Share

Dua

Tanpa pikir panjang, Gina segera pergi ke kantin. Kebetulan, di belakang puskesmas ini ada sebuah kantin. Kantin untuk anak sekolah dan umum. Gina menatap wajah Putri yang kini mulai memucat.

"Bu, yang jualan bubur di mana, ya?" tanya Gina pada penjual gorengan yang ada di dekat kantin.

"Coba deh ke ujung sana. Semoga masih ada, Mbak," jawab penjual gorengan sambil menunjuk ke arah tenda terpal berwarna orange.

"Terima kasih." Gegas Gina menuju ke arah tenda yang ditunjukkan oleh penjual gorengan itu. 

Masih rezeki, masih ada sedikit sisa bubur. Gina pun hendak membelinya untuk sarapan sang anak. Ternyata, penjual bubur pasangan paruh baya itu justru memberikannya; tidak perlu bayar. Bubur itu diberikan topping telur rebus dan suwiran ayam.

"Berapa ini?" tanya Gina sambil merogoh saku baju yang dipakainya.

"Bawa aja, Mbak. Ini sisa jualan kami. Sudah, segera suapin anak kamu," kata ibu penjual bubur itu.

Lagi dan lagi, mata Gina sebak karena banyak orang baik. Setelah mengucapkan terima kasih, Gina segera menuju ke puskesmas. Antrean masih mengular dan Gina memutuskan untuk menyuapi Putri dahulu. Bubur itu dimakan oleh sang anak hingga tandas. 

"Bu, aku haus," kata Putri yang saat ini punya sedikit tenaga. 

"Iya, Nak. Kita beli air minum dulu," kata Gina sambil membereskan bekas tempat makan Putri lalu membuangnya ke tempat sampah.

Gina membeli sebotol air mineral. Putri meminumnya perlahan dan habis setengahnya. Kini wajah Putri sudah sedikit bercahaya dan tidak lagi pucat pasi. Antrean Gina pun tiba. Putri diperiksa oleh Dokter puskesmas.

"Sejak kapan demamnya, Bu?" tanya Sang Dokter sambil memukul perlahan perut Putri yang berbunyi; perut kembung.

"Tadi pagi langsung demam tinggi." Gina menjawab dengan cepat setelahnya Putri memuntahkan isi perutnya. "Ma-maafkan saya, Dok," lanjut Gina merasa tidak enak pada sang Dokter.

"Tidak apa, Bu. Ini langsung saya kasih rujukan saja ke rumah sakit sebelum terlambat. Anak Ibu sakit tipes," kata sang Dokter membuat Gina terkejut dan tidak bisa menahan air mata.

"Ha-harus dirawat, Dok?" tanya Gina dengan terbata-bata karena tidak punya cukup uang.

"Ya, tidak bisa terlambat karena sangat bahaya. Ini demamnya tinggi dan butuh pemeriksaan detail untuk anak Ibu," kata Dokter dengan wajah serius lalu membersihkan bekas muntahan Putri.

Dokter menberikan surat rujukan untuk Putri. Tidak bisa rawat jalan karena ditakutkan ada komplikasi penyakit lain. Tangan Gina gemetar saat menerima surat rujukan itu. Dokter pun paham saat melihat Gina.

"Apa, Ibu, punya asuransi dari pemerintah agar bisa berobat gratis?" tanya sang Dokter dengan wajah penuh rasa prihatin.

Gina menggeleng sebagai jawaban. Asuransi yang konon gratis itu tetap saja harus membayar iuran bulanan. Jangankan untuk bayar asuransi, untuk makan saja mereka susah. Gina tampak mengembuskan napas panjang saat ini.

"Begini saja, Ibu bisa meminta surat keterangan tidak mampu dan rt setempat. Nanti setelahnya dipakai untuk mendaftarkan asuransi pemerintah yang benar-benar gratis, Bu." Ucapan sang Dokter membuat Gina sedikit bersemangat. "Biar saya bantu buatkan surat pengantar dari puskesmas ini agar dimudahkan biayanya," lanjut Dokter muda itu dengan ramah.

Gina tidak membawa ponselnya karena terburu-buru tadi. Kali ini Putri sudah mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Gina tidak mungkin meninggalkan sang anak seorang diri di rumah sakit. Urusan asuransi kesehatan sudah selesai.

Putri dirawat di ruang rawat inap kelas empat. Tidak masalah, yang penting Putri sudah mendapatkan penanganan. Pukul lima sore dan perut Gina terasa lapar. Sejak pagi ia belum makan sama sekali.

Sementara itu, Danu baru saja pulang berdagang. Hari ini lumayan mendapatkan rezeki banyak. Dagangan Danu laku dan habis. Danu mengembuskan napas kasar karena mendapati rumahnya kosong.

"Orang pulang kok malah rumah kosong!" Danu mendengkus kasar karena kesal tidak mendapati anak dan istrinya.

Hanya ada bubur nasi yang masih berada di atas kompor. Bubur sudah matang, tetapi belum diangkat dari atas kompor yang sudah mati. Danu menatap bubur yang belum tersentuh sama sekali. Ia kembali menutup panci bubur itu.

Hingga pukul sembilan malam, Danu tidak mendapati sang istri pulang bersama Putri. Ia kelabakan karena takut sang istri kabur dan pulang ke rumah orang tuanya. Danu pun mencoba menghubungi ponsel sang istri. Dering ponsel itu justru terdengar di salah satu sudut kamar mereka.

Gegas, Danu membuka lemari pakaian. Ia masih bersyukur ketika melihat semua pakaian sang istri dan Putri masih ada. Artinya, Gina tidak kabur dan pulang ke rumah orang tuanya. Danu mengembuskan napas lega dan tetap menunggu sang istri.

"Mas Danu, permisi!" Suara dari luar pintu rumah membuat Danu terkejut sekaligus ketakutan.

"Ya! Sebentar!" Danu berjalan tergesa-gesa menuju ke luar. "Ada apa, Pak?" tanya Danu saat melihat Pak Abas berdiri di depan pintu rumahnya.

"Mbak Gina ada? Saya dan istri mau minta bantuan. Besok kami ada hajatan, jadi kami pengen Mbak Gina ikut bantu-bantu masak. Ajak Putri juga nggak masalah," kata Pak Abas dan diangguki sang istri.

"Mohon maaf sebelumnya, istri saya sedang tidak ada di rumah. Saya juga nggak tahu ke mana perginya istri saya." Danu mengembuskan napas panjang dan membuat pasangan suami dan istri di depannya itu saling pandang.

"Ya, sudah, Pak. Nanti kalo Mbak Gina udah pulang tolong kabari kami." Pak Abas dan sang istri tampak kecewa saat ini.

Gina memang kadang ikut membantu memasak tetangga yang punya hajat. Gina biasa dibayar murah oleh mereka. Itulah mengapa, banyak orang yang suka menggunakan tenaga Gina. Jika tidak karena terpaksa, Gina tidak akan mau.

"Insyaa Allah, ya, Pak." Danu tidak berani memberikan harapan pada Pak Abas dan istrinya.

Hingga pagi menjelang, Danu tidak mendapati sang istri pulang. Benarkah pertengkaran kemarin pagi menjadi pemicunya? Danu merasa tidak terima jika seperti ini. Laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu justru marah.

"Awas saja jika masih berani pulang!" Danu mengepalkan tangan saat ini.

Danu tidak memejamkan mata sama sekali karena menunggu Gina dan Putri. Hingga hari terang, tidak ada tanda-tanda Gina akan pulang. Danu beranjak dari duduknya. Pikiran laki-laki itu sangatlah keruh.

Ketukan pintu membuat Danu menoleh ke arah benda berbentuk persegi. Ia segera mendekat dan melihat siapa yang datang. Gina ada di depan pintu. Tanpa pikir panjang, Danu membuka pintu rumah kontrakan dengan kasar.

"Plak!" Tamparan itu terayun dari tangan Danu yang lepas kontrol saat ini.

Gina terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk karena tidak siap mendapatkan tamparan itu. Pipi wanita muda usia dua puluh empat tahun itu langsung memerah dan panas. Air mata pun mengalir deras dari mata indah Gina. Astaga!

"Ada apa, Pak Danu? Kenapa menampar istri, Anda?" Salah satu tetangga menegur Danu yang pagi ini kalap.

"Diam! Jangan ikut campur!" Danu menuding ke arah laki-laki yang tinggal tepat di sebelah rumah kontrakannya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status