𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮
Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra. Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda. "Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah." Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan. "Baik, tuan penguasa yang ganteng." Tidak ada balasan. Tentu saja. Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa. "Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya. Agra melirikku sekilas. "Mungkin." Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan. Kami berhenti di lampu merah. Jalanan masih ramai, tapi cukup sepi untuk memungkinkan seseorang mendekati mobil tanpa peringatan ataupun menyerang dari kejauhan. Aku baru saja ingin membuang muka ketika mataku menangkap sosok yang sangat familiar di trotoar. Manda. Sial! Refleks, aku langsung merunduk, menekan tubuhku ke bawah dashboard mobil. Nafasku tercekat, jantungku berdebar begitu kencang hingga terasa menyakitkan di dadaku. Agra melirikku dengan alis terangkat. "Kau kenapa?" Aku berbisik cepat, nyaris panik, "Manda ada di luar!" Aku bisa merasakan tatapan Agra sekilas ke luar jendela sebelum dia mendengus kecil, seolah ini bukan masalah besar. Tapi bagiku? Ini bencana. Jika Manda melihatku di dalam mobil Agra, rencanaku akan berantakan sebelum sempat berjalan. Aku masih belum siap. Aku tidak boleh ketahuan. Lalu, aku mendengar suara heels menghentak di trotoar, diikuti suara yang paling kubenci di dunia. "Agra, Sayang?" Sial. Sial. Sial. Aku mengutuk dalam hati. Napasku semakin pendek. Tanganku mengepal di atas pahaku, mencoba mengendalikan getaran halus di tubuhku. Aku bisa merasakan aura percaya diri Manda bahkan tanpa melihatnya. Dia pasti sedang bersandar di jendela mobil, tersenyum penuh keyakinan, menganggap Agra masih dalam genggamannya. "Sayang, kamu mau ke mana?" Aku hampir bisa mendengar nada menggoda dalam suaranya. Wanita tua yang tidak tahu kapan harus menyerah. Agra tetap tenang, seperti biasa. "Ada urusan," jawabnya santai. Manda memainkan jarinya di jendela mobil, suara kukunya mengetuk kaca terdengar jelas dalam keheningan sesaat. Manda seperti kucing genit yang sedang menggoda mangsanya. "Kamu tidak ingin ditemani? Sudah lama kita tidak menikmati waktu bersama," ucapnya manja. Aku meringis, menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jijik. Lalu, sesuatu yang hangat menyentuh bahuku. Aku membeku. Sentuhan itu ringan, hampir tidak terasa—tapi cukup untuk membuat jantungku berhenti sejenak. Jari-jari Agra menekan bahuku perlahan, seolah mengisyaratkan agar aku tetap diam. Sentuhan itu bukan sekadar peringatan, ada sesuatu yang lain. Gerakan ibu jarinya yang mengusap bahuku dalam pola kecil, tanpa sadar menenangkan. Aku menahan napas. Dia… membantu menyembunyikanku? Agra tidak menanggapi godaan Manda. Sebaliknya, dia hanya berkata, "Malam ini aku sibuk." Aku bisa mendengar tawa kecil Manda. "Kamu selalu saja sibuk. Tapi baiklah, sayang. Jangan membuatku menunggu terlalu lama." Lalu, suara heelsnya menjauh. Aku tetap tidak bergerak sampai akhirnya lampu hijau menyala dan mobil kembali melaju. Setelah beberapa detik, aku akhirnya berani mengangkat kepala, jantungku masih berdebar keras. Aku menoleh ke Agra, menatapnya dengan mata menyipit. "Kau menikmati itu, ya?" Dia hanya menyunggingkan senyum tipis. Bajingan. Tapi aku tidak akan membiarkan dia menang begitu saja. Aku bersandar ke kursi, menoleh sedikit ke arahnya, lalu menyeringai kecil. "Atau… kau lebih menikmati menyentuhku?" Matanya tetap fokus ke jalan, tapi aku tidak melewatkan bagaimana alisnya sedikit terangkat. Senyumanku semakin lebar. --- 𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Kami tiba di sebuah gudang di kawasan industri yang sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar, hanya gelap dan sunyi. Tapi begitu Agra membuka pintu, aku bisa melihat kesibukan di dalamnya. Beberapa pria sedang memindahkan kotak-kotak besar ke dalam truk. Aku tidak perlu bertanya apa isinya—aku tahu persis. Barang haram. Obat-obatan terlarang. Di tengah ruangan, ada meja panjang dengan koper terbuka berisi uang tunai. Lembaran-lembaran dolar tersusun rapi, berkilau di bawah lampu neon yang berpendar samar. Seorang pria tinggi dengan bekas luka di pipinya bangkit dari kursinya. Senyumnya menyeringai, menampilkan gigi kuning yang sedikit berantakan. "Kau datang tepat waktu," katanya. Agra hanya mengangguk sebelum menarik kursi dan duduk. Aku berdiri di belakangnya, berusaha terlihat tidak mencolok. Negosiasi dimulai. Mereka berbicara soal harga, distribusi, dan keuntungan. Aku tidak mengerti semua detailnya, tapi satu hal yang jelas—ini bukan bisnis kecil. Ini adalah skala internasional. Panthers benar-benar menguasai pasar ini. Namun, segalanya berubah dalam sekejap. BRAK! Pintu gudang terbuka dengan keras. Sekelompok pria bersenjata masuk, wajah mereka penuh amarah. Aku langsung tahu mereka bukan bagian dari Panthers. Mereka adalah musuh Agra—mungkin kelompok mafia lain. Salah satu dari mereka melangkah maju, matanya tajam dan penuh kebencian. "Aku dengar Panthers berani masuk ke wilayah kami," ucapnya sinis. Jantungku mencelos. Agra tetap duduk santai, seolah kedatangan mereka bukan masalah besar. "Aku hanya melakukan bisnis," katanya, nadanya tetap tenang. Pria itu mengangkat pistolnya lebih tinggi, mengarahkannya langsung ke Agra. "Bukan di wilayahku." Udara di dalam ruangan terasa semakin dingin. Orang-orang Agra langsung bersiap. Aku melihat mereka bergerak, tangan merayap ke senjata masing-masing. Aku sendiri? Aku tidak punya apa-apa. Tidak ada pistol, tidak ada pisau. Aku benar-benar tak berdaya. Seharusnya aku membawa sesuatu untuk melindungi diriku sendiri sebelum pergi ke sini bersama Agra. Bodoh! Lalu— DOR! Suara tembakan memecah keheningan. Aku tidak tahu siapa yang menembak lebih dulu. Tapi dalam sekejap, semuanya berubah menjadi kekacauan. Orang-orang mulai berjatuhan. Teriakan bercampur dengan suara peluru yang berdesing di udara. Aku membeku. Di tengah kekacauan, hanya satu sosok yang bisa kulihat dengan jelas. Agra. Dia bergerak seperti bayangan, cepat dan mematikan. Setiap tembakan yang dilepaskannya selalu mengenai target. Matanya dingin, nyaris tak berperasaan, seolah nyawa manusia hanyalah angka baginya. Aku seharusnya ketakutan. Seharusnya menghindari melihatnya. Tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Cara dia memegang pistol, menarik pelatuk tanpa ragu, ekspresinya yang begitu tenang di tengah hujan peluru—semuanya membuat dadaku bergetar hebat. Dan bukan karena takut tertembak musuh, melainkan karena... Agra. "Hentikan. Apa yang aku lakukan? Stop melihatnya!" Aku memalingkan wajah, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang merayap di dalam dadaku. Aku bahkan bisa merasakan jantungku berdebar begitu kencang hingga terasa menyakitkan. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, suara tembakan akhirnya berhenti. Mereka yang menyerang telah tumbang, tubuh mereka berserakan di lantai. Tapi pemimpin mereka? Tidak ada di sini. Dia berhasil kabur. Aku masih berdiri di tempatku, tubuhku sedikit gemetar. Kemudian, aku merasakan tatapan seseorang. Aku menoleh. Seorang pria yang tadi menyerang masih hidup. Dia terduduk di lantai, darah mengalir dari lengannya, tapi bibirnya menyeringai lemah. Matanya langsung mengarah padaku. "Siapa wanita itu?" Jantungku berhenti sejenak. Aku bisa merasakan Agra menoleh ke arahku. Ekspresinya tetap dingin, tapi ada sesuatu di dalam tatapannya. Tanpa peringatan— DOR! Sebuah peluru menembus tengkorak pria itu, tepat di antara kedua matanya. Tubuhnya terjungkal ke lantai dengan suara berdebam. Darah mengalir membentuk genangan di bawah kepalanya, matanya masih terbuka—tatapannya kosong. Aku terkesiap, langkahku mundur tanpa sadar. Aku menoleh ke Agra, yang masih memegang pistolnya dengan santai, seolah yang baru saja dilakukannya bukanlah sesuatu yang berarti. "Agra" Bisik ku. Bersambung...𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam. Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta. Pesta pernikahan mantanku. Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya. Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku. Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini. Lalu aku melihatnya. Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang
Calia Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja. Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya. Pria itu adalah Agra. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku. Dunia benar-benar gila. Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini seharusnya menjadi hari biasa di café kecilku. Seperti biasa, aku bersiap menghadapi pelanggan yang hanya datang untuk mencari WiFi gratis atau sekadar berfoto tanpa membeli apa pun. Tapi hari ini, takdir rupanya ingin bermain-main denganku lagi. Begitu pintu café terbuka, aku mendongak, dan napasku langsung tercekat. Agra. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Tatapannya tajam seperti biasa, penuh misteri yang tak bisa kutebak. Aku bahkan bisa merasakan aura intimidatifnya membuat Lita, karyawanku, menegang di belakang mesin kasir. Aku segera mengangkat alis, berusaha tetap tenang meski hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Agra melangkah santai ke meja kasir, seolah ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. "Kau terlihat terkejut," katanya, suaranya tetap datar. Aku menyandarkan tangan di meja dan menyipitkan mata. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" Dia menyeringai
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan shift sore di café. Lita sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendirian untuk merapikan meja dan menutup kasir. Mataku terasa berat, tubuhku lelah, dan aku sudah membayangkan kasur empuk di apartemen kecilku. Namun, rencana itu buyar begitu suara berat yang familier terdengar jelas. "Siap bekerja?" Aku menoleh dan mendapati Agra berdiri di depan meja kasir. Dia mengenakan setelan hitam yang jauh lebih rapi dibanding biasanya. Tidak ada jaket kulit, tidak ada rokok di tangan, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya, memperlihatkan bahunya yang tegap dan dada bidangnya. Aura misteriusnya tetap sama—mungkin justru lebih kuat dalam pakaian seperti itu. Aku menyandarkan tangan di meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Aku pikir pekerjaan ini dimulai besok pagi. Ini kan hampir malam banget." Dia menyeringai tipis. "Kau pikir jadi asisten ku itu seperti pekerjaan kantoran yang punya j
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku masih merasakan getaran di ujung jariku. Rasanya seperti sengatan listrik halus, kecil namun tak kunjung hilang. Tubuhku terasa lemas, keringat dingin mengalir di punggungku, dan bayangan darah yang menggenang di lantai tadi masih menari-nari dalam pikiranku. Pria itu benar-benar mati. Ditembak oleh Agra di depan mata ku. Aku mengira bisa mengendalikan situasi, bisa bermain dengan Agra demi membalas dendam pada Manda. Tapi sekarang, kenyataan menghantamku keras—aku tidak sedang bermain di zona nyaman. Aku sedang bermain di dunia Agra. Dunia yang penuh kekejaman tanpa belas kasihan. Di depanku, Agra hanya berdiri dengan santai, ekspresinya tetap tenang seolah apa yang baru saja terjadi bukan sesuatu yang luar biasa. Seolah membunuh hanyalah bagian dari rutinitas hariannya. "Kau bisa pergi sekarang," katanya, nada suaranya ringan, hampir seperti sedang menawarkan minuman. "Aku tidak akan menahanmu." Aku masih membeku di tempat, tidak bisa berpikir jernih. Agra m
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh
𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra. Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda. "Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah." Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan. "Baik, tuan penguasa yang ganteng." Tidak ada balasan. Tentu saja. Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa. "Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya. Agra melirikku sekilas. "Mungkin." Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan. Kami berhenti di
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku masih merasakan getaran di ujung jariku. Rasanya seperti sengatan listrik halus, kecil namun tak kunjung hilang. Tubuhku terasa lemas, keringat dingin mengalir di punggungku, dan bayangan darah yang menggenang di lantai tadi masih menari-nari dalam pikiranku. Pria itu benar-benar mati. Ditembak oleh Agra di depan mata ku. Aku mengira bisa mengendalikan situasi, bisa bermain dengan Agra demi membalas dendam pada Manda. Tapi sekarang, kenyataan menghantamku keras—aku tidak sedang bermain di zona nyaman. Aku sedang bermain di dunia Agra. Dunia yang penuh kekejaman tanpa belas kasihan. Di depanku, Agra hanya berdiri dengan santai, ekspresinya tetap tenang seolah apa yang baru saja terjadi bukan sesuatu yang luar biasa. Seolah membunuh hanyalah bagian dari rutinitas hariannya. "Kau bisa pergi sekarang," katanya, nada suaranya ringan, hampir seperti sedang menawarkan minuman. "Aku tidak akan menahanmu." Aku masih membeku di tempat, tidak bisa berpikir jernih. Agra m
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan shift sore di café. Lita sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendirian untuk merapikan meja dan menutup kasir. Mataku terasa berat, tubuhku lelah, dan aku sudah membayangkan kasur empuk di apartemen kecilku. Namun, rencana itu buyar begitu suara berat yang familier terdengar jelas. "Siap bekerja?" Aku menoleh dan mendapati Agra berdiri di depan meja kasir. Dia mengenakan setelan hitam yang jauh lebih rapi dibanding biasanya. Tidak ada jaket kulit, tidak ada rokok di tangan, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya, memperlihatkan bahunya yang tegap dan dada bidangnya. Aura misteriusnya tetap sama—mungkin justru lebih kuat dalam pakaian seperti itu. Aku menyandarkan tangan di meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Aku pikir pekerjaan ini dimulai besok pagi. Ini kan hampir malam banget." Dia menyeringai tipis. "Kau pikir jadi asisten ku itu seperti pekerjaan kantoran yang punya j
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini seharusnya menjadi hari biasa di café kecilku. Seperti biasa, aku bersiap menghadapi pelanggan yang hanya datang untuk mencari WiFi gratis atau sekadar berfoto tanpa membeli apa pun. Tapi hari ini, takdir rupanya ingin bermain-main denganku lagi. Begitu pintu café terbuka, aku mendongak, dan napasku langsung tercekat. Agra. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Tatapannya tajam seperti biasa, penuh misteri yang tak bisa kutebak. Aku bahkan bisa merasakan aura intimidatifnya membuat Lita, karyawanku, menegang di belakang mesin kasir. Aku segera mengangkat alis, berusaha tetap tenang meski hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Agra melangkah santai ke meja kasir, seolah ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. "Kau terlihat terkejut," katanya, suaranya tetap datar. Aku menyandarkan tangan di meja dan menyipitkan mata. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" Dia menyeringai
Calia Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja. Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya. Pria itu adalah Agra. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku. Dunia benar-benar gila. Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam. Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta. Pesta pernikahan mantanku. Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya. Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku. Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini. Lalu aku melihatnya. Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang