"Aku tidak membutuhkan orang lain untuk mengetahui kelemahanku," ucapan itu tersendat di ujung ternggorokan William. Sedang matanya terus fokus menatap layar LCD di ruangan rapat dengan cahaya gelap.Telunjuknya sesekali mengusap permukaan bibirnya untuk mencegah kalimatnya terlontar. Meski demikian, Sehun berusaha mengamati jalannya rapat dengan seksama.Sorot tajamnya bergerak-gerak mengawasi setiap mata yang meliriknya. William bukan seorang yang bodoh untuk menilai sekitarnya. Lengah sedikit saja, bukan tak mungkin orang-orang ini akan mencari letak kelemahannya untuk menjatuhkannya. Ia tak akan membiarkan orang-orang ini melihat kelemahannya. Tekadnya sudah bulat untuk berada di titik ini. Jadi, pergerakan sekecil apapun akan dapat ditangkapnya lewat sudut mata harimaunya yang menatap nyalang. Sementara beberapa pasang wajah mulai terintimidasi oleh wajah dingin dan tatapan tajam William.Di balik kursi ini tengah bersembunyi sosok lain dari seorang William Anderson yang susah pa
"Itu dia!" seru bocah perempuan berumur sepuluh tahunan. Membuat William tersentak dari posisinya berbaring di sofa. Kepalanya sedang pening dan orang ini justru lancang memasuki ruangannya tanpa ijin. William sudah siap melontarkan kata-kata makian kalau saja sekretarisnya sengaja melakukan ini. Namun ujung tenggorokannya mendadak kering dan lidahnya kelu melihat siapa yang berdiri dihadapannya.Berdecak kesal, William mengamati bocah perempuan yang tadi berseru yang ternyata tidak sendirian. Bocah itu memasuki ruangannya diikuti seorang bocah perempuan yang dua tahun lebih muda darinya. Wajahnya nyaris mirip karena keturunan gen yang berasal dari bibit yang sama."William di sini. Aku menang dan kau harus mentraktirku kue cokelat.""Sial!" gerutu bocah perempuan yang mengingatkan Justin pada dirinya sendiri. Ketika berada di usia itu, William memiliki hobi yang tak biasa; mengumpat. Jadi bukan hal aneh ketika Mikaela Anderson mengikuti jejaknya lantaran bocah delapan tahun itu teram
Di tengah padang bunga daisy yang indah, seorang lelaki berdiri sambil merentangkan kedua tangannya. Angin lembut menerbangkan rambutnya, membuatnya berantakan. Lelaki itu menarik napas menghirup udara segar yang seolah sudah lama tidak pernah dirasakannya.Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh bahunya. Membuat lelaki itu terperanjat dan menoleh ke belakang. Seketika tubuhnya menjadi kaku dengan mata membelalak kaget. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara orang yang berdiri dihadapannya itu tersenyum ke arahnya."Anabella ..." bisiknya. Lelaki itu merasa tak yakin dengan apa yang dilihatnya."Lama tak jumpa, William." Gadis itu tersenyum.Tubuh William menegang. Itu suaranya, tentu saja ia masih mengingat bagaimana suara dari Anabella. Meski enam tahun berlalu, suara itu tak pernah beranjak dari ingatannya.William mengulurkan tangannya membelai sebelah wajah Anabella. Yang disambut dengan pejaman mata oleh gadis itu seakan menikmati sentuhan ringan yang Will
"Apa yang kau masak?" tanya William."Panekuk."William mengerang, "Ini pasti permintaan dua bocah itu," decaknya. "Dalam minggu ini, kenapa mereka teramat suka merecokimu?"Clara terkekeh dan hati William menghangat. Kekehan itu selalu diiringi tawa yang memiliki efek khusus untuknya. "Aku pasti akan memasak taco jika kau di sini.""Tapi panekuk di pagi hari sebagai sarapan tak ada salahnya," jawab William. "Aku akan tetap memakan setiap masakan yang kau buatkan."Clara tertawa mendengarnya. Beberapa minggu berada di rumah William semakin membuatnya tahu bahwa berdebat dengan lelaki itu memang seru. Dia tidak terlihat seperti aslinya—dingin dan kaku. Di balik semua itu, justru sebaliknya jika dia lelaki yang hangat dan penuh perhatian. Setiap kali Clara bertanya soal pendapat bagaimana rasa masakannya, komentar-komentar manis selalu diterimanya. Hal itu membuat Clara senang dan selalu menanti setiap kritik yang akan William lontarkan."Apa kepergianmu kali ini membuatmu semakin pinta
Mati. Bagus.Di saat Clara sangat merindukan pagi harinya bersama William, lelaki itu justru mematikan panggilannya. Seharusnya Clara maklum saja. William pasti sibuk dan Clara hanya pengganggu kecil yang berusaha memamerkan masakannya.Clara berharap William tergiur dan memutuskan pulang lebih awal. Tapi ia juga tahu bahwa itu hanya harapan semata karena William telah mengurus segala keperluannya untuk lima hari.Memangnya siapa yang ingin mengira jika lima hari itu sangatlah lama?!Clara menggerutu pada dirinya sendiri. Menggerutu karena sangat merindukan Justin. Menggerutu karena semua buku-buku William hanya berisi tentang bisnis dan tulisan-tulisan tangannya juga berisi tentang penjalanan bisnisnya. Ia berharap mengenali William dari catatan-catatannya, tapi semuanya berisi bisnis. Clara menggerutu karena banyaknya hal yang tidak ia ketahui setelah ditinggal William."Sialan!" umpatnya.Rasa malasnya tiba-tiba menggelayut begitu saja. Kompor yang menyala dan penggorengan yang tel
Perasaan William menggebu-gebu begitu pagar hitam rumahnya mulai terlihat dari kejauhan. Ia berharap mengendarai mobilnya dengan cepat meski William sendiri yakin mobilnya telah melaju wajar.Tapi siapa sangka jika memberikan kejutan untuk seseorang memang terasa seperti ini?William membayangkan reaksi Clara ketika melihatnya di depan pintu. Dan William berharap gadis itu merindukannya seburuk yang ia rasakan. William ingin mendapatkan sebuah pelukan menerjang akibat kerinduan menumpuk selama dua hari.Mungkin saja Clara akan melakukan hal itu. Sejauh William mengenalnya, gadis itu memang cenderung mudah mengekspresikan emosinya. Pun mereka belum pernah terpisah untuk waktu yang lama, dan dua hari itu seperti selamanya.Rasa syukur lainnya William ucapkan lantaran tak adanya kendala dalam penerbangannya. Sehingga ia tiba tepat waktu dan berharap kejutannya akan berjalan lancar.Ketika mobilnya sampai di depan pagar—tanpa lagi peduli—kedua kakinya segera berlari cepat meninggalkan kon
Seember es krim dan tiga batang cokelat belum mampu mengubah suasana hati Clara. Ia tak tahu mengapa menjadi uring-uringan dan menginginkan banyak gula. Ia menginginkan semua makanan manis dan lelaki tampan yang tak pernah tersenyum bernama William Anderson.Ia bahkan berniat memasak semua jenis masakan manis namun sayang kendali pada dirinya menahannya. Sehingga mengurung diri di kamar dengan gorden yang tertutup dan lampu padam betul-betul menjadi paduan suasana hatinya.Tak seharusnya Clara merasakan perasaan seperti ini. Merasa marah dan terkhianati. Itu jelas-jelas hak William untuk lelaki itu berkencan dengan wanita mana pun termasuk Olivia.Meski William selalu pulang tepat waktu dan selalu menyempatkan diri makan malam bersama Clara, memangnya siapa yang ingin mengetahui apa-apa saja yang lelaki itu lakukan diluar sana. William bebas melakukan apa saja bahkan bebas memilih wanita mana saja yang berlipat-lipat kali lebih baik dari pada Clara. William bisa melakukan itu, meski d
Idiot!William mengutuk mulutnya yang dengan lancar mengatakan itu. Awalnya ia hanya berniat menyatakan perasaannya karena gagasan mentah yang Olivia siratkan. Dan William berharap—meski harapan itu amatlah kecil—namun memulai sebuah awal untuk kemudian menjadi langkah yang bagus perlu di cobanya.Mungkin inilah yang orang-orang sebut kepalang basah. Bibirnya dengan mudah mencurahkan apa yang ada dalam pikirannya tentang Clara. Ini tidak terencana, demi Tuhan William berserapah meski ungkapan itu yang selalu ada dalam khayalannya.William tidak berbohong soal keinginannya untuk berbagi hidup bersama Clara. Jelas-jelas dirinya tak bisa jauh dari Clara barang satu senti pun. Hingga dua hari bagaikan di neraka. William sepenuhnya sadar ingin menyentuh Clara hingga seluruh tubuhnya sakit, namun ia ingin memperlakukan Clara dengan benar."Akankah kau menjawabku?" tanya William. Dan ia ingin jawabannya adalah ya.Clara tergugu menatap William. Giginya mulai menggigit bibirnya dengan cara me