Share

8.  Ancaman

Episode 8. Ancaman

********

Nayra tiba di private room sebuah restoran. Di dalam ruangan itu, terlihat Om Rendi, Tante Lisa, dan Rayan sudah duduk menunggunya.

Sekitar 30 menit yang lalu saat dirinya masih di rumah sakit bersama Hana, Tante Lisa menelepon dan mengajaknya untuk makan siang bersama.

Nayra tidak bisa menolak ajakan tersebut meski sangat ingin karena ada Rayan di sana. Tapi karena Tante Lisa merengek dan memohon membuat Nayra mengiyakannya.

“Maaf, aku telat.” Sesal Nayra tak enak hati.

“Santai aja, Nay. Tante yang salah karena mendadak ngasih tahu kamunya. Ayo sini duduk.” Jawab Tante Lisa sembari menuntun Nayra untuk duduk di sebelah Rayan yang menghunuskan tatapan malas sejak kedatangannya.

Tunggu. . . ., seharusnya Nayra yang malas melihat Rayan. Terlebih karena sikap laki-laki itu yang tak menghargainya dan seenak jidat.

“Salah Rayan juga, nih, nggak ngajak kamu berangkat bareng.” Imbuh Tante Lisa menyalahkan, tak peduli meski ada pelayan datang membawakan makanan ke meja mereka.

Rayan menatap wanita yang sudah melahirkannya itu penuh protes.

“Aku, kan, belum punya nomor dia.” Sahut Rayan tak terima sambil mengedik ke arah Nayra.

Tante Lisa berdecak tak percaya, lalu memukul pelan kepala Rayan menggunakan kipas lipat yang selalu dibawanya.

“Kan bisa susul ke ruangannya dulu. Kamu ini emang nggak niat aja ngajak bareng Nayra.” Omel Tante Lisa. Rayan langsung mendelik sambil mengusap-usap kepalanya.

“Udah, Tan, nggak apa-apa. Lagian aku bisa, kok, berangkat sendiri.”

“Denger, kan, Ma? Lagian dia, kan, cewek mandiri. Dia bisa ngelakuin semuanya sendiri. Makanya aku mau nikah sama dia.” Ujar Rayan sekenanya.

Nayra tersenyum kecut. Rayan benar-benar menjengkelkan. Cih, lagipula Nayra tidak sudi satu mobil dengan laki-laki itu.

“Ya nggak gitu juga. Nayra, tuh, perempuan. Kamu harus ngasih banyak perhaian, meskipun Nayra bisa ngelakuin segalanya.” Tegur Tante Lisa ikut kesal.

Rayan mendesah dan berdecak malas. “Iya-iya. Nih–”

Nayra mengernyit tak mengerti begitu Rayan menyodorkan ponsel padanya.

“Simpen nomor kamu.” Terang Rayan dengan nada datar.

Nayra mengangguk mengerti dan meraih ponsel dari tangan Rayan dengan hati-hati, dia lantas memasukkan nomor ponselnya, lalu menyerahkan benda tersebut kembali pada pemiliknya. Sebenarnya ingin sekali Nayra membanting benda itu kalau bukan karena ada orang tua Rayan di sana.

“Nah, gitu, dong, suka nih Mama lihatnya. Kamu jangan cuek-cuek lagi sama Nayra. Inget, kamu sendiri yang nggak mau nolak perjodohannya.” Seru Tante Lisa sekali lagi memukulkan kipasnya, kali ini mengenai lengan Rayan.

“Bener kata Mama kamu, Ray.” Om Rendi menimpali. “Dan mulai sekarang, ada baiknya kalian kembali mengakrabkan diri. Papa yakin kalian belum benar-benar saling mengenal sebelumnya. Selain itu, kalian juga harus bersiap-siap karena dua minggu lagi akan bertunangan. Kami juga sudah membicarakannya dengan orang tua kamu, Nay.”

Nayra membelalak terkejut mendengar penuturan Om Rendi, berbanding terbalik dengan Rayan yang memasang ekspresi santai.

Tidak. Belum juga Nayra menemukan jalan keluar untuk melarikan diri. Dia tidak mau ada ikatan serius yang pasti akan semakin menyulitkannya untuk terlepas dari Rayan.

“Maaf, Om, Tante. Tapi aku, kan, nggak setuju dengan perjodohan ini.” Sanggah Nayra. Rayan yang mendengar itu menatap Nayra tak suka.

“Om sudah bilang sebelumnya nggak butuh persetujuan kamu.” Tutur Om Rendi tegas.

“Pokoknya aku nggak mau nikah sama Kak Rayan. Aku mau kembai ke Amerika.” Nayra masih berusaha protes.

Wajah Tante Lisa berubah kecewa mendengarnya. Tapi beliau mencoba mengerti dari sudut pandang Nayra. Tiba-tiba dipaksa menikah seperti ini memang tidak mudah. Dia juga mungkin akan protes seperti itu jika berada di posisi Nayra.

“Kalau begitu kamu nggak akan bisa bekerja di rumah sakit mana pun. Kamu tahu siapa dan sebesar apa pengaruh saya di dunia kedokteran?” Ancam Om Rendi dingin, membuat Nayra sedikit menunduk takut sekaligus kesal. Lelaki itu lebih menyeramkan dari ayahnya.

Tak hanya Nayra, Tante Lisa ikut terkejut mendengar penuturan Om Rendi. Wanita itu menatap sang suami penuh protes. “Pa–”

“Ini nggak adil buat aku. Om nggak bisa ngancam-ngancam aku kayak–”

“Silakan kalau kamu mau pergi. Orang tua kamu juga pasti sangat kecewa.” Sambar Om Rendi. Nada suaranya yang penuh intimidasi membuat Nayra bergeming dengan mata berlinang.

********

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status