𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮
Hari ini seharusnya menjadi hari biasa di café kecilku. Seperti biasa, aku bersiap menghadapi pelanggan yang hanya datang untuk mencari WiFi gratis atau sekadar berfoto tanpa membeli apa pun. Tapi hari ini, takdir rupanya ingin bermain-main denganku lagi. Begitu pintu café terbuka, aku mendongak, dan napasku langsung tercekat. Agra. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Tatapannya tajam seperti biasa, penuh misteri yang tak bisa kutebak. Aku bahkan bisa merasakan aura intimidatifnya membuat Lita, karyawanku, menegang di belakang mesin kasir. Aku segera mengangkat alis, berusaha tetap tenang meski hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Agra melangkah santai ke meja kasir, seolah ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. "Kau terlihat terkejut," katanya, suaranya tetap datar. Aku menyandarkan tangan di meja dan menyipitkan mata. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" Dia menyeringai kecil. "Calia, kau tidak pandai bersembunyi." Jantungku berdegup lebih cepat. "Aku tidak bersembunyi! . . . Jadi kau sengaja mencariku?" Agra tidak langsung menjawab. Dia mengambil cangkir kosong yang tertata di meja dan memutar-mutar di antara jarinya, seolah menimbang sesuatu. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak melanggar perjanjian kita." Aku terkekeh kecil. "Perjanjian? Oh, kau maksud soal pura-pura jadi kekasihku di pernikahan mantanku?" Aku mencondongkan tubuh sedikit, menatapnya dengan senyum menggoda. "Aku tidak lupa, kok. Kau ingin kopi gratis kan? tapi karena kita belum menyepakati berapa lama kopi gratis itu . . . Aku akan memberikan mu kopi gratis selama satu bulan, jadi kamu bisa datang kesini kapan pun yang kamu mau dan gratis" Lita melirikku seolah aku sudah gila. Ya, siapa pun pasti berpikir itu harga yang terlalu murah untuk seorang pria kaya seperti Agra. Tapi sejujurnya, aku punya rencana lain. Agra tersenyum tipis, tapi ekspresi matanya tetap dingin. "Satu bulan? Sepakat. Kalau begitu, buatkan aku kopi sekarang." Aku mengambil cangkir dari tangannya, membiarkan jari kami bersentuhan sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Aku bisa melihat rahangnya mengencang sedikit, tapi dia tidak menarik tangannya lebih dulu. oh? Dia merasakan sesuatu. "Baiklah, Tuan Penguasa," godaku sambil berbalik ke mesin kopi. Lita menatapku dengan tatapan "kau-gila", tapi aku hanya mengedikkan bahu. Aku menuangkan kopi ke dalam cangkir, lalu meletakkannya di hadapan Agra. "Silakan, kopi spesial dari tangan seorang barista hebat." Dia mengambil cangkirnya, menyesapnya pelan. Lalu, dia menatapku dalam-dalam. "Aku sudah mencicipi banyak kopi mahal, tapi entah kenapa… yang ini terasa lebih menarik...benar-benar barista yang handal" Aku tersenyum kecil, menyandarkan tubuh di meja. "Mungkin karena ada sentuhan manis dariku." Agra mengangkat satu alis, tetapi tidak membantah. Aku bisa merasakan Lita menatapku dengan tatapan ingin pingsan. Aku menatap Agra dengan penuh perhitungan. Sudah waktunya aku menjalankan rencana berikutnya. "Ngomong-ngomong, aku tidak hanya ingin menepati perjanjian kita. Aku juga ingin mengajukan kesepakatan lain." Agra menatapku datar. "Kesepakatan?" Aku menyilangkan tangan di dada, berpura-pura berpikir, lalu berkata, "Aku ingin menjadi asistenmu —selama satu bulan" Lita terbatuk kaget di belakangku, hampir menjatuhkan nampan. Aku sendiri tersenyum santai, pura-pura tidak melihat bagaimana mata Agra menyipit sedikit. "Asistenku?" ulangnya pelan. Aku mengangguk. "Ya. Aku ingin tahu lebih banyak tentang pria yang berhasil menjerat ibu tiriku... dan mungkin, aku bisa belajar sesuatu darimu." Keheningan menyelimuti kami. Agra tidak langsung menjawab. Matanya meneliti wajahku, seolah sedang menilai apakah aku serius atau hanya mencari masalah. Aku mempertahankan senyumanku. Aku memang sedang mencari masalah, tapi ini adalah masalah yang kuinginkan. "Aku bisa saja menolak," katanya akhirnya. Aku mengedikkan bahu. "Kalau begitu, aku bisa saja membatalkan kesepakatan kopi gratis selama sebulan." Dia menyeringai kecil. "Jadi kau mengancamku?" "Bukan ancaman. Negosiasi," koreksiku dengan nada manis dan menggoda. Keheningan kembali. Aku bisa mendengar suara detak jarum jam di dinding café. Lalu, Agra mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan kedua sikunya di meja. "Baiklah, Calia. Aku akan menerimamu sebagai asisten . . . selama satu bulan." Aku hampir bersorak dalam hati, tetapi ekspresi wajahnya yang berubah lebih serius membuat senyumku sedikit goyah. "Tapi aku punya satu syarat," lanjutnya. Aku menelan ludah. "Apa?" Dia menatapku tajam, senyuman samar terukir di bibirnya. "Sekali kau masuk ke dalam hidupku, kau tidak akan bisa keluar lagi." Aku membeku. Kalimat itu terdengar lebih seperti peringatan daripada syarat. Dadaku berdebar, tapi aku segera menegakkan bahu dan memasang ekspresi santai. "Aku tidak pernah takut pada tantangan. Sedikit tantangan tidak akan membuatku untuk menarik kata-kataku." Agra menatapku beberapa detik lagi sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Kalau begitu, kita punya kesepakatan." Aku mengulurkan tangan, dan tanpa ragu, dia menjabatnya. Jabatannya kuat, hangat, tapi juga memiliki aura men dominasi yang tidak bisa diabaikan. Aku baru saja membuat kesepakatan dengan Agra, seseorang yang tidak boleh kupercaya. Namun usaha untuk menghancurkan ibu tiri ku membuat ku berani mengambil resiko sebesar ini. Untuk pertama kalinya, aku bertanya pada diriku sendiri—apa yang sebenarnya sedang kumasuki? Bersambung...𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan shift sore di café. Lita sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendirian untuk merapikan meja dan menutup kasir. Mataku terasa berat, tubuhku lelah, dan aku sudah membayangkan kasur empuk di apartemen kecilku. Namun, rencana itu buyar begitu suara berat yang familier terdengar jelas. "Siap bekerja?" Aku menoleh dan mendapati Agra berdiri di depan meja kasir. Dia mengenakan setelan hitam yang jauh lebih rapi dibanding biasanya. Tidak ada jaket kulit, tidak ada rokok di tangan, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya, memperlihatkan bahunya yang tegap dan dada bidangnya. Aura misteriusnya tetap sama—mungkin justru lebih kuat dalam pakaian seperti itu. Aku menyandarkan tangan di meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Aku pikir pekerjaan ini dimulai besok pagi. Ini kan hampir malam banget." Dia menyeringai tipis. "Kau pikir jadi asisten ku itu seperti pekerjaan kantoran yang punya j
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku masih merasakan getaran di ujung jariku. Rasanya seperti sengatan listrik halus, kecil namun tak kunjung hilang. Tubuhku terasa lemas, keringat dingin mengalir di punggungku, dan bayangan darah yang menggenang di lantai tadi masih menari-nari dalam pikiranku. Pria itu benar-benar mati. Ditembak oleh Agra di depan mata ku. Aku mengira bisa mengendalikan situasi, bisa bermain dengan Agra demi membalas dendam pada Manda. Tapi sekarang, kenyataan menghantamku keras—aku tidak sedang bermain di zona nyaman. Aku sedang bermain di dunia Agra. Dunia yang penuh kekejaman tanpa belas kasihan. Di depanku, Agra hanya berdiri dengan santai, ekspresinya tetap tenang seolah apa yang baru saja terjadi bukan sesuatu yang luar biasa. Seolah membunuh hanyalah bagian dari rutinitas hariannya. "Kau bisa pergi sekarang," katanya, nada suaranya ringan, hampir seperti sedang menawarkan minuman. "Aku tidak akan menahanmu." Aku masih membeku di tempat, tidak bisa berpikir jernih. Agra m
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra. Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda. "Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah." Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan. "Baik, tuan penguasa yang ganteng." Tidak ada balasan. Tentu saja. Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa. "Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya. Agra melirikku sekilas. "Mungkin." Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan. Kami berhenti di
𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam. Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta. Pesta pernikahan mantanku. Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya. Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku. Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini. Lalu aku melihatnya. Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang
Calia Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja. Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya. Pria itu adalah Agra. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku. Dunia benar-benar gila. Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh
𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra. Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda. "Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah." Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan. "Baik, tuan penguasa yang ganteng." Tidak ada balasan. Tentu saja. Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa. "Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya. Agra melirikku sekilas. "Mungkin." Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan. Kami berhenti di
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku masih merasakan getaran di ujung jariku. Rasanya seperti sengatan listrik halus, kecil namun tak kunjung hilang. Tubuhku terasa lemas, keringat dingin mengalir di punggungku, dan bayangan darah yang menggenang di lantai tadi masih menari-nari dalam pikiranku. Pria itu benar-benar mati. Ditembak oleh Agra di depan mata ku. Aku mengira bisa mengendalikan situasi, bisa bermain dengan Agra demi membalas dendam pada Manda. Tapi sekarang, kenyataan menghantamku keras—aku tidak sedang bermain di zona nyaman. Aku sedang bermain di dunia Agra. Dunia yang penuh kekejaman tanpa belas kasihan. Di depanku, Agra hanya berdiri dengan santai, ekspresinya tetap tenang seolah apa yang baru saja terjadi bukan sesuatu yang luar biasa. Seolah membunuh hanyalah bagian dari rutinitas hariannya. "Kau bisa pergi sekarang," katanya, nada suaranya ringan, hampir seperti sedang menawarkan minuman. "Aku tidak akan menahanmu." Aku masih membeku di tempat, tidak bisa berpikir jernih. Agra m
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan shift sore di café. Lita sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendirian untuk merapikan meja dan menutup kasir. Mataku terasa berat, tubuhku lelah, dan aku sudah membayangkan kasur empuk di apartemen kecilku. Namun, rencana itu buyar begitu suara berat yang familier terdengar jelas. "Siap bekerja?" Aku menoleh dan mendapati Agra berdiri di depan meja kasir. Dia mengenakan setelan hitam yang jauh lebih rapi dibanding biasanya. Tidak ada jaket kulit, tidak ada rokok di tangan, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya, memperlihatkan bahunya yang tegap dan dada bidangnya. Aura misteriusnya tetap sama—mungkin justru lebih kuat dalam pakaian seperti itu. Aku menyandarkan tangan di meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Aku pikir pekerjaan ini dimulai besok pagi. Ini kan hampir malam banget." Dia menyeringai tipis. "Kau pikir jadi asisten ku itu seperti pekerjaan kantoran yang punya j
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini seharusnya menjadi hari biasa di café kecilku. Seperti biasa, aku bersiap menghadapi pelanggan yang hanya datang untuk mencari WiFi gratis atau sekadar berfoto tanpa membeli apa pun. Tapi hari ini, takdir rupanya ingin bermain-main denganku lagi. Begitu pintu café terbuka, aku mendongak, dan napasku langsung tercekat. Agra. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Tatapannya tajam seperti biasa, penuh misteri yang tak bisa kutebak. Aku bahkan bisa merasakan aura intimidatifnya membuat Lita, karyawanku, menegang di belakang mesin kasir. Aku segera mengangkat alis, berusaha tetap tenang meski hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Agra melangkah santai ke meja kasir, seolah ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. "Kau terlihat terkejut," katanya, suaranya tetap datar. Aku menyandarkan tangan di meja dan menyipitkan mata. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" Dia menyeringai
Calia Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja. Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya. Pria itu adalah Agra. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku. Dunia benar-benar gila. Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam. Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta. Pesta pernikahan mantanku. Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya. Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku. Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini. Lalu aku melihatnya. Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang