Chaz menjadi orang pertama yang marah-marah. Umpatan demi umpatan meluncur dari mulutnya namun tidak ada respons yang bisa Chaz harapkan. William Anderson tetaplah pria berhati dingin yang ingin Chaz bunuh.
“Boleh aku bunuh diri, Al?”Oh, tentu saja itu tindakan bodoh. Chaz tidak akan mau menyia-nyiakan hidupnya demi seorang William. Pada akhirnya Chaz tetap memilih jalannya untuk bertahan. Dasar manusia munafik! Sudah dihina hingga titik darah penghabisan namun masih menjadi penjilat sampai akhir.“Astaga! Aku ingin mati sekarang juga.”Kali ini dari Ryan. Pria berkemeja biru laut itu datang dengan wajahnya yang memerah. Ryan memendam amarah yangi lebih besar dari Chaz. Allinson dan Chaz hanya saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak.Wajah Ryan gusar. Kedua kakinya berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Ryan kentara frustrasi dan itu bukan pertanda yang baik.“Dia pikir dia siapa, hah! Mendiskualifikasi semua model yang susah payah kita seleksi dan dia dengan satu kata semuanya selesai. Demi Tuhan aku tidak percaya terjebak di sini. Sial!”Tangan Chaz bergerak memberi kode untuk Ryan diam. Langkah William semakin dekat. Ryan terengah-engah dengan gumamannya.“Aku tidak suka di sini. Ini neraka dan aku tersiksa.”“Maka kamu boleh pergi.”Punggung Ryan kaku dibuatnya. Suara William bak malaikat maut meniup sangkakala. Saat Ryan membalikkan tubuhnya, ekspresi di wajah William tidak terbaca. Deru napasnya bahkan sangat tenang sehingga Ryan merasa akan dieksekusi detik ini juga.“Oh, kupikir akan terjadi sesuatu,” ujar Chaz yang menelengkan kepalanya mengikuti ke mana perginya Wiiliam dan Allinson. “Sangat tidak wajar dia pergi begitu saja.”“Benar, ‘kan? Aku benar dengan firasatku. Kenapa William sangat aneh hari ini? Dia berbeda dari hari biasanya.” Ryan mengusap dagunya dengan santai.“Jangan lagi seperti itu! Kamu membuat semua orang jadi mangsa.” Chaz memprotes. “Sedikitlah lebih peka saat aku memberimu kode.”“Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Ini memang menyebalkan meskipun aku harus menjadi penjilat.”Chaz tidak peduli. Chaz lebih peduli perutnya. Cacingnya berdemo dan Chaz tersiksa akan hal itu.***Sepeninggal Allinson dari ruangan William, Adam masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Bukan suatu hal yang aneh bagi William. Adam adalah penanggung jawab dan juga senior yang mengurus segala keperluan bisnis William. Meski sering berkata ketus, dilubuk hatinya yang terdalam William selalu menghormati Adam.“Apa menurutnya menyeleksi para model semudah mengganti celana dalam? Sial! Itu adalah umpatan Chaz padaku beberapa menit yang lalu. Apa menurutmu ini tidak berlebihan?”Adam duduk di sofa dengan santainya. Mata sayu Adam menatap punggung lebar William yang begitu fokus menatap pemandangan di luar ruangan.“Aku butuh model yang benar-benar mampu untuk diajak bekerja bukan sekadar meliukkan tubuhnya dan semuanya dianggap selesai. Aku juga punya standar dalam merekrut seseorang yang akan aku pekerjakan karena uang yang aku keluarkan tidak main-main. Kamu setuju?”Adam tidak bisa mengelaknya. Sesalah apa pun Tindakan William tidak ada yang bisa menghakiminya. Karena perusahaan ini dibangun dengan susah payah dan penuh perjuangan.“Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Will. Kamu juga butuh hidup yang bisa membuatmu bergairah untuk terus berkarier.” Adam bangun dari duduknya. “Aku dengar kamu butuh asisten baru.”William hanya mengangguk. Lalu membalikkan tubuhnya dan menatap Adam tajam.“Palmer, eh, Clara Palmer. Tidak asing, ‘kan?”“Hanya sebuah nama.” Adam menjawab dengan tenang dan menganggap enteng perkara nama ini. “Aku yakin dia orang yang berbeda dan tidak ada hubungannya dengan kisah kelammu.”“Sudah saatnya kamu melupakan kisah itu. Begitu, ‘kan yang ingin kamu katakan. Cih!”Jika Adam bisa berkata jujur, maka setiap untaian kata yang meluncur dari mulutnya terasa amat salah di pendengaran William. William hanya peduli dengan perasaannya tanpa peduli ada sisi sensitif milik Adam yang ikut serta berperan.“Aku tahu itu bukan hal yang mudah tapi cobalah untuk tidak memukul rata semua nama Palmer. Isabel punya pilihan dan aku yakin semua manusia di muka bumi pun hidup untuk sebuah pilihan. Maka saat memutuskan untuk meninggalkan dunia, mereka benar-benar sudah mempertimbangkan pilihannya.”William tetap tidak bisa menerimanya. Percuma karena mata hatinya telah buta. Batin William terselimuti amarah dan kebencian. Sebanyak apa pun Adam memberinya nasihat hasilnya akan sia-sia.“Ah, dia menjadi mahasiswa penerima beasiswa di kampus yang sama dengan Lucas.” Sudah saatnya Adam mainkan kartunya. Harga diri William akan terinjak saat nama Lucas disebutkan. “Austin secara pribadi meminta Clara menjadi tutor Lucas. Bukankah ini baik karena dia wanita yang telah dekat dengan keluargamu?”“Lucas?” ulang William dengan kedua alis yang menyatu. “Austin memintanya menjadi tutor untuk Lucas? Apa bocah itu sangat bodoh sehingga membutuhkan uluran tangan orang asing?”“Sayangnya Lucas menjadi sangat tidak terkendali akhir-akhir ini.”Adam pergi tanpa pamit seperti saat datang ke ruangan William. Sedangkan William ditinggalkan dengan sejuta tanya yang bersarang di benaknya.***“Aku bisa memotong lidahmu!”Lucas mengembuskan kepulan asap dari rokok yang di hisapnya. Giginya bergesekan menandakan sulutan api amarahnya telah terpancing—tanpa peduli jika pria dalam cengkeramannya hampir kehilangan oksigen.Wajah pria dalam cengkeraman Lucas pucat pasi dan tangannya gemetar. Beberapa pasang mata yang membentuk lingkaran hanya menontonnya tanpa berani untuk menolongnya. Gila saja! Memangnya siapa yang bosan hidup hingga berani menegur aksi seorang Lucas William—kecuali jika kamu teramat frustasi dengan kehidupan kampusmu.“Katakan sekali lagi sialan!” gertak Lucas seraya menginjak puntung rokoknya di lantai.“Benar ....” ucapnya terbata karena kesulitan bicara. “Kekasihmu berada di lorong dan bercumbu dengan Max.”Sial! Lucas segera berlari dan menaiki dua tangga sekaligus. Namun belum sampai kaki rampingnya menginjak di tangga teratas, sebuah tangan menyambar tasnya nyaris membuatnya terjungkal.Umpatan demi umpatan terlontar. Kepalanya tertarik ke belakang dan tepat si pelaku menyebalkan itu sedang menatapnya tajam. Sorot mata cokelat kelamnya menembus jantung Lucas.“Jangan mengintimidasiku!” bentak Lucas. Emosinya membumbung tinggi.“Kau berulah lagi. Kau bosan hidup atau memang sengaja ingin melemparkan diri ke dalam penjara?”Pertanyaan wanita di depannya mengundang gelak tawa Lucas.“Memang apa pedulimu? Urus saja urusanmu dan enyah dari hadapanku!”Wanita itu menggeleng pelan dan tersenyum tipis.“Sayangnya aku memegang tanggung jawab penuh akan dirimu. Jadi jangan membuang tenagamu untuk wanita murahan yang tidak mau menjadi milikmu.”“Sial! Jaga ucapanmu. Mulut kotormu tidak pantas mengatai Jennifer seperti itu!”“Ah, sayang sekali. Wanita itu memang murahan.”Wanita itu mengibaskan tangannya dan pergi dari hadapan Lucas.“Clara!” teriak Lucas tanpa peduli keadaan sekitar. “Kembali ke sini atau aku akan menghajarmu!?”“Jika kamu bisa. Lagi pula gerakanku jauh lebih unggul daripada milikmu.”Ini hari pertama Clara magang. Matahari sudah menyembul menampakkan wujudnya sejak beberapa jam yang lalu. Tapi ada sedikit keraguan di hati Clara antara harus mendatangi agensi model itu atau batal saja. Jika ditanya apa alasannya meragu maka Clara akan menjawab tidak tahu. Perasaan itu muncul secara tiba-tiba. “Datang, tidak, datang, tidak, datang ….” Clara mendesah dengan wajah bingungnya. Disesapnya lagi kopi panasnya. Rasa pahitnya mendominasi. “Ayolah, Cla. Stop menjadi pengecut. Ini hanya magang dan semua akan baik-baik saja.” Clara tandaskan kopinya. Meletakkan gelasnya asal dan menyambar tasnya. Clara bersiap untuk hari ini. “Toh orang-orang di sana tidak ada yang mengenalinya.” Clara meyakinkan dirinya sendiri. Hidup sendiri bukan sebuah pilihan yang mudah. Di dunia ini siapa yang mau menjadi yatim piatu atau tidak pernah melihat bagaimana rupa kedua orang tuanya. Untuk itu Clara tetap menjalani kehidupannya sesulit apa pun itu. Karena keraguan masih menggelayuti, kedua
"Ada apa?" tanya Lucas tanpa berbasa-basi. Tangannya mencengkeram menahan geram di hatinya. Gumpalan amarah itu terbungkus apik sejak langkahan kakinya manaiki undakan tangga di rumah ini.Rumah?Seringai di wajahnya Lucas tunjukkan. Kendati demikian, kobaran benci lewat tatapan tajam matanya tak kunjung meredup. Menatap lekat-lekat pria tampan yang nyaris mirip dengan cetakan lainnya tengah tersenyum tipis bersamaan tangan yang bertumpu di atas meja. Menampilkan wajah penuh kepedulian yang justru memuakkan bagi Lucas."Bagaimana kuliahmu? Apa tutormu cukup membantu?" Senyum tipisnya belum meredup. Matanya menyipit kala senyum simpul itu menarik kedua sudut bibirnya kekanan dan kekiri."Jangan pura-pura peduli!" Langsung tanpa permisi.Pria itu paham betul tipikal seperti apa adiknya ini. Dan bagaimana cara mengatasinya, pria itu memahami. Sebagian dari dirinya meyakinkan; keluarga ini tak mudah di pecahkan dengan badai sekali pun.Tapi, kenyataan dan keyakinan sama sekali tak menduku
Hal gila lainnya yang harus Ryan dan Chaz alami adalah kepala pengar lantaran terlalu kencang tertawa—menertawakan lebih tepatnya.Serius. Bahkan Chaz terjungkal dari kursinya karena terlalu kencang tertawa. Hanya Adam yang terdiam. Pria itu seolah paham akan apa yang William tuturkan. Tanpa dua kali menyimpulkan, Adam mengerti, ini masa transisi untuk William menutupi kegugupannya.Bukan hal konyol untuk Adam, ingat, mereka bersama sejak masih kanak-kanak.Serahasia apa pun William menyimpan, semudah itu pula Adam menilai. Segala sesuatunya terlalu matang."Kamu benarkan masih bos kami? William Anderson si mulut mercon, berparas patung yang sialan tampan?!" Ryan memulai menghentikan tawanya. Perutnya sudah sekonyong-konyong sakit dan menyerah untuk melanjutkan aksinya. "Sialan! Kamu memang benar William. Teman dan bos kami."Chaz melakukan hal serupa. Tapi lebih dulu mendapati tatapan tajam segarang harimau itu hingga kedua tangannya mengudara tanda menyerah."Aku selesai," ujarnya,
"Kau menyakiti mama," ujar Austin begitu menempatkan bokongnya di sofa ruangan William. Ini pertama kalinya ia berkunjung. Matanya menilai interior yang di pilih William. Dan Austin tahu, warna-warna ini padunan akan gambaran yang selama ini William rasakan."Mama lebih menyakitiku," tukas William tak sopan. Tangannya masih lihai merapikan beberapa kertas yang berserakan di mejanya tanpa peduli untuk menemani Austin. Fokusnya benar-benar di antara kertas-kertas itu."Sanggahan dari mana itu? Adikku tak pernah berkata kasar kepada mamanya, kan?"William mengedik acuh. Bibirnya terkatup dan rahangnya mengeras. Dan Austin hanya bisa memerhatikan keterdiaman William selama ini. Adiknya telah berubah. Dia bukan lagi bocah lima tahun apalagi remaja lima belas tahun, tapi hampir dua puluh lima.Austin tersenyum getir melihat perubahan itu yang kian menjadi terutama hatinya yang tak tersentuh sama sekali.Sejak kematian ibunya, keduanya berusaha keras mengikuti pikiran ayahnya yang mendoktrin
“Rumit, ya?" Lucas memulai. Membuka pembicaraan setelah hening berkepanjangan. Paginya tentu tak pernah menjadi pagi yang terbaik. Paginya tak pernah menjadi pagi yang selalu terwujud sesuai keinginannya. Dan pagi kali ini, ia kembali menyambangi kediaman kakak panutannya. Kakak yang sayangnya tak pernah menganggapnya ada. Namun entah mengapa Lucas tetap memujanya. Lucas tetap mengikuti setiap hal bahkan hobi yang di gandrungi lelaki ini. Lucas tahu, semua ini menitik beratkan mentalnya, bukan hanya dirinya tapi juga berdampak pada orang lain. Dari semua penjabaran itu, Lucas mengagumi William dengan caranya."Aku tak pernah ingin dilahirkan," sambungnya, "Seperti ini." Kedua matanya terpejam lalu sedetik kemudian terbuka. Mata bening itu berkaca-kaca menahan guliran bening untuk terjatuh. "Aku tahu ini rumit dan salah. Tapi aku, mama, dan Jazzy sekali saja tak pernah berharap untuk semuanya. Atau sekelumit masalah yang papa tinggalkan dan pembagian warisan ini. Posisiku membutuhkan p
Clara tak berkutik mendengar pilihan yang terdengar jelas seperti ancaman. Memaksa, katanya. Kalimat itu terus bergulir di alam bawah sadarnya."Kau cukup berkata 'ya' dan semuanya selesai. Kau meneruskan pekerjaanmu dan aku berjanji dengan jaminan menjadi asisten tetapku selesai kuliah nantinya. Dengan catatan; jangan sekali-kali memanggilku bos. Aku benci itu," katanya.Clara hanya terbengong. Mulutnya benar-benar kebas, dan kepalanya memberat sekedar untuk mengangguk.Saat ini otaknya berpikir separuh dari raganya yang bersorak gembira. Ada letupan-letupan kembang api dalam dirinya dan kupu-kupu yang berterbangan keluar dari perutnya.Tinggal bersama bosnya!Bayangkan itu! Bayangkan sekali pun kalian tak bisa membayangkannya. Bisa kalian tebak apa yang akan kami lakukan jika berada didalam satu atap yang sama sedangkan didalam satu ruangan saja sebuah ciuman penuh hasrat telah terjadi. Bukan tak mungkin kejadian lebih dari ciuman akan terjadi, kan?"Waktumu tak banyak Clara." Willi
William tahu, Mikaela bukan tipe bocah pemilih ketika bertemu orang baru. Dia cenderung terbuka dan mudah bergaul berbanding terbalik dengan dirinya dan Austin. Dulu, masa kecil mereka hanya di habiskan di sebuah kedai roti reyot milik kakek dan nenek angkatnya.Dan semua yang di dapatkannya kini adalah bukti nyata kerja kerasnya membangun segala sesuatunya dari nol. Berdiri sendiri di atas rasa benci yang mendarah daging dan dendam yang tak berkesudahan bahkan setelah ayahnya tertimbun tanah.Semua ini rasanya belum adil. Semua ini belum William rasakan cukup apalagi puas. Hatinya belum sepenuhnya rela mana kala perputaran waktu tiba-tiba saja berhenti.Ibunya yang meninggal dan kehidupan seolah-olah menjungkir balikkan dunianya bersama Austin untuk ikut serta dalam permainan ayahnya. Menjadi boneka ayahnya dan memasang topeng sedemikian apik demi menjaga kendali dirinya. Dan siapa sangka? William jauh lebih lihai mempertahankan topengnya selama bertahun-tahun ketimbang Austin demi m
Tuan Wu datang. Namun ketegangan yang tercipta antara William dan Lucas belum juga mereda. Pria berumur 50-an itu membuka koper yang di tentengnya dan mengambil beberapa berkas di dalamnya. Kemudian mengedarkan pandangan manatap satu per satu wajah tak asing yang menjadi topik malam ini.Tuan Wu mengangguk sebentar begitu bertemu pandang dengan mata Austin. "William telah merinci semua aset dan harta kekayaannya sekitar enam bulan yang lalu. Dalam kondisi yang sehat dan betul-betul sadar," katanya, "jelas terlihat di sini—di surat wasiat ini ada tanda tangan William juga stempel perusahaan yang menyetujui keabsahan surat beserta isinya yang artinya dokumen resmi—mutlak sah—secara hukum tanpa sedikit pun bisa di rubah," lanjutnya."Mengenai nominal semuanya tidak tertera di surat ini tapi pengukuhan posisi dan siapa yang menerimanya tidak bisa lagi di rubah. Satu aset tersembunyi hanya akan di terima oleh satu dari keempat anaknya. Dan akan digunakan bersama mengingat pasang-surut peru