Share

6.

last update Last Updated: 2025-02-16 09:47:17

𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮

Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra.

Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur.

Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda.

"Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah."

Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan.

"Baik, tuan penguasa yang ganteng."

Tidak ada balasan. Tentu saja.

Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa.

"Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya.

Agra melirikku sekilas. "Mungkin."

Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan.

Kami berhenti di lampu merah. Jalanan masih ramai, tapi cukup sepi untuk memungkinkan seseorang mendekati mobil tanpa peringatan ataupun menyerang dari kejauhan.

Aku baru saja ingin membuang muka ketika mataku menangkap sosok yang sangat familiar di trotoar.

Manda.

Sial!

Refleks, aku langsung merunduk, menekan tubuhku ke bawah dashboard mobil. Nafasku tercekat, jantungku berdebar begitu kencang hingga terasa menyakitkan di dadaku.

Agra melirikku dengan alis terangkat. "Kau kenapa?"

Aku berbisik cepat, nyaris panik, "Manda ada di luar!"

Aku bisa merasakan tatapan Agra sekilas ke luar jendela sebelum dia mendengus kecil, seolah ini bukan masalah besar.

Tapi bagiku? Ini bencana.

Jika Manda melihatku di dalam mobil Agra, rencanaku akan berantakan sebelum sempat berjalan. Aku masih belum siap. Aku tidak boleh ketahuan.

Lalu, aku mendengar suara heels menghentak di trotoar, diikuti suara yang paling kubenci di dunia.

"Agra, Sayang?"

Sial. Sial. Sial.

Aku mengutuk dalam hati. Napasku semakin pendek. Tanganku mengepal di atas pahaku, mencoba mengendalikan getaran halus di tubuhku.

Aku bisa merasakan aura percaya diri Manda bahkan tanpa melihatnya. Dia pasti sedang bersandar di jendela mobil, tersenyum penuh keyakinan, menganggap Agra masih dalam genggamannya.

"Sayang, kamu mau ke mana?"

Aku hampir bisa mendengar nada menggoda dalam suaranya. Wanita tua yang tidak tahu kapan harus menyerah.

Agra tetap tenang, seperti biasa.

"Ada urusan," jawabnya santai.

Manda memainkan jarinya di jendela mobil, suara kukunya mengetuk kaca terdengar jelas dalam keheningan sesaat. Manda seperti kucing genit yang sedang menggoda mangsanya.

"Kamu tidak ingin ditemani? Sudah lama kita tidak menikmati waktu bersama," ucapnya manja.

Aku meringis, menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jijik.

Lalu, sesuatu yang hangat menyentuh bahuku.

Aku membeku.

Sentuhan itu ringan, hampir tidak terasa—tapi cukup untuk membuat jantungku berhenti sejenak.

Jari-jari Agra menekan bahuku perlahan, seolah mengisyaratkan agar aku tetap diam. Sentuhan itu bukan sekadar peringatan, ada sesuatu yang lain. Gerakan ibu jarinya yang mengusap bahuku dalam pola kecil, tanpa sadar menenangkan.

Aku menahan napas.

Dia… membantu menyembunyikanku?

Agra tidak menanggapi godaan Manda. Sebaliknya, dia hanya berkata, "Malam ini aku sibuk."

Aku bisa mendengar tawa kecil Manda. "Kamu selalu saja sibuk. Tapi baiklah, sayang. Jangan membuatku menunggu terlalu lama."

Lalu, suara heelsnya menjauh.

Aku tetap tidak bergerak sampai akhirnya lampu hijau menyala dan mobil kembali melaju.

Setelah beberapa detik, aku akhirnya berani mengangkat kepala, jantungku masih berdebar keras.

Aku menoleh ke Agra, menatapnya dengan mata menyipit. "Kau menikmati itu, ya?"

Dia hanya menyunggingkan senyum tipis.

Bajingan.

Tapi aku tidak akan membiarkan dia menang begitu saja.

Aku bersandar ke kursi, menoleh sedikit ke arahnya, lalu menyeringai kecil. "Atau… kau lebih menikmati menyentuhku?"

Matanya tetap fokus ke jalan, tapi aku tidak melewatkan bagaimana alisnya sedikit terangkat.

Senyumanku semakin lebar.

---

𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮

Kami tiba di sebuah gudang di kawasan industri yang sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar, hanya gelap dan sunyi. Tapi begitu Agra membuka pintu, aku bisa melihat kesibukan di dalamnya.

Beberapa pria sedang memindahkan kotak-kotak besar ke dalam truk. Aku tidak perlu bertanya apa isinya—aku tahu persis. Barang haram. Obat-obatan terlarang.

Di tengah ruangan, ada meja panjang dengan koper terbuka berisi uang tunai. Lembaran-lembaran dolar tersusun rapi, berkilau di bawah lampu neon yang berpendar samar.

Seorang pria tinggi dengan bekas luka di pipinya bangkit dari kursinya. Senyumnya menyeringai, menampilkan gigi kuning yang sedikit berantakan.

"Kau datang tepat waktu," katanya.

Agra hanya mengangguk sebelum menarik kursi dan duduk. Aku berdiri di belakangnya, berusaha terlihat tidak mencolok.

Negosiasi dimulai.

Mereka berbicara soal harga, distribusi, dan keuntungan. Aku tidak mengerti semua detailnya, tapi satu hal yang jelas—ini bukan bisnis kecil. Ini adalah skala internasional. Panthers benar-benar menguasai pasar ini.

Namun, segalanya berubah dalam sekejap.

BRAK!

Pintu gudang terbuka dengan keras.

Sekelompok pria bersenjata masuk, wajah mereka penuh amarah.

Aku langsung tahu mereka bukan bagian dari Panthers. Mereka adalah musuh Agra—mungkin kelompok mafia lain.

Salah satu dari mereka melangkah maju, matanya tajam dan penuh kebencian.

"Aku dengar Panthers berani masuk ke wilayah kami," ucapnya sinis.

Jantungku mencelos.

Agra tetap duduk santai, seolah kedatangan mereka bukan masalah besar.

"Aku hanya melakukan bisnis," katanya, nadanya tetap tenang.

Pria itu mengangkat pistolnya lebih tinggi, mengarahkannya langsung ke Agra.

"Bukan di wilayahku."

Udara di dalam ruangan terasa semakin dingin.

Orang-orang Agra langsung bersiap. Aku melihat mereka bergerak, tangan merayap ke senjata masing-masing.

Aku sendiri? Aku tidak punya apa-apa. Tidak ada pistol, tidak ada pisau. Aku benar-benar tak berdaya. Seharusnya aku membawa sesuatu untuk melindungi diriku sendiri sebelum pergi ke sini bersama Agra.

Bodoh!

Lalu—

DOR!

Suara tembakan memecah keheningan.

Aku tidak tahu siapa yang menembak lebih dulu. Tapi dalam sekejap, semuanya berubah menjadi kekacauan.

Orang-orang mulai berjatuhan. Teriakan bercampur dengan suara peluru yang berdesing di udara.

Aku membeku.

Di tengah kekacauan, hanya satu sosok yang bisa kulihat dengan jelas.

Agra.

Dia bergerak seperti bayangan, cepat dan mematikan. Setiap tembakan yang dilepaskannya selalu mengenai target. Matanya dingin, nyaris tak berperasaan, seolah nyawa manusia hanyalah angka baginya.

Aku seharusnya ketakutan. Seharusnya menghindari melihatnya.

Tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku.

Cara dia memegang pistol, menarik pelatuk tanpa ragu, ekspresinya yang begitu tenang di tengah hujan peluru—semuanya membuat dadaku bergetar hebat.

Dan bukan karena takut tertembak musuh, melainkan karena...

Agra.

"Hentikan. Apa yang aku lakukan? Stop melihatnya!"

Aku memalingkan wajah, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang merayap di dalam dadaku. Aku bahkan bisa merasakan jantungku berdebar begitu kencang hingga terasa menyakitkan.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, suara tembakan akhirnya berhenti.

Mereka yang menyerang telah tumbang, tubuh mereka berserakan di lantai. Tapi pemimpin mereka? Tidak ada di sini. Dia berhasil kabur.

Aku masih berdiri di tempatku, tubuhku sedikit gemetar.

Kemudian, aku merasakan tatapan seseorang.

Aku menoleh.

Seorang pria yang tadi menyerang masih hidup. Dia terduduk di lantai, darah mengalir dari lengannya, tapi bibirnya menyeringai lemah.

Matanya langsung mengarah padaku. "Siapa wanita itu?"

Jantungku berhenti sejenak.

Aku bisa merasakan Agra menoleh ke arahku. Ekspresinya tetap dingin, tapi ada sesuatu di dalam tatapannya.

Tanpa peringatan—

DOR!

Sebuah peluru menembus tengkorak pria itu, tepat di antara kedua matanya.

Tubuhnya terjungkal ke lantai dengan suara berdebam. Darah mengalir membentuk genangan di bawah kepalanya, matanya masih terbuka—tatapannya kosong.

Aku terkesiap, langkahku mundur tanpa sadar.

Aku menoleh ke Agra, yang masih memegang pistolnya dengan santai, seolah yang baru saja dilakukannya bukanlah sesuatu yang berarti.

"Agra" Bisik ku.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   7.

    𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke

    Last Updated : 2025-03-25
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   8

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh

    Last Updated : 2025-03-29
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   9

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Seperti yang sudah di rencanakan, malam ini aku mengikuti Agra memasuki ruang rapat di dalam gedung nya. Ruang rapat tersebut sangat luas dan mewah. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, menerangi meja panjang di tengah ruangan. Sekitar enam orang sudah duduk di sana, wajah mereka serius dan penuh kewaspadaan.Begitu kami masuk, percakapan mereka langsung terhenti. Semua mata tertuju padaku.Aku menelan ludah, tapi tetap menjaga ekspresi datar. Tidak ingin terlihat gugup, meskipun suasananya begitu menekan.Agra berjalan santai ke kursinya di ujung meja, lalu duduk dengan tenang. Aku tetap berdiri di sampingnya, menunggu instruksi."Ini Calia," kata Agra, suaranya tegas. "Mulai sekarang, dia akan bekerja sebagai asistanku, tetapi hal ini harus dijaga dan dirahasiakan"Tak ada tepuk tangan atau sambutan hangat. Yang ada hanya tatapan penuh analisis, seolah mereka sedang menimbang apakah aku pantas berada di

    Last Updated : 2025-03-30
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   10. Siapa Asisten mu?

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Malam ini, kantor Agra lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di sofa, mendengarkan suaranya yang rendah tapi tajam, membahas kemungkinan adanya pengkhianat di Panthers. Baru beberapa hari aku bekerja sebagai asistennya, tapi aku sudah berada di tengah pusaran sesuatu yang besar dan berbahaya.Apakah Agra mempercayaiku, atau ini hanya ujian lain darinya?"Menurut informasi yang sudah ku berikan padamu. Siapa penghianat di antara Panthers?," tanyanya, matanya setajam bilah pisau.Aku menegang. Aku tidak bisa menebak secara asal-asalan. "Aku tidak bisa menebak dengan terburu-buru. aku butuh informasi lain nya. Apakah ada aktifitas yang tidak biasa akhir-akhir ini?" tanyaku. Agra menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya jelas sedang bekerja. "Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. siapapun penghianat itu, dia bermain dengan sangat mulus"Tiba-tiba— BRAK! Pintu terbuka dengan kasar. Aku menoleh, dan jantungku serasa melompat keluar dari dadaku.Manda berdiri di ambang p

    Last Updated : 2025-04-02
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   11

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮“Aku dan kau akan cari si pengkhianat itu.” Kata-kata Agra masih menggema di kepala saat aku duduk di dalam mobil, di kursi penumpang, memandangi jendela yang mulai buram oleh embun malam.Ada juga hal lain yang masih melekat di benakku adalah itunya Agra yang terlihat besar di balik celananya. Astaga. Hentikan. Mobil melaju pelan, menembus jalanan ibu kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan terlihat seperti bayangan tak bernyawa yang cuma lewat begitu saja.Agra menyetir seperti biasa, diam dan penuh perhitungan. Tapi aku tahu di kepalanya, rencana sedang disusun rapi. Kami sudah diskusikan semuanya tadi—siapa yang akan jadi umpan, siapa yang akan mengawasi dari jauh, dan siapa yang mungkin bakal beraksi duluan. “Besok pagi kita mulai,” kata Agra singkat sebelum berhenti di depan gang kecil menuju apartemenku.Aku mengangguk. “Kamu yakin rencana ini bakal berhasil?”Dia menatapku sejenak. “Seratus persen, jika gagal. Kita masih punya rencana B dan C”Kalimat itu membua

    Last Updated : 2025-04-06
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   12

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Aku tidak tahu di mana tepatnya tempat ini. Tapi yang jelas... ini tidak terlihat seperti markas kriminal ataupun tempat penyiksaan. Mobil berhenti di depan sebuah mansion besar—lebih mirip istana kecil, dengan gerbang besi tinggi, taman yang terlalu rapi, dan pencahayaan yang hangat membuat semuanya terasa... berkelas."Ini... bukan tempat penyiksaan, kan?" aku nyeletuk tanpa sadar.Tristan hanya tersenyum kecil, lalu turun lebih dulu tanpa menjawab pertanyaan ku. Pintu mobil dibuka dari luar. Salah satu anak buahnya mengisyaratkan ku untuk turun. Aku mengikuti nya, walau dalam hati penuh dengan tanda tanya besar. Tanganku sudah tidak diikat, tapi tetap aja... situasi ini tidak masuk akal.Aku dibawa masuk melewati lorong besar, dindingnya dipenuhi lukisan dan lampu gantung kristal. Serius, ini tempat siapa? Bagus banget. Rumahnya Tristan? Sampai akhirnya aku dibawa ke sebuah kamar tamu super mewah. Di dalamnya terdapat kasur king size, jendela besar yang menghadap ke t

    Last Updated : 2025-04-06
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   13

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Jam tiga pagi.Angin dini hari menyambut wajahku saat mobil hitam yang mengantarku berhenti di depan apartemen kecilku. Aku turun perlahan, masih mengenakan gaun hitam mahal itu—belahan tinggi sampai paha, bahu terbuka, dan aroma parfum mahal yang bukan milikku masih melekat di kulit.Aku menatap pintu apartemenku lama sebelum akhirnya membuka. Begitu masuk, suasana sunyi langsung memelukku.Tapi kepalaku? Kacau.Bibirku masih terasa hangat. Sentuhan Tristan... ciumannya yang tiba-tiba dan terlalu intens untuk dibilang hanya gertakan.Apa yang dia pikirkan? Dan kenapa aku...Kenapa aku hanya diam ketika dia melakukannya?Ada satu hal yang pasti, yaitu Tristan mendekati ku untuk mengorek informasi tentang Agra secara halus. Startegi nya benar-benar bisa diprediksi dengan mudah dan tentu saja aku tidak akan berpihak kepada nya. Aku melepas sepatu hak tinggi dan berjalan pelan ke dapur. Baru saja ingin mengambil air minum, suara pintu belakang tiba-tiba terbuka.Aku membalik

    Last Updated : 2025-04-12
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   14

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Aku duduk di atas ranjang empuk berlapis seprai linen putih yang bahkan terlalu mewah untuk disentuh. Saking empuknya, rasanya seperti tenggelam ke dalam awan. Rumah Agra… lebih tepatnya mansion Agra, ini bukan rumah biasa. Ini istana. Lebih mewah daripada rumahnya Tristan. Serius. Dari marmer dingin di lantai, tangga melingkar dramatis di tengah ruangan, sampai jendela besar yang memperlihatkan taman belakang seukuran lapangan bola.Dan sekarang, tempat ini sepi. Agra entah pergi ke mana.Setelah kami tiba tadi pagi, dia hanya berkata pendek:"Jangan pergi sendirian. Kalau perlu ke luar, dua orang akan mengawalmu."Lalu… hilang. Menguap. Pergi entah ke mana tanpa menjelaskan satu hal pun, padahal aku ini asistennya. Seharusnya dia menjelaskan tapi ya sudahlah. Aku menarik napas panjang dan menjatuhkan tubuhku ke kasur. Mewah, iya. Tapi tanpa Agra, rumah ini terasa dingin dan terlalu sunyi meski banyak pembantu yang berkeliaran Ponselku bergetar di atas meja.Aku meraihn

    Last Updated : 2025-04-13

Latest chapter

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   15. Restoran Le Étoile

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Mobil kami melaju pelan di belakang mobil Andre, menjaga jarak yang aman. Aku terus memperhatikan arah, memastikan tak kehilangan jejak. Hanya butuh beberapa menit sampai akhirnya mobil Andre berhenti di depan sebuah bangunan yang... well, membuat dompetku langsung meringis.Sebuah restoran mewah bintang lima, dengan lampu gantung kristal terlihat dari luar dan pelayan-pelayan berjas rapi menyambut para tamu.Aku menelan ludah. “Dia masuk ke sana.”Salah satu bodyguard-ku yang duduk di depan mengerutkan kening. “Restoran ini bukan tempat umum untuk kerja kelompok, apakah kamu serius?”Ups.“Iya aku serius. itu memang bukan... tempat biasa,” jawabku cepat. “Tapi kami... kerja kelompoknya beda. Ada tugas observasi soal layanan konsumen premium kelas atas. Dari kampus.”Kedua bodyguard saling pandang.“Tugas... observasi?”“Iya. Dan aku yang milih tempatnya. Nanti juga temanku datang,” tambahku, masih berakting untuk meyakinkan mereka berdua.Mereka masih terlihat ragu, tapi a

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   14

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Aku duduk di atas ranjang empuk berlapis seprai linen putih yang bahkan terlalu mewah untuk disentuh. Saking empuknya, rasanya seperti tenggelam ke dalam awan. Rumah Agra… lebih tepatnya mansion Agra, ini bukan rumah biasa. Ini istana. Lebih mewah daripada rumahnya Tristan. Serius. Dari marmer dingin di lantai, tangga melingkar dramatis di tengah ruangan, sampai jendela besar yang memperlihatkan taman belakang seukuran lapangan bola.Dan sekarang, tempat ini sepi. Agra entah pergi ke mana.Setelah kami tiba tadi pagi, dia hanya berkata pendek:"Jangan pergi sendirian. Kalau perlu ke luar, dua orang akan mengawalmu."Lalu… hilang. Menguap. Pergi entah ke mana tanpa menjelaskan satu hal pun, padahal aku ini asistennya. Seharusnya dia menjelaskan tapi ya sudahlah. Aku menarik napas panjang dan menjatuhkan tubuhku ke kasur. Mewah, iya. Tapi tanpa Agra, rumah ini terasa dingin dan terlalu sunyi meski banyak pembantu yang berkeliaran Ponselku bergetar di atas meja.Aku meraihn

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   13

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Jam tiga pagi.Angin dini hari menyambut wajahku saat mobil hitam yang mengantarku berhenti di depan apartemen kecilku. Aku turun perlahan, masih mengenakan gaun hitam mahal itu—belahan tinggi sampai paha, bahu terbuka, dan aroma parfum mahal yang bukan milikku masih melekat di kulit.Aku menatap pintu apartemenku lama sebelum akhirnya membuka. Begitu masuk, suasana sunyi langsung memelukku.Tapi kepalaku? Kacau.Bibirku masih terasa hangat. Sentuhan Tristan... ciumannya yang tiba-tiba dan terlalu intens untuk dibilang hanya gertakan.Apa yang dia pikirkan? Dan kenapa aku...Kenapa aku hanya diam ketika dia melakukannya?Ada satu hal yang pasti, yaitu Tristan mendekati ku untuk mengorek informasi tentang Agra secara halus. Startegi nya benar-benar bisa diprediksi dengan mudah dan tentu saja aku tidak akan berpihak kepada nya. Aku melepas sepatu hak tinggi dan berjalan pelan ke dapur. Baru saja ingin mengambil air minum, suara pintu belakang tiba-tiba terbuka.Aku membalik

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   12

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Aku tidak tahu di mana tepatnya tempat ini. Tapi yang jelas... ini tidak terlihat seperti markas kriminal ataupun tempat penyiksaan. Mobil berhenti di depan sebuah mansion besar—lebih mirip istana kecil, dengan gerbang besi tinggi, taman yang terlalu rapi, dan pencahayaan yang hangat membuat semuanya terasa... berkelas."Ini... bukan tempat penyiksaan, kan?" aku nyeletuk tanpa sadar.Tristan hanya tersenyum kecil, lalu turun lebih dulu tanpa menjawab pertanyaan ku. Pintu mobil dibuka dari luar. Salah satu anak buahnya mengisyaratkan ku untuk turun. Aku mengikuti nya, walau dalam hati penuh dengan tanda tanya besar. Tanganku sudah tidak diikat, tapi tetap aja... situasi ini tidak masuk akal.Aku dibawa masuk melewati lorong besar, dindingnya dipenuhi lukisan dan lampu gantung kristal. Serius, ini tempat siapa? Bagus banget. Rumahnya Tristan? Sampai akhirnya aku dibawa ke sebuah kamar tamu super mewah. Di dalamnya terdapat kasur king size, jendela besar yang menghadap ke t

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   11

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮“Aku dan kau akan cari si pengkhianat itu.” Kata-kata Agra masih menggema di kepala saat aku duduk di dalam mobil, di kursi penumpang, memandangi jendela yang mulai buram oleh embun malam.Ada juga hal lain yang masih melekat di benakku adalah itunya Agra yang terlihat besar di balik celananya. Astaga. Hentikan. Mobil melaju pelan, menembus jalanan ibu kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan terlihat seperti bayangan tak bernyawa yang cuma lewat begitu saja.Agra menyetir seperti biasa, diam dan penuh perhitungan. Tapi aku tahu di kepalanya, rencana sedang disusun rapi. Kami sudah diskusikan semuanya tadi—siapa yang akan jadi umpan, siapa yang akan mengawasi dari jauh, dan siapa yang mungkin bakal beraksi duluan. “Besok pagi kita mulai,” kata Agra singkat sebelum berhenti di depan gang kecil menuju apartemenku.Aku mengangguk. “Kamu yakin rencana ini bakal berhasil?”Dia menatapku sejenak. “Seratus persen, jika gagal. Kita masih punya rencana B dan C”Kalimat itu membua

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   10. Siapa Asisten mu?

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Malam ini, kantor Agra lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di sofa, mendengarkan suaranya yang rendah tapi tajam, membahas kemungkinan adanya pengkhianat di Panthers. Baru beberapa hari aku bekerja sebagai asistennya, tapi aku sudah berada di tengah pusaran sesuatu yang besar dan berbahaya.Apakah Agra mempercayaiku, atau ini hanya ujian lain darinya?"Menurut informasi yang sudah ku berikan padamu. Siapa penghianat di antara Panthers?," tanyanya, matanya setajam bilah pisau.Aku menegang. Aku tidak bisa menebak secara asal-asalan. "Aku tidak bisa menebak dengan terburu-buru. aku butuh informasi lain nya. Apakah ada aktifitas yang tidak biasa akhir-akhir ini?" tanyaku. Agra menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya jelas sedang bekerja. "Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. siapapun penghianat itu, dia bermain dengan sangat mulus"Tiba-tiba— BRAK! Pintu terbuka dengan kasar. Aku menoleh, dan jantungku serasa melompat keluar dari dadaku.Manda berdiri di ambang p

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   9

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Seperti yang sudah di rencanakan, malam ini aku mengikuti Agra memasuki ruang rapat di dalam gedung nya. Ruang rapat tersebut sangat luas dan mewah. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, menerangi meja panjang di tengah ruangan. Sekitar enam orang sudah duduk di sana, wajah mereka serius dan penuh kewaspadaan.Begitu kami masuk, percakapan mereka langsung terhenti. Semua mata tertuju padaku.Aku menelan ludah, tapi tetap menjaga ekspresi datar. Tidak ingin terlihat gugup, meskipun suasananya begitu menekan.Agra berjalan santai ke kursinya di ujung meja, lalu duduk dengan tenang. Aku tetap berdiri di sampingnya, menunggu instruksi."Ini Calia," kata Agra, suaranya tegas. "Mulai sekarang, dia akan bekerja sebagai asistanku, tetapi hal ini harus dijaga dan dirahasiakan"Tak ada tepuk tangan atau sambutan hangat. Yang ada hanya tatapan penuh analisis, seolah mereka sedang menimbang apakah aku pantas berada di

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   8

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   7.

    𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status