Di buka dengan emosi yang menggunung. William Anderson adalah pria berhati dingin dengan tatapan mata setajam elang yang siap menerkam mangsanya. Hari ini semua model yang mendaftar di agensinya William diskualifikasi. Di mata William tidak ada kriteria yang sesuai dengan maunya. Mereka semua cantik tapi tidak mempunyai bakat. Mereka hanya menjual tubuh dan wajahnya saja. Untuk itu William memberi banyak tekanan pada timnya yang saat ini mendesah penuh frustrasi di belakang panggung.“Boleh aku bunuh diri, Al?” Chaz berkata dengan wajah kuyunya.Wanita yang dipanggil Al hanya tersenyum tipis. Allinson menggerakkan bibirnya agar Chaz menutup mulutnya. William lewat dengan langkah santainya. Chaz ingin meninju wajahnya yang tampan jika tidak ingat William adalah sahabatnya. Allinson cepat-cepat mengikuti William memasuki ruangannya. Allinson berikan jadwal baru William yang sudah diperbaruinya. William masih memakai kaca mata bacanya yang bertengger dihidung mancungnya mengecek kiner
Chaz menjadi orang pertama yang marah-marah. Umpatan demi umpatan meluncur dari mulutnya namun tidak ada respons yang bisa Chaz harapkan. William Anderson tetaplah pria berhati dingin yang ingin Chaz bunuh. “Boleh aku bunuh diri, Al?” Oh, tentu saja itu tindakan bodoh. Chaz tidak akan mau menyia-nyiakan hidupnya demi seorang William. Pada akhirnya Chaz tetap memilih jalannya untuk bertahan. Dasar manusia munafik! Sudah dihina hingga titik darah penghabisan namun masih menjadi penjilat sampai akhir. “Astaga! Aku ingin mati sekarang juga.” Kali ini dari Ryan. Pria berkemeja biru laut itu datang dengan wajahnya yang memerah. Ryan memendam amarah yangi lebih besar dari Chaz. Allinson dan Chaz hanya saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak. Wajah Ryan gusar. Kedua kakinya berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Ryan kentara frustrasi dan itu bukan pertanda yang baik. “Dia pikir dia siapa, hah! Mendiskualifikasi semua model yang susah payah kita seleksi dan dia dengan satu kata semu
Ini hari pertama Clara magang. Matahari sudah menyembul menampakkan wujudnya sejak beberapa jam yang lalu. Tapi ada sedikit keraguan di hati Clara antara harus mendatangi agensi model itu atau batal saja. Jika ditanya apa alasannya meragu maka Clara akan menjawab tidak tahu. Perasaan itu muncul secara tiba-tiba. “Datang, tidak, datang, tidak, datang ….” Clara mendesah dengan wajah bingungnya. Disesapnya lagi kopi panasnya. Rasa pahitnya mendominasi. “Ayolah, Cla. Stop menjadi pengecut. Ini hanya magang dan semua akan baik-baik saja.” Clara tandaskan kopinya. Meletakkan gelasnya asal dan menyambar tasnya. Clara bersiap untuk hari ini. “Toh orang-orang di sana tidak ada yang mengenalinya.” Clara meyakinkan dirinya sendiri. Hidup sendiri bukan sebuah pilihan yang mudah. Di dunia ini siapa yang mau menjadi yatim piatu atau tidak pernah melihat bagaimana rupa kedua orang tuanya. Untuk itu Clara tetap menjalani kehidupannya sesulit apa pun itu. Karena keraguan masih menggelayuti, kedua
"Ada apa?" tanya Lucas tanpa berbasa-basi. Tangannya mencengkeram menahan geram di hatinya. Gumpalan amarah itu terbungkus apik sejak langkahan kakinya manaiki undakan tangga di rumah ini.Rumah?Seringai di wajahnya Lucas tunjukkan. Kendati demikian, kobaran benci lewat tatapan tajam matanya tak kunjung meredup. Menatap lekat-lekat pria tampan yang nyaris mirip dengan cetakan lainnya tengah tersenyum tipis bersamaan tangan yang bertumpu di atas meja. Menampilkan wajah penuh kepedulian yang justru memuakkan bagi Lucas."Bagaimana kuliahmu? Apa tutormu cukup membantu?" Senyum tipisnya belum meredup. Matanya menyipit kala senyum simpul itu menarik kedua sudut bibirnya kekanan dan kekiri."Jangan pura-pura peduli!" Langsung tanpa permisi.Pria itu paham betul tipikal seperti apa adiknya ini. Dan bagaimana cara mengatasinya, pria itu memahami. Sebagian dari dirinya meyakinkan; keluarga ini tak mudah di pecahkan dengan badai sekali pun.Tapi, kenyataan dan keyakinan sama sekali tak menduku
Hal gila lainnya yang harus Ryan dan Chaz alami adalah kepala pengar lantaran terlalu kencang tertawa—menertawakan lebih tepatnya.Serius. Bahkan Chaz terjungkal dari kursinya karena terlalu kencang tertawa. Hanya Adam yang terdiam. Pria itu seolah paham akan apa yang William tuturkan. Tanpa dua kali menyimpulkan, Adam mengerti, ini masa transisi untuk William menutupi kegugupannya.Bukan hal konyol untuk Adam, ingat, mereka bersama sejak masih kanak-kanak.Serahasia apa pun William menyimpan, semudah itu pula Adam menilai. Segala sesuatunya terlalu matang."Kamu benarkan masih bos kami? William Anderson si mulut mercon, berparas patung yang sialan tampan?!" Ryan memulai menghentikan tawanya. Perutnya sudah sekonyong-konyong sakit dan menyerah untuk melanjutkan aksinya. "Sialan! Kamu memang benar William. Teman dan bos kami."Chaz melakukan hal serupa. Tapi lebih dulu mendapati tatapan tajam segarang harimau itu hingga kedua tangannya mengudara tanda menyerah."Aku selesai," ujarnya,
"Kau menyakiti mama," ujar Austin begitu menempatkan bokongnya di sofa ruangan William. Ini pertama kalinya ia berkunjung. Matanya menilai interior yang di pilih William. Dan Austin tahu, warna-warna ini padunan akan gambaran yang selama ini William rasakan."Mama lebih menyakitiku," tukas William tak sopan. Tangannya masih lihai merapikan beberapa kertas yang berserakan di mejanya tanpa peduli untuk menemani Austin. Fokusnya benar-benar di antara kertas-kertas itu."Sanggahan dari mana itu? Adikku tak pernah berkata kasar kepada mamanya, kan?"William mengedik acuh. Bibirnya terkatup dan rahangnya mengeras. Dan Austin hanya bisa memerhatikan keterdiaman William selama ini. Adiknya telah berubah. Dia bukan lagi bocah lima tahun apalagi remaja lima belas tahun, tapi hampir dua puluh lima.Austin tersenyum getir melihat perubahan itu yang kian menjadi terutama hatinya yang tak tersentuh sama sekali.Sejak kematian ibunya, keduanya berusaha keras mengikuti pikiran ayahnya yang mendoktrin
“Rumit, ya?" Lucas memulai. Membuka pembicaraan setelah hening berkepanjangan. Paginya tentu tak pernah menjadi pagi yang terbaik. Paginya tak pernah menjadi pagi yang selalu terwujud sesuai keinginannya. Dan pagi kali ini, ia kembali menyambangi kediaman kakak panutannya. Kakak yang sayangnya tak pernah menganggapnya ada. Namun entah mengapa Lucas tetap memujanya. Lucas tetap mengikuti setiap hal bahkan hobi yang di gandrungi lelaki ini. Lucas tahu, semua ini menitik beratkan mentalnya, bukan hanya dirinya tapi juga berdampak pada orang lain. Dari semua penjabaran itu, Lucas mengagumi William dengan caranya."Aku tak pernah ingin dilahirkan," sambungnya, "Seperti ini." Kedua matanya terpejam lalu sedetik kemudian terbuka. Mata bening itu berkaca-kaca menahan guliran bening untuk terjatuh. "Aku tahu ini rumit dan salah. Tapi aku, mama, dan Jazzy sekali saja tak pernah berharap untuk semuanya. Atau sekelumit masalah yang papa tinggalkan dan pembagian warisan ini. Posisiku membutuhkan p
Clara tak berkutik mendengar pilihan yang terdengar jelas seperti ancaman. Memaksa, katanya. Kalimat itu terus bergulir di alam bawah sadarnya."Kau cukup berkata 'ya' dan semuanya selesai. Kau meneruskan pekerjaanmu dan aku berjanji dengan jaminan menjadi asisten tetapku selesai kuliah nantinya. Dengan catatan; jangan sekali-kali memanggilku bos. Aku benci itu," katanya.Clara hanya terbengong. Mulutnya benar-benar kebas, dan kepalanya memberat sekedar untuk mengangguk.Saat ini otaknya berpikir separuh dari raganya yang bersorak gembira. Ada letupan-letupan kembang api dalam dirinya dan kupu-kupu yang berterbangan keluar dari perutnya.Tinggal bersama bosnya!Bayangkan itu! Bayangkan sekali pun kalian tak bisa membayangkannya. Bisa kalian tebak apa yang akan kami lakukan jika berada didalam satu atap yang sama sedangkan didalam satu ruangan saja sebuah ciuman penuh hasrat telah terjadi. Bukan tak mungkin kejadian lebih dari ciuman akan terjadi, kan?"Waktumu tak banyak Clara." Willi