Share

5. Menyebalkan

Episode 5. Menyebalkan

********

“Ada apa, Lun?”

Suara Rayan membuat Luna yang terdiam bingung sedikit terperanjat. “Eh? Ung. . . , aku mau ngajakin kamu makan siang di luar. Tapi kayaknya lagi ada tamu, ya?”

Luna mengerling ke arah Nayra yang sedang menatapnya bingung.

“Dia Nayra calon istri aku.” Kata Rayan terang-terangan, sadar akan kebingungan Luna.

Raut wajah Luna yang semula agak santai berubah sendu sekaligus terkejut, meski dengan cepat kembali mengatur ekspresinya menjadi sesantai mungkin.

“Ohh, iya, Nay. Kenalin Luna, teman baik aku.” Imbuh Rayan, entah kenapa membuat Nayra sedikit lega mendengarnya.

“Teman dari kecil.” Sambar Luna seakan ingin menunjukkan hubungan mereka sangat dekat. “Aku udah denger tentang kamu. Selamat, ya. Semoga kali ini kamu nggak ninggalin Rayan lagi.”

Nayra bergeming dengan wajah bingung sekaligus jengkel yang ditahan. Di benaknya penuh pertanyaan tentang sosok Luna yang baru dia ketahui saat ini. Selain Aji dan Bisma, Nayra tidak pernah tahu Rayan memiliki teman dekat lain––terlebih seorang gadis.

Dan ucapannya? Benar-benar menyebalkan. Siapa dia berani-beraninya berkata seperti itu, padahal mereka baru saja bertemu?

“Aku malah berniat sebaliknya.” Balas Nayra santai, membuat Rayan menatapnya kesal.

“Nayra. . . .” Tegur Rayan.

“Apa?” Balas Nayra mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Aku emang mau ninggalin kamu, kok. Aku mau ninggalin ruangan kamu maksudnya. Aku mau  main squash dulu.” Sambungnya jenaka. Rayan hanya mendengus jengkel.

“Inget apa kata aku. Jangan main-main dan cepat masuk kerja. Bilangin juga sama teman kamu Noa–”

“Siap, Boss. Kasih kami waktu seminggu lagi.” Sela Nayra cepat dengan satu tangan terangkat hormat. Rayan hendak protes, tapi Nayra buru-buru mendahului. “Atau gaji kami sebanyak posisi kamu kalau kamu mau aku sama Noah besok masuk kerja.”

Tak mempedulikan tatapan geram Rayan, Nayra lantas melenggang pergi dari ruangan tersebut. Tapi sebelum benar-benar beranjak dia menoleh dan berucap kesal.

“Ohh, iya. Semoga makan siang kamu nggak enak.”

Rayan hanya melongo takjub mendengar ucapan gadis itu, sejurus kemudian mendengus geli.

********

Nayra melampiaskan kekesalannya dengan bermain squash, dengan gerakan cepat tangannya terus memukul bola squash tanpa memberi Noah sebagai lawannya kesempatan. Ahh, tidak. Lebih tepatnya Nayra bermain sendiri selama tiga jam tanpa henti.

Sekali lagi. Nayra tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan Rayan kembali. Bukan hanya sekedar bertemu, bahkan untuk dipersatukan kembali dalam hubungan yang sakral – pernikahan.

Sampai sekarang, laki-laki itu masih terlihat sama. Masih mempesona di mata Nayra. Rayan masih berkilauan. Hanya saja, sikap dan tatapan Rayan yang tak bisa ditebak. . . .

Reina membencinya. Namun, Nayra lebih membenci hatinya.

Nayra terus melampiaskan kekesalannya. Tanpa henti memukul bola ke dinding, hingga lama kelamaan lengan bagian atasnya sudah terasa nyeri. Jika itu lengan manekin, mungkin sudah terlepas dari tempatnya.

Hari sudah menjelang malam, Nayra melampiaskan kekesalannya dengan bola squash. Perasaannya tak karuan. Ada rasa rindu yang mungkin muncul kembali ke permukaan, kesal karena sikap Rayan, dan juga kesal karena gadis yang dilihatnya tadi.

Luna. Mereka terlihat sangat dekat. Hal itu membuat hati dan pikiran Nayra benar-benar terganggu sejak keluar dari ruangan Rayan.

Nayra terus memukul bola meski lengannya terasa sangat sakit, berharap mampu mengusir segala hal tentang Rayan yang menganggu hatinya.

TUK

Bahkan setelah sembilan tahun berlalu. Nayra tak bisa mengelek jika rasa itu masih ada, rindu itu masih ada, meski sangat dalam dia menguburnya.

“Sadar, Nay. . . ..”

TUK

“Dia nyakitin kamu!”

TUK

“Dia jahat. Please, jangan goyah!”

Noah yang melihatnya ikut frustrasi.  Sejak tadi dia berdiri di pinggir lapangan memperhatikannya.

Noah mengepalkan tangannya geram. Dia yang mengetahui semuanya, sebenarnya ingin sangat ingin membantu Nayra keluar dari situasi sulitnya saat ini. Namun, yang bisa Noah lakukan untuk menghibur gadis itu hanya menemaninya bermain squash untuk menenangkan hatinya sembari memegang minuman dingin yang dia ambil dari vending machine.

Noah segera menghampiri Nayra yang terlihat sudah tak sanggup memukul bola dan terjatuh.

Are you okay?” Tanya Noah khawatir seraya menuntun Nayra untuk duduk di bangku yang ada di luar ruangan. Nayra menatap Noah untuk kemudian menyambar minuman dari tangannya, dia meneguk minuman itu hingga tandas.

“Naik. . . .” Noah berjongkok, membawa Nayra di punggungnya, lalu berjalan keluar dari tempat bermain squash.

Nayra menyandarkan kepalanya di bahu lebar Noah dan mulai menangis.

“Nggak apa-apa, jangan ditahan.” Ucap Noah lirih, mengingat Nayra berusaha menahan tangisnya sejak keluar dari kedai kopi beberapa jam yang lalu. “Tapi ini yang terakhir. Ke depannya, bahkan jangan ada niat sedikit pun untuk nangisin dia.”

“Ternyata aku belum bisa lupain dia, No. Aku marah, aku sakit hati, aku benci, tapi aku juga kangen sama dia. Jujur, di hati kecil aku seneng mau dinikahin sama dia.”

Noah menghela napas dan memejamkan mata sebentar.

“Jangan bodoh, Nay. Dia udah nyakitin kamu.” Sahut Noah pelan. Nayra semakin terisak.

“Lari, Nay. Lari sejauh mungkin dari dia. Aku yakin kamu bisa!.”

“Gimana caranya, sementara Ayah terus ngancam aku?” Nayra berkelit.

Noah menghela napas berat.

“Kayak dulu.”

“Dan mengabaikan orang tua aku?”

“Dengan berat hati.” Lirih Noah tanpa menoleh. “Keadaan nggak akan berubah kalau kamu nggak berusaha. Dan untuk itu, mungkin ada beberapa hal yang harus dikorbankan. Kecuali kamu emang mau ngorbanin diri sendiri dengan hidup tersiksa bersama orang yang udah nyakitin kamu. Satu lagi, nggak menutup kemungkinan kalau kamu nggak akan kembali sakit hati. ”

Nayra bergeming tak bisa membalas ucapan Noah. Dia menggigit bibir, berusaha menahan tangisannya yang hampir pecah lagi. Sumpah. Situasinya saat ini benar-benar terasa sangat berat oleh pilihan untuk mengorbankan perasaan kedua orang tuanya atau dirinya sendiri.

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status