Tuan Wu datang. Namun ketegangan yang tercipta antara William dan Lucas belum juga mereda. Pria berumur 50-an itu membuka koper yang di tentengnya dan mengambil beberapa berkas di dalamnya. Kemudian mengedarkan pandangan manatap satu per satu wajah tak asing yang menjadi topik malam ini.Tuan Wu mengangguk sebentar begitu bertemu pandang dengan mata Austin. "William telah merinci semua aset dan harta kekayaannya sekitar enam bulan yang lalu. Dalam kondisi yang sehat dan betul-betul sadar," katanya, "jelas terlihat di sini—di surat wasiat ini ada tanda tangan William juga stempel perusahaan yang menyetujui keabsahan surat beserta isinya yang artinya dokumen resmi—mutlak sah—secara hukum tanpa sedikit pun bisa di rubah," lanjutnya."Mengenai nominal semuanya tidak tertera di surat ini tapi pengukuhan posisi dan siapa yang menerimanya tidak bisa lagi di rubah. Satu aset tersembunyi hanya akan di terima oleh satu dari keempat anaknya. Dan akan digunakan bersama mengingat pasang-surut peru
William meletakkan tubuh Clara ditempat yang nyaman. Tempat ini beraroma dirinya dan Clara akan menyebutnya sebagai surga. William tak berhenti menciuminya dan Clara juga tak ingin William berhenti.Hembusan napas kasar William menerpa wajahnya. Dapat Clara rasakan jemari William yang mengusap pipinya dengan kelembutan yang tak bisa Clara jabarkan. William terus mengecup bibir Clara berkali-kali—tanpa kata-kata, hanya sentuhan dan napas yang sama-sama tak beraturan.Clara memberanikan diri membuka mata dan mendapati mata madu William yang menatapnya. Refleks, gerakan tangannya merapikan rambut cokelat William yang tak lagi beraturan dan William menikmati perlakuan itu seolah menikmati tiap sentuhan yang Clara hantarkan. Dalam hati Clara merasa senang karena mereka mempunyai efek yang sama untuk satu sama lain.Ingatan Clara kembali terlempar ke belakang begitu mengingat sebaris kalimat yang William ucapkan. Suara sarat kesedihan yang tak sanggup Clara dengar tiba-tiba berdengung ditel
Detak jantung Clara terdengar begitu indah ketika lagi-lagi menelisik ke dalam pendengaran William. Sentuhan tangannya yang tepat terjatuh di bahu William membuat lelaki itu merasa jantungnya juga bertalu begitu hebat. Sesekali William harus menghirup udara guna mamasok himpitan sesak di paru-parunya dan meyakini jika ini semua nyata—bukan sekedar mimpi. Dan Clara bukan sosok imajinasinya karena ini semua begitu mendadak.Clara hadir sebagai bentuk lain dari penghubung di masa lalunya yang telah merubah dan memberinya warna baru di hidupnya. Clara hadir dengan begitu indahnya hingga William tak mampu untuk berhenti memikirkannya. Clara hadir dengan begitu sempurnanya.William benar-benar telah jatuh cinta kepada Clara.Dan detik berikutnya yang William pikirkan adalah jika Clara menghilang dari kehidupannya. William tak bisa membayangkan itu atau kembali merasakan kehampaan dan kehidupan lamanya yang datar. William ingin gadis sederhana ini berada di sampingnya, menjadi malaikatnya, d
"Aku tidak membutuhkan orang lain untuk mengetahui kelemahanku," ucapan itu tersendat di ujung ternggorokan William. Sedang matanya terus fokus menatap layar LCD di ruangan rapat dengan cahaya gelap.Telunjuknya sesekali mengusap permukaan bibirnya untuk mencegah kalimatnya terlontar. Meski demikian, Sehun berusaha mengamati jalannya rapat dengan seksama.Sorot tajamnya bergerak-gerak mengawasi setiap mata yang meliriknya. William bukan seorang yang bodoh untuk menilai sekitarnya. Lengah sedikit saja, bukan tak mungkin orang-orang ini akan mencari letak kelemahannya untuk menjatuhkannya. Ia tak akan membiarkan orang-orang ini melihat kelemahannya. Tekadnya sudah bulat untuk berada di titik ini. Jadi, pergerakan sekecil apapun akan dapat ditangkapnya lewat sudut mata harimaunya yang menatap nyalang. Sementara beberapa pasang wajah mulai terintimidasi oleh wajah dingin dan tatapan tajam William.Di balik kursi ini tengah bersembunyi sosok lain dari seorang William Anderson yang susah pa
"Itu dia!" seru bocah perempuan berumur sepuluh tahunan. Membuat William tersentak dari posisinya berbaring di sofa. Kepalanya sedang pening dan orang ini justru lancang memasuki ruangannya tanpa ijin. William sudah siap melontarkan kata-kata makian kalau saja sekretarisnya sengaja melakukan ini. Namun ujung tenggorokannya mendadak kering dan lidahnya kelu melihat siapa yang berdiri dihadapannya.Berdecak kesal, William mengamati bocah perempuan yang tadi berseru yang ternyata tidak sendirian. Bocah itu memasuki ruangannya diikuti seorang bocah perempuan yang dua tahun lebih muda darinya. Wajahnya nyaris mirip karena keturunan gen yang berasal dari bibit yang sama."William di sini. Aku menang dan kau harus mentraktirku kue cokelat.""Sial!" gerutu bocah perempuan yang mengingatkan Justin pada dirinya sendiri. Ketika berada di usia itu, William memiliki hobi yang tak biasa; mengumpat. Jadi bukan hal aneh ketika Mikaela Anderson mengikuti jejaknya lantaran bocah delapan tahun itu teram
Di tengah padang bunga daisy yang indah, seorang lelaki berdiri sambil merentangkan kedua tangannya. Angin lembut menerbangkan rambutnya, membuatnya berantakan. Lelaki itu menarik napas menghirup udara segar yang seolah sudah lama tidak pernah dirasakannya.Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh bahunya. Membuat lelaki itu terperanjat dan menoleh ke belakang. Seketika tubuhnya menjadi kaku dengan mata membelalak kaget. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara orang yang berdiri dihadapannya itu tersenyum ke arahnya."Anabella ..." bisiknya. Lelaki itu merasa tak yakin dengan apa yang dilihatnya."Lama tak jumpa, William." Gadis itu tersenyum.Tubuh William menegang. Itu suaranya, tentu saja ia masih mengingat bagaimana suara dari Anabella. Meski enam tahun berlalu, suara itu tak pernah beranjak dari ingatannya.William mengulurkan tangannya membelai sebelah wajah Anabella. Yang disambut dengan pejaman mata oleh gadis itu seakan menikmati sentuhan ringan yang Will
"Apa yang kau masak?" tanya William."Panekuk."William mengerang, "Ini pasti permintaan dua bocah itu," decaknya. "Dalam minggu ini, kenapa mereka teramat suka merecokimu?"Clara terkekeh dan hati William menghangat. Kekehan itu selalu diiringi tawa yang memiliki efek khusus untuknya. "Aku pasti akan memasak taco jika kau di sini.""Tapi panekuk di pagi hari sebagai sarapan tak ada salahnya," jawab William. "Aku akan tetap memakan setiap masakan yang kau buatkan."Clara tertawa mendengarnya. Beberapa minggu berada di rumah William semakin membuatnya tahu bahwa berdebat dengan lelaki itu memang seru. Dia tidak terlihat seperti aslinya—dingin dan kaku. Di balik semua itu, justru sebaliknya jika dia lelaki yang hangat dan penuh perhatian. Setiap kali Clara bertanya soal pendapat bagaimana rasa masakannya, komentar-komentar manis selalu diterimanya. Hal itu membuat Clara senang dan selalu menanti setiap kritik yang akan William lontarkan."Apa kepergianmu kali ini membuatmu semakin pinta
Mati. Bagus.Di saat Clara sangat merindukan pagi harinya bersama William, lelaki itu justru mematikan panggilannya. Seharusnya Clara maklum saja. William pasti sibuk dan Clara hanya pengganggu kecil yang berusaha memamerkan masakannya.Clara berharap William tergiur dan memutuskan pulang lebih awal. Tapi ia juga tahu bahwa itu hanya harapan semata karena William telah mengurus segala keperluannya untuk lima hari.Memangnya siapa yang ingin mengira jika lima hari itu sangatlah lama?!Clara menggerutu pada dirinya sendiri. Menggerutu karena sangat merindukan Justin. Menggerutu karena semua buku-buku William hanya berisi tentang bisnis dan tulisan-tulisan tangannya juga berisi tentang penjalanan bisnisnya. Ia berharap mengenali William dari catatan-catatannya, tapi semuanya berisi bisnis. Clara menggerutu karena banyaknya hal yang tidak ia ketahui setelah ditinggal William."Sialan!" umpatnya.Rasa malasnya tiba-tiba menggelayut begitu saja. Kompor yang menyala dan penggorengan yang tel