Ini hari pertama Clara magang. Matahari sudah menyembul menampakkan wujudnya sejak beberapa jam yang lalu. Tapi ada sedikit keraguan di hati Clara antara harus mendatangi agensi model itu atau batal saja. Jika ditanya apa alasannya meragu maka Clara akan menjawab tidak tahu. Perasaan itu muncul secara tiba-tiba.
“Datang, tidak, datang, tidak, datang ….” Clara mendesah dengan wajah bingungnya. Disesapnya lagi kopi panasnya. Rasa pahitnya mendominasi. “Ayolah, Cla. Stop menjadi pengecut. Ini hanya magang dan semua akan baik-baik saja.”Clara tandaskan kopinya. Meletakkan gelasnya asal dan menyambar tasnya. Clara bersiap untuk hari ini.“Toh orang-orang di sana tidak ada yang mengenalinya.”Clara meyakinkan dirinya sendiri. Hidup sendiri bukan sebuah pilihan yang mudah. Di dunia ini siapa yang mau menjadi yatim piatu atau tidak pernah melihat bagaimana rupa kedua orang tuanya. Untuk itu Clara tetap menjalani kehidupannya sesulit apa pun itu.Karena keraguan masih menggelayuti, kedua kaki Clara melangkah dengan berat. Dalam hatinya terus meyakinkan jika pilihannya adalah yang terbaik. Sambil menunggu bus yang akan membawanya menuju tempat tujuan, Clara putar lagu kesukaannya. Berharap dengan ini Clara bisa sedikit terhibur.***Riuh, sesak. Itu kesan pertama yang Clara lemparkan melihat bagaimana bisingnya studio yang berukuran luas tapi terasa sesak. Clara tiba di kantor agensi tepat waktu. Dan pemandangan pertama yang Clara dapati adalah sebuah tubuh dengan pakaian kurang bahan.Model-model berpakaian minim memadati setiap sudut membuat deru napasnya memburu. Dadanya naik turun tak beraturan begitu semerbak parfum menyengat menyentuh hidungnya. Clara ingin muntah saat itu juga. Namun otaknya mengirim sinyal untuk berpikir waras; akan sangat kacau jika hal itu terjadi.Ujung tenggorokannya menahan umpatan serapah untuk agensi tempatnya magang. Perusahaan kondang seperti ini, menangani model-model profesional, mencetak pakaian ternama dan bekerja sama dengan majalah dunia pesohor Amerika pelit untuk sebuah ruang tunggu. Setidaknya beri tempat di beberapa sudut agar orang baru seperti dirinya bisa menempelkan bokong di saat menunggu. Bukan di ijinkan berdiri bak prajurit menunggu atasannya.“Oh, memangnya aku siapa?”Begitu batin suci Clara menggaung. Demi Neptunus, Clara ingin segera menerjang kerumunan yang layak disebut pasar."Kau akan terbiasa dengan ini. Dua atau tiga hari ke depan semuanya akan membaik." Suara selembut beludru, mata abu-abu yang cerah, bibir tebal dilapisi lipstik nude membuat Clara tersenyum. Mau tak mau senyum yang wanita itu luruskan tersalur begitu saja pada dirinya. Seperti aliran positif pada listrik, wanita itu terlihat anggun dan kalem.Hal yang sangat jarang Clara lakukan selain menjadi diam dan bisu adalah tersenyum."Bos akan datang sebentar lagi. Ya, dia sedikit—kamu harus menyiapkan telinga untuk mendengar kata kasarnya." Nasehatnya.Clara bergumam terima kasih dan menenggak soda kalengnya. Merasa senang untuk sebuah kesan perkenalan yang bersahabat."Ladies, tak seharusnya aku—Ya Tuhan kenapa dia cantik sekali. Dan Allinson, kamu begitu jahat tak membawanya padaku."Wanita bernama Allinson itu memutar matanya. "Aku tak suka menonton drama, Chaz. Berhentilah!" hardiknya keras. Mata abu-abunya menyipit tajam. "Dan Clara, jangan tersinggung, tapi jangan dengarkan dia. Dia pria sinting di sini.""Oh sialan. Aku merasa tersinggung sekarang."Clara kembali tersenyum—tipis meski wajah datarnya kentara terlihat. Clara tidak tahu caranya berekspresi.***William membidik satu per satu pose model dengan satu jepretan. Sesekali memastikan jika hasil bidikannya yang tersambung ke komputer di sebelahnya juga memuaskan dan siap cetak.Untuk hal sepele seperti ini, tak seharusnya William turun tangan dan menanganinya sendiri. Perusahaannya memiliki hampir sepuluh fotografer handal yang di pekerjakannya tapi entah mengapa hobi sepele ini membuat William ketagihan.Bukan karena memandangi tubuh-tubuh molek dalam balutan dress minim atau apa pun. Tapi rasa frustrasi yang tiba-tiba menyerangnya mengharuskan ia mempunyai pengalihan. Dan inilah akhirnya, berdiri tegak di ruang serba putih dengan model di depannya. Berpose sesuai arahan Chaz dan Ryan lalu sesekali mendengar gerutuan keduanya.Sejenak William menarik napas. Menghirup udara dalam-dalam seolah-olah pasokan udara di paru-parunya menipis.Meski sorot matanya yang tajam tak teralih untuk memilih hasil jepretan yang sesuai tapi ekor matanya tak sedikit pun berhenti untuk melirik ke sudut ruangan di mana wanita yang menjadi asisten barunya berada.Di liriknya terus, aktivitas wanita itu juga tak berganti—sejak awal William memasuki ruangan ini. Beberapa pasang mata terlihat sungkan tiap kali William memasuki ruangan namun wanita itu berbeda. Dia terkesan acuh dan fokus pada pekerjaannya yang di arahkan Allinson.Dan di menit ini pun sama.Wanita itu hanya berdiri, memegang alas papan cokelat dengan lembaran kertas di atasnya, pulpen di jarinya dan tanda pengenal yang menggantung di lehernya: Clara Palmer."Oh, Sayang apa itu terlihat bagus? Apa itu layak untuk kamu muat di majalah barumu. Lihatlah, sepatu ini menyiksaku hingga hasil jepretan kakiku seperti membengkak."William mendengkus. Wanita sialan ini terus saja menempelinya."Tidak biasanya Allinson memberiku sepatu seperti ini. Aku tahu ini memang terlihat cocok dengan gaun yang aku kenakan. Tapi bocah tengik itu terus saja memaksaku walaupun aku menolaknya."Gerutuan itu menghentikan jari-jari William yang sedang menggeser cursor. Melihat sekali lagi wanita bernama Clara itu dan memandang wanita di sampingnya."Siapa yang kamu maksud bocah tengik?" tanyanya.Di sadari atau tidak, nada suaranya naik satu oktaf membuat orang-orang menghentikan aktivitasnya dan melihat adegan kalau-kalau bos mereka akan mengamuk."Mahasiswa magang itu. Siapa namanya?" Wanita itu bertanya tanpa berniat menjawab pertanyaan William. Tanpa beban, tanpa menggunakan otaknya atau memasang alarm.William meradang. Itu terlihat dari rahangnya yang mengetat dan raut wajahnya memanas lantaran api menjalari seluruh sisinya. Wanita di sampingnya belum menyadarinya. Bibirnya cemberut seakan-akan apa yang disampaikannya hal biasa."Dia asisten baruku dan apa yang dia lakukan sesuai perintah Allinson. Tugasmu hanya menuruti apa yang sudah mereka siapkan. Kecuali, jika kamu ingin angkat kaki dari agensiku."Demi Dewa manapun, Ryan ingin pingsan saat ini juga. Bos sialannya kembali berucap hal itu yang artinya pekerjaan baru untuknya menyeleksi.Sedangkan Clara yang menyadari keributan tak jauh dari dirinya hanya bisa menyaksikan tanpa berniat bertanya. Allinson masih menjelaskan pekerjaan apa saja yang akan dirinya tangani dan Clara sudah mendesah panjang agar paru-parunya menghirup udara di tempat yang sesak ini.“William memang memiliki Riwayat tempramen yang tinggi tapi dia baik. Kamu akan mendapat banyak pengalaman darinya. Jadi aku harap kamu bisa bersabar saat berada di dekatnya. Dia tidak kelihatan seperti aslinya."Clara tahu, Allinson sedang mencoba merayunya. Meski tanpa membeberkan kebenarannya pun Clara akan tetap menjalani ini. Karena ini pilihannya."Ada apa?" tanya Lucas tanpa berbasa-basi. Tangannya mencengkeram menahan geram di hatinya. Gumpalan amarah itu terbungkus apik sejak langkahan kakinya manaiki undakan tangga di rumah ini.Rumah?Seringai di wajahnya Lucas tunjukkan. Kendati demikian, kobaran benci lewat tatapan tajam matanya tak kunjung meredup. Menatap lekat-lekat pria tampan yang nyaris mirip dengan cetakan lainnya tengah tersenyum tipis bersamaan tangan yang bertumpu di atas meja. Menampilkan wajah penuh kepedulian yang justru memuakkan bagi Lucas."Bagaimana kuliahmu? Apa tutormu cukup membantu?" Senyum tipisnya belum meredup. Matanya menyipit kala senyum simpul itu menarik kedua sudut bibirnya kekanan dan kekiri."Jangan pura-pura peduli!" Langsung tanpa permisi.Pria itu paham betul tipikal seperti apa adiknya ini. Dan bagaimana cara mengatasinya, pria itu memahami. Sebagian dari dirinya meyakinkan; keluarga ini tak mudah di pecahkan dengan badai sekali pun.Tapi, kenyataan dan keyakinan sama sekali tak menduku
Hal gila lainnya yang harus Ryan dan Chaz alami adalah kepala pengar lantaran terlalu kencang tertawa—menertawakan lebih tepatnya.Serius. Bahkan Chaz terjungkal dari kursinya karena terlalu kencang tertawa. Hanya Adam yang terdiam. Pria itu seolah paham akan apa yang William tuturkan. Tanpa dua kali menyimpulkan, Adam mengerti, ini masa transisi untuk William menutupi kegugupannya.Bukan hal konyol untuk Adam, ingat, mereka bersama sejak masih kanak-kanak.Serahasia apa pun William menyimpan, semudah itu pula Adam menilai. Segala sesuatunya terlalu matang."Kamu benarkan masih bos kami? William Anderson si mulut mercon, berparas patung yang sialan tampan?!" Ryan memulai menghentikan tawanya. Perutnya sudah sekonyong-konyong sakit dan menyerah untuk melanjutkan aksinya. "Sialan! Kamu memang benar William. Teman dan bos kami."Chaz melakukan hal serupa. Tapi lebih dulu mendapati tatapan tajam segarang harimau itu hingga kedua tangannya mengudara tanda menyerah."Aku selesai," ujarnya,
"Kau menyakiti mama," ujar Austin begitu menempatkan bokongnya di sofa ruangan William. Ini pertama kalinya ia berkunjung. Matanya menilai interior yang di pilih William. Dan Austin tahu, warna-warna ini padunan akan gambaran yang selama ini William rasakan."Mama lebih menyakitiku," tukas William tak sopan. Tangannya masih lihai merapikan beberapa kertas yang berserakan di mejanya tanpa peduli untuk menemani Austin. Fokusnya benar-benar di antara kertas-kertas itu."Sanggahan dari mana itu? Adikku tak pernah berkata kasar kepada mamanya, kan?"William mengedik acuh. Bibirnya terkatup dan rahangnya mengeras. Dan Austin hanya bisa memerhatikan keterdiaman William selama ini. Adiknya telah berubah. Dia bukan lagi bocah lima tahun apalagi remaja lima belas tahun, tapi hampir dua puluh lima.Austin tersenyum getir melihat perubahan itu yang kian menjadi terutama hatinya yang tak tersentuh sama sekali.Sejak kematian ibunya, keduanya berusaha keras mengikuti pikiran ayahnya yang mendoktrin
“Rumit, ya?" Lucas memulai. Membuka pembicaraan setelah hening berkepanjangan. Paginya tentu tak pernah menjadi pagi yang terbaik. Paginya tak pernah menjadi pagi yang selalu terwujud sesuai keinginannya. Dan pagi kali ini, ia kembali menyambangi kediaman kakak panutannya. Kakak yang sayangnya tak pernah menganggapnya ada. Namun entah mengapa Lucas tetap memujanya. Lucas tetap mengikuti setiap hal bahkan hobi yang di gandrungi lelaki ini. Lucas tahu, semua ini menitik beratkan mentalnya, bukan hanya dirinya tapi juga berdampak pada orang lain. Dari semua penjabaran itu, Lucas mengagumi William dengan caranya."Aku tak pernah ingin dilahirkan," sambungnya, "Seperti ini." Kedua matanya terpejam lalu sedetik kemudian terbuka. Mata bening itu berkaca-kaca menahan guliran bening untuk terjatuh. "Aku tahu ini rumit dan salah. Tapi aku, mama, dan Jazzy sekali saja tak pernah berharap untuk semuanya. Atau sekelumit masalah yang papa tinggalkan dan pembagian warisan ini. Posisiku membutuhkan p
Clara tak berkutik mendengar pilihan yang terdengar jelas seperti ancaman. Memaksa, katanya. Kalimat itu terus bergulir di alam bawah sadarnya."Kau cukup berkata 'ya' dan semuanya selesai. Kau meneruskan pekerjaanmu dan aku berjanji dengan jaminan menjadi asisten tetapku selesai kuliah nantinya. Dengan catatan; jangan sekali-kali memanggilku bos. Aku benci itu," katanya.Clara hanya terbengong. Mulutnya benar-benar kebas, dan kepalanya memberat sekedar untuk mengangguk.Saat ini otaknya berpikir separuh dari raganya yang bersorak gembira. Ada letupan-letupan kembang api dalam dirinya dan kupu-kupu yang berterbangan keluar dari perutnya.Tinggal bersama bosnya!Bayangkan itu! Bayangkan sekali pun kalian tak bisa membayangkannya. Bisa kalian tebak apa yang akan kami lakukan jika berada didalam satu atap yang sama sedangkan didalam satu ruangan saja sebuah ciuman penuh hasrat telah terjadi. Bukan tak mungkin kejadian lebih dari ciuman akan terjadi, kan?"Waktumu tak banyak Clara." Willi
William tahu, Mikaela bukan tipe bocah pemilih ketika bertemu orang baru. Dia cenderung terbuka dan mudah bergaul berbanding terbalik dengan dirinya dan Austin. Dulu, masa kecil mereka hanya di habiskan di sebuah kedai roti reyot milik kakek dan nenek angkatnya.Dan semua yang di dapatkannya kini adalah bukti nyata kerja kerasnya membangun segala sesuatunya dari nol. Berdiri sendiri di atas rasa benci yang mendarah daging dan dendam yang tak berkesudahan bahkan setelah ayahnya tertimbun tanah.Semua ini rasanya belum adil. Semua ini belum William rasakan cukup apalagi puas. Hatinya belum sepenuhnya rela mana kala perputaran waktu tiba-tiba saja berhenti.Ibunya yang meninggal dan kehidupan seolah-olah menjungkir balikkan dunianya bersama Austin untuk ikut serta dalam permainan ayahnya. Menjadi boneka ayahnya dan memasang topeng sedemikian apik demi menjaga kendali dirinya. Dan siapa sangka? William jauh lebih lihai mempertahankan topengnya selama bertahun-tahun ketimbang Austin demi m
Tuan Wu datang. Namun ketegangan yang tercipta antara William dan Lucas belum juga mereda. Pria berumur 50-an itu membuka koper yang di tentengnya dan mengambil beberapa berkas di dalamnya. Kemudian mengedarkan pandangan manatap satu per satu wajah tak asing yang menjadi topik malam ini.Tuan Wu mengangguk sebentar begitu bertemu pandang dengan mata Austin. "William telah merinci semua aset dan harta kekayaannya sekitar enam bulan yang lalu. Dalam kondisi yang sehat dan betul-betul sadar," katanya, "jelas terlihat di sini—di surat wasiat ini ada tanda tangan William juga stempel perusahaan yang menyetujui keabsahan surat beserta isinya yang artinya dokumen resmi—mutlak sah—secara hukum tanpa sedikit pun bisa di rubah," lanjutnya."Mengenai nominal semuanya tidak tertera di surat ini tapi pengukuhan posisi dan siapa yang menerimanya tidak bisa lagi di rubah. Satu aset tersembunyi hanya akan di terima oleh satu dari keempat anaknya. Dan akan digunakan bersama mengingat pasang-surut peru
William meletakkan tubuh Clara ditempat yang nyaman. Tempat ini beraroma dirinya dan Clara akan menyebutnya sebagai surga. William tak berhenti menciuminya dan Clara juga tak ingin William berhenti.Hembusan napas kasar William menerpa wajahnya. Dapat Clara rasakan jemari William yang mengusap pipinya dengan kelembutan yang tak bisa Clara jabarkan. William terus mengecup bibir Clara berkali-kali—tanpa kata-kata, hanya sentuhan dan napas yang sama-sama tak beraturan.Clara memberanikan diri membuka mata dan mendapati mata madu William yang menatapnya. Refleks, gerakan tangannya merapikan rambut cokelat William yang tak lagi beraturan dan William menikmati perlakuan itu seolah menikmati tiap sentuhan yang Clara hantarkan. Dalam hati Clara merasa senang karena mereka mempunyai efek yang sama untuk satu sama lain.Ingatan Clara kembali terlempar ke belakang begitu mengingat sebaris kalimat yang William ucapkan. Suara sarat kesedihan yang tak sanggup Clara dengar tiba-tiba berdengung ditel