Tanpa pikir panjang, Gina segera pergi ke kantin. Kebetulan, di belakang puskesmas ini ada sebuah kantin. Kantin untuk anak sekolah dan umum. Gina menatap wajah Putri yang kini mulai memucat.
"Bu, yang jualan bubur di mana, ya?" tanya Gina pada penjual gorengan yang ada di dekat kantin. "Coba deh ke ujung sana. Semoga masih ada, Mbak," jawab penjual gorengan sambil menunjuk ke arah tenda terpal berwarna orange. "Terima kasih." Gegas Gina menuju ke arah tenda yang ditunjukkan oleh penjual gorengan itu. Masih rezeki, masih ada sedikit sisa bubur. Gina pun hendak membelinya untuk sarapan sang anak. Ternyata, penjual bubur pasangan paruh baya itu justru memberikannya; tidak perlu bayar. Bubur itu diberikan topping telur rebus dan suwiran ayam. "Berapa ini?" tanya Gina sambil merogoh saku baju yang dipakainya. "Bawa aja, Mbak. Ini sisa jualan kami. Sudah, segera suapin anak kamu," kata ibu penjual bubur itu. Lagi dan lagi, mata Gina sebak karena banyak orang baik. Setelah mengucapkan terima kasih, Gina segera menuju ke puskesmas. Antrean masih mengular dan Gina memutuskan untuk menyuapi Putri dahulu. Bubur itu dimakan oleh sang anak hingga tandas. "Bu, aku haus," kata Putri yang saat ini punya sedikit tenaga. "Iya, Nak. Kita beli air minum dulu," kata Gina sambil membereskan bekas tempat makan Putri lalu membuangnya ke tempat sampah. Gina membeli sebotol air mineral. Putri meminumnya perlahan dan habis setengahnya. Kini wajah Putri sudah sedikit bercahaya dan tidak lagi pucat pasi. Antrean Gina pun tiba. Putri diperiksa oleh Dokter puskesmas. "Sejak kapan demamnya, Bu?" tanya Sang Dokter sambil memukul perlahan perut Putri yang berbunyi; perut kembung. "Tadi pagi langsung demam tinggi." Gina menjawab dengan cepat setelahnya Putri memuntahkan isi perutnya. "Ma-maafkan saya, Dok," lanjut Gina merasa tidak enak pada sang Dokter. "Tidak apa, Bu. Ini langsung saya kasih rujukan saja ke rumah sakit sebelum terlambat. Anak Ibu sakit tipes," kata sang Dokter membuat Gina terkejut dan tidak bisa menahan air mata. "Ha-harus dirawat, Dok?" tanya Gina dengan terbata-bata karena tidak punya cukup uang. "Ya, tidak bisa terlambat karena sangat bahaya. Ini demamnya tinggi dan butuh pemeriksaan detail untuk anak Ibu," kata Dokter dengan wajah serius lalu membersihkan bekas muntahan Putri. Dokter menberikan surat rujukan untuk Putri. Tidak bisa rawat jalan karena ditakutkan ada komplikasi penyakit lain. Tangan Gina gemetar saat menerima surat rujukan itu. Dokter pun paham saat melihat Gina. "Apa, Ibu, punya asuransi dari pemerintah agar bisa berobat gratis?" tanya sang Dokter dengan wajah penuh rasa prihatin. Gina menggeleng sebagai jawaban. Asuransi yang konon gratis itu tetap saja harus membayar iuran bulanan. Jangankan untuk bayar asuransi, untuk makan saja mereka susah. Gina tampak mengembuskan napas panjang saat ini. "Begini saja, Ibu bisa meminta surat keterangan tidak mampu dan rt setempat. Nanti setelahnya dipakai untuk mendaftarkan asuransi pemerintah yang benar-benar gratis, Bu." Ucapan sang Dokter membuat Gina sedikit bersemangat. "Biar saya bantu buatkan surat pengantar dari puskesmas ini agar dimudahkan biayanya," lanjut Dokter muda itu dengan ramah. Gina tidak membawa ponselnya karena terburu-buru tadi. Kali ini Putri sudah mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Gina tidak mungkin meninggalkan sang anak seorang diri di rumah sakit. Urusan asuransi kesehatan sudah selesai. Putri dirawat di ruang rawat inap kelas empat. Tidak masalah, yang penting Putri sudah mendapatkan penanganan. Pukul lima sore dan perut Gina terasa lapar. Sejak pagi ia belum makan sama sekali. Sementara itu, Danu baru saja pulang berdagang. Hari ini lumayan mendapatkan rezeki banyak. Dagangan Danu laku dan habis. Danu mengembuskan napas kasar karena mendapati rumahnya kosong. "Orang pulang kok malah rumah kosong!" Danu mendengkus kasar karena kesal tidak mendapati anak dan istrinya. Hanya ada bubur nasi yang masih berada di atas kompor. Bubur sudah matang, tetapi belum diangkat dari atas kompor yang sudah mati. Danu menatap bubur yang belum tersentuh sama sekali. Ia kembali menutup panci bubur itu. Hingga pukul sembilan malam, Danu tidak mendapati sang istri pulang bersama Putri. Ia kelabakan karena takut sang istri kabur dan pulang ke rumah orang tuanya. Danu pun mencoba menghubungi ponsel sang istri. Dering ponsel itu justru terdengar di salah satu sudut kamar mereka. Gegas, Danu membuka lemari pakaian. Ia masih bersyukur ketika melihat semua pakaian sang istri dan Putri masih ada. Artinya, Gina tidak kabur dan pulang ke rumah orang tuanya. Danu mengembuskan napas lega dan tetap menunggu sang istri. "Mas Danu, permisi!" Suara dari luar pintu rumah membuat Danu terkejut sekaligus ketakutan. "Ya! Sebentar!" Danu berjalan tergesa-gesa menuju ke luar. "Ada apa, Pak?" tanya Danu saat melihat Pak Abas berdiri di depan pintu rumahnya. "Mbak Gina ada? Saya dan istri mau minta bantuan. Besok kami ada hajatan, jadi kami pengen Mbak Gina ikut bantu-bantu masak. Ajak Putri juga nggak masalah," kata Pak Abas dan diangguki sang istri. "Mohon maaf sebelumnya, istri saya sedang tidak ada di rumah. Saya juga nggak tahu ke mana perginya istri saya." Danu mengembuskan napas panjang dan membuat pasangan suami dan istri di depannya itu saling pandang. "Ya, sudah, Pak. Nanti kalo Mbak Gina udah pulang tolong kabari kami." Pak Abas dan sang istri tampak kecewa saat ini. Gina memang kadang ikut membantu memasak tetangga yang punya hajat. Gina biasa dibayar murah oleh mereka. Itulah mengapa, banyak orang yang suka menggunakan tenaga Gina. Jika tidak karena terpaksa, Gina tidak akan mau. "Insyaa Allah, ya, Pak." Danu tidak berani memberikan harapan pada Pak Abas dan istrinya. Hingga pagi menjelang, Danu tidak mendapati sang istri pulang. Benarkah pertengkaran kemarin pagi menjadi pemicunya? Danu merasa tidak terima jika seperti ini. Laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu justru marah. "Awas saja jika masih berani pulang!" Danu mengepalkan tangan saat ini. Danu tidak memejamkan mata sama sekali karena menunggu Gina dan Putri. Hingga hari terang, tidak ada tanda-tanda Gina akan pulang. Danu beranjak dari duduknya. Pikiran laki-laki itu sangatlah keruh. Ketukan pintu membuat Danu menoleh ke arah benda berbentuk persegi. Ia segera mendekat dan melihat siapa yang datang. Gina ada di depan pintu. Tanpa pikir panjang, Danu membuka pintu rumah kontrakan dengan kasar. "Plak!" Tamparan itu terayun dari tangan Danu yang lepas kontrol saat ini. Gina terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk karena tidak siap mendapatkan tamparan itu. Pipi wanita muda usia dua puluh empat tahun itu langsung memerah dan panas. Air mata pun mengalir deras dari mata indah Gina. Astaga! "Ada apa, Pak Danu? Kenapa menampar istri, Anda?" Salah satu tetangga menegur Danu yang pagi ini kalap. "Diam! Jangan ikut campur!" Danu menuding ke arah laki-laki yang tinggal tepat di sebelah rumah kontrakannya.Gina kini sudah berdiri sambil memeganggi pipinya. Emosi Danu sama sekali tidak bisa dikendalikan. Hampir saja Danu menendang perut Gina. Beruntung, ada tetangga yang menarik tubuh mungil Gina."Saya akan melaporkan pada pihak berwajib jika ada hal buruk terjadi pada Gina. Masalah rumah tangga itu bisa dibicarakan baik-baik. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah." Tetangga Danu mengatakan dengan tegas."Cukup! Lepaskan istri saya!" Danu menarik kuat lengan Gina lalu menutup pintu dengan keras. "Kamu pergi sesuka hati hanya karena aku tidak punya uang? Kamu memang wanita sialan!" teriak Danu tepat di depan wajah Gina.Tubuh Gina gemetar hebat pagi ini. Ia pulang karena harus mengambil pakaian bersih untuk Putri. Gina juga harus mandi dan berganti pakaian saat ini. Tubuhnya sangat lengket karena keringat. Putri di rumah sakit dititipkan pada perawat."Aku memang pergi, tapi bukan sesuka hati. Putri masuk rumah sakit." Jawaban Gina membuat Danu terkejut. "Aku tidak bisa mengabarimu
Gina tidak mengatakan apa pun pada sang suami. Danu kini sibuk menidurkan Putri hingga kedua orang Gina datang. Wajah Pak Syamsuri dan sang istri tampak masam. Gina memang meminta mereka untuk datang agar bisa bergantian jaga. "Kamu tahu 'kan, kami ini sudah tua, tidak seharusnya disuruh gantian jaga anak kamu. Baru anak satu udah merepotkan orang tua," kata Tuti--ibunda dari Gina yang merasa tidak suka ketika datang menjenguk cucu mereka. Dari empat anaknya, hanya Gina saja yang nasibnya tidak baik karena menikah dengan Danu. Ketiga kakak Gina sudah sukses semua. Lihat saja Gina, hidup jauh dari kata pas-pasan atau bahkan sangat kekurangan. Dulu Syamsuri menolak pernikahan mereka. "Saya hanya minta tolong, Pak, Bu." Gina menahan air matanya yang akan jatuh ke pipi. "Minta tolong? Lalu suami kamu sibuk apa? Kalian bisa bergantian jaga. Ibu itu anaknya empat, nggak pernah sekali pun merepotkan kakek dan nenekmu dulu." Tuti tampak sangat kesal karena harus jauh-jauh datang dari Bek
"Nggak usah dikembalikan uangnya, Dan. Anggap saja uang jajan buat Putri." Hanya itu yang bisa terdengar oleh Gina dari ujung pintu kamarnya."Nggak bisa gitu, Mbak Salma. Gina nggak pernah bilang kalo ada pinjam uang sama, Mbak. Saya sebagai suaminya harus tanggung jawab," lanjut Danu sambil mengeluarkan dompet dan mengambil empat lembar uang pecahan lima puluh ribuan.Gina menahan napas karena terkejut. Ternyata Salma datang ke rumah kontrakan ini karena mau menagih hutang. Gina tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak ada uang saat itu. Ia butuh uang karena Putri harus segera berobat."Bukan gitu, Dan. Maksudku, pakai saja uangku itu. Toh, anggap saja rezekinya Putri. Mungkin Gina nggak ada pegang uang pas mau bawa anak kalian berobat," kata Salma menolak uang pemberian dari Danu.Napas Gina terengah menahan amarah. Ia tidak bisa lagi terus di dalam kamar. Uang itu masih tersisa separuhnya. Astaga! Kenapa hal ini membuat emosi."Bu Salma, maaf, kalo saya pinjam uang terlalu l
Gina mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di dada itu nyata adanya. Gina melirik ke arah sang suami yang kini sibuk menyuapi Putri. Sial! Pemandangan itu nyatanya membuat hati Gina luluh."Aku sama sekali nggak ada uang buat ke puskesmas. Nggak mungkin aku jalan kaki ke puskesmas sementara Putri demam tinggi." Gina menjawab dengan nada datar."Lain kali, kamu bisa hubungi aku. Aku akan kasih kok uang buat kamu," jawab Danu enteng seolah menjadi suami yang sangat baik.Jika tidak diminta oleh Gina, Danu tidak akan mengeluarkan uang. Uang modal dan laba untuk mengembangkan dagangannya. Faktanya, justru Danu sering mengalami kerugian yang luar biasa. Entah mangga-mangga itu busuk, salah memberikan kembalian, atau banyak lagi yang lain.Gina kali ini membersihkan tubuhnya dan segera berganti pakaian. Selesai semua itu, Gina segera ke ruang tamu. Danu dan Putri tidak ada di sana. Samar-samar, terdengar seperti Danu sedang mengobrol dengan seseorang."Ya, aku nggak marahlah. Biar gimana
Gina mengembuskan napas perlahan. Ia mengenal suara itu yang tak lain adalah Guntara--mantan suaminya. Entah ada keperluan apa datang sepagi ini. Gedoran pintu rumah kontrakan Gina semakin keras."Mungkin lagi di kamar mandi, Mbak Salma-nya, Mas. Tadi, ada kok dan belum berangkat kerja," kata salah satu tetangga yang masih terdengar oleh Danu dan Salma."Oh, gitu? Atau sedang ada tamu. Ini ada sandal laki-laki," kata Guntara menunjuk sepasang sandal laki-laki yang ada di teras rumah kontrakan Salma."Waduh, kalo itu saya nggak tahu. Mungkin sandal orang yang kemarin membersihkan got depan itu. Got itu mampet dan banjir saat hujan," kata tetangga Salma yang memang tidak salah.Guntara bukan cemburu, tetapi memang rasanya sangat aneh. Salma biasanya langsung membukakan pintu rumah ini. Kali ini tidak. Guntara hanya ingin membicarakan sesuatu pada Salma. Pagi adalah waktu yang tepat untuk bicara."Maaf, ada apa? Saya dari kamar mandi. Kebetulan perut saya tidak enak." Salma terpaksa kelu
Perempuan itu adalah Arumi, salah satu anak pejabat yang tinggal tak jauh dari kawasan kontrakan Salma dan Danu. Jika sudah mencari Danu, pasti Arumi ada keperluan dengan Gina. Entah meminta Gina untuk membantu pekerjaan rumah atau pekerjaan yang lain."Nanti gerobaknya ditarik aja. Biar Mang Dadang yang kaitkan dengan tali dengan bagian belakang mobil." Arumi menunjuk bagian belakang mobilnya.Gegas Mang Dadang pun segera membuka bagian belakang mobil milik sang majikan. Ia mengikat gerobak milik Danu tanpa menunggu diperintah dua kali. Kedua orang tua Danu ingin segera bertemu dengan Gina. Padahal, Danu belum mengiakan permintaan Arumi."Sudah, Mas Danu silakan duduk di depan. Biar saya yang di bagian tengah." Arumi justru membukakan pintu untuk Danu.Gagal sudah rencana Salma bermesraan dengan Danu. Arumi seolah datang tanpa permisi. Akan tetapi, Salma tidak bisa berbuat banyak. Ia pasrah dengan apa yang terjadi.Sesampainya di rumah kontrakan Danu, tampak Gina sedang menyuapi Putr
Santi sengaja mengikuti Salma hingga depan warung Mpok Lela. Santi memang tidak suka dengan Salma. Sikap arogansi Salma di pabrik membuat muak banyak karyawati lain. Janda tanpa anak ini tak segan memotong gaji karyawan lain jika dinilai tidak becus dalam bekerja."Kamu kenapa? Mau belanja juga?" Salma tidak menggubris sindiran keras Santi. "Kalo mau belanja silakan milih dulu. Aku santai kok. Cuma mau beli telur dan sayuran secukupnya saja," kata Salma dengan sikap elegan."Nggak, cuma mau mengingatkan. Jangan ganggu suami-suami orang yang ada di kompleks ini. Jangan pernah menjadi murah hanya karena mantan suami sudah menikahi istri keduanya secara sah baik sah secara agama dan negara." Santi mencibir nasib pernikahan Salma yang terdahulu.Guntara adalah kakak sepupu Santi. Mereka bersaudara. Ayah Guntara adalah kakak kandung ibunda dari Santi. Wajar jika Santi tahu seperti apa Salma. Mereka sama sekali tidak cocok satu dengan lainnya. Salma pernah berusaha mendekati suami Santi."K
Aliyah kali ini sangat terpojok saat mendengar ucapan mantan kakak madunya itu. Apa yang dikatakan Salma memang benar adanya. Kini istri Guntara itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun menatap Salma dengan tatapan memelas."Mbak, saya tahu, dulu saya salah telah membuat Mbak Salma berpisah dengan Mas Guntara. Tapi, sekarang, saya mohon, Mbak kembali menikah dengan Mas Guntara." Aliyah mengatakannya dengan menekan rasa sakit luar biasa di dalam hatinya.Aliyah memang mendapatkan restu dari Yulianti, tetapi berbeda dengan Salma. Yulianti tidak pernah menyukai mantan istri Guntara itu. Padahal, Guntara dan Salma sudah berpacaran sangat lama sejak mereka SMA dulu. Restu memang tak kunjung didapatkan karena Salma berasal dari keluarga biasa dan bukan anak kuliahan. Guntara adalah salah seorang pegawai bank swasta. Ia sosok yang sangat sukses dalam karir, tetapi tidak untuk masalah percintaan. Entahlah, mengapa Yulianti dulu sangat membenci Salma. Salma dulu, bukanlah perempuan penggoda sepe
"Ibu dan yang lainnya sama saja. Mereka tidak akan membantu setiap masalahku, tapi sebaliknya, hanya menambah masalah!" Guntara sangat marah saat ini.Pekerjaan di kantor hari ini sangatlah banyak. Guntara bahkan melupakan jam istirahatnya. Ia tidak keluar untuk makan siang. Meski sudah bekerja dari pagi, tetap saja, pekerjaan itu belum selesai. Senja mulai menyelimuti langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Udara di sekitar pabrik terasa penuh dengan debu dan bau besi yang khas. Para pekerja satu per satu keluar dari pintu produksi, wajah mereka tampak lelah setelah seharian bergulat dengan mesin dan pekerjaan berat. Lelah setelah bekerja seharian tampak pada wajah para pekerja itu. Di antara kerumunan itu, seorang pria tegap berdiri bersandar pada kap mobil hitamnya. Sorot matanya tajam, menelusuri wajah-wajah yang keluar dari dalam pabrik. Guntara menunggu dengan sabar, meski dadanya berdegup kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tetap
"Ibu bukan nggak tahu kegilaanmu, Gun. Hanya saja, selama ini, Ibu diam dan sengaja menunggu kamu berubah. Tapi, ternyata tidak. Kamu justru semakin gila! Salma dan laki-laki itu sudah menikah!" Yulianti berbicara dengan nada penuh amarah pada sang anak. "Apa yang kamu harapkan dari wanita pelakor itu? Dia sengaja membuat istri laki-laki itu pergi!" bentak Yulianti dengan kasar dan keras."Ibu tahu dari mana mereka sudah menikah?" tanya Guntara yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Yulianti menoleh lalu tersenyum sinis. Ia menertawakan sang anak yang tampak bodoh itu. Yulianti lantas mengatakan kalimat pedas yang membuat Guntara terdiam seketika. Fakta itu memang menyakitkan."Sejak lama Ibu sudah tahu. Kamu saja yang menutup mata dan telinga. Sudah benar membuang batu kali dan mendapatkan berlian, kamu malah memilih mengambil batu kali. Di mana otak kamu?" Yulianti mengatakan dengan nada keras. Ruangan rumah mewah itu terasa begitu tegang. Yulianti berdiri di tengah ruang
Udara malam menyelimuti rumah kontrakan Danu dengan keheningan yang mencekam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyoroti halaman sempit di depan rumah. Angin berembus pelan, mengayun tirai jendela yang dibiarkan terbuka sedikit, memberikan celah bagi cahaya bulan untuk masuk. Aroma tanah basah sisa hujan sore tadi masih tercium samar-samar.'Aku dan Salma sama-sama saling menguntungkan. Aku jelas tidak salah. Gina jauh!' Danu masih membayangkan aktivitas mereka saat di hotel beberapa waktu yang lalu.Danu duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan, tangan kirinya memegang gelas berisi kopi hitam yang masih mengepul. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedikit berantakan, meneteskan air ke kaus oblong yang dikenakannya. Pandangannya kosong, menatap ke luar jendela dengan mata sedikit sayu. Di dalam pikirannya, ada banyak hal yang berkecamuk—tentang Salma, tentang Gina, dan tentang kehidupannya yang semakin rumit.Ada Salma di rumah ini. Setelah kejadian itu, baru sekara
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Salma selalu tersenyum. Ia masih mengingat bagaimana permainan Danu semalam. Sangat memuaskan dan Salma hampir kewalahan. Mendadak Salma membandingkan permainan ranjang Guntara dan Danu, lantas senyumnya langsung memudar. Salma baru saja tiba di rumahnya, sebuah rumah minimalis dengan pagar putih sederhana. Malam sudah larut, udara dingin menyelimuti lingkungan sekitar. Langit tampak gelap tanpa bintang, hanya rembulan yang bersinar redup di balik awan tipis. Rasa lelah masih menggelayut di tubuhnya, setelah seharian berada di luar rumah. Namun, belum sempat ia menghela napas lega, langkahnya terhenti.Di teras rumahnya, seorang pria berdiri tegap dengan tatapan tajam yang menusuk ke arah Salma. Guntara.'Ngapain dia di sana!' Salma menggerutu di dalam hati saat melihat Guntara duduk di salah satu kursi yang ada di terasnya.Salma kesal saat melihat sang mantan suami. Entah sejak kapan pria itu berada di sana. Salma tidak melihat mobilnya terparkir
Danu duduk di karpet rumah kontrakan dengan wajah kusut. Asap rokok yang mengepul di ujung jarinya perlahan membaur dengan udara dingin yang masuk dari jendela. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan kilauan lampu kota di malam hari. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak basah di trotoar dan jalan raya yang memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Ternyata tidak semudah itu!Di depannya, Salma berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh dengan ketegangan. Perempuan itu baru saja mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Danu, dan kini menuntut kepastian. Ya, Danu meminta kompensasi atas apa yang diminta oleh Salma. Mereka baru saja beradu argumen dengan Guntara."Apa tidak ada pilihan lain?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Danu tanpa basa-basi sama sekali. "Kita sudah sepakat, Danu," ucapnya dingin. "Aku sudah melunasi hutang-hutangmu. Sekarang giliranmu melakukan bagianmu."Danu menghela napas panjang, membuang sisa rokoknya ke asb
"Ck! Udah nggak ada uang lagi. Sepuluh ribu saja sisa uang celengan milik Gina!" Danu melempar celengan dari bahan kaleng yang dulu dibeli oleh sang istri.Gina memang punya kebiasaan memasukkan uang sisa belanja atau sengaja menyisihkan uang dalam celengan yang bisa dibuka. Celengan itu tidak dibawa oleh Gina, entah lupa atau sengaja. Uang dalam celengan itu digunakan Danu untuk bertahan hidup. Namun, perlahan, tetapi pasti uang itu habis. Sementara itu, sudah lebih dari satu bulan, tetapi Danu masih belum memberikan jawaban pasti. Salma mulai kehilangan kesabaran. Setiap kali mereka bertemu, tatapan matanya penuh harap, tetapi Danu hanya terdiam atau mengalihkan pembicaraan. Danu memang sengaja mengulur waktu hingga Gina mengirimkan uang. Namun, harapannya itu sia-sia, Gina tidak mengirim uang itu.Di dalam rumah kontrakan minimalisnya, Salma duduk di tepi jendela, memandangi langit malam yang pekat. Lampu-lampu kota berpendar di kejauhan, tetapi pikirannya berkecamuk. Ia sudah mer
Sudah hampir sebulan Gina berada di Jerman. Kota Berlin yang dingin dengan langit kelabu menjadi saksi bisu perjuangannya untuk memulai hidup baru. Meski pekerjaannya sebagai pelayan restoran terbilang berat, Gina tetap menjalani hari-harinya dengan tabah. Waktu senggangnya sering ia habiskan di kamar kecil apartemennya untuk video call dengan Putri, anak semata wayangnya yang kini diasuh oleh Reza dan istrinya. Gina sering kali harus menahan tangis karena menahan kerinduan pada buah hati."Bunda, aku di sini baik-baik saja. Aku juga sering diajak Om Reza ke taman kalo sore. Kami sambil makan."Kata-kata yang keluar dari mulut Putri dengan logat cadelnya membuat Gina harus menahan tangis. Ia merindukan sang anak. Hal terberat bagi Gina adalah meninggalkan Putri. Ada rasa bersalah yang luar biasa saat meninggalkan sang anak. Namun, itu harus dilakukan demi masa depan mereka berdua.Saat video call berlangsung, Putri tampak ceria seperti biasa. Anak kecil itu bercerita tentang mainan ba
Langit sore yang suram menambah kelam suasana di salah satu ruangan rumah sakit. Di dalam ruang tunggu VIP, kedua orang tua Aliyah duduk dengan wajah tegang dan penuh amarah. Pak Ridwan, ayah Aliyah, melipat tangan di depan dada, matanya menatap tajam ke arah Yulianti yang duduk di seberang mereka. Sementara itu, Bu Rina, ibu Aliyah, menahan napas dengan dada yang berdegup kencang, mencoba mengontrol emosinya yang sudah hampir meledak.Suasana sangat mencekam, horor. Sebagai seorang ayah, Ridwan jelas tidak bisa menerima apa yang menimpa sang putri. Aliyah adalah anak semata wayang mereka. Mereka menyesal baru tahu jika kehidupan rumah tangga anak mereka tidak baik-baik saja. "Bu Yulianti," suara Pak Ridwan terdengar dingin. "Saya rasa percuma kita terus menunggu. Guntara sudah jelas tidak akan datang. Anda tahu sendiri dia sedang sibuk mengejar perempuan lain, bukan?"Yulianti terdiam. Wajahnya pucat, dan matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Tangannya meremas tisu yang h
Malam semakin larut ketika Guntara akhirnya tiba di parkiran rumah sakit. Ia mematikan mesin mobilnya dan duduk diam sejenak di balik kemudi. Di luar, lampu-lampu jalanan menerangi aspal yang basah akibat hujan ringan sebelumnya. Udara di dalam mobil terasa pengap, seolah menekan dadanya, namun bukan karena kurangnya ventilasi—melainkan karena beban pikiran yang menghantui."Pada akhirnya semua akan terbongkar dengan sendirinya. Aku muak dengan mereka semua. Mereka diam-diam jahat!" Guntara berbicara seorang diri sambil meremas rambut dengan kasar. Guntara sudah terlalu kecewa dengang sang ibu, Yulianti. Sangat kejam karena telah jahat pada Salma. Mereka sebenarnya tidak ada masalah. Kali ini Guntara merasa sangat menyesal dan perasaan bersalah pada Salma sangat menghantui hidupnya.Guntara menarik napas panjang. Ia tidak tahu apa yang mendorongnya untuk datang ke rumah sakit malam ini. Rasanya ada yang harus ia selesaikan, sesuatu yang tidak bisa menunggu. Aliyah pasti masih ada di