Gina tidak mengatakan apa pun pada sang suami. Danu kini sibuk menidurkan Putri hingga kedua orang Gina datang. Wajah Pak Syamsuri dan sang istri tampak masam. Gina memang meminta mereka untuk datang agar bisa bergantian jaga.
"Kamu tahu 'kan, kami ini sudah tua, tidak seharusnya disuruh gantian jaga anak kamu. Baru anak satu udah merepotkan orang tua," kata Tuti--ibunda dari Gina yang merasa tidak suka ketika datang menjenguk cucu mereka. Dari empat anaknya, hanya Gina saja yang nasibnya tidak baik karena menikah dengan Danu. Ketiga kakak Gina sudah sukses semua. Lihat saja Gina, hidup jauh dari kata pas-pasan atau bahkan sangat kekurangan. Dulu Syamsuri menolak pernikahan mereka. "Saya hanya minta tolong, Pak, Bu." Gina menahan air matanya yang akan jatuh ke pipi. "Minta tolong? Lalu suami kamu sibuk apa? Kalian bisa bergantian jaga. Ibu itu anaknya empat, nggak pernah sekali pun merepotkan kakek dan nenekmu dulu." Tuti tampak sangat kesal karena harus jauh-jauh datang dari Bekasi ke Jakarta. Perdebatan anak dan kedua orang tuanya itu menarik perhatian beberapa orang tua pasien. Mereka berkasak-kusuk dan merasa kasihan pada Gina. Tampak jelas dua orang paruh baya itu tidak menyukai cucu mereka. Benar, saat habis melahirkan Putri, kedua orang tua Gina tidak datang menjenguk sama sekali. "Ya, sudahlah, Pak, Bu. Jika kalian keberatan untuk membantu, kalian boleh pulang. Maaf, kalo aku hanya bisa membuat susah kalian." Gina tidak mau berdebat lagi yang pada akhirnya akan malu setelah ini. "Harusnya dari tadi pagi kamu bilang nggak usah datang. Jangan saat kami sudah sampai sini baru ngomong seperti itu!" Tuti menarik tangan sang suami agar segera meninggalkan ruang rawat cucu mereka. Kedua orang tua Gina sama sekali tidak menyapa Danu yang duduk tak jauh dari mereka. Syamsuri tidak pernah menganggap keberadaan Danu sebagai menantu mereka. Gina yang bodoh, buta karena cinta. "Kamu harusnya nggak usah minta mereka datang jika pada akhirnya harus sakit hati. Kalo hanya masalah gantian jaga, besok sepulang jualan aku usahakan datang ke sini," kata Danu justru menyalahkan Gina. Lagi dan lagi, Gina tidak mau menjawab ucapan sang suami. Ia memilih diam karena tidak ada gunanya menjawab ucapan sang suami. Gina berharap, Putri segera sembuh. Tidak perlu lagi ada di rumah sakit ini. Enam hari berlalu, Putri akhirnya diizinkan pulang ke rumah dengan catatan minggu depan harus kontrol. Gina menyanggupinya dan segera menebus obat di apotek rumah sakit. Kali ini, Danu sedikit kalang kabut karena memikirkan biaya rumah sakit untuk Putri. Danu takut kehabisan modal jualan. "Kamu ada uang buat bayar rumah sakit?" tanya Danu setengah berbisik pada sang istri. "Aku punya uang? Uang dari mana emangnya? Kamu ngasih aku uang selama ini berapa?" Gina menjawab dengan ketus ucapan sang suami. Danu mengembuskan napas kasar saat melihat sorot mata penuh amarah dari Gina. Danu memang sangat perhitungan jika masalah uang. Danu pasti akan banyak bertanya ini dan itu setelah memberikan uang pada sang istri. Entahlah, bagaimana dulu kedua orang tuanya mendidiknya. "Lha terus bayar pakai apa?" tanya Danu sambil terus mengekori sang istri dari belakang. Gina tidak menjawab dan langsung menuju ruang perawat untuk melaporkan jika sudah mengurus semua administrasi. Perawat itu pun menggunting gelang tanda pasien masuk yang ada pada tangan Putri. Gina sedikit bersyukur, Putri sudah sembuh saat ini. Jangan lagi sakit seperti kemarin, jujur, Gina sangat sedih. "Kamu dapat uang dari mana bisa bayar uang rumah sakit ini?" Danu mulai curiga pada sang istri. "Aku buat asuransi pemerintah," jawab Gina dengan ketus dan tidak bersahabat. "Asuransi pemerintah? Bayar tiap bulan dong nanti kita!" Danu kini merasa sangat kesal pada sang istri. "Bayar? Ini semua gratis! Kamu kalo bicara itu otaknya selalu ketinggalan. Baca dulu tagihan dari rumah sakit," ketus Gina merasa tidak suka dengan sang suami. Napas Danu kembang kempis menahan amarah. Entahlah, sejak Gina tidak pulang malam itu, emosi Danu seperti tidak terkendali. Ia selalu ingin marah pada sang istri meski Gina hanya diam. Kali ini mereka pulang ke rumah kontrakan. "Kamu nggak kepengen masak buat kita makan?" tanya Danu seolah memerintah sang istri. "Masak?" Gina menatap tajam pada Danu yang sama sekali tak peka dengan keadaan. "Kamu nggak liat, Mas, aku baru loh sampai di rumah. Aku capek!" ketus Gina sambil melengos karena lelah berdebat dengan sang suami. Danu mengembuskan napas panjang mendengar jawaban sang istri. Ia juga capai karena tadi berjualan dan banyak dagangan buah-buahannya yang belum laku. Rasanya malu jika kembali datang ke pabrik tempat Salma bekerja. Tetangga kontrakannya itu pasti akan meminta semua teman kerjanya untuk membeli dagangannya. "Assalamualaikum." Ketukan pintu dari luar disertai ucapan salam itu menjeda pertengkaran pasangan suami dan istri itu. "Waalaikumussalam," balas Danu sambil menoleh ke arah luar rumahnya. Ada Salma dan beberapa tetangga lain yang datang sore ini. Salma tersenyum lebar saat melihat Gina menggendong Putri. Meski belum kembali ceria, Putri tetap tersenyum. Ada beberapa ibu-ibu tetangga yang juga datang. "Maaf, kami semua belum sempat jenguk Putri di rumah sakit." Salma mengatakannya untuk mewakili mereka semua. "Oh, ya, nggak apa, Bu Salma," jawab Gina sambil menggendong Putri lalu mempersilakan semua tamunya duduk di atas tikar yang dipasang di lantai rumahnya. Salma menyerahkan dua kantung kresek besar berisi makanan. Ada nasi dan lauk pauk juga jajanan untuk Putri. Ia tahu, Gina pasti tidak sempat memasak karena baru saja pulang dari rumah sakit. Gina merasa tidak enak hati terlebih beberapa waktu lalu meminjam uang kepada Salma. "Bu Salma kok repot-repot? Bu Salma datang saja saya sudah sangat bahagia." Gina tak kuasa menahan rasa haru. "Terima kasih atas perhatian ibu-ibu semua dengan menjenguk anak saya," lanjut Gina yang saat ini mengusap air mata. "Ya, Mbak Gina, kita tetangga jadi harus saling peduli. Kami sengaja datang jenguk pas Putri sudah pulang saja. Sebab, kami juga punya anak balita yang nggak mungkin bisa diajak masuk ke rumah sakit," kata Bu Rt sambil tersenyum ramah. "Ya, Bu, saya paham." Gina kembali tersenyum pada semua tetangganya. Sebenarnya, Salma tidak sengaja datang bersama dengan semua ibu-ibu yang ada di sini. Ia bertemu mereka saat motornya masuk gang dan parkir tak jauh dari rumah Danu. Niat Salma hanya datang sendiri saja. Tidak tahunya justru ada mereka semua. "Mbak Gina, kita pamit, ya, sebentar lagi malam. Anak saya banyak PR dari rumah," kata salah satu dari mereka. "Oh, ya, terima kasih atas kedatanganya. Mohon maaf, malah tidak menyuguhkan air minum," kata Gina merasa tidak enak hati. "Nggak apa-apa, toh, baru saja pulang dari rumah sakit. Semoga Putri segera pulih, ya. Jaga makanan dan kesehatan Putri, Mbak. Kasihan kalo sampai sakit lagi," pesan dari Bu Rt sambil menyerahkan amplop berisi uang sumbangan warga sekitar. Mereka pun segera pulang ke rumah masing-masing. Hanya ada Salma saja yang belum berniat pulang. Gina meminta izin untuk masuk ke dalam dan mengganti baju Putri. Anak perempuan itu merasa gerah dan tidak nyaman. Saat di dalam kamar, samar-samar Gina mendengar obrolan Salma. Nada bicara Salma dan Danu setengah berbisik. Gina menajamkan pendengaran agar bisa mendengar semua. Sayang, Putri merengek meminta makan."Nggak usah dikembalikan uangnya, Dan. Anggap saja uang jajan buat Putri." Hanya itu yang bisa terdengar oleh Gina dari ujung pintu kamarnya."Nggak bisa gitu, Mbak Salma. Gina nggak pernah bilang kalo ada pinjam uang sama, Mbak. Saya sebagai suaminya harus tanggung jawab," lanjut Danu sambil mengeluarkan dompet dan mengambil empat lembar uang pecahan lima puluh ribuan.Gina menahan napas karena terkejut. Ternyata Salma datang ke rumah kontrakan ini karena mau menagih hutang. Gina tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak ada uang saat itu. Ia butuh uang karena Putri harus segera berobat."Bukan gitu, Dan. Maksudku, pakai saja uangku itu. Toh, anggap saja rezekinya Putri. Mungkin Gina nggak ada pegang uang pas mau bawa anak kalian berobat," kata Salma menolak uang pemberian dari Danu.Napas Gina terengah menahan amarah. Ia tidak bisa lagi terus di dalam kamar. Uang itu masih tersisa separuhnya. Astaga! Kenapa hal ini membuat emosi."Bu Salma, maaf, kalo saya pinjam uang terlalu l
Gina mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di dada itu nyata adanya. Gina melirik ke arah sang suami yang kini sibuk menyuapi Putri. Sial! Pemandangan itu nyatanya membuat hati Gina luluh."Aku sama sekali nggak ada uang buat ke puskesmas. Nggak mungkin aku jalan kaki ke puskesmas sementara Putri demam tinggi." Gina menjawab dengan nada datar."Lain kali, kamu bisa hubungi aku. Aku akan kasih kok uang buat kamu," jawab Danu enteng seolah menjadi suami yang sangat baik.Jika tidak diminta oleh Gina, Danu tidak akan mengeluarkan uang. Uang modal dan laba untuk mengembangkan dagangannya. Faktanya, justru Danu sering mengalami kerugian yang luar biasa. Entah mangga-mangga itu busuk, salah memberikan kembalian, atau banyak lagi yang lain.Gina kali ini membersihkan tubuhnya dan segera berganti pakaian. Selesai semua itu, Gina segera ke ruang tamu. Danu dan Putri tidak ada di sana. Samar-samar, terdengar seperti Danu sedang mengobrol dengan seseorang."Ya, aku nggak marahlah. Biar gimana
Gina mengembuskan napas perlahan. Ia mengenal suara itu yang tak lain adalah Guntara--mantan suaminya. Entah ada keperluan apa datang sepagi ini. Gedoran pintu rumah kontrakan Gina semakin keras."Mungkin lagi di kamar mandi, Mbak Salma-nya, Mas. Tadi, ada kok dan belum berangkat kerja," kata salah satu tetangga yang masih terdengar oleh Danu dan Salma."Oh, gitu? Atau sedang ada tamu. Ini ada sandal laki-laki," kata Guntara menunjuk sepasang sandal laki-laki yang ada di teras rumah kontrakan Salma."Waduh, kalo itu saya nggak tahu. Mungkin sandal orang yang kemarin membersihkan got depan itu. Got itu mampet dan banjir saat hujan," kata tetangga Salma yang memang tidak salah.Guntara bukan cemburu, tetapi memang rasanya sangat aneh. Salma biasanya langsung membukakan pintu rumah ini. Kali ini tidak. Guntara hanya ingin membicarakan sesuatu pada Salma. Pagi adalah waktu yang tepat untuk bicara."Maaf, ada apa? Saya dari kamar mandi. Kebetulan perut saya tidak enak." Salma terpaksa kelu
Perempuan itu adalah Arumi, salah satu anak pejabat yang tinggal tak jauh dari kawasan kontrakan Salma dan Danu. Jika sudah mencari Danu, pasti Arumi ada keperluan dengan Gina. Entah meminta Gina untuk membantu pekerjaan rumah atau pekerjaan yang lain."Nanti gerobaknya ditarik aja. Biar Mang Dadang yang kaitkan dengan tali dengan bagian belakang mobil." Arumi menunjuk bagian belakang mobilnya.Gegas Mang Dadang pun segera membuka bagian belakang mobil milik sang majikan. Ia mengikat gerobak milik Danu tanpa menunggu diperintah dua kali. Kedua orang tua Danu ingin segera bertemu dengan Gina. Padahal, Danu belum mengiakan permintaan Arumi."Sudah, Mas Danu silakan duduk di depan. Biar saya yang di bagian tengah." Arumi justru membukakan pintu untuk Danu.Gagal sudah rencana Salma bermesraan dengan Danu. Arumi seolah datang tanpa permisi. Akan tetapi, Salma tidak bisa berbuat banyak. Ia pasrah dengan apa yang terjadi.Sesampainya di rumah kontrakan Danu, tampak Gina sedang menyuapi Putr
Santi sengaja mengikuti Salma hingga depan warung Mpok Lela. Santi memang tidak suka dengan Salma. Sikap arogansi Salma di pabrik membuat muak banyak karyawati lain. Janda tanpa anak ini tak segan memotong gaji karyawan lain jika dinilai tidak becus dalam bekerja."Kamu kenapa? Mau belanja juga?" Salma tidak menggubris sindiran keras Santi. "Kalo mau belanja silakan milih dulu. Aku santai kok. Cuma mau beli telur dan sayuran secukupnya saja," kata Salma dengan sikap elegan."Nggak, cuma mau mengingatkan. Jangan ganggu suami-suami orang yang ada di kompleks ini. Jangan pernah menjadi murah hanya karena mantan suami sudah menikahi istri keduanya secara sah baik sah secara agama dan negara." Santi mencibir nasib pernikahan Salma yang terdahulu.Guntara adalah kakak sepupu Santi. Mereka bersaudara. Ayah Guntara adalah kakak kandung ibunda dari Santi. Wajar jika Santi tahu seperti apa Salma. Mereka sama sekali tidak cocok satu dengan lainnya. Salma pernah berusaha mendekati suami Santi."K
Aliyah kali ini sangat terpojok saat mendengar ucapan mantan kakak madunya itu. Apa yang dikatakan Salma memang benar adanya. Kini istri Guntara itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun menatap Salma dengan tatapan memelas."Mbak, saya tahu, dulu saya salah telah membuat Mbak Salma berpisah dengan Mas Guntara. Tapi, sekarang, saya mohon, Mbak kembali menikah dengan Mas Guntara." Aliyah mengatakannya dengan menekan rasa sakit luar biasa di dalam hatinya.Aliyah memang mendapatkan restu dari Yulianti, tetapi berbeda dengan Salma. Yulianti tidak pernah menyukai mantan istri Guntara itu. Padahal, Guntara dan Salma sudah berpacaran sangat lama sejak mereka SMA dulu. Restu memang tak kunjung didapatkan karena Salma berasal dari keluarga biasa dan bukan anak kuliahan. Guntara adalah salah seorang pegawai bank swasta. Ia sosok yang sangat sukses dalam karir, tetapi tidak untuk masalah percintaan. Entahlah, mengapa Yulianti dulu sangat membenci Salma. Salma dulu, bukanlah perempuan penggoda sepe
Pukul delapan malam, Danu baru saja sampai di rumah. Ia terkejut saat melihat sang istri sudah di rumah terlebih dahulu. Jika pergi kerja membantu memasak di rumah orang lain, Gina akan pulang paling cepat pukul sepuluh malam. Sial, Gina pasti melihat gerobak buah itu ada di depan rumah."Kamu kok udah pulang? Emang masaknya nggak banyak?" Danu justru menunjukkan rasa tidak suka jika Gina pulang lebih cepat."Kenapa?" tanya Gina yang saat ini sibuk dengan ponsel di tangannya.Putri sudah tidur sejak tadi pukul 18.30 karena kelelahan. Setelah mandi sore di rumah Arumi, Putri memang tampak mengantuk. Sisa obat dari rumah sakit memang memberikan efek mengantuk. Gina bekerja sambil menggendong Putri di belakang."Kamu itu! Suami pulang bukannya disambut malah enak-enakan main ponsel. Emang nggak tahu diri!" Danu kelepasan emosi untuk menutupi kesalahannya.Danu tahu jika Gina saat ini curiga dengan tingkah lakunya. Salah sedikit saja bisa berakibat fatal. Gina tak akan segan memaki-maki d
Salma mengingat setiap kejadian di masa lalu saat masih menjadi istri Guntara. Kala itu perekonomian mereka memang belum stabil. Guntara masih menjadi pegawai tidak tetap di salah satu bank. Gajinya hanya cukup untuk membayar uang kontrakan dan keperluan Yulianti juga dua adik Guntara. Mereka dulu pernah setuju untuk menunda punya momongan."Saya lupa, Dok. Banyaknya permasalahan membuat saya lupa jika masih terpasang alat kontrasepsi itu." Hanya itu jawaban yang bisa disampaikan oleh Salma.Menyalahkan Guntara dan keluarganya juga bukan solusi terbaik saat ini. Masalah tidak akan selesai dan bahkan Yulianti pasti akan memaki-makinya. Entahlah, Salma bingung bagaimana bisa lupa jika masih ada alat itu terpasang pada rahimnya. Lantas, mengapa Guntara tidak memberikan pembelaan saat Yulianti menuduhnya mandul?"Jadi mau dilepas saja atau bagaimana?" tanya dokter Mira setelah menunggu Salma kembali berbicara."Dilepas saja, Dok. Saya sudah bercerai dengan suami saya," kata Salma tanpa pi