Share

4. Siapa Dia?

Episode 4. Siapa Dia?

********

“Berhenti bersikap manis untuk mendapatkan perhatian orang tua aku! Stop ngasih orang tua aku hadiah atau apa pun itu.”

Nayra melempar buket bunga  anggrek putih dan goodie bag berisi tas dengan merk terkenal tepat ke atas meja  kerja milik laki-laki berjas dokter yang duduk di hadapannya. Dengan tatapan yang sama sekali tidak menakutkan, Nayra melotot marah, rahangnya mengetat, menahan emosi.

Ternyata Rayan serius dengan ucapannya menerima perjodohan. Sudah dua minggu sejak pertemuan keluarga waktu itu, Rayan gencar melakukan pendekatan dengan orang tua Nayra. Sikap manis dan hangat yang ditunjukkan Rayan membuat mereka semakin mendorong Nayra untuk menerima laki-laki itu sebagai calon suaminya.

Bukannya terenyuh, tapi Nayra malah merasa ada yang tidak beres dengan sikap Rayan, hingga membuat hatinya gelisah.

“Kak, kamu denger aku nggak, sih?” Kesal Nayra seraya merampas berkas di tangan Rayan, lalu duduk di hadapannya. Rayan langsung menatap Nayra tak suka atas sikapnya.

“Aku cuma berusaha menjadi menantu yang baik.” Sahut  Rayan santai, membuat Nayra merengut sebal. “Harusnya kamu juga ngelakuin hal yang sama. Akhir-akhir ini Mama aku suka tenis, coba minggu depan kamu ajak jalan dia.”

Nayra mendelik jengkel. Sikap Rayan yang santai benar-benar membuatnya kesal.

“Udah beberapa kali aku bilang kalau aku nggak akan pernah setuju dengan perjodohan ini.”

See if I care.” Sahut Rayan tak acuh, menatap Nayra dengan tatapan tak bisa ditebaknya.

“Kenapa, sih, kamu nggak nolak aja? Kenapa kamu malah menerima perjodohan ini?”

“Aku udah bilang karena orang itu kamu!”

“Itu bukan alasan. Aku mau denger alasan yang jelas!” Desak Nayra dengan kesal yang sudah di ubun-ubun.

“Ya emang itu alasannya. Terserah mau percaya atau enggak. Lagian, ya. . . .” Rayan menghela napas, sementara Nayra memfokuskan diri saat laki-laki mendadak terlihat serius. “Kalau aku sama kamu nikah, anak kita pasti nyaris sempurna karena kita sama-sama punya gen yang bagus.”

Nayra terperangah tak percaya dengan mulut sedikit menganga. Sumpah. Ingin rasanya dia melemparkan sepatunya ke mulut Rayan. “Anak?”

“Yep.” Rayan mengangguk mantap.

“Jangan harap! Ini nggak akan berhasil.” Sahut Nayra serius. “Seperti hubungan kita sebelumnya.”

Rayan tergelak pelan, tetapi Nayra tak dapat mengartikan itu, pun dengan ekspresinya.

“Itu cinta monyet, Nayra. Jangan melihat ke belakang! Seperti kata Papa aku, sekarang saatnya kita memulai kisah cinta dewasa yang romantis. Atau…., kamu mau yang panas?” Rayan memandang Nayra dengan tatapan nakal.

“Kamu gila?”

Nayra menatap berang Rayan. Sementara kedua tangannya meremas rok yang dikenakannya guna menahan kesabaran menghadapi laki-laki tampan di hadapannya itu.

“Whatever you say.”

“Rayan!”

“Aku sibuk. Kalau nggak ada hal penting yang mau kamu bicarain, silakan keluar. Ohh, iya. Jangan buang-buang waktu dan segera masuk kerja, Dokter Nayra.”

“Aku bakalan kembali ke Amerika.” Nayra tak mengindahkan. Rayan hanya mengedik – tak acuh. Rayan memilih membaca berkas-berkasnya kembali, tapi sebelum itu dia berucap.

“Silakan. Paling-paling orang tua kamu nyeret pulang lagi.”

Nayra menghentakkan kakinya kesal. Dia selalu kalah mendebat Rayan.

“Aku akan pikirin caranya, untuk kembali ke Amerika dan menggagalkan perjodohan kita.”

“Hmm. Semangat.” Sahut Rayan santai. Senyuman kecil tertarik di salah satu sudut bibirnya.

“Aku serius.”

Kesal, Nayra menggebrak meja sekuat tenaga. Tetapi kemudian meringis tertahan karena rasa ngilu di tangannya akibat tindakannya. Rayan menahan tawa melihat itu.

“Hati-hati….”

Nayra tersentak. Tubuhnya membeku, tak siap menghadapi tindakan Rayan yang tiba-tiba mernarik kedua tangannya, lalu mengusap-usapnya dengan lembut. Sentuhan tangan besar itu dapat Nayra rasakan, sehingga membuat tubuhnya seakan tersengat aliran listrik bervoltase kecil.

Dan jantungnnya….

Kenapa mendadak berdegup sangat kencang? Lebih kencang daripada saat Rayan mengelus kepalanya. Sial. Kenapa seperti ini? Nayra harap Rayan tidak mendengarnya.                          

Nayra mengerjap, berusaha menarik kesadarannya kembali. Tidak mungkin dia terpesona dengan sosok Rayan lagi. TIDAK. TIDAK BOLEH.

“Apaan, sih, pegang-pegang?” Kata Nayra sewot seraya menarik tangannya dari genggaman Rayan.

“Aku cuma nggak mau calon istri aku lecet sedikit pun. Jadi, jaga diri kamu baik-baik mulai sekarang.”

Lagi-lagi Nayra hanya bisa mendengus tak percaya. Sembilan tahun berlalu sudah berhasil membuat Rayan berubah menjadi sosok yang sangat menyebalkan dan seenaknya.

“Apa mau kamu?” Tanya Nayra memandang Rayan lelah. “Apa yang harus aku lakuin supaya kamu mau membatalkan perjodohan kita?”

“Nggak ada.” Rayan balas menatap Nayra dengan ekspresi tak bisa ditebaknya. “Sekarang, aku cuma mau kamu keluar dari sini dan berhenti mengoceh tentang hal-hal yang nggak penting kayak gini.”

“Ini penting buat aku! Bagi aku, pernikahan cukup sekali seumur hidup.”

“Aku nggak ada niatan untuk menceraikan kamu setelah menikah. Kamu akan jadi istri aku selamanya dan satu-satunya, bahkan sampai kita tua dan mati.”

Nayra tercenung. Alih-alih senang, kata-kata Rayan yang manis lebih terdengar menyebalkan di telinganya. Menghela napas lelah, Nayra menatap Rayan penuh permohonan.

“Tapi nggak sama kamu, Kak. Please, ayo bekerja sama dengan baik. Kita cari kebahagiaan masing-masing.”

“Kenapa?” Suara Rayan menyusup dingin di telinga Nayra.

“Karena aku cuma mau nikah sama orang yang mencintai aku. Tapi kamu? Aku tahu kalau kamu nggak–”

“Tapi kamu masih cinta sama aku. Iya, kan?”

Nayra membeku. Lidahnya mendadak kelu. Dia tak bisa menyangkal ataupun mengiyakan. Perasaannya benar-benar dibuat bimbang setelah dipertemukan lagi dengan Rayan. Dinding pertahanan yang selama ini dia bangun, goyah begitu saja ketika melihat wajah Rayan dalam beberapa detik saat pertemuan perjodohan waktu itu.

Hatinya memang sangat lemah.

Payah….

Nayra sadar itu. Tapi beruntung otaknya masih sedikit waras, sehingga dia bisa berpikir cepat untuk menyangkal dan mengendalikan diri.

“Jangan kegeeran kamu!”

“Mata kamu nggak bisa bohong, Nay. I know you so well.”

Nayra melemparkan pandangannya ke sembarang arah guna menghindari mata Rayan yang menatapnya penuh intimidasi.

“Kenapa nggak dibalik? Bukannya itu juga bagus bisa menikah dengan orang yang kamu cintai?”

Nayra menggelengkan kepala pelan sambil menahan geram di dalam hati. Sembilan tahun lalu, mungkin Rayan masih menjadi impian terbesarnya. Tapi tidak sekarang, harapan itu sudah lebur tepat di hari dia meninggalkan laki-laki itu ke Amerika.

Tanpa ingin membalas ucapan Rayan, Nayra beranjak dengan sedikit menyentak kursi yang dia duduki hingga sedikit mundur beberapa senti.

“Bawa lagi tasnya. Bunda kamu suka. Itu edisi terbatas.”

Nayra menyeringai sinis. “Kamu pikir aku peduli?”

“Jangan menguji kesabaran aku.”

Nayra tersenyum msiterius, kemudian meraih buket bunga dan goodie bag di meja Rayan, dan dengan santai membuangnya ke tempat sampah di pojok ruangan, kemudian menginjak-injaknya sehingga kedua benda tersebut masuk dengan baik.

“Aku mau lihat sampai mana batas kesabaran kamu kalau aku ngelakuin ini.”

“Kamu!”

Rayan menggeram tertahan, kemudian bangkit menghampiri Nayra, membuat gadis itu mundur secara otomatis.

“Apa? Kamu mau apa? Mukul aku?” Kata Nayra menantang dengan mangangkat dagunya tinggi-tinggi, meski ekspresi Rayan yang mendadak kelam membuatnya takut. Sumpah. Dia tidak pernah melihat Rayan seperti itu selama mengenalnya.

“Aku udah bilang, nggak mau calon istri aku lecet sedikit pun.” Rayan berhenti tepat di hadapan Nayra yang terdesak di dinding.

“Te-terus, kamu mau apa?” Nayra gelagapan, bola matanya bergerak-gerak gelisah menghindari tatapan Rayan.

Rayan menyeringai tipis, lalu mengangkat dagu Nayra menggunakan telunjuknya, sementara ibu jarinya mengusap bibir Nayra.

“Aku cuma pengin nutup mulut kamu biar berhenti ngoceh-ngoceh nggak jelas.”

Nayra mengerjap.

“Ya?”

Tak ada kalimat balasan, Rayan mendekatkan wajahnya hingga Nayra bisa merasakan sapuan napas hangat laki-laki itu menerpa pipinya. Pun bibir kemerahan Rayan yang tebal nyaris menyentuh bibirnya.

Nayra membeku, jantungnya berdegup sangat cepat, dia merasa seluruh persendiannya melemas hingga tak bisa mendorong tubuh Rayan yang mengungkungnya. Dari jarak sedekat ini, dia bisa menghirup aroma parfum Rayan yang maskulin, membuatnya meleleh tak berdaya.

Sial. Pesona Rayan masih sangat kuat.

“Dokter Rayan!”

Seseorang berseragam perawat masuk ke ruangan tanpa permisi,  membuat Rayan menarik diri. Nayra bernapas lega, hampir saja.

“Luna?” Sahut Rayan.

Luna memandang Nayra dan Rayan dengan tatapan tak suka. Nayra merasakan itu, meski Luna mengatur ekspresi wajahnya sesantai mungkin. Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke ruangan Kepala Rumah Sakit dengan sesantai itu?

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status