Episode 4. Siapa Dia?
********
“Berhenti bersikap manis untuk mendapatkan perhatian orang tua aku! Stop ngasih orang tua aku hadiah atau apa pun itu.”
Nayra melempar buket bunga anggrek putih dan goodie bag berisi tas dengan merk terkenal tepat ke atas meja kerja milik laki-laki berjas dokter yang duduk di hadapannya. Dengan tatapan yang sama sekali tidak menakutkan, Nayra melotot marah, rahangnya mengetat, menahan emosi.
Ternyata Rayan serius dengan ucapannya menerima perjodohan. Sudah dua minggu sejak pertemuan keluarga waktu itu, Rayan gencar melakukan pendekatan dengan orang tua Nayra. Sikap manis dan hangat yang ditunjukkan Rayan membuat mereka semakin mendorong Nayra untuk menerima laki-laki itu sebagai calon suaminya.
Bukannya terenyuh, tapi Nayra malah merasa ada yang tidak beres dengan sikap Rayan, hingga membuat hatinya gelisah.
“Kak, kamu denger aku nggak, sih?” Kesal Nayra seraya merampas berkas di tangan Rayan, lalu duduk di hadapannya. Rayan langsung menatap Nayra tak suka atas sikapnya.
“Aku cuma berusaha menjadi menantu yang baik.” Sahut Rayan santai, membuat Nayra merengut sebal. “Harusnya kamu juga ngelakuin hal yang sama. Akhir-akhir ini Mama aku suka tenis, coba minggu depan kamu ajak jalan dia.”
Nayra mendelik jengkel. Sikap Rayan yang santai benar-benar membuatnya kesal.
“Udah beberapa kali aku bilang kalau aku nggak akan pernah setuju dengan perjodohan ini.”
“See if I care.” Sahut Rayan tak acuh, menatap Nayra dengan tatapan tak bisa ditebaknya.
“Kenapa, sih, kamu nggak nolak aja? Kenapa kamu malah menerima perjodohan ini?”
“Aku udah bilang karena orang itu kamu!”
“Itu bukan alasan. Aku mau denger alasan yang jelas!” Desak Nayra dengan kesal yang sudah di ubun-ubun.
“Ya emang itu alasannya. Terserah mau percaya atau enggak. Lagian, ya. . . .” Rayan menghela napas, sementara Nayra memfokuskan diri saat laki-laki mendadak terlihat serius. “Kalau aku sama kamu nikah, anak kita pasti nyaris sempurna karena kita sama-sama punya gen yang bagus.”
Nayra terperangah tak percaya dengan mulut sedikit menganga. Sumpah. Ingin rasanya dia melemparkan sepatunya ke mulut Rayan. “Anak?”
“Yep.” Rayan mengangguk mantap.
“Jangan harap! Ini nggak akan berhasil.” Sahut Nayra serius. “Seperti hubungan kita sebelumnya.”
Rayan tergelak pelan, tetapi Nayra tak dapat mengartikan itu, pun dengan ekspresinya.
“Itu cinta monyet, Nayra. Jangan melihat ke belakang! Seperti kata Papa aku, sekarang saatnya kita memulai kisah cinta dewasa yang romantis. Atau…., kamu mau yang panas?” Rayan memandang Nayra dengan tatapan nakal.
“Kamu gila?”
Nayra menatap berang Rayan. Sementara kedua tangannya meremas rok yang dikenakannya guna menahan kesabaran menghadapi laki-laki tampan di hadapannya itu.
“Whatever you say.”
“Rayan!”
“Aku sibuk. Kalau nggak ada hal penting yang mau kamu bicarain, silakan keluar. Ohh, iya. Jangan buang-buang waktu dan segera masuk kerja, Dokter Nayra.”
“Aku bakalan kembali ke Amerika.” Nayra tak mengindahkan. Rayan hanya mengedik – tak acuh. Rayan memilih membaca berkas-berkasnya kembali, tapi sebelum itu dia berucap.
“Silakan. Paling-paling orang tua kamu nyeret pulang lagi.”
Nayra menghentakkan kakinya kesal. Dia selalu kalah mendebat Rayan.
“Aku akan pikirin caranya, untuk kembali ke Amerika dan menggagalkan perjodohan kita.”
“Hmm. Semangat.” Sahut Rayan santai. Senyuman kecil tertarik di salah satu sudut bibirnya.
“Aku serius.”
Kesal, Nayra menggebrak meja sekuat tenaga. Tetapi kemudian meringis tertahan karena rasa ngilu di tangannya akibat tindakannya. Rayan menahan tawa melihat itu.
“Hati-hati….”
Nayra tersentak. Tubuhnya membeku, tak siap menghadapi tindakan Rayan yang tiba-tiba mernarik kedua tangannya, lalu mengusap-usapnya dengan lembut. Sentuhan tangan besar itu dapat Nayra rasakan, sehingga membuat tubuhnya seakan tersengat aliran listrik bervoltase kecil.
Dan jantungnnya….
Kenapa mendadak berdegup sangat kencang? Lebih kencang daripada saat Rayan mengelus kepalanya. Sial. Kenapa seperti ini? Nayra harap Rayan tidak mendengarnya.
Nayra mengerjap, berusaha menarik kesadarannya kembali. Tidak mungkin dia terpesona dengan sosok Rayan lagi. TIDAK. TIDAK BOLEH.
“Apaan, sih, pegang-pegang?” Kata Nayra sewot seraya menarik tangannya dari genggaman Rayan.
“Aku cuma nggak mau calon istri aku lecet sedikit pun. Jadi, jaga diri kamu baik-baik mulai sekarang.”
Lagi-lagi Nayra hanya bisa mendengus tak percaya. Sembilan tahun berlalu sudah berhasil membuat Rayan berubah menjadi sosok yang sangat menyebalkan dan seenaknya.
“Apa mau kamu?” Tanya Nayra memandang Rayan lelah. “Apa yang harus aku lakuin supaya kamu mau membatalkan perjodohan kita?”
“Nggak ada.” Rayan balas menatap Nayra dengan ekspresi tak bisa ditebaknya. “Sekarang, aku cuma mau kamu keluar dari sini dan berhenti mengoceh tentang hal-hal yang nggak penting kayak gini.”
“Ini penting buat aku! Bagi aku, pernikahan cukup sekali seumur hidup.”
“Aku nggak ada niatan untuk menceraikan kamu setelah menikah. Kamu akan jadi istri aku selamanya dan satu-satunya, bahkan sampai kita tua dan mati.”
Nayra tercenung. Alih-alih senang, kata-kata Rayan yang manis lebih terdengar menyebalkan di telinganya. Menghela napas lelah, Nayra menatap Rayan penuh permohonan.
“Tapi nggak sama kamu, Kak. Please, ayo bekerja sama dengan baik. Kita cari kebahagiaan masing-masing.”
“Kenapa?” Suara Rayan menyusup dingin di telinga Nayra.
“Karena aku cuma mau nikah sama orang yang mencintai aku. Tapi kamu? Aku tahu kalau kamu nggak–”
“Tapi kamu masih cinta sama aku. Iya, kan?”
Nayra membeku. Lidahnya mendadak kelu. Dia tak bisa menyangkal ataupun mengiyakan. Perasaannya benar-benar dibuat bimbang setelah dipertemukan lagi dengan Rayan. Dinding pertahanan yang selama ini dia bangun, goyah begitu saja ketika melihat wajah Rayan dalam beberapa detik saat pertemuan perjodohan waktu itu.
Hatinya memang sangat lemah.
Payah….
Nayra sadar itu. Tapi beruntung otaknya masih sedikit waras, sehingga dia bisa berpikir cepat untuk menyangkal dan mengendalikan diri.
“Jangan kegeeran kamu!”
“Mata kamu nggak bisa bohong, Nay. I know you so well.”
Nayra melemparkan pandangannya ke sembarang arah guna menghindari mata Rayan yang menatapnya penuh intimidasi.
“Kenapa nggak dibalik? Bukannya itu juga bagus bisa menikah dengan orang yang kamu cintai?”
Nayra menggelengkan kepala pelan sambil menahan geram di dalam hati. Sembilan tahun lalu, mungkin Rayan masih menjadi impian terbesarnya. Tapi tidak sekarang, harapan itu sudah lebur tepat di hari dia meninggalkan laki-laki itu ke Amerika.
Tanpa ingin membalas ucapan Rayan, Nayra beranjak dengan sedikit menyentak kursi yang dia duduki hingga sedikit mundur beberapa senti.
“Bawa lagi tasnya. Bunda kamu suka. Itu edisi terbatas.”
Nayra menyeringai sinis. “Kamu pikir aku peduli?”
“Jangan menguji kesabaran aku.”
Nayra tersenyum msiterius, kemudian meraih buket bunga dan goodie bag di meja Rayan, dan dengan santai membuangnya ke tempat sampah di pojok ruangan, kemudian menginjak-injaknya sehingga kedua benda tersebut masuk dengan baik.
“Aku mau lihat sampai mana batas kesabaran kamu kalau aku ngelakuin ini.”
“Kamu!”
Rayan menggeram tertahan, kemudian bangkit menghampiri Nayra, membuat gadis itu mundur secara otomatis.
“Apa? Kamu mau apa? Mukul aku?” Kata Nayra menantang dengan mangangkat dagunya tinggi-tinggi, meski ekspresi Rayan yang mendadak kelam membuatnya takut. Sumpah. Dia tidak pernah melihat Rayan seperti itu selama mengenalnya.
“Aku udah bilang, nggak mau calon istri aku lecet sedikit pun.” Rayan berhenti tepat di hadapan Nayra yang terdesak di dinding.
“Te-terus, kamu mau apa?” Nayra gelagapan, bola matanya bergerak-gerak gelisah menghindari tatapan Rayan.
Rayan menyeringai tipis, lalu mengangkat dagu Nayra menggunakan telunjuknya, sementara ibu jarinya mengusap bibir Nayra.
“Aku cuma pengin nutup mulut kamu biar berhenti ngoceh-ngoceh nggak jelas.”
Nayra mengerjap.
“Ya?”
Tak ada kalimat balasan, Rayan mendekatkan wajahnya hingga Nayra bisa merasakan sapuan napas hangat laki-laki itu menerpa pipinya. Pun bibir kemerahan Rayan yang tebal nyaris menyentuh bibirnya.
Nayra membeku, jantungnya berdegup sangat cepat, dia merasa seluruh persendiannya melemas hingga tak bisa mendorong tubuh Rayan yang mengungkungnya. Dari jarak sedekat ini, dia bisa menghirup aroma parfum Rayan yang maskulin, membuatnya meleleh tak berdaya.
Sial. Pesona Rayan masih sangat kuat.
“Dokter Rayan!”
Seseorang berseragam perawat masuk ke ruangan tanpa permisi, membuat Rayan menarik diri. Nayra bernapas lega, hampir saja.
“Luna?” Sahut Rayan.
Luna memandang Nayra dan Rayan dengan tatapan tak suka. Nayra merasakan itu, meski Luna mengatur ekspresi wajahnya sesantai mungkin. Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke ruangan Kepala Rumah Sakit dengan sesantai itu?
*******
Episode 5. Menyebalkan********“Ada apa, Lun?”Suara Rayan membuat Luna yang terdiam bingung sedikit terperanjat. “Eh? Ung. . . , aku mau ngajakin kamu makan siang di luar. Tapi kayaknya lagi ada tamu, ya?”Luna mengerling ke arah Nayra yang sedang menatapnya bingung.“Dia Nayra calon istri aku.” Kata Rayan terang-terangan, sadar akan kebingungan Luna.Raut wajah Luna yang semula agak santai berubah sendu sekaligus terkejut, meski dengan cepat kembali mengatur ekspresinya menjadi sesantai mungkin.“Ohh, iya, Nay. Kenalin Luna, teman baik aku.” Imbuh Rayan, entah kenapa membuat Nayra sedikit lega mendengarnya.“Teman dari kecil.” Sambar Luna seakan ingin menunjukkan hubungan mereka sangat dekat. “Aku udah denger tentang kamu. Selamat, ya. Semoga kali ini kamu nggak ninggalin Rayan lagi.”Nayra bergeming dengan wajah bingung sekaligus jengkel yang ditahan. Di benaknya penuh pertanyaan tentang sosok Luna yang baru dia ketahui saat ini. Selain Aji dan Bisma, Nayra tidak pernah tahu Rayan
Episode 6. Playing Victim********Mobil Nayra berhenti di parkiran basement rumah sakit, dia tersenyum saat mendapati Noah juga baru turun dari mobilnya.Hari ini adalah hari pertama mereka bekerja di rumah sakit baru. Rumah sakit ayahnya Rayan, calon ayah mertuanya.Nayra menghembuskan napas berat, mengingat Rayan yang Kepala Rumah Sakit akan menjadi atasannya. Perasaannya tidak baik. Nayra merasa berkerja di sana akan terasa sulit dibandingkan John Hopkins.Setelah merasa cukup beristirahat untuk mempersiapkan diri. Dia semakin yakin untuk menghadapinya––memenangkan peperangan dari Rayan untuk membatalkan perjodohan dan kembali ke Amerika atau ke mana pun itu. Nayra akan mencari dunia di mana tidak ada Rayan di dalamya.“Morning, Doctor Noah.” Sapa Nayra diiringi senyum mengembang. Dia tampil cantik dengan balutan rok span warna kuning beraksen bunga di atas lutut, sangat kontras dengan atasan blouse putih yang dikenakannya.“See, semua pasien bakalan ngelupain rasa sakit mereka ha
Episode 7. Unknown********Nayra turun dari mobilnya, dia berjalan untuk masuk ke rumah sakit sembari menerima telepon dari ibunya yang mengeluh khawatir karena dia tinggal di apartemen sendirian.Sudah lebih dari satu minggu Nayra bekerja di Rumah Sakit RH. Nayra memilih untuk tinggal di apartemen yang dekat dengan rumah sakit. Jarak rumah sakit yang memakan waktu lebih dari satu jam dari rumah menjadi pertimbangan Nayra memutuskan untuk memilih tinggal di apartemen.“Aku nggak ngelewatin sarapan atau waktu makan lainnya. Bunda tenang aja, aku udah gede.” Sambar Nayra sebelum Bunda membuka suara. Dia sudah hapal karena setiap pagi Bunda selalu mengingatkannya akan hal itu.“Jangan ngerepotin Noah. Langsung pulang kalo udah selesai di rumah sakit. Dan satu lagi, jangan terlalu banyak main dan pulang malem. Inget, kamu nggak lagi di Amerika!” Pesan Bunda di seberang telepon.Nayra memutar bola matanya malas seraya mendengus kesal. Rasanya bosan mendengar Bunda terus mengingatkannya aka
Episode 8. Ancaman********Nayra tiba di private room sebuah restoran. Di dalam ruangan itu, terlihat Om Rendi, Tante Lisa, dan Rayan sudah duduk menunggunya.Sekitar 30 menit yang lalu saat dirinya masih di rumah sakit bersama Hana, Tante Lisa menelepon dan mengajaknya untuk makan siang bersama.Nayra tidak bisa menolak ajakan tersebut meski sangat ingin karena ada Rayan di sana. Tapi karena Tante Lisa merengek dan memohon membuat Nayra mengiyakannya.“Maaf, aku telat.” Sesal Nayra tak enak hati.“Santai aja, Nay. Tante yang salah karena mendadak ngasih tahu kamunya. Ayo sini duduk.” Jawab Tante Lisa sembari menuntun Nayra untuk duduk di sebelah Rayan yang menghunuskan tatapan malas sejak kedatangannya.Tunggu. . . ., seharusnya Nayra yang malas melihat Rayan. Terlebih karena sikap laki-laki itu yang tak menghargainya dan seenak jidat.“Salah Rayan juga, nih, nggak ngajak kamu berangkat bareng.” Imbuh Tante Lisa menyalahkan, tak peduli meski ada pelayan datang membawakan makanan ke
Episode 9. Serangan Balasan********Nayra benar-benar sakit hati, tak percaya Om Rendi bahkan mengancamnya seperti itu. Nayra merasa sendirian. Tak ada seorang pun yang bisa membantunya keluar dari situasi ini.“Pa, jangan gitu, dong, sama Nayra. Papa udah bikin dia takut tahu, nggak?” Tegur Tante Lisa mendapati suaminya terlalu serius dan keras pada Nayra.“Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang? Maaf, ya. Om emang kadang nggak kekontrol. Kamu pasti kaget, ya?” Ucap Tante Lisa tak enak hati sambil meraih tangan Nayra dan mengelusnya.Nayra menggeleng pelan seraya menarik napas dalam-dalam guna menahan tangisnya.Om Rendi menghela napas, memejamkan matanya sebentar, lalu menatap Nayra dengan wajah penuh rasa bersalah.“Maafin Om karena bersikap keterlaluan sama kamu. Om hanya nggak mau kamu terus-terusan menolak perjodohan ini.”Nayra hanya tersenyum kecut tanpa membalas ucapan Om Rendi. Lagipula tidak ada gunanya terus berdebat dengan Om Rendi sekarang. Aksi nyata akan lebih berguna untukn
Episode 10. Piala Kebanggaan********Jam sudah menunjukkan pukul 21.30. Nayra baru saja tiba di apartemennya. Buru-buru dia keluar setelah pintu lift terbuka. Nayra lelah, dia ingin mengistirahatkan tubuhnya setelah enam jam lamanya bergelut di ruang operasi. Nayra berjalan gontai menuju unitnya, matanya setengah terpejam. Namun, samar-samar dia melihat ada seseorang yang berdiri sambil bersandar di pintu apartemennya. Gadis itu memicingkan mata dan sosok itu semakin jelas begitu dia mendekat.“Lho, kamu? Ngapain di sini?”“Tempat kamu oke juga.” Komentar Rayan sambil menegakkan tubuhnya.“Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?” Tanya Nayra, merasa tidak pernah memberitahu siapapun tentang tempat tinggal barunya.“Bawel. Cepetan Buka!” Titah Rayan.Nayra mendelik sambil menatapnya protes. Tapi Rayan tak mempedulikan dan malah mengedik ke arah pintu, memberi isyarat agar Nayra lekas membukanya.Gadis itu mendengus sebal, lalu dengan terpaksa membuka pintu apartemennya setelah dia
******** “Terbebani?” Tanya Rayan yang melihat Nayra terus diam di sebelahnya meghembuskan napas berat berulang kali sebab eringat hari pertunangannya dengan Rayan semakin dekat. Saat ini, keduanya dalam perjalanan untuk mengantar Nayra pulang ke apartemen karena permintaan orang tuanya. Padahal, tadi pagi Nayra membawa mobil, dia sudah menolak tapi perintah Om Rendi tak bisa dibantah. Om Rendi ingin Rayan dan Nayra mulai mendekatkan diri kembali. “Jelas, lah.” Jawab Nayra pelan seraya mengalihkan pandangannya yang sejak tadi menatap ke luar jendela kaca mobil. “Harusnya kamu seneng.” “Kamu pikir aku bisa?” Rayan mengedik tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. “Ya seneng-senengin aja. Kamu, kan, masih cinta sama aku. Foto kita aja masih kamu simpan.” Nayra menghela napas panjang guna menahan kekesalannya terhadap Rayan. “Oke. Aku nggak akan ngelak kalau aku masih cinta sama kamu. Tapi harus kamu tahu, bukan berarti aku mau sama kamu.” Nayra mengucapkan kalimat terakhir
*******Jingga dan Hana berjalan beriringan menyusuri koridor rumah sakit setelah mengunjungi pasien VIP. Mereka nampak berbincang-bincang ringan sambil tertawa renyah. Tapi tawa Nayra menyurut saat dari kejauhan melihat Rayan dan Luna memasuki lift bersama sambil tertawa lepas.“Mereka berdua pacaran, ya?” Tanya Nayra penasaran. Mata Hana bergerak mengikuti arah pandang Nayra, lalu kembali berpaling dan tersenyum penuh arti.“Aku cuma nanya, nggak ada maksud apa-apa.” Seru Nayra kemudian seolah bisa membaca ekspresi Hana.“Santai aja, kali, Dok. Wajar, kok, ngepoin orang yang kita suka.”Nayra mendelik dengan wajah merengut lucu. Hana tergelak pelan.“Mereka emang deket banget, tapi katanya cuma teman baik.” Jelas Hana. “Denger-denger, Suster Luna anak pengasuhnya Dokter Rayan, mereka kenal dari kecil, makanya deket kayak gitu.”“Tapi kayaknya mereka saling suka.” Sahut Nayra, ada nada ketidakrelaan dari ucapannya. Dia merasa tak puas dengan penjelasan Hana, mengingat bagaimana dekat
********Sekarang Nayra sudah berada di dalam mobil yang dikendarai Tante Lisa. Entah ke mana wanita paruh baya ini akan membawanya pergi.Sejurus kemudian, Nayra dibuat terkejut saat menyadari jalanan yang dilalui Tante Lisa ternyata menuju ke apartemen Rayan. Benar saja, tak butuh waktu lama mereka sudah sampai di depan gedung apartemen elit tersebut.“Tan?” Nayra menatap Tante Lisa dengan sorot mata penuh tanya.“Maaf, Nay. Kita ke apartemen Rayan sebentar, ya? Ada barang yang mau Tante ambil dari sana.”Nayra terdiam ragu, sebelum kemudian mengangguk terpaksa.“Ohh, ya udah. Tapi aku nunggu di sini ya, Tan?”“Tapi barang yang mau Tante bawa agak banyak. Kamu bisa bantu Tante, kan?” Tante Lisa memasang wajah memelas, membuat Nayra lagi-lagi tak bisa menolak.“Ya-ya udah, Tan, boleh.”Mengehembuskan napas kasar, dengan penuh keterpaksaan Nayra ikut turun dari mobil dan mengekori Tante Lisa untuk masuk ke dalam apartemen Rayan.Sesampainya di depan pintu apartemen, dengan cekatan jar
********“Aku minta maaf karena belum bisa jadi anak yang baik untuk kalian.” Ucap Nayra tulus setelah dia mengutarakan keinginannya untuk mengakhiri semuanya dengan Rayan. Nayra bahkan kini berlutut di hadapan kedua orang tuanya.“Bangun, Nak.”Bunda menuntun Nayra untuk duduk di sebelahnya.“Sebenarnya ada apa, Nay?” Tanya Bunda lembut seraya merapikan anak rambut Nayra yang sedikit menghalangi wajahnya.“Kak Rayan menerima perjodohan ini untuk balas nyakitin aku karena udah ninggalin dia dulu. Dia nggak tulus mau nikahin aku.”Pada akhirnya, Nayra tidak bisa menahan kegundahan hatinya sendirian, meski tidak dia ceritakan secara keseluruhan.“Nggak mungkin. Selama ini Ayah lihat dia baik-baik aja sama kamu.” Sela Ayah tak percaya, mengingat bagaimana Rayan memperlakukan Nayra dengan baik saat di depannya, Ayah juga sangat suka sikap sopan Rayan.“Iya, tapi dia cuma pura-pura, Yah. Di belakang kalian dia nggak sebaik itu. ”“Ayah nggak percaya. Nayra, masa lalu kalian itu hanya cinta
60.******** “Dokter Nayra . . . .”Giselle tersenyum ramah menyapa Nayra.“Om Rendi ada di dalam nggak, Mbak? Maksud aku, beliau nggak lagi sibuk, kan?” Tanya Nayra sedikit ragu.“Enggak, kok. Kamu bisa langsung masuk saja, Dok.” Giselle mempersilakan Nayra masuk tanpa berniat mengantarnya. Mengingat Nayra adalah calon menantu dari atasannya, maka Giselle sedikit membebaskan gadis itu.“Oke. Makasih, Mbak Giselle.” Ucap Nayra dengan senyum mengembang.Tak langsung mengetuk, sejenak Nayra mematung di depan pintu untuk menenangkan dirinya. Dia meremas tangannya yang mulai berkeringat dingin. Nyali Nayra sedikit menciut membayangkan dia akan kena damprat dari Om Rendi di dalam sana nanti.“Huuft.”Nayra menghembuskan napas panjang, untuk kemudian mengetuk pintu kaca di depannya. Nayra lalu masuk dengan kaki gemetar setelah mendapat sahutan.“Selamat siang, Om.” Sapa Nayra gugup, namun dia berusaha menyembunyikannya. Ini kali pertama dia berhadapan dengan Om Rendi, hanya berdua.“Duduk,
********Bulatan matahari yang menguning telur dan semburat jingga di sore hari seperti menghipnotis siapa pun yang memandangnya.Dengan melihat proses matahari kembali ke peraduannya, bisa menciptakan rasa syukur atas ciptaan Tuhan yang maha segalanya. Bersyukur untuk masih tetap diberi kehidupan sampai sekarang.Rayan, laki-laki tampan dan jangkung dengan balutan jas dokternya berdiri dengan tangan bersedekap pada beton pembatas yang berada di atap rumah sakit sambil memperhatikan pemandangan yang ada di bawahnya. Taman rumah sakit yang luas dengan semua aktivitas orang-orang di sana.Terkadang, matanya memicing untuk menghindari cahaya tipis matahahari sore yang tak sengaja mengenai wajah tampan berkarismanya.Rayan memejamkan mata, meraup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang lapang. Rayan, dia membiarkan angin sore menyapa wajah dan memainkan rambut bergaya quiffnya.Rayan termenung dengan wajah gelisahnya. Kepalanya berisik, kejadian beberapa menit yang lalu berput
********Noah memang selalu tahu bagaimana cara menghibur Nayra. Kini mereka duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu, menikmati pemandangan dari ketinggian di Bukit Bintang. Tempat itu cukup untuk menghibur hati Nayra yang gamang.Nayra berdecak kagum saat matanya disuguhi keindahan bintang yang bertaburan menghiasi langit malam. Belum lagi pemandangan citylight yang tampak mempesona dari puncak bukit tersebut. Pancaran lampu-lampu kota itu juga bisa didefinisikan sebagai bintang yang menambah keindahan panoramanya.“Ehh.”Nayra terkesiap ketika Noah tiba-tiba menyampirkan jacketnya di sepanjang bahu Nayra agar gadis itu tidak kedinginan.“Kalau kamu hipotermia, itu pasti bakal ngerepotin aku.” Noah langsung menyambar sebelum Nayra membuka suaranya.“Ish, dasar. Padahal, kamu, tuh, cukup diem aja, No. Biar kelihatan romantis gitu.” Dengus Nayra seraya merapatkan jacket Noah ketika udara dingin menusuk kulitnya. Nampak bibir gadis itu juga sedikit memucat karena memang udara di
********Sore hari beringsut malam, Nayra baru keluar dari ruang rapat. Rapat tersebut berjalan lancar. Ternyata Aji sangat berbeda saat dia sedang bekerja, dia benar-benar serius, tak banyak tingkah seperti saat Nayra sedang bersamanya di luar pekerjaan.Nayra berjalan menuju ruangannya, sedikit melompat-lompat lucu seperti kelinci. Kebetulan sekali koridor sedikit sepi.Nayra mengulum senyum tipis, merasa beban di hatinya sedikit terangkat. Noah sudah berbaik hati karena tidak menuntut Nayra untuk membalas perasaannya, Nayra tidak akan membiarkan persahabatannya rusak karena perasaan tidak enak. Maka untuk membalas kebaikan hati Noah, Nayra hanya perlu tetap untuk menjadi sahabat terbaik baginya.Baru saja Nayra akan menyentuh handle pintu, seseorang tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya erat dan menariknya dengan kasar. Dalam hati Nayra menggerutu, karena orang-orang sudah mengejutkannya hari ini.“Ray–”Nayra berusaha melepaskan dirinya dari Rayan yang kini sudah berhasil m
********Nayra duduk terdiam di ruangannya. Matanya menyipit dengan kening berkerut, sesekali sebelah tangannya memijat keningnya yang terasa berdenyut nyeri.“Shit.” Masih jelas dalam ingatanya saat beberapa menit yang lalu Bunda menelepon. Bunda mengatakan kalau Nayra harus segera membereskan barang-barangnya dari apartemen yang dia tinggali saat ini.Ternyata ucapan Rayan yang memintanya pindah itu benar, Nayra kira waktu itu Rayan hanya menggertaknya.“Ayah sama Bunda udah lihat kondisi apartemennya. Rayan bener-bener nyiapin itu buat kamu.”Nayra teringat percakapannya dengan Bunda di telepon tadi. Ternyata Rayan benar-benar licik karena melibatkan orang tuanya.“Kamu cepat beresin barang-barang dan pindah ke sana, Nay. Lagian nggak ada salahnya tinggal di dekat Rayan, biar kalian makin deket. Rayan juga bilang biar dia gampang jagain dan ngawasin kamunya, gitu.” Nayra hanya bisa menahan geram seraya mengepalkan tangannya, Rayan benar-benar telah memanfaatkan orang tuanya untuk
********“Ada masalah?” Hana heran dengan sikap Nayra yang lebih banyak diam dengan wajah murung seharian ini. Sebab, selepas memeriksa pasien biasanya Nayra akan membahas makanan untuk makan siang atau berbagi cerita mengenai drama Korea yang telah dia tonton. Ini tak seperti biasanya.“Ohh? Apa, Han?” Nayra kurang fokus.Hana mengerling, lalu mengulang pertanyaannya. “Kamu lagi ada masalah? Kok diem terus dari tadi?”“Enggak, kok. Aku cuma lagi datang bulan.” “Pantesan.” Hana manggut-manggut mengerti. “Gimana kalau nanti kita cari makanan yang manis atau pedes? Biasanya aku makan itu kalau lagi PMS. Aku jamin nanti mood kamu balik lagi, deh.”“Boleh.” Sahut Nayra tak bersemangat, tapi selipan senyuman tipis tersungging dari bibirnya.Tak ada lagi percakapan setelah itu. hanya terdengar derap kaki mereka yang melangkah menuju ruang ICU untuk memeriksa pasien pasca operasi.Karena fokusnya kurang, Nayra tak memperhatikan keadaan sekitar, hingga akhirnya dia menabrak dan kepalanya m
54.********Keesokan harinya, Nayra datang pagi-pagi sekali ke rumah sakit. Hal itu semata-mata dia lakukan untuk menghindari Noah. Meski Noah mengatakan untuk jangan terbebani, tapi tetap saja Nayra butuh waktu untuk bisa menerima semua ini.Dan di sinilah Nayra sekarang, duduk santai menikmati udara pagi di bawah pohon yang ada di taman samping rumah sakit. Pandangannya menerawang kosong, sementara wajahnya tampak sayu dan lelah karena kurang tidur.Permainan jujur-jujuran itu membuatnya terguncang. Kepalanya pusing dengan segala hal yang belum terselesaikan. Nayra ingin lepas dari Rayan dan belum tahu caranya, namun sekarang malah bertambah karena Nayra tidak tahu bagaimana harus menghadapi Noah.Dalam pandangan yang menerawang kosong itu, nampak lingkaran hitam di bawah mata menyatukan gambaran antara rasa lelah dan kesedihan. Berulang kali Nayra menghembuskan napas berat, berharap semua beban di hatinya terbuang bersamaan dengan itu.Nayra menoleh ketika merasakan seseorang men