Mas, kamu tahu nggak, semua harga kebutuhan kita naik semua. Beras, minyak, gas, token, bahkan tahu dan tempe juga ikan asin ikutan naik. Kamu usaha dong kerja lebih keras lagi! Kalo misal hanya jualan buah keliling saja nggak akan cukup. Lihat, mangga yang kamu bawa ke sana ke mari itu bahkan mau busuk!" Omelan Gina membuat Danu hanya bisa mengelus dada setiap pulang bekerja.
Suara Gina menggelegar memenuhi rumah petak yang sengaja mereka sewa itu. Pertengkaran mereka sudah menjadi langganan. Tetangga hanya bisa diam karena tidak bisa memberikan solusi apa pun. Gina hanya ingin semua kebutuhan terpenuhi. "Ya, kamu sabar dulu. Aku juga udah usaha maksimal." Danu berusaha tenang menanggapi omelan sang istri. Danu kini berusaha mengambil alih Putri semata wayangnya dari gendongan Gina. Anak mereka berusia satu setengah tahun dan sedang aktif-aktifnya. Gina dulu bekerja di pabrik, tetapi akhirnya memutuskan berhenti bekerja untuk mengasuh anak mereka. Orang tua Gina merasa keberatan jika Putr--anak Gina dititipkan. "Sabar? Kalo anakmu nangis karena lapar apa masih bisa sabar kamu, Mas? Tolong pakai otak kamu sedikit!" Ucapan kasar Gina sudah tidak terbendung lagi saat ini. Keuangan mereka saat ini bukan hanya menipis, tetapi sudah sangat minus. Orang tua Danu tidak mau membantu dengan alasan masih ada adik bungsu Danu yang masih sekolah. Suami Gina juga bukan dari kalangan keluarga kaya. Danu berasal dari keluarga ekonomi sulit, sama halnya seperti Gina. Malam semakin larut, sejak pertengkaran sore tadi, terpaksa Danu harus menahan lapar. Gina hanya menggoreng satu butir telur dan itu pun untuk lauk putri mereka. Entah, Gina makan malam dengan lauk apa, karena nasi juga sudah habis. Danu terbiasa tidak makan malam ketika Gina marah-marah. "Gin, bisa kita bicara sebentar?" tanya Danu sambil mengguncang tubuh sang istri dengan lembut. Gina hanya melirik sang suami. Sudah menjadi kebiasaan Gina, ketika marah pasti tidak akan bisa tidur. Terdengar dengan jelas helaan napas panjang yang keluar dari mulut Danu. Danu tampak menatap langit-langit kamar mereka. Hatinya sangat sakit karena tidak bisa memenuhi kebutuhan sang istri. Pagi datang dengan cepat, Gina sudah bangun dan sibuk berkutat di dapur. Ia membuat tungku dadakan karena gas habis. Beras yang tinggal satu gelas itu dibuatnya menjadi bubur agar bisa untuk makan hingga sore. Tak lupa, Gina menyiapkan telur mata sapi untuk lauk Putri. "Doakan aku supaya dapat rezeki lebih, ya," kata Danu yang pagi ini sudah siap hendak berjualan keliling. Akhir-akhir ini, dagangan Danu sepi pembeli. Pembeli yang kebanyakan adalah ibu-ibu lebih memilih mengalokasikan uang belanja mereka untuk keperluan membeli sembako. Maklum, semua harga sedang meroket. Belum lagi, masih banyak kebutuhan untuk anak sekolah. "Percuma aku doa setiap hari kalo kamu nggak niat jualannya!" Gina membentak sang suami yang saat ini sedang berdiri di depan pintu dapur. "Gina, kamu bisa nggak jangan kasar sama aku. Suara kamu itu selalu pakai nada tinggi. Ya, aku tahu memang belum bisa ngasih lebih sama kamu. Tapi, aku udah usaha." Danu pagi ini mulai terpancing emosi karena ulah Gina. "Terserah! Aku nggak peduli lagi! Kalo ada uang, aku akan masak. Kalo nggak, aku hanya akan masak buat Putri. Terserah, kamu mau makan apa. Mau makan angin silakan!" Gina tidak terima mendengar ucapan sang suami. Hari masih pagi dan pertengkaran dalam rumah Danu sudah terdengar. Kasak-kusuk tetangga bisa terdengar dengan jelas. Danu hanya bisa bersabar saat ini. Ia tidak mau membalas ucapan sang istri. Saat Gina memutuskan berhenti dari pekerjaannya menjadi buruh pabrik, Danu justru sebaliknya. Ia diberhentikan karena ada pengurangan pegawai. Hal ini jelas menjadi pukulan mereka berdua. Perlahan, tabungan mereka menipis. Uang tabungan Gina sudah ludes untuk menyambung hidup sehari-hari. Gina merasa sangat tertekan karena kebutuhan hidup harus dipenuhi. Mininal untuk makan saja mereka juga kesulitan. Gina tidak tahu lagi harus bagaimana saat ini. "Aku berangkat dulu, Gin. Doakan semoga aku ada rezeki," kata Danu yang saat ini menahan segala rasa dalam dada. Bukan salah Gina jika marah. Danu sadar belum bisa menjadi ayah dan suami yang baik. Gina sudah banyak berjuang sejak mereka menikah. Hanya saja cobaan yang mereka alami sangat luar biasa. Tiga puluh menit setelah Danu berangkat, Gina mendengar suara Putri merintih. Ia pun segera mematikan kompor dan menuju ke kamar. Gina dengan cepat menggapai sang putri. Nahas, tubuh mungil Putri demam tinggi. "Ya, Allah, kamu demam, Nak." Gina kini meneteskan air mata. Tidak ada uang sama sekali yang dipegangnya. Putri sudah mengompol dan harus diganti diapers-nya. Sisa satu buah diapres dan itu membuat Gina harus menahan rasa sesak luar biasa. Tanpa pikir panjang, Gina menggendong sang putri setelah diganti diapers-nya dan pergi menuju ke rumah salah satu tetangga. "Permisi, Bu Salma," kata Gina sambil mengetuk pintu rumah salah satu tetangga kontrakannya. "Ada apa, Mbak Gina? Lho? Ini Putri kenapa?" tanya Salma yang sudah siap hendak berangkat kerja di pabrik. "Bu, saya boleh pinjam uang? Saya mau bawa Putri ke puskesmas. Anak saya demam," kata Gina yang kini menahan air matanya. "Sebentar," Salma menjawab sambil merogoh tas dan mengambil dua lembar uang kertas berwarna merah. "Ini, Mbak Gina bisa pakai uang saya. Nanti kembalikan ketika sudah punya uang," lanjut Salma sambil tersenyum lebar. "Terima kasih, Bu Salma. Saya pasti akan kembalikan secepatnya." Gina tidak bisa menahan rasa haru. Hanya Salma yang masih mau meminjami uang atau memberikan makanan ketika kekurangan. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu hidup seorang diri. Suaminya pergi bersama dengan wanita lain. Salma juga belum punya anak. "Sama-sama, Mbak Gina. Gimana kalo ke puskesmasnya bareng saja. Kita searah kok?" tawar Salma yang saat ini mengangsurkan helm pada Gina. Gina mengerjab beberapa kali karena menerima kebaikan Salma. Sungguh wanita di depannya itu seperti malaikat penolong bagi Gina. Tangan Gina meraih dengan cepat helm yang diberikan oleh Salma. Salma sadar, Gina tidak membawa selimut untuk menutupi tubuh mungil Putri. "Sebentar, Mbak." Salma kembali membuka pintu rumah dan mengambil selimut kecil. "Pakai ini, biar Putri nggak makin demam," lanjutnya sambil memberikan selimut berwarna biru muda itu. "Terima kasih, Bu Salma." Gina langsung memasang selimut itu pada sekujur tubuh Putri. Salma pun melajukan motor menuju ke puskesmas. Gina harus mengantre dan Putri sangat rewel. Gina bahkan belum memberikan sarapan untuk anak perempuannya. Ia hanya fokus harus segera ke puskesmas. "Udah sarapan belum anaknya?" Putri menggeleng saat ada salah satu orang tua pasien anak yang bertanya. "Ya, kasih sarapan dululah, lapar itu anaknya. Lagian, antrean kamu masih lama," lanjutnya dengan ketus.Tanpa pikir panjang, Gina segera pergi ke kantin. Kebetulan, di belakang puskesmas ini ada sebuah kantin. Kantin untuk anak sekolah dan umum. Gina menatap wajah Putri yang kini mulai memucat."Bu, yang jualan bubur di mana, ya?" tanya Gina pada penjual gorengan yang ada di dekat kantin."Coba deh ke ujung sana. Semoga masih ada, Mbak," jawab penjual gorengan sambil menunjuk ke arah tenda terpal berwarna orange."Terima kasih." Gegas Gina menuju ke arah tenda yang ditunjukkan oleh penjual gorengan itu. Masih rezeki, masih ada sedikit sisa bubur. Gina pun hendak membelinya untuk sarapan sang anak. Ternyata, penjual bubur pasangan paruh baya itu justru memberikannya; tidak perlu bayar. Bubur itu diberikan topping telur rebus dan suwiran ayam."Berapa ini?" tanya Gina sambil merogoh saku baju yang dipakainya."Bawa aja, Mbak. Ini sisa jualan kami. Sudah, segera suapin anak kamu," kata ibu penjual bubur itu.Lagi dan lagi, mata Gina sebak karena banyak orang baik. Setelah mengucapkan teri
Gina kini sudah berdiri sambil memeganggi pipinya. Emosi Danu sama sekali tidak bisa dikendalikan. Hampir saja Danu menendang perut Gina. Beruntung, ada tetangga yang menarik tubuh mungil Gina."Saya akan melaporkan pada pihak berwajib jika ada hal buruk terjadi pada Gina. Masalah rumah tangga itu bisa dibicarakan baik-baik. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah." Tetangga Danu mengatakan dengan tegas."Cukup! Lepaskan istri saya!" Danu menarik kuat lengan Gina lalu menutup pintu dengan keras. "Kamu pergi sesuka hati hanya karena aku tidak punya uang? Kamu memang wanita sialan!" teriak Danu tepat di depan wajah Gina.Tubuh Gina gemetar hebat pagi ini. Ia pulang karena harus mengambil pakaian bersih untuk Putri. Gina juga harus mandi dan berganti pakaian saat ini. Tubuhnya sangat lengket karena keringat. Putri di rumah sakit dititipkan pada perawat."Aku memang pergi, tapi bukan sesuka hati. Putri masuk rumah sakit." Jawaban Gina membuat Danu terkejut. "Aku tidak bisa mengabarimu
Gina tidak mengatakan apa pun pada sang suami. Danu kini sibuk menidurkan Putri hingga kedua orang Gina datang. Wajah Pak Syamsuri dan sang istri tampak masam. Gina memang meminta mereka untuk datang agar bisa bergantian jaga. "Kamu tahu 'kan, kami ini sudah tua, tidak seharusnya disuruh gantian jaga anak kamu. Baru anak satu udah merepotkan orang tua," kata Tuti--ibunda dari Gina yang merasa tidak suka ketika datang menjenguk cucu mereka. Dari empat anaknya, hanya Gina saja yang nasibnya tidak baik karena menikah dengan Danu. Ketiga kakak Gina sudah sukses semua. Lihat saja Gina, hidup jauh dari kata pas-pasan atau bahkan sangat kekurangan. Dulu Syamsuri menolak pernikahan mereka. "Saya hanya minta tolong, Pak, Bu." Gina menahan air matanya yang akan jatuh ke pipi. "Minta tolong? Lalu suami kamu sibuk apa? Kalian bisa bergantian jaga. Ibu itu anaknya empat, nggak pernah sekali pun merepotkan kakek dan nenekmu dulu." Tuti tampak sangat kesal karena harus jauh-jauh datang dari Bek
"Nggak usah dikembalikan uangnya, Dan. Anggap saja uang jajan buat Putri." Hanya itu yang bisa terdengar oleh Gina dari ujung pintu kamarnya."Nggak bisa gitu, Mbak Salma. Gina nggak pernah bilang kalo ada pinjam uang sama, Mbak. Saya sebagai suaminya harus tanggung jawab," lanjut Danu sambil mengeluarkan dompet dan mengambil empat lembar uang pecahan lima puluh ribuan.Gina menahan napas karena terkejut. Ternyata Salma datang ke rumah kontrakan ini karena mau menagih hutang. Gina tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak ada uang saat itu. Ia butuh uang karena Putri harus segera berobat."Bukan gitu, Dan. Maksudku, pakai saja uangku itu. Toh, anggap saja rezekinya Putri. Mungkin Gina nggak ada pegang uang pas mau bawa anak kalian berobat," kata Salma menolak uang pemberian dari Danu.Napas Gina terengah menahan amarah. Ia tidak bisa lagi terus di dalam kamar. Uang itu masih tersisa separuhnya. Astaga! Kenapa hal ini membuat emosi."Bu Salma, maaf, kalo saya pinjam uang terlalu l
Gina mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di dada itu nyata adanya. Gina melirik ke arah sang suami yang kini sibuk menyuapi Putri. Sial! Pemandangan itu nyatanya membuat hati Gina luluh."Aku sama sekali nggak ada uang buat ke puskesmas. Nggak mungkin aku jalan kaki ke puskesmas sementara Putri demam tinggi." Gina menjawab dengan nada datar."Lain kali, kamu bisa hubungi aku. Aku akan kasih kok uang buat kamu," jawab Danu enteng seolah menjadi suami yang sangat baik.Jika tidak diminta oleh Gina, Danu tidak akan mengeluarkan uang. Uang modal dan laba untuk mengembangkan dagangannya. Faktanya, justru Danu sering mengalami kerugian yang luar biasa. Entah mangga-mangga itu busuk, salah memberikan kembalian, atau banyak lagi yang lain.Gina kali ini membersihkan tubuhnya dan segera berganti pakaian. Selesai semua itu, Gina segera ke ruang tamu. Danu dan Putri tidak ada di sana. Samar-samar, terdengar seperti Danu sedang mengobrol dengan seseorang."Ya, aku nggak marahlah. Biar gimana
Gina mengembuskan napas perlahan. Ia mengenal suara itu yang tak lain adalah Guntara--mantan suaminya. Entah ada keperluan apa datang sepagi ini. Gedoran pintu rumah kontrakan Gina semakin keras."Mungkin lagi di kamar mandi, Mbak Salma-nya, Mas. Tadi, ada kok dan belum berangkat kerja," kata salah satu tetangga yang masih terdengar oleh Danu dan Salma."Oh, gitu? Atau sedang ada tamu. Ini ada sandal laki-laki," kata Guntara menunjuk sepasang sandal laki-laki yang ada di teras rumah kontrakan Salma."Waduh, kalo itu saya nggak tahu. Mungkin sandal orang yang kemarin membersihkan got depan itu. Got itu mampet dan banjir saat hujan," kata tetangga Salma yang memang tidak salah.Guntara bukan cemburu, tetapi memang rasanya sangat aneh. Salma biasanya langsung membukakan pintu rumah ini. Kali ini tidak. Guntara hanya ingin membicarakan sesuatu pada Salma. Pagi adalah waktu yang tepat untuk bicara."Maaf, ada apa? Saya dari kamar mandi. Kebetulan perut saya tidak enak." Salma terpaksa kelu
Perempuan itu adalah Arumi, salah satu anak pejabat yang tinggal tak jauh dari kawasan kontrakan Salma dan Danu. Jika sudah mencari Danu, pasti Arumi ada keperluan dengan Gina. Entah meminta Gina untuk membantu pekerjaan rumah atau pekerjaan yang lain."Nanti gerobaknya ditarik aja. Biar Mang Dadang yang kaitkan dengan tali dengan bagian belakang mobil." Arumi menunjuk bagian belakang mobilnya.Gegas Mang Dadang pun segera membuka bagian belakang mobil milik sang majikan. Ia mengikat gerobak milik Danu tanpa menunggu diperintah dua kali. Kedua orang tua Danu ingin segera bertemu dengan Gina. Padahal, Danu belum mengiakan permintaan Arumi."Sudah, Mas Danu silakan duduk di depan. Biar saya yang di bagian tengah." Arumi justru membukakan pintu untuk Danu.Gagal sudah rencana Salma bermesraan dengan Danu. Arumi seolah datang tanpa permisi. Akan tetapi, Salma tidak bisa berbuat banyak. Ia pasrah dengan apa yang terjadi.Sesampainya di rumah kontrakan Danu, tampak Gina sedang menyuapi Putr
Santi sengaja mengikuti Salma hingga depan warung Mpok Lela. Santi memang tidak suka dengan Salma. Sikap arogansi Salma di pabrik membuat muak banyak karyawati lain. Janda tanpa anak ini tak segan memotong gaji karyawan lain jika dinilai tidak becus dalam bekerja."Kamu kenapa? Mau belanja juga?" Salma tidak menggubris sindiran keras Santi. "Kalo mau belanja silakan milih dulu. Aku santai kok. Cuma mau beli telur dan sayuran secukupnya saja," kata Salma dengan sikap elegan."Nggak, cuma mau mengingatkan. Jangan ganggu suami-suami orang yang ada di kompleks ini. Jangan pernah menjadi murah hanya karena mantan suami sudah menikahi istri keduanya secara sah baik sah secara agama dan negara." Santi mencibir nasib pernikahan Salma yang terdahulu.Guntara adalah kakak sepupu Santi. Mereka bersaudara. Ayah Guntara adalah kakak kandung ibunda dari Santi. Wajar jika Santi tahu seperti apa Salma. Mereka sama sekali tidak cocok satu dengan lainnya. Salma pernah berusaha mendekati suami Santi."K