"Ada apa?" tanya Lucas tanpa berbasa-basi. Tangannya mencengkeram menahan geram di hatinya. Gumpalan amarah itu terbungkus apik sejak langkahan kakinya manaiki undakan tangga di rumah ini.
Rumah?
Seringai di wajahnya Lucas tunjukkan. Kendati demikian, kobaran benci lewat tatapan tajam matanya tak kunjung meredup. Menatap lekat-lekat pria tampan yang nyaris mirip dengan cetakan lainnya tengah tersenyum tipis bersamaan tangan yang bertumpu di atas meja. Menampilkan wajah penuh kepedulian yang justru memuakkan bagi Lucas.
"Bagaimana kuliahmu? Apa tutormu cukup membantu?" Senyum tipisnya belum meredup. Matanya menyipit kala senyum simpul itu menarik kedua sudut bibirnya kekanan dan kekiri.
"Jangan pura-pura peduli!" Langsung tanpa permisi.
Pria itu paham betul tipikal seperti apa adiknya ini. Dan bagaimana cara mengatasinya, pria itu memahami. Sebagian dari dirinya meyakinkan; keluarga ini tak mudah di pecahkan dengan badai sekali pun.
Tapi, kenyataan dan keyakinan sama sekali tak mendukung. Dua hal itu tak berjalan selaras. Tak berlalu beriringan karena faktanya, mereka berjalan di atas bumi yang sama, di pijakan dan tanah yang sama, namun tidak di sebuah atmosfer yang sama. Mereka terpisah.
"Aku peduli," jawabnya kalem, "Kamu tetap adik bagi kami Lucas, kamu—"
"Persetan!" tukasnya. Dadanya bergemuruh mendengar ucapan itu. Sekali lagi, sedetik lagi, jarum kemarahan yang mengobarkan api pada dirinya ingin segera Lucas luapkan. "Apa pedulimu tentang hidupku brengsek?!"
Pria itu bungkam. Tangannya meremas satu sama lain pertanda gugup yang meliputi. Ia terlampau memahami dan hanya diam ini jawabannya.
"Kamu dan dia, bisakah kalian percaya jika aku melihat semuanya. Aku dan dia melihat dengan mata kepala kami. Aku dan dia melihat bagaimana—" Lucas tercekat. Suaranya bergetar padahal mati-matian ia menahannya. Tapi kilas balik kejadian itu menumpaskan setiap sendi kehidupannya bahkan tulang-tulangnya.
"Aku sedang berusaha Lucas. Kami diam bukan berarti tak peduli. Aku dan dia sama pedulinya. Pilihanmu Lucas, kembali atau berhenti."
***
Clara pikir hari pertamanya akan sangat panjang atau paling tidak penuh drama. Faktanya tidak demikian dan itu semua jauh dari apa yang ada dalam bayangannya.
Sore hari saat Mentari belum kembali ke peraduannya, William telah hengkang dari kantor. Sayup-sayup Clara mendengar jika pria berambut cokelat madu bertubuh jangkung itu akan menghadiri rapat di perusahaan lainnya. Hebat! Tidak heran jika agensi ini menjadi serbuan banyak model bahkan melewati tahapan seleksi yang ketat.
“Kamu boleh pulang, Cla.”
Allinson berdiri di belakang tubuh Clara yang baru selesai merapikan fail di atas meja kerja William. Clara menoleh dengan wajah canggung dan seakan mengerti apa yang Clara pikirkan, Allinson berjalan mendekat sambil tersenyum.
“Begitulah pekerjaanmu. Jika William sudah pergi, kamu hanya perlu menyelesaikan bagianmu lalu pulang. Jangan merasa sungkan atau tidak enak. Dan selamat bergabung bersama kami.”
Clara tersenyum dan mengangguk. Tidak banyak interaksi yang Clara suarakan selain bertanya untuk pekerjaan. Kecemasan Clara adalah orang-orang akan menolak sifatnya yang pendiam ini.
Melihat kondisi sekitar yang mulai sepi dan meja sudah rapi kembali, Clara ambil tasnya dan berjalan menuju lift. Clara pasang earphone dan memutar lagunya. Suasana sore yang sunyi dan Mentari yang cantik menjadi pemandangan indah.
***
Clara terengah-engah.
Clara ingin bangun. Clara ingin berlari. Tapi mimpi-mimpi itu benar-benar memenjarakan kedua kakinya untuk bergerak. Clara terhimpit oleh sebuah batu besar dan sekarang pasokan udara di paru-parunya mulai menipis. Tenggorokan Clara tercekat saking keringnya. Suara Clara hilang seperti terhalangi sesuatu.
Erngan halus lolos begitu saja melalui celah bibirnya yang terbuka. Dahinya berkeringat dengan gerakan gelisah semakin memojokkan wajahnya di sandaran sofa.
Mimpi buruk yang setiap malamnya ia dapat berhasil membuatnya terjaga. Hal pertama yang di dapatinya yaitu gelap. Pendar mata terangnya diantara temaram malam ruangan kamarnya adalah kilau bulan yang memancar menembus jendela.
Telinganya berdengung. Clara lelah. Sangat lelah sampai ia tak ingin menghadapi apapun lagi.
Clara benci dengan mimpi-mimpi yang terus menghantuinya. Ia benci melihat kegelapan, atau pun berada di dalamnya. Ia benci berada diruangan yang sempit atau pun sesak. Dadanya akan sakit.
Rintihan menyakitkan yang setiap malamnya Clara alami tak ada satu pun yang mengetahui. Tak ada juga yang mencoba untuk menolongnya. Clara harus bertahan, dan terbangun sendiri untuk membuatnya kembali tersadar.
Itu bukanlah hal mudah.
Itu bagian terberat dari hidupnya karena terkurung oleh kenangan masa lalunya.
Clara butuh bernapas. 'Teman tidur' yang selama ini menghampiri malam-malam panjangnya tak pernah membiarkannya beristirahat dengan tenang dan terus saja mengganggunya.
Clara butuh sandaran. Sekedar pelukan hangat untuk menenangkannya. Namun sayangnya itu pun mustahil untuk Clara dapatkan.
"Mama."
Saat terbangun dari mimpi buruknya, Clara melihat kondisi ruang tamunya yang gelap. Jendela terbuka dengan gorden yang tertiup angin. Cahaya lampu dari luar menerobos masuk. Napas Clara terengah-engah.
Mulut Clara bisu dengan lidah kelu yang tidak bisa mengucapkan sepatah kata. Sekarang lelehan liquid bening keluar dari kedua matanya dan turun ke pipi. Terus turun dan membuat pipi mulus Clara basah. Rasa asinnya tercecap di indera perasanya.
“Berengsek!”
Hanya itu yang bisa Clara keluarkan pertama kali. Teriakan dan tangis Clara kian menjadi di malam sunyi tanpa seorang pun yang mau meminjamkan bahunya.
***
Sepenggal kisah kelam. Kilas balik masa lalu, semuanya tersimpan rapi di memori William. Tersusun apik dalam album kenangan berderu bersama detak jantungnya.
Pagi ini, yang terlihat jelas oleh kedua mata beningnya adalah sinar matahari yang cukup terik menerpa wajah tampannya. Bangun dengan rambut acak-acakan dan badan tegap yang menghadap keluar pemandangan kota Carolina.
Ingatan William berkelebat. Masih sama seperti kemarin, wanita yang menjadi asistennya.
Entah mengapa, William harus mengingatnya—lebih tepatnya mendekatinya. Hatinya berdesir, jantungnya tak beraturan kala menatap wajah datar itu. Wanita itu sama sekali tak tersentuh dan William ingin menyentuhnya. William ingin wanita itu ada dalam rengkuhannya. William ingin terus melihat wajah itu atau senyumnya atau lebih tepatnya pertanyaan begini: apa arti pelariannya selama ini jika untuk melihat nama yang sama. Bukan karena takut. William tidak ingin semua pencapaiannya berakhir sia-sia.
Dan sesapan kopi panas yang menyengat kerongkongannya William nikmati dalam lamunan yang melebur bersama langkahan kaki. Tak perlu menoleh dari mana asalnya. William cukup pintar untuk menebak.
"Selalu kopi." Vokal itu tetap William abaikan. Kedua tangannya memegang koran pagi dengan suguhan berita-berita politik yang membosankan—memuakkan untuk William ketahui. Tapi pebisnis seperti dirinya wajib mengetahui untuk bisa melawan musuh yang datang dari arah mana pun.
"Kafeinnya terlalu tinggi." Celotehannya masih berlanjut. Lalu seperti beberapa detik yang lalu; William tetap diam mengabaikan.
Lelaki itu mengembuskan napasnya gusar. Merasa cukup untuk menyerah dan putus asa. Ia mengerti, relung hati William takkan tersentuh oleh apapun. Sekali pun tangisan berdarah, itu percuma.
"Aku bertemu Austin. Dia memintaku tinggal," ujarnya seraya meneguk segelas air lemon. "Aku merasa tak nyaman jika itu menyangkut kita. Kamu tahu Will, ini sulit. Untukku dan terutama untukmu. Kita bertiga saling menjauh dan pergi ke arah tujuan masing-masing."
William terus bungkam. Satu tangannya mengangkat cangkir kopinya lalu menyesapnya sekali lagi. Memainkan lidahnya merasakan aliran hitam pekat itu menyebar ke dalam mulutnya.
"Kuliahku baik. Dan pembimbingku juga selalu menekanku untuk belajar. Seminggu tiga kali. Aku rasa itu cukup karena dia juga harus magang di salah satu agensi untuk jurnal ilmiahnya. Dia baik kamu tahu, tapi dingin sepertimu."
Lucas ucapkan kalimat terakhirnya mirip bisikan. Namun begitu, hal itu menarik perhatian William hingga mengangkat kepalanya dan menatap pria muda di hadapannya dengan saksama.
Pria ini tetap adiknya, ‘kan? Tetap bagian dari keluarganya yang tidak ingin William akui namun keadaan memaksanya untuk menerima.
Hanya jawaban itu yang terucap dari hati William.
"Maka lanjutkan. Kamu bisa memilih mana yang menurutmu baik dan harus kamu tinggali. Tempatmu bukan di sini, Luc."
Hal gila lainnya yang harus Ryan dan Chaz alami adalah kepala pengar lantaran terlalu kencang tertawa—menertawakan lebih tepatnya.Serius. Bahkan Chaz terjungkal dari kursinya karena terlalu kencang tertawa. Hanya Adam yang terdiam. Pria itu seolah paham akan apa yang William tuturkan. Tanpa dua kali menyimpulkan, Adam mengerti, ini masa transisi untuk William menutupi kegugupannya.Bukan hal konyol untuk Adam, ingat, mereka bersama sejak masih kanak-kanak.Serahasia apa pun William menyimpan, semudah itu pula Adam menilai. Segala sesuatunya terlalu matang."Kamu benarkan masih bos kami? William Anderson si mulut mercon, berparas patung yang sialan tampan?!" Ryan memulai menghentikan tawanya. Perutnya sudah sekonyong-konyong sakit dan menyerah untuk melanjutkan aksinya. "Sialan! Kamu memang benar William. Teman dan bos kami."Chaz melakukan hal serupa. Tapi lebih dulu mendapati tatapan tajam segarang harimau itu hingga kedua tangannya mengudara tanda menyerah."Aku selesai," ujarnya,
"Kau menyakiti mama," ujar Austin begitu menempatkan bokongnya di sofa ruangan William. Ini pertama kalinya ia berkunjung. Matanya menilai interior yang di pilih William. Dan Austin tahu, warna-warna ini padunan akan gambaran yang selama ini William rasakan."Mama lebih menyakitiku," tukas William tak sopan. Tangannya masih lihai merapikan beberapa kertas yang berserakan di mejanya tanpa peduli untuk menemani Austin. Fokusnya benar-benar di antara kertas-kertas itu."Sanggahan dari mana itu? Adikku tak pernah berkata kasar kepada mamanya, kan?"William mengedik acuh. Bibirnya terkatup dan rahangnya mengeras. Dan Austin hanya bisa memerhatikan keterdiaman William selama ini. Adiknya telah berubah. Dia bukan lagi bocah lima tahun apalagi remaja lima belas tahun, tapi hampir dua puluh lima.Austin tersenyum getir melihat perubahan itu yang kian menjadi terutama hatinya yang tak tersentuh sama sekali.Sejak kematian ibunya, keduanya berusaha keras mengikuti pikiran ayahnya yang mendoktrin
“Rumit, ya?" Lucas memulai. Membuka pembicaraan setelah hening berkepanjangan. Paginya tentu tak pernah menjadi pagi yang terbaik. Paginya tak pernah menjadi pagi yang selalu terwujud sesuai keinginannya. Dan pagi kali ini, ia kembali menyambangi kediaman kakak panutannya. Kakak yang sayangnya tak pernah menganggapnya ada. Namun entah mengapa Lucas tetap memujanya. Lucas tetap mengikuti setiap hal bahkan hobi yang di gandrungi lelaki ini. Lucas tahu, semua ini menitik beratkan mentalnya, bukan hanya dirinya tapi juga berdampak pada orang lain. Dari semua penjabaran itu, Lucas mengagumi William dengan caranya."Aku tak pernah ingin dilahirkan," sambungnya, "Seperti ini." Kedua matanya terpejam lalu sedetik kemudian terbuka. Mata bening itu berkaca-kaca menahan guliran bening untuk terjatuh. "Aku tahu ini rumit dan salah. Tapi aku, mama, dan Jazzy sekali saja tak pernah berharap untuk semuanya. Atau sekelumit masalah yang papa tinggalkan dan pembagian warisan ini. Posisiku membutuhkan p
Clara tak berkutik mendengar pilihan yang terdengar jelas seperti ancaman. Memaksa, katanya. Kalimat itu terus bergulir di alam bawah sadarnya."Kau cukup berkata 'ya' dan semuanya selesai. Kau meneruskan pekerjaanmu dan aku berjanji dengan jaminan menjadi asisten tetapku selesai kuliah nantinya. Dengan catatan; jangan sekali-kali memanggilku bos. Aku benci itu," katanya.Clara hanya terbengong. Mulutnya benar-benar kebas, dan kepalanya memberat sekedar untuk mengangguk.Saat ini otaknya berpikir separuh dari raganya yang bersorak gembira. Ada letupan-letupan kembang api dalam dirinya dan kupu-kupu yang berterbangan keluar dari perutnya.Tinggal bersama bosnya!Bayangkan itu! Bayangkan sekali pun kalian tak bisa membayangkannya. Bisa kalian tebak apa yang akan kami lakukan jika berada didalam satu atap yang sama sedangkan didalam satu ruangan saja sebuah ciuman penuh hasrat telah terjadi. Bukan tak mungkin kejadian lebih dari ciuman akan terjadi, kan?"Waktumu tak banyak Clara." Willi
William tahu, Mikaela bukan tipe bocah pemilih ketika bertemu orang baru. Dia cenderung terbuka dan mudah bergaul berbanding terbalik dengan dirinya dan Austin. Dulu, masa kecil mereka hanya di habiskan di sebuah kedai roti reyot milik kakek dan nenek angkatnya.Dan semua yang di dapatkannya kini adalah bukti nyata kerja kerasnya membangun segala sesuatunya dari nol. Berdiri sendiri di atas rasa benci yang mendarah daging dan dendam yang tak berkesudahan bahkan setelah ayahnya tertimbun tanah.Semua ini rasanya belum adil. Semua ini belum William rasakan cukup apalagi puas. Hatinya belum sepenuhnya rela mana kala perputaran waktu tiba-tiba saja berhenti.Ibunya yang meninggal dan kehidupan seolah-olah menjungkir balikkan dunianya bersama Austin untuk ikut serta dalam permainan ayahnya. Menjadi boneka ayahnya dan memasang topeng sedemikian apik demi menjaga kendali dirinya. Dan siapa sangka? William jauh lebih lihai mempertahankan topengnya selama bertahun-tahun ketimbang Austin demi m
Tuan Wu datang. Namun ketegangan yang tercipta antara William dan Lucas belum juga mereda. Pria berumur 50-an itu membuka koper yang di tentengnya dan mengambil beberapa berkas di dalamnya. Kemudian mengedarkan pandangan manatap satu per satu wajah tak asing yang menjadi topik malam ini.Tuan Wu mengangguk sebentar begitu bertemu pandang dengan mata Austin. "William telah merinci semua aset dan harta kekayaannya sekitar enam bulan yang lalu. Dalam kondisi yang sehat dan betul-betul sadar," katanya, "jelas terlihat di sini—di surat wasiat ini ada tanda tangan William juga stempel perusahaan yang menyetujui keabsahan surat beserta isinya yang artinya dokumen resmi—mutlak sah—secara hukum tanpa sedikit pun bisa di rubah," lanjutnya."Mengenai nominal semuanya tidak tertera di surat ini tapi pengukuhan posisi dan siapa yang menerimanya tidak bisa lagi di rubah. Satu aset tersembunyi hanya akan di terima oleh satu dari keempat anaknya. Dan akan digunakan bersama mengingat pasang-surut peru
William meletakkan tubuh Clara ditempat yang nyaman. Tempat ini beraroma dirinya dan Clara akan menyebutnya sebagai surga. William tak berhenti menciuminya dan Clara juga tak ingin William berhenti.Hembusan napas kasar William menerpa wajahnya. Dapat Clara rasakan jemari William yang mengusap pipinya dengan kelembutan yang tak bisa Clara jabarkan. William terus mengecup bibir Clara berkali-kali—tanpa kata-kata, hanya sentuhan dan napas yang sama-sama tak beraturan.Clara memberanikan diri membuka mata dan mendapati mata madu William yang menatapnya. Refleks, gerakan tangannya merapikan rambut cokelat William yang tak lagi beraturan dan William menikmati perlakuan itu seolah menikmati tiap sentuhan yang Clara hantarkan. Dalam hati Clara merasa senang karena mereka mempunyai efek yang sama untuk satu sama lain.Ingatan Clara kembali terlempar ke belakang begitu mengingat sebaris kalimat yang William ucapkan. Suara sarat kesedihan yang tak sanggup Clara dengar tiba-tiba berdengung ditel
Detak jantung Clara terdengar begitu indah ketika lagi-lagi menelisik ke dalam pendengaran William. Sentuhan tangannya yang tepat terjatuh di bahu William membuat lelaki itu merasa jantungnya juga bertalu begitu hebat. Sesekali William harus menghirup udara guna mamasok himpitan sesak di paru-parunya dan meyakini jika ini semua nyata—bukan sekedar mimpi. Dan Clara bukan sosok imajinasinya karena ini semua begitu mendadak.Clara hadir sebagai bentuk lain dari penghubung di masa lalunya yang telah merubah dan memberinya warna baru di hidupnya. Clara hadir dengan begitu indahnya hingga William tak mampu untuk berhenti memikirkannya. Clara hadir dengan begitu sempurnanya.William benar-benar telah jatuh cinta kepada Clara.Dan detik berikutnya yang William pikirkan adalah jika Clara menghilang dari kehidupannya. William tak bisa membayangkan itu atau kembali merasakan kehampaan dan kehidupan lamanya yang datar. William ingin gadis sederhana ini berada di sampingnya, menjadi malaikatnya, d