Di buka dengan emosi yang menggunung. William Anderson adalah pria berhati dingin dengan tatapan mata setajam elang yang siap menerkam mangsanya. Hari ini semua model yang mendaftar di agensinya William diskualifikasi. Di mata William tidak ada kriteria yang sesuai dengan maunya. Mereka semua cantik tapi tidak mempunyai bakat. Mereka hanya menjual tubuh dan wajahnya saja. Untuk itu William memberi banyak tekanan pada timnya yang saat ini mendesah penuh frustrasi di belakang panggung.
“Boleh aku bunuh diri, Al?” Chaz berkata dengan wajah kuyunya.
Wanita yang dipanggil Al hanya tersenyum tipis. Allinson menggerakkan bibirnya agar Chaz menutup mulutnya. William lewat dengan langkah santainya. Chaz ingin meninju wajahnya yang tampan jika tidak ingat William adalah sahabatnya.
Allinson cepat-cepat mengikuti William memasuki ruangannya. Allinson berikan jadwal baru William yang sudah diperbaruinya. William masih memakai kaca mata bacanya yang bertengger dihidung mancungnya mengecek kinerja Allinson .
“Aku butuh asisten baru.”
Allinson bengong sebentar. Kedua matanya, otaknya mencerna maksud ucapan William.
“Aku ingin kamu lebih fokus menyeleksi para model dan memberikan arahan kepada mereka. Berikan sebagian pekerjaanmu untuk asisten baru. Aku tidak bias lepas begitu saja dari bantuanmu.”
“Aku masih belum mengerti. Maksudnya kenapa aku harus mempunyai partner dan berbagitugas dengannya. Jika sekadar menyeleksi dan memberi arahan kepada para model aku masih mampu melakukannya.”
Allinson melayangkan protes dan William tahu betul akan hal itu. William menyikapi ketidakterimaan Allinson dengan tenang. Itu wajar karena Allinson sudah bersama William bahkan sebelum perusahaannya berkembang.
“Dan apakah kamu tahu apa yang selalu membuat Chaz marah?” William seruput kopi pahitnya yang mulai mendingin. “Menyeleksi model tidaklah semudah mencocokkan celana dalam. Dan karena aku baru saja turun tangan, aku setuju dengan umpatan tersebut.”
Allinson mendesah pasrah dengan kepala mendongak ke atas. Rasa sakit tiba-tiba menyerangnya. Mendebat Williamtidak akan ada ujungnya. Pria ini jika sudah bertekad badai saja tidak bisa menghalanginya.
“Akan aku carikan.”
Allinson balikkan tubuhnya bersiap pergi dari ruangan William. Namun tertahan dengan perkataan William yang cukup mengejutkan.
“Bagaimana dengan ini? Calla Palmer? Aku rasa dia cukup cekatan.”
“Ah, dia mahasiswa magang ditingkat akhir. Dia satu kampus dengan Lucas.Adam belum memutuskan untuk menerima surat magangnya.” Allinson sedikit ragu untukmenatap wajah William yang tenang namun siap menyemburkan lahar panas. “Lagi pula agensi kita belum pernah menerima pemagang.”
William menganggukkan kepalanya. Kedua tangannya terlipat, dahinya berkerut menandakan sedang berpikir keras. Lalu bangkit dari kursi kebesarannya dan membelakangi Allinson.
“Tidak asing, ‘kan? Aku melihat pancaran dari kedua matanya yang bening. Apa aku akan menjadi menyedihkan lagi, Al?”
Pertanyaan William tidak bias Allinson jawab. Itu terlalu rancu dan Allinson tidak mau terjebak di dalamnya. Salah-salah nyawa Allinson yang akan melayang.
“Aku akan mencari kandidat lain. Oh, ya, kamu punya jadwal temu dengan klien sore ini. Aku sudah menyiapkan semua bawaan yang kamu butuhkan. Dan untuk reservasi restorannya atas namamu. Aku permisi.”
Allinson secepatnya pergi.
Sepeninggal Allinson, William belum beranjak dari tempatnya berdiri. Pemandangan di luar lebih menarik minatnya. Gedung-gedung pencakar langit yang William yakini disertai desisan angin. Beberapa burung beterbangan dengan bebasnya dan William iri akan hal itu.
“Ini menjadi sia-sia, benar,” gumam William diikuti senyum yang tak terbaca. “Kamu tahu jika hidup adalah pilihan tapi mengakhiri yang belum menjadi takdirmu sangat tidak adil bagiku.”
William menjadi pribadi yang lain saat sendirian. Sisi lemahnya muncul tanpa bias dicegah dan air matanya meleleh begitu saja. Rasanya kenapa William menjadi sangat lemah di saat sendiri?
***
Pada kisah yang belum usai, William pandangi langit malam dari jendela kamar hotel yang disewanya. Menyesap wine sebagai penghangat tubuh, faktanya itu tidak cukup membantu. William tetap kedinginan dan sisi terdalam hatinya tidaklah tersentuh sama sekali.
“Hnggghhh ….”
Erangan dari arah kasurnya terdengar. William tidak tertarik untuk menoleh sama sekali. Mala mini terjadi lagi. William ingin berhenti tapi itu hanya terjadi di dalam hatinya saja. Pikirannya berbanding terbalik.
“Sayang?” panggil wanita itu.
Suara seraknya khas bangun tidur malah terasa risih kala menyapa rungu William. Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perut berotot William dan deru napas menerpa punggung telanjang William.
“Apa aku membuatmu tidak nyaman?” Tanya wanita itu sembari mengusapkan wajahnya di punggung William. “Kamu terlihat menikmati permainan kita beberapa jam yang lalu. Dan sekarang kamu berdiri sendiri tanpa melibatkan aku. Aku kecewa dengan itu.”
William mendengkus mendengarnya. Di teguk hingga tandas winenya lalu membalikkan badannya kasar sehingga tubuh wanita itu tersentak. Kedua mata cokelat madu William menggelap namun ada kejernihan di dalamnya. Bukannya takut, wanita itu malah tersenyum dan melarikan telapak tangannya memegang pipi putih William.
“Kamu tahu aku sangat suka dengan tatapan matamu. Itu membunuhku tapi aku juga merasa diinginkan dalam sekejap. William, kenapa kamu sedingin ini di saat aku bias mengerang penuh kenikmatan?”
“Apa itu menjadi hakmu? Kamu sadar di mana posisimu? Berhenti bersikap seolah-olah kita sangat dekat.” William menatap penuh jijik. “Kamu hanyalah barang yang bias aku pungut lalu aku buang saat aku tidak lagi menginginkan.”
William menyeringai. Melempar keluar wajahnya ke arah luar, William menarik napasnya dalam-dalam. Benaknya bertarung hebat jika kelakuannya ini tidak bias dibenarkan namun hanya ini yang bias menjadi pelariannya.
“Kamu pasti sangat kesepian.” Wanita itu memunguti pakaiannya yang bercecer. “Aku tidak akan menganggap ucapanmu serius. Kita sama-sama membutuhkan dan aku mendapatkan yang aku mau. William, jangan terlalu sering menyiksa dirimu. Aku pergi.”
Sepeninggal wanita itu, William kembali sendiri. Dan rasa sepi kembali membalut hatinya. Ada marah yang ingin William keluarkan tapi semuanya terasa sia-sia. Marah untuk apa? Kecewa pada siapa? Dan apa gunanya?
Dering ponsel terdengar. William meliriknya sebentar lalu kembali menikmati suasana malam yang masih ramai. Suara klakson terdengar, hingar binger malam hamper usai namun sebagian mata belum terpejam.
“Angkat bodoh!”
Sebaris pesan masuk. William tidak menggubrisnya. Ponselnya kembali bordering dan William tidak bergeming.
“Isabel ….” Lirih William memanggil. “Kamu mengawasiku? Apa ini karma yang kamu berikan? Jika ya, boleh aku katakan ini lebih cocok hukuman. Apa seingin itu aku melepaskanmu?”
Sebaris kalimat terangkai dalam benak William: seperti kisah rindu bulan pada matahari, meski dipisahkan semesta dalam jarak yang begitu jauh, namun diujung penantian mereka bias bertemu kala gerhana.
“Isabel, mungkinkah aku bertemu denganmu lagi atau paling tidak kamu menghentikan hukuman ini? Jika kamu ingin tahu, aku tersiksa.”
William tenggak langsung wine dari botolnya. Tidak peduli dengan kepalanya yang mulai pening dan ponselnya yang terus berdering.
Chaz menjadi orang pertama yang marah-marah. Umpatan demi umpatan meluncur dari mulutnya namun tidak ada respons yang bisa Chaz harapkan. William Anderson tetaplah pria berhati dingin yang ingin Chaz bunuh. “Boleh aku bunuh diri, Al?” Oh, tentu saja itu tindakan bodoh. Chaz tidak akan mau menyia-nyiakan hidupnya demi seorang William. Pada akhirnya Chaz tetap memilih jalannya untuk bertahan. Dasar manusia munafik! Sudah dihina hingga titik darah penghabisan namun masih menjadi penjilat sampai akhir. “Astaga! Aku ingin mati sekarang juga.” Kali ini dari Ryan. Pria berkemeja biru laut itu datang dengan wajahnya yang memerah. Ryan memendam amarah yangi lebih besar dari Chaz. Allinson dan Chaz hanya saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak. Wajah Ryan gusar. Kedua kakinya berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Ryan kentara frustrasi dan itu bukan pertanda yang baik. “Dia pikir dia siapa, hah! Mendiskualifikasi semua model yang susah payah kita seleksi dan dia dengan satu kata semu
Ini hari pertama Clara magang. Matahari sudah menyembul menampakkan wujudnya sejak beberapa jam yang lalu. Tapi ada sedikit keraguan di hati Clara antara harus mendatangi agensi model itu atau batal saja. Jika ditanya apa alasannya meragu maka Clara akan menjawab tidak tahu. Perasaan itu muncul secara tiba-tiba. “Datang, tidak, datang, tidak, datang ….” Clara mendesah dengan wajah bingungnya. Disesapnya lagi kopi panasnya. Rasa pahitnya mendominasi. “Ayolah, Cla. Stop menjadi pengecut. Ini hanya magang dan semua akan baik-baik saja.” Clara tandaskan kopinya. Meletakkan gelasnya asal dan menyambar tasnya. Clara bersiap untuk hari ini. “Toh orang-orang di sana tidak ada yang mengenalinya.” Clara meyakinkan dirinya sendiri. Hidup sendiri bukan sebuah pilihan yang mudah. Di dunia ini siapa yang mau menjadi yatim piatu atau tidak pernah melihat bagaimana rupa kedua orang tuanya. Untuk itu Clara tetap menjalani kehidupannya sesulit apa pun itu. Karena keraguan masih menggelayuti, kedua
"Ada apa?" tanya Lucas tanpa berbasa-basi. Tangannya mencengkeram menahan geram di hatinya. Gumpalan amarah itu terbungkus apik sejak langkahan kakinya manaiki undakan tangga di rumah ini.Rumah?Seringai di wajahnya Lucas tunjukkan. Kendati demikian, kobaran benci lewat tatapan tajam matanya tak kunjung meredup. Menatap lekat-lekat pria tampan yang nyaris mirip dengan cetakan lainnya tengah tersenyum tipis bersamaan tangan yang bertumpu di atas meja. Menampilkan wajah penuh kepedulian yang justru memuakkan bagi Lucas."Bagaimana kuliahmu? Apa tutormu cukup membantu?" Senyum tipisnya belum meredup. Matanya menyipit kala senyum simpul itu menarik kedua sudut bibirnya kekanan dan kekiri."Jangan pura-pura peduli!" Langsung tanpa permisi.Pria itu paham betul tipikal seperti apa adiknya ini. Dan bagaimana cara mengatasinya, pria itu memahami. Sebagian dari dirinya meyakinkan; keluarga ini tak mudah di pecahkan dengan badai sekali pun.Tapi, kenyataan dan keyakinan sama sekali tak menduku
Hal gila lainnya yang harus Ryan dan Chaz alami adalah kepala pengar lantaran terlalu kencang tertawa—menertawakan lebih tepatnya.Serius. Bahkan Chaz terjungkal dari kursinya karena terlalu kencang tertawa. Hanya Adam yang terdiam. Pria itu seolah paham akan apa yang William tuturkan. Tanpa dua kali menyimpulkan, Adam mengerti, ini masa transisi untuk William menutupi kegugupannya.Bukan hal konyol untuk Adam, ingat, mereka bersama sejak masih kanak-kanak.Serahasia apa pun William menyimpan, semudah itu pula Adam menilai. Segala sesuatunya terlalu matang."Kamu benarkan masih bos kami? William Anderson si mulut mercon, berparas patung yang sialan tampan?!" Ryan memulai menghentikan tawanya. Perutnya sudah sekonyong-konyong sakit dan menyerah untuk melanjutkan aksinya. "Sialan! Kamu memang benar William. Teman dan bos kami."Chaz melakukan hal serupa. Tapi lebih dulu mendapati tatapan tajam segarang harimau itu hingga kedua tangannya mengudara tanda menyerah."Aku selesai," ujarnya,
"Kau menyakiti mama," ujar Austin begitu menempatkan bokongnya di sofa ruangan William. Ini pertama kalinya ia berkunjung. Matanya menilai interior yang di pilih William. Dan Austin tahu, warna-warna ini padunan akan gambaran yang selama ini William rasakan."Mama lebih menyakitiku," tukas William tak sopan. Tangannya masih lihai merapikan beberapa kertas yang berserakan di mejanya tanpa peduli untuk menemani Austin. Fokusnya benar-benar di antara kertas-kertas itu."Sanggahan dari mana itu? Adikku tak pernah berkata kasar kepada mamanya, kan?"William mengedik acuh. Bibirnya terkatup dan rahangnya mengeras. Dan Austin hanya bisa memerhatikan keterdiaman William selama ini. Adiknya telah berubah. Dia bukan lagi bocah lima tahun apalagi remaja lima belas tahun, tapi hampir dua puluh lima.Austin tersenyum getir melihat perubahan itu yang kian menjadi terutama hatinya yang tak tersentuh sama sekali.Sejak kematian ibunya, keduanya berusaha keras mengikuti pikiran ayahnya yang mendoktrin
“Rumit, ya?" Lucas memulai. Membuka pembicaraan setelah hening berkepanjangan. Paginya tentu tak pernah menjadi pagi yang terbaik. Paginya tak pernah menjadi pagi yang selalu terwujud sesuai keinginannya. Dan pagi kali ini, ia kembali menyambangi kediaman kakak panutannya. Kakak yang sayangnya tak pernah menganggapnya ada. Namun entah mengapa Lucas tetap memujanya. Lucas tetap mengikuti setiap hal bahkan hobi yang di gandrungi lelaki ini. Lucas tahu, semua ini menitik beratkan mentalnya, bukan hanya dirinya tapi juga berdampak pada orang lain. Dari semua penjabaran itu, Lucas mengagumi William dengan caranya."Aku tak pernah ingin dilahirkan," sambungnya, "Seperti ini." Kedua matanya terpejam lalu sedetik kemudian terbuka. Mata bening itu berkaca-kaca menahan guliran bening untuk terjatuh. "Aku tahu ini rumit dan salah. Tapi aku, mama, dan Jazzy sekali saja tak pernah berharap untuk semuanya. Atau sekelumit masalah yang papa tinggalkan dan pembagian warisan ini. Posisiku membutuhkan p
Clara tak berkutik mendengar pilihan yang terdengar jelas seperti ancaman. Memaksa, katanya. Kalimat itu terus bergulir di alam bawah sadarnya."Kau cukup berkata 'ya' dan semuanya selesai. Kau meneruskan pekerjaanmu dan aku berjanji dengan jaminan menjadi asisten tetapku selesai kuliah nantinya. Dengan catatan; jangan sekali-kali memanggilku bos. Aku benci itu," katanya.Clara hanya terbengong. Mulutnya benar-benar kebas, dan kepalanya memberat sekedar untuk mengangguk.Saat ini otaknya berpikir separuh dari raganya yang bersorak gembira. Ada letupan-letupan kembang api dalam dirinya dan kupu-kupu yang berterbangan keluar dari perutnya.Tinggal bersama bosnya!Bayangkan itu! Bayangkan sekali pun kalian tak bisa membayangkannya. Bisa kalian tebak apa yang akan kami lakukan jika berada didalam satu atap yang sama sedangkan didalam satu ruangan saja sebuah ciuman penuh hasrat telah terjadi. Bukan tak mungkin kejadian lebih dari ciuman akan terjadi, kan?"Waktumu tak banyak Clara." Willi
William tahu, Mikaela bukan tipe bocah pemilih ketika bertemu orang baru. Dia cenderung terbuka dan mudah bergaul berbanding terbalik dengan dirinya dan Austin. Dulu, masa kecil mereka hanya di habiskan di sebuah kedai roti reyot milik kakek dan nenek angkatnya.Dan semua yang di dapatkannya kini adalah bukti nyata kerja kerasnya membangun segala sesuatunya dari nol. Berdiri sendiri di atas rasa benci yang mendarah daging dan dendam yang tak berkesudahan bahkan setelah ayahnya tertimbun tanah.Semua ini rasanya belum adil. Semua ini belum William rasakan cukup apalagi puas. Hatinya belum sepenuhnya rela mana kala perputaran waktu tiba-tiba saja berhenti.Ibunya yang meninggal dan kehidupan seolah-olah menjungkir balikkan dunianya bersama Austin untuk ikut serta dalam permainan ayahnya. Menjadi boneka ayahnya dan memasang topeng sedemikian apik demi menjaga kendali dirinya. Dan siapa sangka? William jauh lebih lihai mempertahankan topengnya selama bertahun-tahun ketimbang Austin demi m