Hanya Anggara pemilik tato itu. Ya, pemuda yang memakai kostum layaknya Go-Jek itu pasti Anggara.“Sejak kapan anak bos besar berubah profesi jadi tukang Go-Jek?” Ujar Akira sarkas.Membuat senyum merekah di bibir Anggara. Dia melepas helm dan jaket karena Akira sudah mengetahui identitasnya.“Kamu sudah makan? Aku bawa makanan untukmu juga untuk ayah dan ibu.” Ucap Anggara sembari memberikan bungkusan itu pada Akira.“Ayah dan ibu sudah tidur, Ang. Kok kamu bisa tahu aku tinggal di hotel ini?” Tanya Akira menelisik, ia mendudukkan tubuhnya di samping pemuda itu.“Tadi sore aku melihatmu melamun di balkon.” Jelas Anggara singkat.“Hah? Maksudnya?”“Yup, aku tinggal di hotel depan. Hotel kita berhadapan, sayang.” Jawab Anggara, dia tidak sadar memanggil Akira dengan sebutan sayang. Membuat Akira tersipu mendengar panggilan itu.Entah hal terkecil saja membuat hatinya berbunga-bunga. Apalagi setelah mendengar ucapan ibunya tadi, sepertinya ibu telah memberi lampu hijau.“Kita makan yuk,
Meskipun Anggara menjalankan motornya dengan sangat lambat, namun tetap jarak tempuh itu terlalu dekat. Kini mereka telah sampai di hotel Akira menginap. Anggara segera turun dari motor. Niatnya ingin mengantar gadis itu hingga depan pintu kamarnya. Namun Akira menolaknya, dengan alasan takut jika ayahnya bangun.“Sayang, bawa ini titip untuk ayah dan ibu.” Ucapnya sembari memberikan bungkusan berisi dua kotak makanan.Akira menerimanya lalu berlalu menaiki tangga. Karena tak hati-hati, Akira tergelincir di salah satu anak tangga. Anggara segera menghampirinya.“Sayang, hati-hati jalannya.” Ucap Anggara sembari mengusap pergelangan kaki Akira. “Aku gak fokus Ang.” Ucap Akira tersipu.“Hum, baiklah sepertinya ayah dan ibu masih tidur. Aku antar kamu sampai depan pintu, habis itu aku kembali. Bagaimana?” Pinta Anggara lagi.Dia tidak tega melihat Akira berjalan pincang. Padahal ada satu tangga lagi yang harus dilaluinya untuk mencapai lantai tiga.Tanpa mendengar jawaban Akira, Anggar
Namun membuat wajah Dany merona dan tersenyum senang. Senyum ceria yang sudah lama tidak ia tunjukan, kini kembali lagi. “I love you, suamiku.” Balas Dany dengan senyum cerianya.Karena sudah tak tahan lagi, Bayu segera melepas penutup terakhirnya. Membiarkan juniornya bebas dari celana ketatnya.Kembali Bayu mengungkung tubuh istrinya, memberi penetrasi di permainan mereka setelah menikah. Sungguh rasanya lebih nikmat dari sebelum mereka menikah. Lidahnya menjelajahi tubuh Dany dari leher hingga bagian intimnya.Sementara Dany mencoba menahan diri agar desahannya tidak terdengar hingga keluar.Walau mereka sudah sah, namun dia tidak enak jika ayah dan ibunya mendengar kegiatan intimnya.Bayu kembali memagut bibir Dany, dengan tangan yang mengusap bagian intimnya yang sudah mengeras sempurna.Dan akhirnya juniornya menerobos masuk ke liang kewanitaan istrinya. Sensasi yang begitu nikmat, apalagi ini adalah malam pertama mereka setelah menikah. Meskipun bukan yang pertama kalinya, nam
“Selamat pagi Bos, selamat pagi nyonya—” sapaannya berhenti ketika melihat keberadaan Anggara di sana. Firasatnya mendadak tidak enak. Apakah panggilan kali ini karena bocah itu yang telah mengadu pada bos besar?Namun Yosi mencoba untuk menetralkan rasa was-wasnya. Hingga dia tak berniat menyapa Anggara yang berdiri menatapnya di sudut ruangan. Posisinya masih berdiri sembari menunduk.“Aku tak mau banyak basa-basi. Langsung ke inti permasalahan.” Ucap Baskoro dengan tatapan tajam. Yosi tidak berani membalas tatapan bosnya. Dia masih menundukkan wajahnya dan menunggu dengan hati cemas.“Kau bisa jelaskan, tujuanmu apa berada di rumah wanita itu?” Lanjut Baskoro.Deg, ternyata benar dugaannya anak bosnya telah mengadu. Kini tamatlah riwayatnya. Yosi tidak bisa berkelit, dia mencari-cari alasan yang tepat, namun tak juga menemukannya.“Hay, apa kau tuli? Jawab pertanyaanku!” Hardik Baskoro tak sabar.“Maaf bos, saya bukan bermaksud merahasiakan ini, tapi yang meminta saya ke sana adal
Langkahnya tergesa-gesa turun menuju lantai dasar. Lalu buru-buru menyeberangi jalanan untuk mencapai hotel dimana Anggara berada.Dia mencoba menghubungi Anggara, namun justru panggilan tak terhubung. Sepertinya ponsel Anggara dalam keadaan mati.Meski ragu, Akira menghampiri meja resepsionis. Dan memintanya untuk menelpon kamar Anggara.“Permisi apa boleh saya minta tolong?” Ucap Akira.“Ada yang bisa kami bantu nona?” tanya pria yang menjadi resepsionis.“Saya ingin menemui seseorang. Apa bisa tolong di hubungi ke nomor kamarnya. Namanya Septian Anggara?”“Tuan Anggara? Tentu bisa nona, mohon di tunggu.” Pria itu menekan tombol pada telepon intercom, dan menghubungkannya ke kamar Anggara. Namun tak juga diangkat oleh sang pemilik kamar.“Maaf nona, sepertinya tuan Anggara sedang sibuk, atau sedang tidak berada di kamarnya.” Jelas pria itu.Akira kembali berpikir, apa dia tadi salah melihat? Sebenarnya bukanlah Anggara yang dilihatnya tadi?“Jika nona ingin mengecek langsung, pelaya
“Jangan pergi dulu, sayang. Tunggulah lagi sebentar, aku masih ingin melihatmu.” Bisik Anggara di depan daun telinga Akira. Hembusan nafas pemuda itu menggelitiknya, membuat Akira merasa sedikit tegang.Akira terdiam mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdegup semakin cepat. Anggara pun sama, terdiam menikmati aroma parfum yang melekat di tubuh gadis itu, sembari menutup mata.Namun Akira tidak ingin larut dalam suasana yang menjebaknya pada rasa nyaman. Dengan sedikit meronta, Akira berusaha lepas dari pelukan Anggara.Hal yang tak terduga terjadi, saat hendak melepas pelukan Anggara, tiba-tiba dirinya tergelincir oleh permukaan lantai yang licin. Membuatnya jatuh, namun dengan sigap Anggara menangkap tubuhnya sebelum sejengkal lagi akan mendarat ke permukaan lantai. Tangan lebar Anggara berada di belakang kepala Akira agar kepala gadis itu tetap aman, tidak terbentur. Sementara tangannya yang lain melindungi punggung Akira dengan posisi melingkar. Kini wajah mereka berhadapa
Anggara membiarkan gadis itu menikmati keinginannya, dia pun merasa senang karena merasa Akira telah menerimanya kembali.Namun Anggara ingin menjaga nama baik Akira, tentunya dengan kehadiran wanita ular itu yang sangat mengusik ketenangannya, membuatnya harus lebih waspada. Anggara tidak ingin membuat Akira malu di depan teman-temannya. Apalagi Ester sangat bar-bar, tidak pernah melihat situasi dan kondisi ketika hendak berbicara.Dia sudah hampir menemukan titik temu permasalahannya, tinggal bukti selanjutnya yang akan keluar beberapa hari lagi.Anggara melirik jam di layar ponselnya, masih sebelas malam. Namun dia ingin mengantar Akira ke kamar orang tuanya, dia ingin menjaga hubungan baik yang sudah terjalin antara dia dan Lidiya. Tak ingin Lidiya menganggapnya lelaki yang merusak anak gadisnya dengan tidur sekamar dengan Akira, meskipun tak melakukan hal yang tak pantas.“Sayang, aku antar sekarang ya? Bukankah besok kamu harus bangun pagi?” Tanya Anggara, dia tak dapat melihat
“Terima kasih banyak ya nak. Ibu percaya kamu sudah menjaga anak ibu. Terima kasih juga oleh-olehnya. Titip salam untuk mamamu.” Ucap Lidiya sembari tersenyum ramah.Seketika senyum merekah di bibir Anggara. Senyum yang jarang terlihat, namun kini diperlihatkan pada ibu dari gadis yang dicintai.“Baik Bu, nanti saya sampaikan salam ibu pada mama. Saya pamit dulu, selamat malam.” Pamit Anggara lalu melangkah meninggalkan wanita paruh baya itu dengan hati yang berbunga-bunga.Lidiya kembali ke kamar, menghampiri anak gadisnya yang kini duduk di tepi ranjang, sedangkan Bustomo masih berada di kamar mandi.“Lena, tadi keluar kok gak bilang ke ibu?” Tanya Lidiya pada putrinya.“Ibu dan ayah sudah tidur, Lena takut mengganggu. Maaf ya Bu, Lena sudah bikin ibu khawatir dan membuat ayah marah.” Ucap Akira meminta maaf dengan tulus. Jika tahu akhirnya membuat ayahnya marah tentu ia tidak akan mengulur-ulur waktu selama berada di kamar Anggara. Hatinya terlalu nyaman untuk meninggalkan Anggara.
Baskoro tak berniat melanjutkan perkaranya di meja hijau. Tentunya atas saran dari Anggara dan Akira. Meski Ester begitu jahat, namun Akira sangat mengasihi anak perempuan dari wanita itu. Alea masih terlalu kecil untuk bisa menanggung hasil dari perbuatan ibunya. Entah apa jadinya Alea, jika Baskoro masih mencoba menuntut Ester dan Yosi. Tentunya itu hal yang mudah bagi Baskoro yang ingin memberi hukuman terhadap orang yang telah menjebak putranya. Bukti sudah lengkap, dan siap untuk menjerat Ester dalam jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya. Namun Akira selalu menyatakan jika dirinya merasa kasihan pada Alea yang nantinya ditinggal oleh kedua orang tuanya jika nantinya harus dipenjara. Sungguh Akira tidak bisa membayangkan nasib anak itu. Akira sendiri sudah mengalami kehilangan kedua orang tuanya di usianya yang ke 17 tahun. Dan dia mampu melewatinya, berkat kehadiran Anggara yang selalu menjaga dan menemani. Namun bisakah anak sekecil Alea hidup tanpa kedua
Kini Akira bersimpuh di depan pusara ayah dan ibu. Anggara terus memeluk bahu kekasihnya.Baskoro dan Ruth menghampiri keberadaan mereka.“Nak Akira, mama ikut berduka cita. Jika kamu ingin bercerita, mama siap menjadi tempat ceritamu. Kamu anak yang baik, pasti ayah dan ibumu sangat bangga.” Ruth mengusap lembut bahu Akira.“Terima kasih Tante. Maaf jika selama ini saya merepotkan keluarga Tante dan Anggara.” Ucapnya tulus. Ya, selama ini memang Anggara yang mengeluarkan biaya rumah sakit dan biaya pemakaman untuk kedua orang tuanya. Bahkan Anggara sudah menempatkan orang tuanya di pemakaman elit.“Tidak masalah, nak. Bahkan jika kamu membutuhkan sesuatu tolong sampaikan pada mama atau Anggara. Kami siap untuk membantu. Tolong jangan segan untuk bercerita pada kami. Ya sudah, mama pulang dulu, nanti mampirlah ke rumah, sayang.” Ujar Ruth menghibur.Akira mengangguk samar, dia mencium tangan Ruth namun wanita itu membalas memeluknya.Akira begitu merindukan sosok ibunya, hingga dia l
Ternyata ucapannya memang didengar oleh Lidiya, secara perlahan mata Lidiya terbuka dengan jemari yang mulai bergerak. Menandakan jika wanita itu sudah sadar dari tidur panjangnya.Akira begitu senang hingga memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya itu.“Ibu terima kasih sudah mendengar Lena.” Ucap Akira bahagia.Lidiya masih merasa lemah, sangat lemah hingga ingin mengucapkan sesuatu pun dia tak berdaya.Anggara menangkap gerakan lemah itu, hingga akhirnya dia membantu Lidiya untuk melepas masker oksigennya.“Ibu mau bicara sesuatu?” Tanya Anggara, dijawab dengan anggukan lemah Lidiya.“Lena, dimana ayah nak?” Suara Lidiya terdengar lirih dan sangat kecil. Dia bisa melihat wajah sedih putrinya. Namun dia ingin memastikan keadaan suaminya.“Ayah sudah di surga, Bu.” Akira menjawab dengan suara gemetar menahan tangis. Dia tidak ingin membuat ibunya sedih, namun dia tidak bisa untuk berbohong.Lidiya begitu terkejut hingga nafasnya kembali tersengal. Anggara panik dan segera memasa
Anggara menuntun langkah Akira untuk bisa melihat ibunya dalam jarak lebih dekat.“Ibu, bangun Bu. Ini Lena sudah datang Bu.” Ucap Akira berbisik, dia tidak ingin mengganggu istirahat ibunya. Diraihnya tangan lemah yang terkulai itu dalam genggamannya.“Ibu pasti bisa melewati ini semua. Lena akan terus di sini jaga ibu. Tolong bangun Bu.” Ucap Akira lirih dengan air mata terus menetes tanpa henti.Anggara berdiri di belakang Akira, mengusap lembut bahu Akira. Seakan ingin berbagi kekuatan.*****Lidiya masih terbaring koma, kini dia sudah dipindahkan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Tentunya atas saran Anggara, dan Anggara yang menanggung semua biaya perawatan, termasuk biaya pemakaman Bustomo.Pagi ini sangat cerah, namun hati Akira diliputi kabut mendung mengawal kepergian ayahnya menuju tempat peristirahatan terakhir.Dany dan Bayu sudah berada di tempat pemakaman. Yeni dan Handoko juga turut hadir. Begitu pun Ruth dan Baskoro, Anggara sudah menceritakan pada mamanya. Dan ent
“Keluarga atas nama pasien Bustomo?” Ucap suster itu sembari mengedarkan pandangan. “Saya sus, saya keluarga Bustomo.” Tio melangkah semakin mendekati suster itu. “Maaf saya harus menyampaikan kabar ini.” Suster terlihat menarik nafas panjang. Tentunya membuat Tio berfirasat buruk akan kabar yang akan disampaikan. “Ada apa sus? Bagaimana keadaan kakak saya dan istrinya?” Ucap Tio terbata, dia berusaha menguatkan hati untuk menerima apapun kabar yang akan disampaikan oleh suster. “Pasien atas nama Bustomo tidak bisa diselamatkan.” Seperti mendengar petir di siang bolong, kabar itu membuat Tio syok. Matanya berkaca-kaca, hingga tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang mendalam. “Apa benar sus? Apa saya tidak salah dengar?” Ucap Tio mencoba tidak mempercayai pendengarannya. “Mohon maaf, apa yang saya sampaikan tadi benar adanya. Pasien atas nama Bustomo tidak bisa terselamatkan. Bapak yang sabar.” Ulang suster itu dengan raut sedih. Tak hanya sekali ia menghadapi suasana pilu seper
Mata Anggara melotot sempurna. Dia sangat terkejut mendengar berita itu. Sungguh dia pun ingin segera ke rumah sakit tempat ibu dan ayah Akira dirawat.“Baiklah kita siap-siap sekarang.” Anggara segera bersiap-siap untuk melakukan perjalanan ke salah satu rumah sakit di Bogor. Sambil menunggu Akira menyelesaikan acara mandinya, Anggara menelpon pak Yanto untuk segera mengirim mobilnya ke rumah Akira. Dia mengirimkan titik lokasi alamat rumah Akira pada supirnya.Anggara hanya mencuci mukanya, lalu mengganti bajunya dengan kaos hitam polos dan celana jeans panjang.Kini dia tengah menunggu di halaman rumah, hingga tak lama Yanto datang dengan mobilnya. Anggara segera menghampiri.“Pak, nanti bapak pulang dengan taksi.” Anggara memberi beberapa lembar uang pada Yanto. Lalu kembali memasuki rumah untuk mencari keberadaan kekasihnya. Tanpa mengetuk pintu kamar, Anggara segera membuka pintu yang tak terkunci.“Sudah? Ayo kita berangkat sekarang.” Ajak Anggara, sebenarnya dia tidak tega m
“Ya, Yosi tentu kamu ingat. Dia yang sudah menjemput kita di bandara saat kita mengantar Dany menemui Bayu.” Jelas Anggara mencoba mengingatkan Akira.“Saat aku mengunjungi rumah wanita itu, Yosi berada di sana. Dan aku selalu mengikuti gerak-geriknya. Sepertinya Yosi dan wanita itu mempunyai hubungan. Namun ini hanya dugaanku saja.” Jelas Anggara.Kini Akira bingung untuk merespon seperti apa. Dalam hati dia merasa senang akan kabar baik itu. Namun dia juga merasa kasihan terhadap anak perempuan yang memanggil Anggara dengan sebutan papa. Kemungkinan anak itu hanya tahu jika Anggara adalah ayahnya.Bagaimana jika kenyataannya bukan?“Sayang? Kok diam? Kamu percaya kan sama aku? Besok aku akan menemui papa, dan nantinya hasil tes DNA itu akan aku jadikan bukti untuk pengajuan pembatalan nikah. Aku juga sudah mempunyai bukti rekaman ketika Yosi berada bersama wanita itu.” Diraihnya tangan Akira, menggenggam jemari gadis itu, dimana masih terpasang cincin berlian pemberiannya. Anggara m
Anggara melangkah menuju dapur, memindahkan bubur ayam di sebuah mangkok. Lalu membawanya masuk ke kamar. Mendapati Akira tengah berbaring namun matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.“Sayang kita makan dulu, habis itu minum obat.” Ucapnya sembari menyendok bubur berisi kuah dan potongan daging ayam itu. Dan mengarahkannya ke mulut Akira. Meski awalnya menolak, namun Anggara terus memaksanya. Akira tidak bisa meminum obatnya dalam keadaan perut kosong.Akira menerima makanan itu hingga beberapa suap. Suapan berikutnya, Akira menolak. Anggara tak memaksanya lagi, kini dia meraih obat yang terbungkus dalam plastik. Mengeluarkannya satu tablet lalu mengambil gelas berisi air putih. Membantu Akira untuk meminum obatnya.Anggara segera menyelimuti tubuh kekasihnya. Sesekali meletakkan telapak tangannya di dahi Akira untuk memastikan suhu tubuhnya.Menggenggam tangan Akira yang terkulai di sisi tubuhnya. Menatap wajah pucat Akira dengan rasa cemas.Dia tidak akan mengatakan apa
Anggara terpaksa meraih Alea dari pangkuan Ester. Meskipun dia tahu Alea bukanlah anaknya, namun dia merasa kasihan melihat wajah kecil itu menangis terisak.Sekilas Anggara melihat ke belakang, ke arah dimana Akira duduk. Mendapati tempat duduk itu sudah kosong. Mencari keberadaan Akira di sekeliling ruangan itu, namun tak juga mendapati sosok Akira di sana.Anggara memutuskan untuk memulangkan Ester dan anaknya agar tak mengganggu suasana orang-orang yang sedang berkunjung ke restoran. Dia tahu kini mereka menjadi pusat perhatian.Anggara segera melangkah menuju kasir, membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan namun belum dimakan.Lalu segera melangkah keluar dari restoran, diikuti oleh Ester yang tersenyum puas. Dia berpikir rencananya telah berhasil menaklukan hati Anggara. Kini dia bisa mendapatkan Anggara kembali, menikmati kekayaan sang papa mertua. Ester pun melenggang tanpa menghiraukan tatapan orang-orang di sana.Anggara memesan sebuah taksi, lalu menyuruh Ester untuk d