Gina mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di dada itu nyata adanya. Gina melirik ke arah sang suami yang kini sibuk menyuapi Putri. Sial! Pemandangan itu nyatanya membuat hati Gina luluh.
"Aku sama sekali nggak ada uang buat ke puskesmas. Nggak mungkin aku jalan kaki ke puskesmas sementara Putri demam tinggi." Gina menjawab dengan nada datar. "Lain kali, kamu bisa hubungi aku. Aku akan kasih kok uang buat kamu," jawab Danu enteng seolah menjadi suami yang sangat baik. Jika tidak diminta oleh Gina, Danu tidak akan mengeluarkan uang. Uang modal dan laba untuk mengembangkan dagangannya. Faktanya, justru Danu sering mengalami kerugian yang luar biasa. Entah mangga-mangga itu busuk, salah memberikan kembalian, atau banyak lagi yang lain. Gina kali ini membersihkan tubuhnya dan segera berganti pakaian. Selesai semua itu, Gina segera ke ruang tamu. Danu dan Putri tidak ada di sana. Samar-samar, terdengar seperti Danu sedang mengobrol dengan seseorang. "Ya, aku nggak marahlah. Biar gimana pun Gina juga istriku." Entah mengobrol dengan siapa, Danu tampak sangat bahagia sambil menggendong Putri. Obrolan itu seperti keduanya sangat akrab. Gina tidak berpikir negatif tentang sang suami. Ia pun segera mendekat ke arah Danu. Melihat keberadaan Gina, mendadak Danu terkejut. Ia mematikan sambungan telepon itu. Bukan sambungan telepon, rupanya mereka sedang melakukan video call. Gina hanya melirik sekilas dan membuat Danu canggung. "Ck! Kuota malah habis. Padahal lagi seru mengobrolnya." Danu berusaha sangat tenang saat ini. "Ini lumayan 'kan kalo sesama pedagang buah keliling bisa saling kerja sama?" tanya Danu pada Gina yang saat ini menggendong Putri dengan kain jarik. "Putri udah minum obat?" tanya Gina tidak merespons ucapan sang suami. "Be-belum. Aku nggak tahu obatnya kamu simpan di mana." Danu gugup saat melihat wajah datar sang istri. Danu takut jika Gina mendengar obrolan mereka berdua lagi. Gina bukan wanita bodoh; instingnya selalu tepat. Danu tidak mau hubungannya dengan seorang wanita yang baru saja dimulai akan kandas. Ia masih butuh uang dari wanita itu. Hanya sekadar iseng tidak sampai tidur layaknya suami dan istri. Gina tentu tidak akan curiga. Toh, mereka hanya akan ketemu saat pagi dan sore saja. Salma--wanita penggoda itu yang diam-diam berani bermain api dengan Gina. "Putri bobok dulu, ya," kata Gina setelah meminumkan obat pada sang anak. Gina terbiasa menggendong anak perempuannya hingga tertidur. Sejak Putri lahir, memang seperti itu cara menidurkannya. Gina tidak merasa lelah atau bagaimana. Sebab, salah satu dari pengorbanan dan perjuangan seorang ibu. "Bu, tadi, Apak, telepon sama Ante Alma," kata Putri berceloteh dengan logat cadelnya. Gina sedikit tidak paham apa yang diucapkan sang putri. Putri sudah setengah mengantuk. Gina tidak berpikir jika itu adalah Salma. Istri Danu itu tidak mau berpikir buruk tentang sang suami. "Iya, 'kan Bapak kerjanya jualan, jadi mungkin ada yang pesan. Doakan saja, Bapak dapat rezeki, jadi kita bisa makan setiap hari." Hanya itu harapan Gina saat ini. Danu sedikit terenyuh mendengar obrolan sang istri dan anak mereka. Ia merasa sangat bersalah. Danu berjanji dalam hati, tidak akan memakai perasaannya saat menjalani hubungan terlarang dengan Salma. Danu hanya butuh uang dari Salma saja. Pagi kembali datang, kali ini ada pemandangan yang sedikit membuat Gina terharu. Danu sibuk menyiapkan sarapan. Entah pukul berapa laki-laki itu bangun. Gina mendekat ke arah sang suami. "Tumben kamu mau tahu urusan dapur, Mas?" tanya Gina yang lebih tepatnya adalah sebuah sindiran. "Aku liat kamu kecapekan. Aku sudah lapar dan harus cepat berangkat jualan. Aku sudah panaskan sisa sayur dan lauk kemarin. Nasi juga sudah matang. Aku mau berangkat dulu." Danu berpamitan pada sang istri. "Berangkat pagi lebih baik, siapa tahu bisa dapat rezeki lebih," lanjut Danu dan membuat Gina terkejut. Saat ini bahkan masih pukul lima pagi. Danu biasa berangkat pukul tujuh atau paling lambat pukul sembilan. Aneh? Entah, Gina tidak bisa menyimpulkan sepihak. "Hati-hati, semoga dimudahkan rezekinya," doa Gina dengan tulus sambil menyunggingkan senyum manis. Danu membalas senyum itu dan merasa sangat bersalah saat ini. Haruskah permainan ini dilanjutkan? Meski tidak lagi bekerja, tetapi Gina adalah wanita dan istri baik. Ia tidak pernah membuat masalah dengan siapa pun. Danu meninggalkan rumah kontrakan dengan tergesa-gesa. Ia ada janji dengan Salma untuk sarapan bersama. Entah siapa yang bodoh; Salma butuh pendamping dan Danu butuh sokongan dana. "Kamu baru datang, Sayang?" tanya Salma sambil bergelanyut manja pada lengan Danu tanpa rasa malu sedikit pun. "Sal, jangan terlalu kelihatan. Aku nggak mau ada orang yang tahu." Danu merasa risih ketika Salma bergelanyut manja pada lengan kekarnya itu. "Ayo kita sarapan dan aku langsung berangkat. Kamu bukannya harus kerja juga?" tanya Danu berusaha mengalihkan obrolan itu. "Aku sih masa bodo kalo ada yang liat. Kita bukannya udah sepakat beberapa waktu yang lalu? Kita pacaran," kata Salma dengab manja seolah baru mengenal cinta. Jatuh cinta itu anugrah jika tepat sasaran. Kali ini Salma sama sekali tidak berpikir jauh jika Danu sudah berkeluarga. Sudah satu tahun terakhir ini, Salma memang jatuh cinta pada Danu. Pesona ketampanan Danu tidak bisa dipungkiri meski Salma lebih tua delapan tahun dari Danu. "Iya, memang kita sudah sepakat. Hanya saja, aku nggak mau jadi bahan gunjingan. Aku juga nggak mau Gina tahu. Ingat, aku punya anak dan istri." Danu kembali mengingatkan tentang batasan hubungan mereka. Salma hanya diam dan merasa sakit. Begitulah jika memutuskan menjadi yang kedua alias pelakor, harus mau dinomor duakan. Danu pasti akan mengutamakan istri dan anaknya. Seharusnya sejak awal Salma sadar dengan keberadaanya. "Aku tahu dan sadar kalo soal itu, Sayang. Hanya saja, bisakah kamu bersikap adil? Kamu sudah semalam bersama Gina. Lantas waktu untukku kapan?" tanya Salma sedikit merajuk. "Kamu tenanglah. Aku tiap pagi dan pulang jualan keliling pasti akan bersama kamu. Aku akan cari alasan untuk Gina jika pulang telat." Danu menoel dagu Salma dan membuat wanita itu tersenyum. Salma sudah masak banyak makanan. Ada semur daging sapi dan tumis daun pepaya. Diam-diam, Salma tahu makanan kesukaan Danu. Entah benar atau tidak, tetapi Danu lebih suka dengan sayur yang berkuah. "Ini kamu semua yang masak?" Danu menikmati setiap suapan makanan yang masuk. "Ini sangat lezat dan rasanya pengen nambah terus," lanjut Danu yang kembali mengambil nasi. "Makanlah yang banyak. Ini aku masak semua. Kebetulan kemarin belanja dan beli semua ini," kata Salma dengan manja. Suara ketukan pintu dengan sangat keras mengejutkan Danu dan Salma. Suara bariton disertai gedoran pintu yang luar biasa keras itu membuat Salma panik. Ada Danu di rumah kontrakan itu. Tentu akan menjadi masalah jika ada yang memergoki mereka berdua.Gina mengembuskan napas perlahan. Ia mengenal suara itu yang tak lain adalah Guntara--mantan suaminya. Entah ada keperluan apa datang sepagi ini. Gedoran pintu rumah kontrakan Gina semakin keras."Mungkin lagi di kamar mandi, Mbak Salma-nya, Mas. Tadi, ada kok dan belum berangkat kerja," kata salah satu tetangga yang masih terdengar oleh Danu dan Salma."Oh, gitu? Atau sedang ada tamu. Ini ada sandal laki-laki," kata Guntara menunjuk sepasang sandal laki-laki yang ada di teras rumah kontrakan Salma."Waduh, kalo itu saya nggak tahu. Mungkin sandal orang yang kemarin membersihkan got depan itu. Got itu mampet dan banjir saat hujan," kata tetangga Salma yang memang tidak salah.Guntara bukan cemburu, tetapi memang rasanya sangat aneh. Salma biasanya langsung membukakan pintu rumah ini. Kali ini tidak. Guntara hanya ingin membicarakan sesuatu pada Salma. Pagi adalah waktu yang tepat untuk bicara."Maaf, ada apa? Saya dari kamar mandi. Kebetulan perut saya tidak enak." Salma terpaksa kelu
Perempuan itu adalah Arumi, salah satu anak pejabat yang tinggal tak jauh dari kawasan kontrakan Salma dan Danu. Jika sudah mencari Danu, pasti Arumi ada keperluan dengan Gina. Entah meminta Gina untuk membantu pekerjaan rumah atau pekerjaan yang lain."Nanti gerobaknya ditarik aja. Biar Mang Dadang yang kaitkan dengan tali dengan bagian belakang mobil." Arumi menunjuk bagian belakang mobilnya.Gegas Mang Dadang pun segera membuka bagian belakang mobil milik sang majikan. Ia mengikat gerobak milik Danu tanpa menunggu diperintah dua kali. Kedua orang tua Danu ingin segera bertemu dengan Gina. Padahal, Danu belum mengiakan permintaan Arumi."Sudah, Mas Danu silakan duduk di depan. Biar saya yang di bagian tengah." Arumi justru membukakan pintu untuk Danu.Gagal sudah rencana Salma bermesraan dengan Danu. Arumi seolah datang tanpa permisi. Akan tetapi, Salma tidak bisa berbuat banyak. Ia pasrah dengan apa yang terjadi.Sesampainya di rumah kontrakan Danu, tampak Gina sedang menyuapi Putr
Santi sengaja mengikuti Salma hingga depan warung Mpok Lela. Santi memang tidak suka dengan Salma. Sikap arogansi Salma di pabrik membuat muak banyak karyawati lain. Janda tanpa anak ini tak segan memotong gaji karyawan lain jika dinilai tidak becus dalam bekerja."Kamu kenapa? Mau belanja juga?" Salma tidak menggubris sindiran keras Santi. "Kalo mau belanja silakan milih dulu. Aku santai kok. Cuma mau beli telur dan sayuran secukupnya saja," kata Salma dengan sikap elegan."Nggak, cuma mau mengingatkan. Jangan ganggu suami-suami orang yang ada di kompleks ini. Jangan pernah menjadi murah hanya karena mantan suami sudah menikahi istri keduanya secara sah baik sah secara agama dan negara." Santi mencibir nasib pernikahan Salma yang terdahulu.Guntara adalah kakak sepupu Santi. Mereka bersaudara. Ayah Guntara adalah kakak kandung ibunda dari Santi. Wajar jika Santi tahu seperti apa Salma. Mereka sama sekali tidak cocok satu dengan lainnya. Salma pernah berusaha mendekati suami Santi."K
Aliyah kali ini sangat terpojok saat mendengar ucapan mantan kakak madunya itu. Apa yang dikatakan Salma memang benar adanya. Kini istri Guntara itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun menatap Salma dengan tatapan memelas."Mbak, saya tahu, dulu saya salah telah membuat Mbak Salma berpisah dengan Mas Guntara. Tapi, sekarang, saya mohon, Mbak kembali menikah dengan Mas Guntara." Aliyah mengatakannya dengan menekan rasa sakit luar biasa di dalam hatinya.Aliyah memang mendapatkan restu dari Yulianti, tetapi berbeda dengan Salma. Yulianti tidak pernah menyukai mantan istri Guntara itu. Padahal, Guntara dan Salma sudah berpacaran sangat lama sejak mereka SMA dulu. Restu memang tak kunjung didapatkan karena Salma berasal dari keluarga biasa dan bukan anak kuliahan. Guntara adalah salah seorang pegawai bank swasta. Ia sosok yang sangat sukses dalam karir, tetapi tidak untuk masalah percintaan. Entahlah, mengapa Yulianti dulu sangat membenci Salma. Salma dulu, bukanlah perempuan penggoda sepe
Pukul delapan malam, Danu baru saja sampai di rumah. Ia terkejut saat melihat sang istri sudah di rumah terlebih dahulu. Jika pergi kerja membantu memasak di rumah orang lain, Gina akan pulang paling cepat pukul sepuluh malam. Sial, Gina pasti melihat gerobak buah itu ada di depan rumah."Kamu kok udah pulang? Emang masaknya nggak banyak?" Danu justru menunjukkan rasa tidak suka jika Gina pulang lebih cepat."Kenapa?" tanya Gina yang saat ini sibuk dengan ponsel di tangannya.Putri sudah tidur sejak tadi pukul 18.30 karena kelelahan. Setelah mandi sore di rumah Arumi, Putri memang tampak mengantuk. Sisa obat dari rumah sakit memang memberikan efek mengantuk. Gina bekerja sambil menggendong Putri di belakang."Kamu itu! Suami pulang bukannya disambut malah enak-enakan main ponsel. Emang nggak tahu diri!" Danu kelepasan emosi untuk menutupi kesalahannya.Danu tahu jika Gina saat ini curiga dengan tingkah lakunya. Salah sedikit saja bisa berakibat fatal. Gina tak akan segan memaki-maki d
Salma mengingat setiap kejadian di masa lalu saat masih menjadi istri Guntara. Kala itu perekonomian mereka memang belum stabil. Guntara masih menjadi pegawai tidak tetap di salah satu bank. Gajinya hanya cukup untuk membayar uang kontrakan dan keperluan Yulianti juga dua adik Guntara. Mereka dulu pernah setuju untuk menunda punya momongan."Saya lupa, Dok. Banyaknya permasalahan membuat saya lupa jika masih terpasang alat kontrasepsi itu." Hanya itu jawaban yang bisa disampaikan oleh Salma.Menyalahkan Guntara dan keluarganya juga bukan solusi terbaik saat ini. Masalah tidak akan selesai dan bahkan Yulianti pasti akan memaki-makinya. Entahlah, Salma bingung bagaimana bisa lupa jika masih ada alat itu terpasang pada rahimnya. Lantas, mengapa Guntara tidak memberikan pembelaan saat Yulianti menuduhnya mandul?"Jadi mau dilepas saja atau bagaimana?" tanya dokter Mira setelah menunggu Salma kembali berbicara."Dilepas saja, Dok. Saya sudah bercerai dengan suami saya," kata Salma tanpa pi
Pertengkaran semalam rupanya masih terbawa hingga pagi ini. Gina jelas tidak akan mengajak berbicara terlebih dahulu. Justru jika Danu tidak cepat menyadarinya, maka wanita berusia dua puluh empat tahun itu yang akan cari tahu. Gina kali ini mulai mengucek satu per satu pakaian.'Apa ini?'Gina menemukan tiket bus dengan jurusan Jakarta-Bandung dalam saku celana jeans Danu. Rasanya tidak mungkin jika mendadak ada tiket itu jika Danu tidak bepergian. Gina langsung memasukkan kertas basah itu ke dalam saku rok yang dipakainya. Danu sejak tadi hanya mengamati apa yang dilakukan oleh sang istri.Setengah jam lebih mencuci pakaian, kini Gina bersiap untuk mandi. Suara Putri membuat Gina gagal mandi. Anak perempuannya sudah bangun dan harus segera diurus. Jika tidak, Putri akan rewel.Gina dengan telaten mulai membujuk sang anak perempuan. Pertama, biasanya Gina akan memandikan Putri lalu mengajaknya sarapan. Namanya juga anak kecil, apa yang dikatan sang ibu belum tentu dipatuhi. Gina bers
Gina menampakkan wajah datar saat ini. Danu bingung ketika sang istri justru mengambilkan makan untuk Putri. Masih pagi, tetapi suasana di rumah kontrakan Danu sangat panas. Lebih tepatnya, Danu yang merasa ketakutan jika Gina tahu sesuatu."Tadi bener, kalo si Sarni cuma ngabarin iuran bulanan aja?" Danu mengekori sang istri dari belakang."Kalo kamu nggak percaya, tanya langsung saja sama Mbak Sarni." Gina malas berdebat dengan sang suami.Mendengar kabar sang suami dan Salma ke puncak saja sudah membuat darah Gina mendidih, ditambah lagi harus berdebat. Lagi pula, bukti sudah di depan mata, tetapi Danu seolah sangat santai. Sikap Danu yang seperti ini sering membuat Gina muak. "Lah? Kok aku yang harus tanya si Sarni. Sarni sama Santi itu sama saja, mereka suka bergosip, bergibah, ngomongongin orang kok di belakang orang lain. Kalo berani coba ngomongnya di depan orangnya langsung," omel Danu pada sang istri karena merasa tidak terima saat ini."Makanya tanya langsung saja sama ora
"Ibu dan yang lainnya sama saja. Mereka tidak akan membantu setiap masalahku, tapi sebaliknya, hanya menambah masalah!" Guntara sangat marah saat ini.Pekerjaan di kantor hari ini sangatlah banyak. Guntara bahkan melupakan jam istirahatnya. Ia tidak keluar untuk makan siang. Meski sudah bekerja dari pagi, tetap saja, pekerjaan itu belum selesai. Senja mulai menyelimuti langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Udara di sekitar pabrik terasa penuh dengan debu dan bau besi yang khas. Para pekerja satu per satu keluar dari pintu produksi, wajah mereka tampak lelah setelah seharian bergulat dengan mesin dan pekerjaan berat. Lelah setelah bekerja seharian tampak pada wajah para pekerja itu. Di antara kerumunan itu, seorang pria tegap berdiri bersandar pada kap mobil hitamnya. Sorot matanya tajam, menelusuri wajah-wajah yang keluar dari dalam pabrik. Guntara menunggu dengan sabar, meski dadanya berdegup kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tetap
"Ibu bukan nggak tahu kegilaanmu, Gun. Hanya saja, selama ini, Ibu diam dan sengaja menunggu kamu berubah. Tapi, ternyata tidak. Kamu justru semakin gila! Salma dan laki-laki itu sudah menikah!" Yulianti berbicara dengan nada penuh amarah pada sang anak. "Apa yang kamu harapkan dari wanita pelakor itu? Dia sengaja membuat istri laki-laki itu pergi!" bentak Yulianti dengan kasar dan keras."Ibu tahu dari mana mereka sudah menikah?" tanya Guntara yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Yulianti menoleh lalu tersenyum sinis. Ia menertawakan sang anak yang tampak bodoh itu. Yulianti lantas mengatakan kalimat pedas yang membuat Guntara terdiam seketika. Fakta itu memang menyakitkan."Sejak lama Ibu sudah tahu. Kamu saja yang menutup mata dan telinga. Sudah benar membuang batu kali dan mendapatkan berlian, kamu malah memilih mengambil batu kali. Di mana otak kamu?" Yulianti mengatakan dengan nada keras. Ruangan rumah mewah itu terasa begitu tegang. Yulianti berdiri di tengah ruang
Udara malam menyelimuti rumah kontrakan Danu dengan keheningan yang mencekam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyoroti halaman sempit di depan rumah. Angin berembus pelan, mengayun tirai jendela yang dibiarkan terbuka sedikit, memberikan celah bagi cahaya bulan untuk masuk. Aroma tanah basah sisa hujan sore tadi masih tercium samar-samar.'Aku dan Salma sama-sama saling menguntungkan. Aku jelas tidak salah. Gina jauh!' Danu masih membayangkan aktivitas mereka saat di hotel beberapa waktu yang lalu.Danu duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan, tangan kirinya memegang gelas berisi kopi hitam yang masih mengepul. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedikit berantakan, meneteskan air ke kaus oblong yang dikenakannya. Pandangannya kosong, menatap ke luar jendela dengan mata sedikit sayu. Di dalam pikirannya, ada banyak hal yang berkecamuk—tentang Salma, tentang Gina, dan tentang kehidupannya yang semakin rumit.Ada Salma di rumah ini. Setelah kejadian itu, baru sekara
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Salma selalu tersenyum. Ia masih mengingat bagaimana permainan Danu semalam. Sangat memuaskan dan Salma hampir kewalahan. Mendadak Salma membandingkan permainan ranjang Guntara dan Danu, lantas senyumnya langsung memudar. Salma baru saja tiba di rumahnya, sebuah rumah minimalis dengan pagar putih sederhana. Malam sudah larut, udara dingin menyelimuti lingkungan sekitar. Langit tampak gelap tanpa bintang, hanya rembulan yang bersinar redup di balik awan tipis. Rasa lelah masih menggelayut di tubuhnya, setelah seharian berada di luar rumah. Namun, belum sempat ia menghela napas lega, langkahnya terhenti.Di teras rumahnya, seorang pria berdiri tegap dengan tatapan tajam yang menusuk ke arah Salma. Guntara.'Ngapain dia di sana!' Salma menggerutu di dalam hati saat melihat Guntara duduk di salah satu kursi yang ada di terasnya.Salma kesal saat melihat sang mantan suami. Entah sejak kapan pria itu berada di sana. Salma tidak melihat mobilnya terparkir
Danu duduk di karpet rumah kontrakan dengan wajah kusut. Asap rokok yang mengepul di ujung jarinya perlahan membaur dengan udara dingin yang masuk dari jendela. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan kilauan lampu kota di malam hari. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak basah di trotoar dan jalan raya yang memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Ternyata tidak semudah itu!Di depannya, Salma berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh dengan ketegangan. Perempuan itu baru saja mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Danu, dan kini menuntut kepastian. Ya, Danu meminta kompensasi atas apa yang diminta oleh Salma. Mereka baru saja beradu argumen dengan Guntara."Apa tidak ada pilihan lain?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Danu tanpa basa-basi sama sekali. "Kita sudah sepakat, Danu," ucapnya dingin. "Aku sudah melunasi hutang-hutangmu. Sekarang giliranmu melakukan bagianmu."Danu menghela napas panjang, membuang sisa rokoknya ke asb
"Ck! Udah nggak ada uang lagi. Sepuluh ribu saja sisa uang celengan milik Gina!" Danu melempar celengan dari bahan kaleng yang dulu dibeli oleh sang istri.Gina memang punya kebiasaan memasukkan uang sisa belanja atau sengaja menyisihkan uang dalam celengan yang bisa dibuka. Celengan itu tidak dibawa oleh Gina, entah lupa atau sengaja. Uang dalam celengan itu digunakan Danu untuk bertahan hidup. Namun, perlahan, tetapi pasti uang itu habis. Sementara itu, sudah lebih dari satu bulan, tetapi Danu masih belum memberikan jawaban pasti. Salma mulai kehilangan kesabaran. Setiap kali mereka bertemu, tatapan matanya penuh harap, tetapi Danu hanya terdiam atau mengalihkan pembicaraan. Danu memang sengaja mengulur waktu hingga Gina mengirimkan uang. Namun, harapannya itu sia-sia, Gina tidak mengirim uang itu.Di dalam rumah kontrakan minimalisnya, Salma duduk di tepi jendela, memandangi langit malam yang pekat. Lampu-lampu kota berpendar di kejauhan, tetapi pikirannya berkecamuk. Ia sudah mer
Sudah hampir sebulan Gina berada di Jerman. Kota Berlin yang dingin dengan langit kelabu menjadi saksi bisu perjuangannya untuk memulai hidup baru. Meski pekerjaannya sebagai pelayan restoran terbilang berat, Gina tetap menjalani hari-harinya dengan tabah. Waktu senggangnya sering ia habiskan di kamar kecil apartemennya untuk video call dengan Putri, anak semata wayangnya yang kini diasuh oleh Reza dan istrinya. Gina sering kali harus menahan tangis karena menahan kerinduan pada buah hati."Bunda, aku di sini baik-baik saja. Aku juga sering diajak Om Reza ke taman kalo sore. Kami sambil makan."Kata-kata yang keluar dari mulut Putri dengan logat cadelnya membuat Gina harus menahan tangis. Ia merindukan sang anak. Hal terberat bagi Gina adalah meninggalkan Putri. Ada rasa bersalah yang luar biasa saat meninggalkan sang anak. Namun, itu harus dilakukan demi masa depan mereka berdua.Saat video call berlangsung, Putri tampak ceria seperti biasa. Anak kecil itu bercerita tentang mainan ba
Langit sore yang suram menambah kelam suasana di salah satu ruangan rumah sakit. Di dalam ruang tunggu VIP, kedua orang tua Aliyah duduk dengan wajah tegang dan penuh amarah. Pak Ridwan, ayah Aliyah, melipat tangan di depan dada, matanya menatap tajam ke arah Yulianti yang duduk di seberang mereka. Sementara itu, Bu Rina, ibu Aliyah, menahan napas dengan dada yang berdegup kencang, mencoba mengontrol emosinya yang sudah hampir meledak.Suasana sangat mencekam, horor. Sebagai seorang ayah, Ridwan jelas tidak bisa menerima apa yang menimpa sang putri. Aliyah adalah anak semata wayang mereka. Mereka menyesal baru tahu jika kehidupan rumah tangga anak mereka tidak baik-baik saja. "Bu Yulianti," suara Pak Ridwan terdengar dingin. "Saya rasa percuma kita terus menunggu. Guntara sudah jelas tidak akan datang. Anda tahu sendiri dia sedang sibuk mengejar perempuan lain, bukan?"Yulianti terdiam. Wajahnya pucat, dan matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Tangannya meremas tisu yang h
Malam semakin larut ketika Guntara akhirnya tiba di parkiran rumah sakit. Ia mematikan mesin mobilnya dan duduk diam sejenak di balik kemudi. Di luar, lampu-lampu jalanan menerangi aspal yang basah akibat hujan ringan sebelumnya. Udara di dalam mobil terasa pengap, seolah menekan dadanya, namun bukan karena kurangnya ventilasi—melainkan karena beban pikiran yang menghantui."Pada akhirnya semua akan terbongkar dengan sendirinya. Aku muak dengan mereka semua. Mereka diam-diam jahat!" Guntara berbicara seorang diri sambil meremas rambut dengan kasar. Guntara sudah terlalu kecewa dengang sang ibu, Yulianti. Sangat kejam karena telah jahat pada Salma. Mereka sebenarnya tidak ada masalah. Kali ini Guntara merasa sangat menyesal dan perasaan bersalah pada Salma sangat menghantui hidupnya.Guntara menarik napas panjang. Ia tidak tahu apa yang mendorongnya untuk datang ke rumah sakit malam ini. Rasanya ada yang harus ia selesaikan, sesuatu yang tidak bisa menunggu. Aliyah pasti masih ada di