Episode 3. Lari Sejauh Mungkin
********
“Amazed banget, kan?” Kata Rayan, menghentikan aktivitas Nayra yang sedang mengayun-ayunkan kakinya di atas jembatan kecil dengan kolam ikan hias yang asri di bawahnya.
Nayra menoleh, melihat si pemilik suara itu. Sebenarnya, Nayra tidak perlu melakukannya, karena dia sudah hafal betul. Mana mungkin dia bisa melupakan suara yang selalu mengisi hari-harinya, meski sembilan tahun tak mendengarnya.
“Kebetulan yang agak menyenangkan, kan?” Imbuh Rayan dan mengambil duduk di sebelah Nayra, kakinya yang panjang menjuntai nyaris menyentuh air.
“Nggak sama sekali.” Nayra membuang muka, nada suaranya terdengar datar. Rayan hanya tersenyum kecil.
Sejenak, keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Hanya sahutan napas dan gemericik air kolam yang memecah keheningan di antara mereka. Nayra tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Kedatangan Rayan membuatnya terkejut, bingung, dan sedih bercampur menjadi satu.
“Aku maafin kamu.”
Nayra yang sedang memandang pergerakan ikan hias mengangkat wajahnya, menatap Rayan dengan kerutan bingung di dahinya. “Maafin aku?”
“Kamu lupa? 14 Februari–”
“Aku nggak merasa punya salah.” Sela Nayra santai.
Rayan mendengus geli. “You know? You’re the sweetest little. . . . witch I ever knew.”
Meski diucapkan dengan santai, Nayra merasa hatinya panas setelah Rayan mengatainya. Tapi sebisa mungkin dia menguatkan diri.
“Udah tahu kayak gitu, heran aja kamu mau menerima perjodohan orang tua kita.” Sahut Nayra dengan seringai sinis mencuat tipis di salah satu sudut bibirnya.
“Karena itu kamu, makanya aku mau. Kalau orang lain, aku udah punya rencana nolak dan kabur sejak awal.”
Nayra bergemining. Dia memandang lurus ke arah Rayan yang balas menatapnya dengan raut wajah yang sulit ditebak.
“Kenapa?”
Rayan mengedik seraya meregangkan otot tangannya. “Nggak ada alasan khusus. Satu-satunya alasan aku nggak nolak perjodohan ini, karena yang dijodohin sama aku itu kamu. Nggak ada calon istri yang pantas buat aku selain kamu. Kamu nyaris sempurna.” Rayan mengambil napas untuk menjeda kalimatnya. “Yaaa. . . ., meskipun agak jahat.”
“Wah. . . ., aku bener-bener tersentuh. Kamu cowok terbaik hati yang pernah aku temuin.” Balas Nayra takjub, tapi nada suaranya jelas terdengar meledek. “Tapi maaf, aku nggak bisa menerima kebaikan hati kamu. Aku cukup tahu diri, kan?”
“Aku tetap nggak akan ngelepasin kamu walau kurang ajar sekali pun.”
Nayra terperangah tak percaya. Situasi macam apa ini? Rayan seharusnya marah atau menolak habis-habisan orang yang sudah meningglakannya, bukan? Sumpah. Nayra akan lebih suka adu mulut saling menjelek-jelekkan atau bahkan adu fisik. Nayra bisa, kok.
“Jangan becanda! Aku nggak ada waktu untuk main-main sama kamu.”
“Aku nggak becanda.”
“Kak!” Nayra menatap Rayan protess. Laki-laki itu hanya mengedik santai.
“Keadaan nggak akan berubah meskipun kamu berusaha nolak mati-matian. Perjodohan ini akan tetap berlanjut, karena keputusan paling besar ada di aku.”
“Mana bisa kayak gitu? Tolong, jangan membuat keputusan seenaknya.”
“Bukannya itu kamu sembilan tahun lalu?” Sindir Rayan membuat Nayra terdiam sejenak hingga menimbulkan keheningan.
“Pokoknya, aku nggak mau nikah sama kamu!”
“Jangan buang-buang waktu mencari cara untuk melarikan diri. Karena itu sia-sia.” Kata Rayan, masih dengan ekspresi tak bisa ditebak, membuat Nayra bingung. Nayra tak bisa membaca ekspresi itu, bahkan sejak awal kedatangan Rayan tadi.
“Sebaiknya kita melakukan kerja sama tim yang baik, supaya ke depannya bisa jadi pasangan yang sempurna.” Tambah Rayan. Dia lantas mendekatkan wajahnya ke telinga Nayra untuk berbisik. “Ayo kembali mendekatkan diri, calon istri.”
Nayra membeku merasakan elusan tangan Rayan di kepalanya. Kalimat Rayan sangat menyebalkan, tapi jantungnya bertalu-talu atas sikap tak terduga laki-laki itu barusan. Nayra bahkan tak sadar Rayan sudah beranjak dari hadapannya sekarang.
“Sial.” Umpatnya dalam hati.
Susah payah dia mengubur perasaannya pada Rayan selama ini. Tapi hanya dengan sekilas elusan di kepala, jantungnya sampai berdegup tak karuan.
Menghembuskan napas kasar, Nayra lalu menunduk, menatap ikan hias yang bergerombol berenang ke sana- ke mari. Hingga tak terasa matanya perlahan berkabut.saat semua kenangannya bersama Rayan bermunculan satu-per satu di ingatannya.
Mungkin sebaiknya dia segera memikirkan cara untuk kembali ke Amerika. Nayra akan mencari seribu satu cara untuk melarikan diri dari perjodohan ini. Ahh, bukan! Tapi untuk melarikan diri dari Rayan, untuk yang kedua kalinya.
********
Episode 4. Siapa Dia?********“Berhenti bersikap manis untuk mendapatkan perhatian orang tua aku! Stop ngasih orang tua aku hadiah atau apa pun itu.”Nayra melempar buket bunga anggrek putih dan goodie bag berisi tas dengan merk terkenal tepat ke atas meja kerja milik laki-laki berjas dokter yang duduk di hadapannya. Dengan tatapan yang sama sekali tidak menakutkan, Nayra melotot marah, rahangnya mengetat, menahan emosi.Ternyata Rayan serius dengan ucapannya menerima perjodohan. Sudah dua minggu sejak pertemuan keluarga waktu itu, Rayan gencar melakukan pendekatan dengan orang tua Nayra. Sikap manis dan hangat yang ditunjukkan Rayan membuat mereka semakin mendorong Nayra untuk menerima laki-laki itu sebagai calon suaminya.Bukannya terenyuh, tapi Nayra malah merasa ada yang tidak beres dengan sikap Rayan, hingga membuat hatinya gelisah.“Kak, kamu denger aku nggak, sih?” Kesal Nayra seraya merampas berkas di tangan Rayan, lalu duduk di hadapannya. Rayan langsung menatap Nayra tak s
Episode 5. Menyebalkan********“Ada apa, Lun?”Suara Rayan membuat Luna yang terdiam bingung sedikit terperanjat. “Eh? Ung. . . , aku mau ngajakin kamu makan siang di luar. Tapi kayaknya lagi ada tamu, ya?”Luna mengerling ke arah Nayra yang sedang menatapnya bingung.“Dia Nayra calon istri aku.” Kata Rayan terang-terangan, sadar akan kebingungan Luna.Raut wajah Luna yang semula agak santai berubah sendu sekaligus terkejut, meski dengan cepat kembali mengatur ekspresinya menjadi sesantai mungkin.“Ohh, iya, Nay. Kenalin Luna, teman baik aku.” Imbuh Rayan, entah kenapa membuat Nayra sedikit lega mendengarnya.“Teman dari kecil.” Sambar Luna seakan ingin menunjukkan hubungan mereka sangat dekat. “Aku udah denger tentang kamu. Selamat, ya. Semoga kali ini kamu nggak ninggalin Rayan lagi.”Nayra bergeming dengan wajah bingung sekaligus jengkel yang ditahan. Di benaknya penuh pertanyaan tentang sosok Luna yang baru dia ketahui saat ini. Selain Aji dan Bisma, Nayra tidak pernah tahu Rayan
Episode 6. Playing Victim********Mobil Nayra berhenti di parkiran basement rumah sakit, dia tersenyum saat mendapati Noah juga baru turun dari mobilnya.Hari ini adalah hari pertama mereka bekerja di rumah sakit baru. Rumah sakit ayahnya Rayan, calon ayah mertuanya.Nayra menghembuskan napas berat, mengingat Rayan yang Kepala Rumah Sakit akan menjadi atasannya. Perasaannya tidak baik. Nayra merasa berkerja di sana akan terasa sulit dibandingkan John Hopkins.Setelah merasa cukup beristirahat untuk mempersiapkan diri. Dia semakin yakin untuk menghadapinya––memenangkan peperangan dari Rayan untuk membatalkan perjodohan dan kembali ke Amerika atau ke mana pun itu. Nayra akan mencari dunia di mana tidak ada Rayan di dalamya.“Morning, Doctor Noah.” Sapa Nayra diiringi senyum mengembang. Dia tampil cantik dengan balutan rok span warna kuning beraksen bunga di atas lutut, sangat kontras dengan atasan blouse putih yang dikenakannya.“See, semua pasien bakalan ngelupain rasa sakit mereka ha
Episode 7. Unknown********Nayra turun dari mobilnya, dia berjalan untuk masuk ke rumah sakit sembari menerima telepon dari ibunya yang mengeluh khawatir karena dia tinggal di apartemen sendirian.Sudah lebih dari satu minggu Nayra bekerja di Rumah Sakit RH. Nayra memilih untuk tinggal di apartemen yang dekat dengan rumah sakit. Jarak rumah sakit yang memakan waktu lebih dari satu jam dari rumah menjadi pertimbangan Nayra memutuskan untuk memilih tinggal di apartemen.“Aku nggak ngelewatin sarapan atau waktu makan lainnya. Bunda tenang aja, aku udah gede.” Sambar Nayra sebelum Bunda membuka suara. Dia sudah hapal karena setiap pagi Bunda selalu mengingatkannya akan hal itu.“Jangan ngerepotin Noah. Langsung pulang kalo udah selesai di rumah sakit. Dan satu lagi, jangan terlalu banyak main dan pulang malem. Inget, kamu nggak lagi di Amerika!” Pesan Bunda di seberang telepon.Nayra memutar bola matanya malas seraya mendengus kesal. Rasanya bosan mendengar Bunda terus mengingatkannya aka
Episode 8. Ancaman********Nayra tiba di private room sebuah restoran. Di dalam ruangan itu, terlihat Om Rendi, Tante Lisa, dan Rayan sudah duduk menunggunya.Sekitar 30 menit yang lalu saat dirinya masih di rumah sakit bersama Hana, Tante Lisa menelepon dan mengajaknya untuk makan siang bersama.Nayra tidak bisa menolak ajakan tersebut meski sangat ingin karena ada Rayan di sana. Tapi karena Tante Lisa merengek dan memohon membuat Nayra mengiyakannya.“Maaf, aku telat.” Sesal Nayra tak enak hati.“Santai aja, Nay. Tante yang salah karena mendadak ngasih tahu kamunya. Ayo sini duduk.” Jawab Tante Lisa sembari menuntun Nayra untuk duduk di sebelah Rayan yang menghunuskan tatapan malas sejak kedatangannya.Tunggu. . . ., seharusnya Nayra yang malas melihat Rayan. Terlebih karena sikap laki-laki itu yang tak menghargainya dan seenak jidat.“Salah Rayan juga, nih, nggak ngajak kamu berangkat bareng.” Imbuh Tante Lisa menyalahkan, tak peduli meski ada pelayan datang membawakan makanan ke
Episode 9. Serangan Balasan********Nayra benar-benar sakit hati, tak percaya Om Rendi bahkan mengancamnya seperti itu. Nayra merasa sendirian. Tak ada seorang pun yang bisa membantunya keluar dari situasi ini.“Pa, jangan gitu, dong, sama Nayra. Papa udah bikin dia takut tahu, nggak?” Tegur Tante Lisa mendapati suaminya terlalu serius dan keras pada Nayra.“Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang? Maaf, ya. Om emang kadang nggak kekontrol. Kamu pasti kaget, ya?” Ucap Tante Lisa tak enak hati sambil meraih tangan Nayra dan mengelusnya.Nayra menggeleng pelan seraya menarik napas dalam-dalam guna menahan tangisnya.Om Rendi menghela napas, memejamkan matanya sebentar, lalu menatap Nayra dengan wajah penuh rasa bersalah.“Maafin Om karena bersikap keterlaluan sama kamu. Om hanya nggak mau kamu terus-terusan menolak perjodohan ini.”Nayra hanya tersenyum kecut tanpa membalas ucapan Om Rendi. Lagipula tidak ada gunanya terus berdebat dengan Om Rendi sekarang. Aksi nyata akan lebih berguna untukn
Episode 10. Piala Kebanggaan********Jam sudah menunjukkan pukul 21.30. Nayra baru saja tiba di apartemennya. Buru-buru dia keluar setelah pintu lift terbuka. Nayra lelah, dia ingin mengistirahatkan tubuhnya setelah enam jam lamanya bergelut di ruang operasi. Nayra berjalan gontai menuju unitnya, matanya setengah terpejam. Namun, samar-samar dia melihat ada seseorang yang berdiri sambil bersandar di pintu apartemennya. Gadis itu memicingkan mata dan sosok itu semakin jelas begitu dia mendekat.“Lho, kamu? Ngapain di sini?”“Tempat kamu oke juga.” Komentar Rayan sambil menegakkan tubuhnya.“Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?” Tanya Nayra, merasa tidak pernah memberitahu siapapun tentang tempat tinggal barunya.“Bawel. Cepetan Buka!” Titah Rayan.Nayra mendelik sambil menatapnya protes. Tapi Rayan tak mempedulikan dan malah mengedik ke arah pintu, memberi isyarat agar Nayra lekas membukanya.Gadis itu mendengus sebal, lalu dengan terpaksa membuka pintu apartemennya setelah dia
******** “Terbebani?” Tanya Rayan yang melihat Nayra terus diam di sebelahnya meghembuskan napas berat berulang kali sebab eringat hari pertunangannya dengan Rayan semakin dekat. Saat ini, keduanya dalam perjalanan untuk mengantar Nayra pulang ke apartemen karena permintaan orang tuanya. Padahal, tadi pagi Nayra membawa mobil, dia sudah menolak tapi perintah Om Rendi tak bisa dibantah. Om Rendi ingin Rayan dan Nayra mulai mendekatkan diri kembali. “Jelas, lah.” Jawab Nayra pelan seraya mengalihkan pandangannya yang sejak tadi menatap ke luar jendela kaca mobil. “Harusnya kamu seneng.” “Kamu pikir aku bisa?” Rayan mengedik tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. “Ya seneng-senengin aja. Kamu, kan, masih cinta sama aku. Foto kita aja masih kamu simpan.” Nayra menghela napas panjang guna menahan kekesalannya terhadap Rayan. “Oke. Aku nggak akan ngelak kalau aku masih cinta sama kamu. Tapi harus kamu tahu, bukan berarti aku mau sama kamu.” Nayra mengucapkan kalimat terakhir