"Apa yang kau masak?" tanya William."Panekuk."William mengerang, "Ini pasti permintaan dua bocah itu," decaknya. "Dalam minggu ini, kenapa mereka teramat suka merecokimu?"Clara terkekeh dan hati William menghangat. Kekehan itu selalu diiringi tawa yang memiliki efek khusus untuknya. "Aku pasti akan memasak taco jika kau di sini.""Tapi panekuk di pagi hari sebagai sarapan tak ada salahnya," jawab William. "Aku akan tetap memakan setiap masakan yang kau buatkan."Clara tertawa mendengarnya. Beberapa minggu berada di rumah William semakin membuatnya tahu bahwa berdebat dengan lelaki itu memang seru. Dia tidak terlihat seperti aslinya—dingin dan kaku. Di balik semua itu, justru sebaliknya jika dia lelaki yang hangat dan penuh perhatian. Setiap kali Clara bertanya soal pendapat bagaimana rasa masakannya, komentar-komentar manis selalu diterimanya. Hal itu membuat Clara senang dan selalu menanti setiap kritik yang akan William lontarkan."Apa kepergianmu kali ini membuatmu semakin pinta
Mati. Bagus.Di saat Clara sangat merindukan pagi harinya bersama William, lelaki itu justru mematikan panggilannya. Seharusnya Clara maklum saja. William pasti sibuk dan Clara hanya pengganggu kecil yang berusaha memamerkan masakannya.Clara berharap William tergiur dan memutuskan pulang lebih awal. Tapi ia juga tahu bahwa itu hanya harapan semata karena William telah mengurus segala keperluannya untuk lima hari.Memangnya siapa yang ingin mengira jika lima hari itu sangatlah lama?!Clara menggerutu pada dirinya sendiri. Menggerutu karena sangat merindukan Justin. Menggerutu karena semua buku-buku William hanya berisi tentang bisnis dan tulisan-tulisan tangannya juga berisi tentang penjalanan bisnisnya. Ia berharap mengenali William dari catatan-catatannya, tapi semuanya berisi bisnis. Clara menggerutu karena banyaknya hal yang tidak ia ketahui setelah ditinggal William."Sialan!" umpatnya.Rasa malasnya tiba-tiba menggelayut begitu saja. Kompor yang menyala dan penggorengan yang tel
Perasaan William menggebu-gebu begitu pagar hitam rumahnya mulai terlihat dari kejauhan. Ia berharap mengendarai mobilnya dengan cepat meski William sendiri yakin mobilnya telah melaju wajar.Tapi siapa sangka jika memberikan kejutan untuk seseorang memang terasa seperti ini?William membayangkan reaksi Clara ketika melihatnya di depan pintu. Dan William berharap gadis itu merindukannya seburuk yang ia rasakan. William ingin mendapatkan sebuah pelukan menerjang akibat kerinduan menumpuk selama dua hari.Mungkin saja Clara akan melakukan hal itu. Sejauh William mengenalnya, gadis itu memang cenderung mudah mengekspresikan emosinya. Pun mereka belum pernah terpisah untuk waktu yang lama, dan dua hari itu seperti selamanya.Rasa syukur lainnya William ucapkan lantaran tak adanya kendala dalam penerbangannya. Sehingga ia tiba tepat waktu dan berharap kejutannya akan berjalan lancar.Ketika mobilnya sampai di depan pagar—tanpa lagi peduli—kedua kakinya segera berlari cepat meninggalkan kon
Seember es krim dan tiga batang cokelat belum mampu mengubah suasana hati Clara. Ia tak tahu mengapa menjadi uring-uringan dan menginginkan banyak gula. Ia menginginkan semua makanan manis dan lelaki tampan yang tak pernah tersenyum bernama William Anderson.Ia bahkan berniat memasak semua jenis masakan manis namun sayang kendali pada dirinya menahannya. Sehingga mengurung diri di kamar dengan gorden yang tertutup dan lampu padam betul-betul menjadi paduan suasana hatinya.Tak seharusnya Clara merasakan perasaan seperti ini. Merasa marah dan terkhianati. Itu jelas-jelas hak William untuk lelaki itu berkencan dengan wanita mana pun termasuk Olivia.Meski William selalu pulang tepat waktu dan selalu menyempatkan diri makan malam bersama Clara, memangnya siapa yang ingin mengetahui apa-apa saja yang lelaki itu lakukan diluar sana. William bebas melakukan apa saja bahkan bebas memilih wanita mana saja yang berlipat-lipat kali lebih baik dari pada Clara. William bisa melakukan itu, meski d
Idiot!William mengutuk mulutnya yang dengan lancar mengatakan itu. Awalnya ia hanya berniat menyatakan perasaannya karena gagasan mentah yang Olivia siratkan. Dan William berharap—meski harapan itu amatlah kecil—namun memulai sebuah awal untuk kemudian menjadi langkah yang bagus perlu di cobanya.Mungkin inilah yang orang-orang sebut kepalang basah. Bibirnya dengan mudah mencurahkan apa yang ada dalam pikirannya tentang Clara. Ini tidak terencana, demi Tuhan William berserapah meski ungkapan itu yang selalu ada dalam khayalannya.William tidak berbohong soal keinginannya untuk berbagi hidup bersama Clara. Jelas-jelas dirinya tak bisa jauh dari Clara barang satu senti pun. Hingga dua hari bagaikan di neraka. William sepenuhnya sadar ingin menyentuh Clara hingga seluruh tubuhnya sakit, namun ia ingin memperlakukan Clara dengan benar."Akankah kau menjawabku?" tanya William. Dan ia ingin jawabannya adalah ya.Clara tergugu menatap William. Giginya mulai menggigit bibirnya dengan cara me
William mengerjapkan mata dan mendapati Clara yang sedang tertidur pulas dalam pelukannya.Mana yang lebih membahagiakan ketika pagimu di sambut dengan sebuah pelukan oleh orang terkasihmu?Ia melirik jam di dinding kamar Clara yang menunjukkan pukul enam namun ruangan masih temaram karena tirai yang belum terbuka. Kembali William mengeratkan pelukannya dan membuat Clara menggeliat sembari mencari posisi ternyaman.Ini sangat manis. William bisa melihat pola kehidupannya setelah menikah nanti. Ia akan hidup bahagia bersama gadis yang dicintainya. Dan menantikan hari itu sungguh membuat jantungnya berdebar kian menderu.Tetapi pagi ini posisinya sedikit menyiksanya. Ia bahagia—tentu saja. Hanya saja fakta belum memiliki Clara sepenuhnya membuat sesuatu yang berada di pangkal pahanya kian mengembung. Tubuh Clara indah dan hangat membuat William yang lelaki normal harus mati-matian menekan hasrat pagi harinya.Sebentar lagi, ucap William dalam hati.Lalu tiba-tiba Clara menggeliat lagi d
William masih saja membeku mendengar penuturan Clara. Bahkan setelah berpuluh-puluh menit berlalu, tetap saja kalimat itu berdengung di telinganya. Sejenak ia merasakan kelegaan akibat dukungan yang Clara berikan. Namun di sisi lain ia tak ingin egois dengan membawa serta Clara ke dalam lingkaran hidupnya yang rumit. Keluarga ini rumit—teramat rumit. Keluarga ini bermasalah dan itu kenyataan.Ia ingin sekali saja dalam tarikan napasnya untuk membangkang dari tanggung jawab. Ia ingin jarak yang terbentang luas ini segera berakhir. Tapi ia juga yakin, kerumitan ini tak akan pernah usai kecuali salah satu di antaranya mati. Dan dapat ia yakini hubungan generasi selanjutnya juga tak akan berlangsung baik.Meski Lucas, Jazzy, dan Mikaela selalu akur di satu ruangan, namun bukan tidak mungkin Bradley akan diam saja. Pasalnya, wanita itu terus saja memburu haknya yang jelas-jelas jatuh di tangan William.William menggeleng. Ia memejamkan mata menyerapi perkataan Clara. Hidupnya sudah rumit d
"Sepertinya, kau memang harus secepatnya menikah dengan William. Kita bisa menjadi tim yang bagus, kurasa." *** Konyol adalah satu kalimat yang Clara canangkan di otaknya saat ini. Dalam perjalanan hidupnya selama dua puluh tiga tahun, baru kali ini ia meneriaki seseorang. Tidak pernah sekali pun ia membalas berbagai cercaan yang orang lain tujukan untuknya. Namun terkecuali malam ini—tepatnya beberapa menit yang lalu—entah karena kesal lantaran William yang membentaknya dengan keras atau egonya yang terlukai. Clara benar-benar tak tahu cara kerja otaknya saat ini. Seyogyanya ia memiliki sikap tenang untuk menghadapi William bukan malah membalas teriakan lelaki itu. Sekarang duduk bersama dalam satu ruangan dengan atmosfer yang kentara berbeda membuat nyali Clara berlipat-lipat menciut. Tubuh mungilnya semakin terperosok dalam menghimpit kursi penumpang dengan mata fokus memperhatikan William. Lelaki itu sedang menyetir menuju rumah Austin, tapi aura horor dan kecanggungan yang te
Clara merasa jika loncatan dalam hidupnya terjadi begitu cepat. Sekarang siapa yang menyangka jika pada akhirnya Clara berada di sini, di sisi William Anderson yang arogan dan konvensional tapi tidak dipungkiri jika Clara pun mencintai pria kaku ini. Clara tidak akan menjadi munafik sekadar mengakui jika dirinya memang takut kehilangan William. Setelah kesepian seorang diri dan ditemukan dengan William, pelangi yang tidak pernah Clara lihat nyatanya memang seindah itu."Memikirkan apa?"Malam adalah waktu yang tepat bagi Clara dan William menghabiskan waktu bersama. Sudah sejak dulu kala pillowtalk menjadi pilihan keduanya untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain dan apa-apa saja yang sudah dilalui hari ini. Bersama mau pun tidak, dekat atau jauh mereka berdua akan selalu terhubung satu sama lain. Bahkan semesta seperti memberi dukungan untuk keduanya melakukan hal itu."Keringkan rambutmu dengan benar."William baru selesai dengan urusan mandinya. Hari ini William pulang agak laru
"Sejak dulu mereka selalu penurut. Kamu membuatku iri melihat bagaimana mereka tumbuh dengan baik." Alaina datang dari arah pintu garasi yang membuat Clara terpekik kaget sekaligus senang. "Kapan datang? Kamu tidak memberi kabar akan datang." Clara memanyunkan bibir persis seperti bocah tidak diberi permen keinginannya. "Bagaimana kabarmu?" Clara bertanya karena melihat lingkaran hitam di bawah mata Alaina kentara terlihat. "Berhenti mengomeliku!" Alaina duduk di kursi dekat Clara dan tersenyum tipis. "Aku sedang iri dengan caramu mendidik mereka. Tahukah kamu bahwa Kaela bukan lagi Kaela yang aku kenal? Dan ya aku baik. Aku ini orang paling handal dalam menjadi diri." Clara tidak punya daya untuk membela atau membenarkan kisah hidup yang Alaina alami dengan segala keputusan yang menurut orang dewasa matang tapi bagi Kaela itu tidak adil. Menjadi dewasa memang memusingkan sejak dulu kala dan Clara membenarkan hal itu. Dan apa pun yang Alaina katakan semuanya terasa sangat menyesa
Pancake buatan Clara selalu menjadi favorit William. William bahkan bersumpah jika seumur hidupnya dia mau menikmati pancake buatan Clara setiap harinya. Namun berbanding terbalik dengan kedua putranya yang memandangi pancake itu diikuti hidung mengkerut tanda tidak sukanya."Kenapa?" William menyeruput kopi hitamnya setelah menelan pancakenya. "Kalian akan protes tentang masakan mama dan apa yang sudah papa beri? Kalian tidak mau mensyukuri itu?" William bukan tipe orang tua keras yang akan langsung menghakimi tindakan anaknya. William hanya bersikap tegas untuk membuat anak-anaknya merasa ditegasi."Aku merasa kenyang papa." Alex mengutarakan yang dirasakannya. "Pancake buatan mama bukannya tidak enak tapi bukan termasuk favoritku.""Lalu, apa makanan favoritmu?" tanya William santai dan memasukan lagi potongan pancakenya. "Ah, kamu menyukai makanan cepat saji seperti sampah yang akan membuatmu tidak hidup sehat, begitu?""Bukan begitu papa." Kali ini Axel membuka suaranya yang leb
Sudah memutuskan menikah, artinya sudah memperkirakan apa saja yang akan terjadi. Bukan hal aneh jika sekarang banyak yang melakukan perjanjian pranikah sebelum akhirnya berhadapan dengan pendeta dan Tuhannya. Itu juga yang Clara pikirkan melihat kondisi dewasa saat ini. Meski pernikahannya bersama William terbilang singkat, jelas, dan padat bukab berarti tidak ada masalah yang menerpa kehidupan rumah tangga mereka. Perjalanan mereka terbilang penuh liku. Bukannya tidak mensyukuri sudah diberi bahagia sampai sejauh ini. Clara hanya ingin berbagi cerita, kisah dan mungkin sedikit nasihat. Bahwa sebelum meyakinkan diri untuk terikat dalam sebuah komitmen yang panjang maka pikirkanlah matang-matang. Menikah tidak sekadar memiliki ikatan dan merubah status namun juga menyatukan dua kepala dalam satu pemikiran. Agar tidak timbul ego untuk menang sendiri dan merasa paling benar."Apa yang kamu pikirkan?"William selesai dengan mandinya. Hari ini William pulang lebih awal karena tidak ada p
Kehidupan Clara dan William yang sesungguhnya baru dimulai. Ketiga anaknya telah beranjak dewasa dan William punya kesibukan yang selalu tak terduga. Clara merasa kesepian tapi selalu ditepisnya. Beruntungnya ada Valerie dan Stella yang bisa menjadi temannya."Kalian sudah berkenalan?" Clara sedikit terkejut saat Valerie dan Stella jauh lebih akrab dari bayangannya. "Aku senang mendengarnya. Jadi Stella, ada kue apalagi di tokomu?""William memberiku resep.""William?" Clara terperangah tidak percaya. "Manusia es itu berubah jadi baik dan memberimu resep?""Yang tidak pernah aku duga-duga. Manusia itu bukan lagi sedingin kutub, dia mulai hangat.""Aku tidak percaya ini.""Aku juga. Tapi ini kenyataan yang terjadi. Dia sungguh memberiku resep kue dan setelah aku sajikan di etalase semua pelanggan menyukainya.""Kamu harus membaginya padaku. Aku juga ingin tahu rasanya. Sebaik apa resep kue dari William sampai-sampai dia sangat pelit." Clara menyesap kopi panasnya sambil membayangkan ra
Kata berakhir tidak benar-benar selalu berakhir. Buktinya Clara dan William menemukan sebuah kehidupan sulit meski bukan dari dirinya langsung. Adalah Valeria yang terpuruk karena Justin, kekasihnya, yang bimbang ingin membersamai siapa. Belum lagi dengan fakta di mana Valeria menyembunyikan kehamilannya.Valerie hanya diam mematung menatap langit sore yang mulai kekuningan. Sunyi di rumah Clara adalah yang biasa karena anak-anaknya belum kembali dari tempat les. Tapi bagi Valerie itu sebuah penyiksaan. Dan dengan sabarnya, Clara ikut diam duduk di kursi santai.Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak meng
“Karena semuanya sudah berakhir …” Bradley mengembuskan napasnya. Wanita paruh baya itu ada di kediaman Clara dan William. Sedang bersama dengan Axel, Alex, Alexa, dan Michael. Menunggu Alaina yang baru saja tiba. “Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku juga tidak tahu ingin mengatakan ini sebagai apa. Tapi setidaknya kau lebih beruntung mengambil keputusan. Tidak apa, mungkin ini yang terbaik. Kau punya rencana?”Alaina menggeleng sebentar dan berpikir. Wajahnya terlampau tenang dan baik-baik saja padahal baru mengambil keputusan besar. Clara sampai terheran-heran di buatnya.“Ah, aku punya satu tempat di ruang terbuka. Di pinggiran kota yang lumayan banyak lalu-lalang pelancong. Mungkin, aku bisa membuka toko kue di sana. Menjajakan kue-kue buatanku.”Semuanya terdiam. Alaina juga terdiam bahkan William yang menjadi pria satu-satunya di sana juga terdiam. Lalu berdeham setelah melirikkan kedua matanya ke kanan dan ke kiri.“Kau bilang ingin kembali ke Ontario.”
Karena tidak semua kisah harus berakhir dengan bahagia. Meski permulaan selalu membahagiakan. Tapi sudah konsekuensi dari setiap pertemuan selalu ada perpisahan.Alaina memaknai perjalanan hidupnya seperti itu. Toh itu sudah di catat sejak dulu kala. Sudah menjadi hukum alam bahwa kehidupan yang kita jalani akan ada pengakhiran.Sama halnya dengan selembar kertas yang sudah Alaina bubuhkan tanda tangannya. Pada akhirnya, pertemuan manisnya dengan Austin dan perjalanan susah senang yang dilaluinya harus ada di titik ini: berpisah.Alaina sudah memaafkan, andai itu dijadikan pertanyaan mengapa bisa ada perpisahan.Mengenai Austin yang berselingkuh, Alaina menutup bukunya rapat-rapat. Ada banyak pertanyaan yang ingin Alaina ajukan. Termasuk; apa kurangnya Alaina. Bukan itu saja, Alaina juga ingin menanyakan perihal apa maunya Austin sehingga bisa berbuat seperti ini. Tapi alih-alih mengucapkannya, Alaina justru menemukan dua fakta yang lebih berguna. Pertama, Alaina merasa happy dan bers
Sesi pillowtalk milik Clara dan William setiap malam selalu terjadi. Sesibuk apa pun William, akan ada waktu penting seperti ini untuk ketiga anaknya dan Clara. William hanya menyadari sesusah apa untuk mempertahankan setelah mendapatkan dan enggan untuk bermain-main dengan sesuka hati. William hanya menjaga dan diimbangi oleh Clara.“Apa lagunya?” tanya William dengan melingkarkan tangan kekarnya di perut Clara. Yang masih ramping dan seksi meski sudah melahirkan tiga anak sekaligus.“Pillowtalk. Sesuai dengan hobi kita.” Clara ciumi telapak tangan besar William. Telapak tangan yang sudah sangat bekerja keras untuk keluarga ini dan menjaga Clara serta ketiga anaknya.“Out Of Love, bagaimana?” William ingin mendengarkan lagu itu. Yang terdengar lembut dan ingin segera memejamkan kedua kelopak matanya dalam dekapan Clara. “Hari ini melelahkan,” ucapnya.Clara memutar lagu sesuai yang William mau dan mengelusi tangannya yang melingkar di perutnya.“Sesuatu yang buruk?”Komunikasi antara