𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮
Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan shift sore di café. Lita sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendirian untuk merapikan meja dan menutup kasir. Mataku terasa berat, tubuhku lelah, dan aku sudah membayangkan kasur empuk di apartemen kecilku. Namun, rencana itu buyar begitu suara berat yang familier terdengar jelas. "Siap bekerja?" Aku menoleh dan mendapati Agra berdiri di depan meja kasir. Dia mengenakan setelan hitam yang jauh lebih rapi dibanding biasanya. Tidak ada jaket kulit, tidak ada rokok di tangan, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya, memperlihatkan bahunya yang tegap dan dada bidangnya. Aura misteriusnya tetap sama—mungkin justru lebih kuat dalam pakaian seperti itu. Aku menyandarkan tangan di meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Aku pikir pekerjaan ini dimulai besok pagi. Ini kan hampir malam banget." Dia menyeringai tipis. "Kau pikir jadi asisten ku itu seperti pekerjaan kantoran yang punya jadwal tetap?" Aku mendesah, melepas celemek café dan menggantungnya di belakang pintu. "Baiklah. Tapi sebelum itu . . . " Aku mengambil cangkir kosong dan mulai menuangkan kopi. " Jangan lupa, kau masih punya kopi gratis selama satu bulan di tempat ku" Agra tidak berkomentar, hanya menunggu sampai aku menyodorkan cangkirnya. Sebelum dia mengambilnya, aku dengan sengaja membiarkan jari kami bersentuhan sedikit lebih lama dari yang seharusnya. "Kah tahu," kataku, menatapnya dari bawah dengan senyum setengah menggoda, "banyak pria yang ingin menikmati kopi dari ku. Tapi hanya kau yang bisa mendapatkan nya gratis setiap hari. Harusnya kau merasa spesial" Dia menatapku datar, tapi aku tidak melewatkan bagaimana sudut bibir nya tersenyum kecil. Lalu, tanpa berkata apa pun, dia membawa cangkir ke bibirnya dan menyesap kopi itu perlahan. Aku menyandarkan tubuh ke meja, menatapnya penuh perhitungan. "Bagaimana? Kopinya enak? atau perlu tambahan sesuatu di dalam nya? . . . mungkin sedikit rasa manis dariku?" Agra menurunkan cangkirnya dan menatapku dalam-dalam. "Kopi ini sudah cukup kuat dan enak. Aku tidak perlu tambahan apa pun." Aku tersenyum tipis. "Oh? Sayang sekali, padahal aku berniat memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kopi" Dia tidak menanggapi provokasiku. Alih-alih, dia berjalan ke arah pintu. "Ayo" Aku mengambil tasku dan mengikutinya keluar, masih menikmati permainan kecil ini. Tapi begitu aku duduk di kursi penumpang, aku mulai menyadari sesuatu. Mobil yang dia kendarai bukan mobil biasa. Interiornya begitu mewah. Aku mengamati dashboard digitalnya, layar navigasi canggih, dan aroma kulit asli yang memenuhi kabin. Aku mengangkat alis, menyandarkan diri ke jok. "Kau ganti mobil? Aku lebih suka yang sebelumnya, lebih . . . pemberontak" Dia tetap fokus menyetir. "Aku punya banyak mobil. pilihan tergantung kebutuhan" Aku meliriknya, lalu mengusap jari di atas dashboard kulit dengan ekspresi main-main. "dan kebutuhan mu malam ini. . . adalah mengesankan asisten barumu?" Dia menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalan. "Aku hanya ingin memastikan kau tahu seperti apa pekerjaan ku" Pekerjaan nya? Bukankah dia juga seorang pengusaha sama seperti Manda? Aku menekan bibir, berpikir sejenak sebelum berkata, "Kau tahu, biasanya pria mengajak wanita keluar malam hari untuk berkencan, bukan untuk wawancara kerja" Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Kau pikir ini akan menyenangkan?" Aku memutar mataku. "Setidaknya aku berharap ada makan malam yang enak sebelum aku bekerja lembur" Agra tidak menjawab, dan aku mulai merasa semakin curiga. Mobil ini bukan menuju pusat kota, bukan juga ke kawasan bisnis. Kami semakin menjauh dari jalanan yang ramai, memasuki daerah yang lebih sepi dengan gedung-gedung tinggi yang minim penerangan. Perasaanku mulai tidak enak, tapi aku tetap mempertahankan ekspresi santai. "Agra" panggilku. "Kita mau ke mana?" "Sudah kubilang, aku ingin menunjukkan kepada mu mengenai pekerjaan ku" jawabnya datar. "Supaya kau bisa memutuskan apakah kau masih ingin lanjut atau tidak" Aku menelan ludah. Kenapa kalimat itu terdengar lebih seperti peringatan daripada penjelasan? --- 𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Mobil berhenti di depan sebuah gedung besar dengan desain klasik yang elegan. Pilar-pilar tinggi menjulang di sana, menciptakan kesan megah sekaligus intimidatif. Di depan pintu masuk, beberapa pria berjas hitam berdiri tegak, ekspresi mereka kosong namun penuh kewaspadaan. Begitu Agra keluar dari mobil, mereka langsung menundukkan kepala. Aku mengerutkan kening. Apa-apaan ini? Agra berjalan dengan langkah santai melewati mereka, seolah pemandangan itu adalah hal yang biasa. Aku mengikutinya dengan ragu, tatapanku masih terpaku pada pria-pria itu. Mereka bahkan tidak menatap mata Agra, seolah… takut. Atau mungkin… terlalu menghormatinya? Kami memasuki ruangan luas dengan pencahayaan remang-remang. Interiornya mewah, penuh dengan ornamen emas dan perabotan mahal. Aku melirik sekeliling, mencoba menebak tempat macam apa ini—restoran pribadi? Klub eksklusif? Atau sesuatu yang jauh lebih gelap? Di tengah ruangan, seorang pria berlutut di lantai. Tubuhnya gemetar, tangannya terangkat seperti sedang memohon. Dua pria berdiri di belakangnya dengan ekspresi datar, seolah sudah terlalu sering melihat pemandangan seperti ini. Aku menegang, instingku berteriak agar aku mundur. "Agra…," bisikku, nyaris tanpa suara. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Dia tidak menjawab. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. Lalu pria yang berlutut itu berbicara, suaranya bergetar. "Tuan Agra… Aku mohon… beri aku kesempatan… Aku tidak akan mengulanginya lagi…" Aku membeku. Tuan? Dadaku terasa sesak saat kesadaranku perlahan menyusun kepingan-kepingan yang berserakan. Aku tahu Agra bukan pria biasa. Aku tahu ada sesuatu yang aneh dengannya. Tapi aku tidak pernah membayangkan hal ini. Agra mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Aku menahan napas. Sebuah pistol. Tidak mungkin. Tidak mungkin ini nyata. "A-Aku bersumpah, aku bisa menggantinya! Aku bisa memperbaikinya!" Pria itu memohon lebih keras. Tapi Agra hanya menghela napas, seolah lelah dengan semua ini. "Kau tahu aturannya, bukan?" Pria itu semakin panik. "Aku mohon… Aku punya keluarga…" Aku tahu aku seharusnya melakukan sesuatu. Menghentikan ini. Mengatakan sesuatu. Tapi tubuhku seakan lumpuh. Lalu, tanpa ekspresi, Agra menarik pelatuknya. 𝘋𝘖𝘙! Aku tersentak. Tanganku langsung menutup mulut, menahan jeritan yang hampir lolos. Darah menyebar di lantai. Tubuh pria itu jatuh, tak bergerak. Tidak ada yang berteriak. Tidak ada yang panik. Seolah kejadian ini hal biasa. Aku masih membeku di tempatku, paru-paruku terasa sesak. Kepalaku berusaha memproses apa yang baru saja terjadi, tetapi aku tidak bisa. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat seseorang ditembak mati tepat di depan mataku. Mataku kembali mencari Agra. Dia masih berdiri di sana, memandang pria yang kini tak bernyawa dengan ekspresi datar. Seolah nyawa manusia tidak lebih dari angka. Aku tahu Agra bukan pria biasa. Aku tahu ada sesuatu yang aneh dengannya, tapi aku tidak pernah membayangkan ini. Ini terlalu kejam, tanpa belas kasih. Lalu dia menoleh ke arah ku. Tatapannya tetap tenang. Terlalu tenang. Dia berjalan mendekat. Aku ingin mundur tapi aku masih berdiri terpaku, otakku berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Bayang-bayang pria yang ditembak mati itu masih melekat di benak ku. Agra berhenti tepat di depanku, menatapku dari atas sampai bawah. Lalu, dengan suara rendah, ia berkata, "Ini bagian dari pekerjaanku." Agra menatap ku seakan menantang "Masih mau lanjut, Calia?" Jantungku berdetak liar, begitu keras hingga aku bisa mendengarnya di telinga. Aku tahu aku harus pergi. Aku tahu aku harus lari sejauh mungkin tapi ada bagian dari diriku yang menolak berpaling. Dan itulah yang paling menakutkan. Bersambung...𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku masih merasakan getaran di ujung jariku. Rasanya seperti sengatan listrik halus, kecil namun tak kunjung hilang. Tubuhku terasa lemas, keringat dingin mengalir di punggungku, dan bayangan darah yang menggenang di lantai tadi masih menari-nari dalam pikiranku. Pria itu benar-benar mati. Ditembak oleh Agra di depan mata ku. Aku mengira bisa mengendalikan situasi, bisa bermain dengan Agra demi membalas dendam pada Manda. Tapi sekarang, kenyataan menghantamku keras—aku tidak sedang bermain di zona nyaman. Aku sedang bermain di dunia Agra. Dunia yang penuh kekejaman tanpa belas kasihan. Di depanku, Agra hanya berdiri dengan santai, ekspresinya tetap tenang seolah apa yang baru saja terjadi bukan sesuatu yang luar biasa. Seolah membunuh hanyalah bagian dari rutinitas hariannya. "Kau bisa pergi sekarang," katanya, nada suaranya ringan, hampir seperti sedang menawarkan minuman. "Aku tidak akan menahanmu." Aku masih membeku di tempat, tidak bisa berpikir jernih. Agra m
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra. Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda. "Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah." Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan. "Baik, tuan penguasa yang ganteng." Tidak ada balasan. Tentu saja. Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa. "Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya. Agra melirikku sekilas. "Mungkin." Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan. Kami berhenti di
𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam. Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta. Pesta pernikahan mantanku. Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya. Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku. Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini. Lalu aku melihatnya. Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang
Calia Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja. Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya. Pria itu adalah Agra. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku. Dunia benar-benar gila. Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini seharusnya menjadi hari biasa di café kecilku. Seperti biasa, aku bersiap menghadapi pelanggan yang hanya datang untuk mencari WiFi gratis atau sekadar berfoto tanpa membeli apa pun. Tapi hari ini, takdir rupanya ingin bermain-main denganku lagi. Begitu pintu café terbuka, aku mendongak, dan napasku langsung tercekat. Agra. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Tatapannya tajam seperti biasa, penuh misteri yang tak bisa kutebak. Aku bahkan bisa merasakan aura intimidatifnya membuat Lita, karyawanku, menegang di belakang mesin kasir. Aku segera mengangkat alis, berusaha tetap tenang meski hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Agra melangkah santai ke meja kasir, seolah ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. "Kau terlihat terkejut," katanya, suaranya tetap datar. Aku menyandarkan tangan di meja dan menyipitkan mata. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" Dia menyeringai
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh
𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra. Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda. "Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah." Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan. "Baik, tuan penguasa yang ganteng." Tidak ada balasan. Tentu saja. Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa. "Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya. Agra melirikku sekilas. "Mungkin." Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan. Kami berhenti di
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku masih merasakan getaran di ujung jariku. Rasanya seperti sengatan listrik halus, kecil namun tak kunjung hilang. Tubuhku terasa lemas, keringat dingin mengalir di punggungku, dan bayangan darah yang menggenang di lantai tadi masih menari-nari dalam pikiranku. Pria itu benar-benar mati. Ditembak oleh Agra di depan mata ku. Aku mengira bisa mengendalikan situasi, bisa bermain dengan Agra demi membalas dendam pada Manda. Tapi sekarang, kenyataan menghantamku keras—aku tidak sedang bermain di zona nyaman. Aku sedang bermain di dunia Agra. Dunia yang penuh kekejaman tanpa belas kasihan. Di depanku, Agra hanya berdiri dengan santai, ekspresinya tetap tenang seolah apa yang baru saja terjadi bukan sesuatu yang luar biasa. Seolah membunuh hanyalah bagian dari rutinitas hariannya. "Kau bisa pergi sekarang," katanya, nada suaranya ringan, hampir seperti sedang menawarkan minuman. "Aku tidak akan menahanmu." Aku masih membeku di tempat, tidak bisa berpikir jernih. Agra m
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan shift sore di café. Lita sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendirian untuk merapikan meja dan menutup kasir. Mataku terasa berat, tubuhku lelah, dan aku sudah membayangkan kasur empuk di apartemen kecilku. Namun, rencana itu buyar begitu suara berat yang familier terdengar jelas. "Siap bekerja?" Aku menoleh dan mendapati Agra berdiri di depan meja kasir. Dia mengenakan setelan hitam yang jauh lebih rapi dibanding biasanya. Tidak ada jaket kulit, tidak ada rokok di tangan, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya, memperlihatkan bahunya yang tegap dan dada bidangnya. Aura misteriusnya tetap sama—mungkin justru lebih kuat dalam pakaian seperti itu. Aku menyandarkan tangan di meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Aku pikir pekerjaan ini dimulai besok pagi. Ini kan hampir malam banget." Dia menyeringai tipis. "Kau pikir jadi asisten ku itu seperti pekerjaan kantoran yang punya j
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini seharusnya menjadi hari biasa di café kecilku. Seperti biasa, aku bersiap menghadapi pelanggan yang hanya datang untuk mencari WiFi gratis atau sekadar berfoto tanpa membeli apa pun. Tapi hari ini, takdir rupanya ingin bermain-main denganku lagi. Begitu pintu café terbuka, aku mendongak, dan napasku langsung tercekat. Agra. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Tatapannya tajam seperti biasa, penuh misteri yang tak bisa kutebak. Aku bahkan bisa merasakan aura intimidatifnya membuat Lita, karyawanku, menegang di belakang mesin kasir. Aku segera mengangkat alis, berusaha tetap tenang meski hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Agra melangkah santai ke meja kasir, seolah ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. "Kau terlihat terkejut," katanya, suaranya tetap datar. Aku menyandarkan tangan di meja dan menyipitkan mata. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" Dia menyeringai
Calia Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja. Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya. Pria itu adalah Agra. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku. Dunia benar-benar gila. Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam. Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta. Pesta pernikahan mantanku. Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya. Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku. Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini. Lalu aku melihatnya. Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang