kalo saya pinjam uang terlalu l
Gina mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di dada itu nyata adanya. Gina melirik ke arah sang suami yang kini sibuk menyuapi Putri. Sial! Pemandangan itu nyatanya membuat hati Gina luluh."Aku sama sekali nggak ada uang buat ke puskesmas. Nggak mungkin aku jalan kaki ke puskesmas sementara Putri demam tinggi." Gina menjawab dengan nada datar."Lain kali, kamu bisa hubungi aku. Aku akan kasih kok uang buat kamu," jawab Danu enteng seolah menjadi suami yang sangat baik.Jika tidak diminta oleh Gina, Danu tidak akan mengeluarkan uang. Uang modal dan laba untuk mengembangkan dagangannya. Faktanya, justru Danu sering mengalami kerugian yang luar biasa. Entah mangga-mangga itu busuk, salah memberikan kembalian, atau banyak lagi yang lain.Gina kali ini membersihkan tubuhnya dan segera berganti pakaian. Selesai semua itu, Gina segera ke ruang tamu. Danu dan Putri tidak ada di sana. Samar-samar, terdengar seperti Danu sedang mengobrol dengan seseorang."Ya, aku nggak marahlah. Biar gimana
Gina mengembuskan napas perlahan. Ia mengenal suara itu yang tak lain adalah Guntara--mantan suaminya. Entah ada keperluan apa datang sepagi ini. Gedoran pintu rumah kontrakan Gina semakin keras."Mungkin lagi di kamar mandi, Mbak Salma-nya, Mas. Tadi, ada kok dan belum berangkat kerja," kata salah satu tetangga yang masih terdengar oleh Danu dan Salma."Oh, gitu? Atau sedang ada tamu. Ini ada sandal laki-laki," kata Guntara menunjuk sepasang sandal laki-laki yang ada di teras rumah kontrakan Salma."Waduh, kalo itu saya nggak tahu. Mungkin sandal orang yang kemarin membersihkan got depan itu. Got itu mampet dan banjir saat hujan," kata tetangga Salma yang memang tidak salah.Guntara bukan cemburu, tetapi memang rasanya sangat aneh. Salma biasanya langsung membukakan pintu rumah ini. Kali ini tidak. Guntara hanya ingin membicarakan sesuatu pada Salma. Pagi adalah waktu yang tepat untuk bicara."Maaf, ada apa? Saya dari kamar mandi. Kebetulan perut saya tidak enak." Salma terpaksa kelu
Perempuan itu adalah Arumi, salah satu anak pejabat yang tinggal tak jauh dari kawasan kontrakan Salma dan Danu. Jika sudah mencari Danu, pasti Arumi ada keperluan dengan Gina. Entah meminta Gina untuk membantu pekerjaan rumah atau pekerjaan yang lain."Nanti gerobaknya ditarik aja. Biar Mang Dadang yang kaitkan dengan tali dengan bagian belakang mobil." Arumi menunjuk bagian belakang mobilnya.Gegas Mang Dadang pun segera membuka bagian belakang mobil milik sang majikan. Ia mengikat gerobak milik Danu tanpa menunggu diperintah dua kali. Kedua orang tua Danu ingin segera bertemu dengan Gina. Padahal, Danu belum mengiakan permintaan Arumi."Sudah, Mas Danu silakan duduk di depan. Biar saya yang di bagian tengah." Arumi justru membukakan pintu untuk Danu.Gagal sudah rencana Salma bermesraan dengan Danu. Arumi seolah datang tanpa permisi. Akan tetapi, Salma tidak bisa berbuat banyak. Ia pasrah dengan apa yang terjadi.Sesampainya di rumah kontrakan Danu, tampak Gina sedang menyuapi Putr
Santi sengaja mengikuti Salma hingga depan warung Mpok Lela. Santi memang tidak suka dengan Salma. Sikap arogansi Salma di pabrik membuat muak banyak karyawati lain. Janda tanpa anak ini tak segan memotong gaji karyawan lain jika dinilai tidak becus dalam bekerja."Kamu kenapa? Mau belanja juga?" Salma tidak menggubris sindiran keras Santi. "Kalo mau belanja silakan milih dulu. Aku santai kok. Cuma mau beli telur dan sayuran secukupnya saja," kata Salma dengan sikap elegan."Nggak, cuma mau mengingatkan. Jangan ganggu suami-suami orang yang ada di kompleks ini. Jangan pernah menjadi murah hanya karena mantan suami sudah menikahi istri keduanya secara sah baik sah secara agama dan negara." Santi mencibir nasib pernikahan Salma yang terdahulu.Guntara adalah kakak sepupu Santi. Mereka bersaudara. Ayah Guntara adalah kakak kandung ibunda dari Santi. Wajar jika Santi tahu seperti apa Salma. Mereka sama sekali tidak cocok satu dengan lainnya. Salma pernah berusaha mendekati suami Santi."K
Aliyah kali ini sangat terpojok saat mendengar ucapan mantan kakak madunya itu. Apa yang dikatakan Salma memang benar adanya. Kini istri Guntara itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun menatap Salma dengan tatapan memelas."Mbak, saya tahu, dulu saya salah telah membuat Mbak Salma berpisah dengan Mas Guntara. Tapi, sekarang, saya mohon, Mbak kembali menikah dengan Mas Guntara." Aliyah mengatakannya dengan menekan rasa sakit luar biasa di dalam hatinya.Aliyah memang mendapatkan restu dari Yulianti, tetapi berbeda dengan Salma. Yulianti tidak pernah menyukai mantan istri Guntara itu. Padahal, Guntara dan Salma sudah berpacaran sangat lama sejak mereka SMA dulu. Restu memang tak kunjung didapatkan karena Salma berasal dari keluarga biasa dan bukan anak kuliahan. Guntara adalah salah seorang pegawai bank swasta. Ia sosok yang sangat sukses dalam karir, tetapi tidak untuk masalah percintaan. Entahlah, mengapa Yulianti dulu sangat membenci Salma. Salma dulu, bukanlah perempuan penggoda sepe
Pukul delapan malam, Danu baru saja sampai di rumah. Ia terkejut saat melihat sang istri sudah di rumah terlebih dahulu. Jika pergi kerja membantu memasak di rumah orang lain, Gina akan pulang paling cepat pukul sepuluh malam. Sial, Gina pasti melihat gerobak buah itu ada di depan rumah."Kamu kok udah pulang? Emang masaknya nggak banyak?" Danu justru menunjukkan rasa tidak suka jika Gina pulang lebih cepat."Kenapa?" tanya Gina yang saat ini sibuk dengan ponsel di tangannya.Putri sudah tidur sejak tadi pukul 18.30 karena kelelahan. Setelah mandi sore di rumah Arumi, Putri memang tampak mengantuk. Sisa obat dari rumah sakit memang memberikan efek mengantuk. Gina bekerja sambil menggendong Putri di belakang."Kamu itu! Suami pulang bukannya disambut malah enak-enakan main ponsel. Emang nggak tahu diri!" Danu kelepasan emosi untuk menutupi kesalahannya.Danu tahu jika Gina saat ini curiga dengan tingkah lakunya. Salah sedikit saja bisa berakibat fatal. Gina tak akan segan memaki-maki d
Danu terkesiap mendengar ucapan Sarni. Ia mengembuskan napas kasar lalu segera masuk ke dalam rumah. Danu mengusap wajah dengan kasar saat ini. Pikiran Danu mulai kacau saat ini.'Apa mereka sebenarnya sudah tahu? Ah, ya, pantas saja banyak pemuda yang saat ini berada di sekitar rumah Salma,' batin Danu yang saat ini sedikit merasa ketakutan. Pagi datang dengan cepat, Gina pulang bersama dengan Putri. Rumah kontrakan tidak terkunci dan gerobak milik Danu masih berada di halaman. Gina meletakkan semua barang yang dibawa dari rumah Arumi. Akan tetapi, ia menyembunyikan ponsel yang diberi oleh Dokter cantik itu. "Kamu udah pulang, Gin? Aku udah masak buat kamu. Kalo kamu mau istirahat dulu, silakan. Biar Putri sama aku. Aku sengaja nggak jualan hari ini," kata Danu seolah tidak terjadi apa-apa."Nggak usah. Aku udah istirahat di rumah Mbak Arumi," kata Gina dengan ketus lalu mengambil sayur dan lauk untuk dipanaskan. Danu hanya bisa menggaruk kepala yang tak gatal. Ketika sang istri m
Gina tersenyum sinis mendengar pertanyaan dari sang mantan suami. Benarkah Guntara tidak tahu jika ibunya dan Aliyah tidak tahu masalah ini. Rasanya Salma ingin tertawa keras melihat wajah sang mantan suami yang dianggap pura-pura terkejut. Salma sudah kehilangan rasa percaya pada sosok laki-laki yang ada di depannya itu. "Kamu bisa baca surat keterangan Dokter itu. Kamu nggak buta huruf 'kan?" Salma menatap Guntara dengan sinis. "Dalam surat keterangan Dokter itu dijelaskan di rahim aku ada alat penunda kehamilan. Aku nggak merasa memasang alat itu. Toh, selama menjadi istri kamu, aku berjuang agar bisa hamil. Kenyataannya apa? Aku dicurangi oleh keluargamu. Aku wanita normal! Ah, sudahlah, aku nggak mau lagi memperdebatkan ini. Yang aku sesalkan, dulu mengapa aku nekat menikah dengan kamu yang nyatanya lahir dari seorang Ibu bernama Yulianti yang sangat jahat seperti iblis betina!" bentak Salma pada Guntara."Jaga omongan kamu! Dia ibuku!" Guntara merasa tidak suka dengan cara Salm
Telinga Salma panas mendengar ucapan ibu-ibu muda itu. Ia merasa tidak terima ketika harga dirinya direndahkan. Akan tetapi, memang serendah itu harga diri seorang Salma Utari. Wanita itu tega merusak kebahagiaan wanita lain demi hasrat liarnya."Kenapa wajah kamu sok sangar? Emang yang aku bilang bener 'kan?" tanya wanita itu dengan ketus."Apa maksud kalian ngomong kaya gitu ke aku? Aku bisa laporkan kalian atas tuduhan pencemaran nama baik pada polisi." Salma mengancam salah satu perempuan yang kini berdiri di dekat Gina."Laporkan saja. Aku juga akan melaporkan balik atas tuduhan perzinahan yang kamu lakukan di kampung ini. Gimana?" tanya si perempuan itu membuat Salma sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu.Bagi Salma, perdebatan tidak akan selesai. Lebih baik meninggalkan mereka semua. Lagi pula, bahaya jika mereka tahu apa yang dilakukannya bersama Danu. Bukan hanya Salma yang kena, Danu pun akan kena. Salma pun memacu motornya menuju ke arah rumah."Huuuu ..
Danu mandi dengan tenang meski melihat wajah Gina tampak biasa saja saat menerima uang itu. Bagi Danu, uang adalah salah satu alat yang membuat rahasianya bersama dengan Salma akan aman. Akan sampai kapan bisa seperti ini? Gina bukan perempuan yang bodoh.Fakta menyebutkan jika Danu tidak berjualan keliling di mana pun. Banyak tetangga yang mengatakan tidak melihat Danu. Lantas, apakah yang Gina pikirkan saat ini? Entah, ia sama sekali tidak punya bukti untuk menuduh sang suami. "Kamu masak apa?" tanya Danu setelah selesai mandi dan merasakan lapar yang luar biasa."Biasalah. Sayur bening, tahu, tempe goreng. Ada telur, kalo mau biar aku gorengkan," kata Gina dengan wajah datar."Kita makan di luar, yuk. Ya, sesekali kita makan di luar," kata Danu dengan lembut pada sang istri.Danu tidak mau jika Gina mendadak curiga dengan uang yang diberikannya tadi. Gina jelas tahu jika gerobak yang biasa dipakai Danu berjualan ada di jalan raya. Gina punya kunci serep untuk gerobak itu. Saat kun
Danu tidak akan sadar jika istri punya firasat kuat. Benar, suami Gina itu tidak langsung ke pasar untuk membeli buah. Danu pergi ke rumah Salma saat semua orang sedang terlelap tidur."Masuk, Mas, aku sampai nggak tidur dari jam sebelas malam tadi." Salma membuka pintu belakang rumahnya agar tidak banyak tetangga yang tahu.Danu menyimpan gerobak di dekat jalan raya lalu menggemboknya agar tidak dicuri orang. Suami Gina itu menelan saliva dengan susah payah saat melihat Salma memakai baju dinas. Gina tidak pernah memakai pakaian seperti itu. Sebagai seorang laki-laki, Danu tidak bisa menahannya sama sekali."Sayang, sabar ... aku kunci pintu dulu," kata Salma dengan nada mendesah saat sang kekasih menciumi leher jenjangnya.Mereka sudah kelewat batas saat ini, tidak ada selembar pakaian pun yang melekat pada tubuh mereka saat ini. Ya, Danu dan Salma melakukan hubungan layaknya suami dan istri. Danu lupa daratan, sang istri tidak pernah memberikan kepuasan seperti yang diberikan oleh
Salma duduk di salah satu warung makan setelah selesai berbelanja. Ia tidak lagi belanja di warung. Gunjingan tetangga kompleks luar biasa mengusik hati dan pikirannya. Bukan takut karena gunjingan itu, tetapi ia memikirkan Guntara.Ya, mantan suami Salma beberapa waktu ini selalu saja datang. Salma merasa risih dengan keberadaan sosok Guntara. Rasa cinta itu sudah hilang dari dalam hati Salma. Ia merasa sangat sakit hati pada sosok mantan suaminya."Mbak, ini nasi pesanannya," kata pelayan warung itu menyajikan sepiring nasi pecel pesanan Salma."Makasih, Mbak." Salma menatap pelayan perempuan muda itu sambil berusaha tersenyum.Salma menikmati sepiring nasi pecel dengan rempeyek teri yang ada di dalam toples. Sambil makan, janda tanpa anak itu memikirkan bagaimana menunjukkan pada orang lain jika dia tidak mandul. Untuk apa sudah melepas alat pengaman kehamilan itu jika tidak ada bukti jika tidak mandul? Salma pun mulai memikirkan banyak hal.'Aku sudah ada Danu, masalahnya dia ngga
Aliyah mengembuskan napas kasar saat ini. Penolakan Guntara itu membuatnya kesulitan menjelaskan pada sang mertua. Aliyah sendiri pada akhirnya memutuskan untuk tidak bekerja agar bisa cepat hamil. Akan tetapi, kehamilan yang ditunggu tidak kunjung hadir."Mas ... aku mohon satu kali ini saja kita pergi periksa ke Dokter. Supaya kita bisa tahu di mana letak kesalahannya. Dokter juga pasti akan memberikan solusi jika memang ada masalah pada kita berdua," kata Aliyah berusaha selembut mungkin saat berbicara pada sang suami."Masalah? Masalah apa? Yang jadi masalah itu bukan aku, tetapi ketika aku harus bercerai dengan Salma. Kamu tahu, aku menyesal menceraikannya," jawab Guntara sama sekali tidak nyambung dengan ucapan Aliyah."Kok malah bahas mantan istri kamu, Gun. Kamu itu harusnya ikut saja saat harus memeriksakan kesehatan reproduksi. Jadi, sama-sama tahu bagian mana yang salah atau harus diperbaiki. Ingat, Salma itu mandul, Gun. Lagi, kamu harus tahu, dia pernah jadi simpanan bos
Gina menampakkan wajah datar saat ini. Danu bingung ketika sang istri justru mengambilkan makan untuk Putri. Masih pagi, tetapi suasana di rumah kontrakan Danu sangat panas. Lebih tepatnya, Danu yang merasa ketakutan jika Gina tahu sesuatu."Tadi bener, kalo si Sarni cuma ngabarin iuran bulanan aja?" Danu mengekori sang istri dari belakang."Kalo kamu nggak percaya, tanya langsung saja sama Mbak Sarni." Gina malas berdebat dengan sang suami.Mendengar kabar sang suami dan Salma ke puncak saja sudah membuat darah Gina mendidih, ditambah lagi harus berdebat. Lagi pula, bukti sudah di depan mata, tetapi Danu seolah sangat santai. Sikap Danu yang seperti ini sering membuat Gina muak. "Lah? Kok aku yang harus tanya si Sarni. Sarni sama Santi itu sama saja, mereka suka bergosip, bergibah, ngomongongin orang kok di belakang orang lain. Kalo berani coba ngomongnya di depan orangnya langsung," omel Danu pada sang istri karena merasa tidak terima saat ini."Makanya tanya langsung saja sama ora
Pertengkaran semalam rupanya masih terbawa hingga pagi ini. Gina jelas tidak akan mengajak berbicara terlebih dahulu. Justru jika Danu tidak cepat menyadarinya, maka wanita berusia dua puluh empat tahun itu yang akan cari tahu. Gina kali ini mulai mengucek satu per satu pakaian.'Apa ini?'Gina menemukan tiket bus dengan jurusan Jakarta-Bandung dalam saku celana jeans Danu. Rasanya tidak mungkin jika mendadak ada tiket itu jika Danu tidak bepergian. Gina langsung memasukkan kertas basah itu ke dalam saku rok yang dipakainya. Danu sejak tadi hanya mengamati apa yang dilakukan oleh sang istri.Setengah jam lebih mencuci pakaian, kini Gina bersiap untuk mandi. Suara Putri membuat Gina gagal mandi. Anak perempuannya sudah bangun dan harus segera diurus. Jika tidak, Putri akan rewel.Gina dengan telaten mulai membujuk sang anak perempuan. Pertama, biasanya Gina akan memandikan Putri lalu mengajaknya sarapan. Namanya juga anak kecil, apa yang dikatan sang ibu belum tentu dipatuhi. Gina bers