Share

Empat

Gina tidak mengatakan apa pun pada sang suami. Danu kini sibuk menidurkan Putri hingga kedua orang Gina datang. Wajah Pak Syamsuri dan sang istri tampak masam. Gina memang meminta mereka untuk datang agar bisa bergantian jaga.

"Kamu tahu 'kan, kami ini sudah tua, tidak seharusnya disuruh gantian jaga anak kamu. Baru anak satu udah merepotkan orang tua," kata Tuti--ibunda dari Gina yang merasa tidak suka ketika datang menjenguk cucu mereka.

Dari empat anaknya, hanya Gina saja yang nasibnya tidak baik karena menikah dengan Danu. Ketiga kakak Gina sudah sukses semua. Lihat saja Gina, hidup jauh dari kata pas-pasan atau bahkan sangat kekurangan. Dulu Syamsuri menolak pernikahan mereka.

"Saya hanya minta tolong, Pak, Bu." Gina menahan air matanya yang akan jatuh ke pipi.

"Minta tolong? Lalu suami kamu sibuk apa? Kalian bisa bergantian jaga. Ibu itu anaknya empat, nggak pernah sekali pun merepotkan kakek dan nenekmu dulu." Tuti tampak sangat kesal karena harus jauh-jauh datang dari Bekasi ke Jakarta.

Perdebatan anak dan kedua orang tuanya itu menarik perhatian beberapa orang tua pasien. Mereka berkasak-kusuk dan merasa kasihan pada Gina. Tampak jelas dua orang paruh baya itu tidak menyukai cucu mereka. Benar, saat habis melahirkan Putri, kedua orang tua Gina tidak datang menjenguk sama sekali.

"Ya, sudahlah, Pak, Bu. Jika kalian keberatan untuk membantu, kalian boleh pulang. Maaf, kalo aku hanya bisa membuat susah kalian." Gina tidak mau berdebat lagi yang pada akhirnya akan malu setelah ini.

"Harusnya dari tadi pagi kamu bilang nggak usah datang. Jangan saat kami sudah sampai sini baru ngomong seperti itu!" Tuti menarik tangan sang suami agar segera meninggalkan ruang rawat cucu mereka.

Kedua orang tua Gina sama sekali tidak menyapa Danu yang duduk tak jauh dari mereka. Syamsuri tidak pernah menganggap keberadaan Danu sebagai menantu mereka. Gina yang bodoh, buta karena cinta.

"Kamu harusnya nggak usah minta mereka datang jika pada akhirnya harus sakit hati. Kalo hanya masalah gantian jaga, besok sepulang jualan aku usahakan datang ke sini," kata Danu justru menyalahkan Gina.

Lagi dan lagi, Gina tidak mau menjawab ucapan sang suami. Ia memilih diam karena tidak ada gunanya menjawab ucapan sang suami. Gina berharap, Putri segera sembuh. Tidak perlu lagi ada di rumah sakit ini.

Enam hari berlalu, Putri akhirnya diizinkan pulang ke rumah dengan catatan minggu depan harus kontrol. Gina menyanggupinya dan segera menebus obat di apotek rumah sakit. Kali ini, Danu sedikit kalang kabut karena memikirkan biaya rumah sakit untuk Putri. Danu takut kehabisan modal jualan.

"Kamu ada uang buat bayar rumah sakit?" tanya Danu setengah berbisik pada sang istri.

"Aku punya uang? Uang dari mana emangnya? Kamu ngasih aku uang selama ini berapa?" Gina menjawab dengan ketus ucapan sang suami.

Danu mengembuskan napas kasar saat melihat sorot mata penuh amarah dari Gina. Danu memang sangat perhitungan jika masalah uang. Danu pasti akan banyak bertanya ini dan itu setelah memberikan uang pada sang istri. Entahlah, bagaimana dulu kedua orang tuanya mendidiknya.

"Lha terus bayar pakai apa?" tanya Danu sambil terus mengekori sang istri dari belakang.

Gina tidak menjawab dan langsung menuju ruang perawat untuk melaporkan jika sudah mengurus semua administrasi. Perawat itu pun menggunting gelang tanda pasien masuk yang ada pada tangan Putri. Gina sedikit bersyukur, Putri sudah sembuh saat ini. Jangan lagi sakit seperti kemarin, jujur, Gina sangat sedih.

"Kamu dapat uang dari mana bisa bayar uang rumah sakit ini?" Danu mulai curiga pada sang istri.

"Aku buat asuransi pemerintah," jawab Gina dengan ketus dan tidak bersahabat.

"Asuransi pemerintah? Bayar tiap bulan dong nanti kita!" Danu kini merasa sangat kesal pada sang istri.

"Bayar? Ini semua gratis! Kamu kalo bicara itu otaknya selalu ketinggalan. Baca dulu tagihan dari rumah sakit," ketus Gina merasa tidak suka dengan sang suami.

Napas Danu kembang kempis menahan amarah. Entahlah, sejak Gina tidak pulang malam itu, emosi Danu seperti tidak terkendali. Ia selalu ingin marah pada sang istri meski Gina hanya diam. Kali ini mereka pulang ke rumah kontrakan.

"Kamu nggak kepengen masak buat kita makan?" tanya Danu seolah memerintah sang istri.

"Masak?" Gina menatap tajam pada Danu yang sama sekali tak peka dengan keadaan. "Kamu nggak liat, Mas, aku baru loh sampai di rumah. Aku capek!" ketus Gina sambil melengos karena lelah berdebat dengan sang suami.

Danu mengembuskan napas panjang mendengar jawaban sang istri. Ia juga capai karena tadi berjualan dan banyak dagangan buah-buahannya yang belum laku. Rasanya malu jika kembali datang ke pabrik tempat Salma bekerja. Tetangga kontrakannya itu pasti akan meminta semua teman kerjanya untuk membeli dagangannya.

"Assalamualaikum." Ketukan pintu dari luar disertai ucapan salam itu menjeda pertengkaran pasangan suami dan istri itu.

"Waalaikumussalam," balas Danu sambil menoleh ke arah luar rumahnya.

Ada Salma dan beberapa tetangga lain yang datang sore ini. Salma tersenyum lebar saat melihat Gina menggendong Putri. Meski belum kembali ceria, Putri tetap tersenyum. Ada beberapa ibu-ibu tetangga yang juga datang.

"Maaf, kami semua belum sempat jenguk Putri di rumah sakit." Salma mengatakannya untuk mewakili mereka semua.

"Oh, ya, nggak apa, Bu Salma," jawab Gina sambil menggendong Putri lalu mempersilakan semua tamunya duduk di atas tikar yang dipasang di lantai rumahnya.

Salma menyerahkan dua kantung kresek besar berisi makanan. Ada nasi dan lauk pauk juga jajanan untuk Putri. Ia tahu, Gina pasti tidak sempat memasak karena baru saja pulang dari rumah sakit. Gina merasa tidak enak hati terlebih beberapa waktu lalu meminjam uang kepada Salma.

"Bu Salma kok repot-repot? Bu Salma datang saja saya sudah sangat bahagia." Gina tak kuasa menahan rasa haru. "Terima kasih atas perhatian ibu-ibu semua dengan menjenguk anak saya," lanjut Gina yang saat ini mengusap air mata.

"Ya, Mbak Gina, kita tetangga jadi harus saling peduli. Kami sengaja datang jenguk pas Putri sudah pulang saja. Sebab, kami juga punya anak balita yang nggak mungkin bisa diajak masuk ke rumah sakit," kata Bu Rt sambil tersenyum ramah.

"Ya, Bu, saya paham." Gina kembali tersenyum pada semua tetangganya.

Sebenarnya, Salma tidak sengaja datang bersama dengan semua ibu-ibu yang ada di sini. Ia bertemu mereka saat motornya masuk gang dan parkir tak jauh dari rumah Danu. Niat Salma hanya datang sendiri saja. Tidak tahunya justru ada mereka semua.

"Mbak Gina, kita pamit, ya, sebentar lagi malam. Anak saya banyak PR dari rumah," kata salah satu dari mereka.

"Oh, ya, terima kasih atas kedatanganya. Mohon maaf, malah tidak menyuguhkan air minum," kata Gina merasa tidak enak hati.

"Nggak apa-apa, toh, baru saja pulang dari rumah sakit. Semoga Putri segera pulih, ya. Jaga makanan dan kesehatan Putri, Mbak. Kasihan kalo sampai sakit lagi," pesan dari Bu Rt sambil menyerahkan amplop berisi uang sumbangan warga sekitar.

Mereka pun segera pulang ke rumah masing-masing. Hanya ada Salma saja yang belum berniat pulang. Gina meminta izin untuk masuk ke dalam dan mengganti baju Putri. Anak perempuan itu merasa gerah dan tidak nyaman.

Saat di dalam kamar, samar-samar Gina mendengar obrolan Salma. Nada bicara Salma dan Danu setengah berbisik. Gina menajamkan pendengaran agar bisa mendengar semua. Sayang, Putri merengek meminta makan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status